PERNIKAHAN & PERCERAIAN
PL DAN PB
PERNIKAHAN
Pernikahan
adalah tahap kehidupan, yg dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup
bersama-sama dan menikmati seksual secara sah. Perzinaan dan persundalan adalah
hubungan seksual yg tidak diakui oleh masyarakat sebagai konstitusi pernikahan.
Definisi ini memperlihatkan bahwa poligami dalam PL tidak dianggap salah,
karena merupakan konstitusi pernikahan yg sah diakui oleh masyarakat, walaupun
umumnya terbukti tidak bijaksana.
I. Status pernikahan
Pernikahan
dianggap wajar dan dalam PL tak ada sebutan untuk ‘lajang’ atau ‘randa’. Berita
tentang penciptaan Hawa (#/TB Kej 2:18-24*) menunjukkan hubungan yg unik antara
suami dan istri, juga menyajikan gambar tentang hubungan Allah dengan umat-Nya
(#/TB Yer 3*; #/TB Yeh 16*; #/TB Hos 1; 2; 3*) juga hubungan Kristus dengan
gereja-Nya (#/TB Ef 5:22-33*). Perintah kepada Yeremia supaya tidak menikah
(#/TB Yer 16:2*) adalah tanda kenabian yg unik; namun dalam PB diketahui bahwa
untuk maksud-maksud tertentu melajang bisa merupakan ketentuan Allah bagi
seorang Kristen (#/TB Mat 19:10-12*; #/TB 1Kor 7:7-9*), tapi pernikahan dan
kehidupan berkeluarga adalah sesuatu yg wajar (#/TB Yoh 2:1-11*; #/TB Ef
5:22-6:4*; #/TB 1Tim 3:2; 4:3; 5:14*).
Monogami
secara implisit tersirat dalam cerita tentang Adam dan Hawa, sebab Allah
menciptakan hanya satu istri bagi Adam. Tapi poligami dibiarkan sejak zaman
Lamekh (#/TB Kej 4:19*) dan tidak dilarang dalam Alkitab. Nampaknya Allah
membiarkan manusia menggumuli hal itu dengan mencari tau dari pengalamannya
sendiri, bahwa monogami adalah asli aturan-Nya dan itulah hubungan yg
sewajarnya. Jelas ditunjukkan bahwa poligami menimbulkan kesukaran-kesukaran,
dan sering menimbulkan dosa, misalnya Abraham (#/TB Kej 21*); Gideon (#/TB Hak
8:29-9:57*); Daud (#/TB 2Sam 11; 13*);
Salomo (#/TB 1Raj 11:1-8*). Belajar dari kebiasaan-kebiasaan Timur, raja-raja
Israel diperingatkan supaya menentang poligami (#/TB Ul 17:17*). Kecemburuan
dalam keluarga timbul karena poligami, seperti halnya kedua istri Elkana saling
memusuhi (#/TB 1Sam 1:6*; bnd #/TB Im 18:18*). Sukar diketahui betapa jauh
poligami dipraktikkan, tapi berdasarkan kemampuan ekonomi poligami mungkin
lebih banyak di kalangan orang berada daripada orang biasa. Herodes Agung pada
suatu waktu mempunyai sembilan istri (Jos., Ant. 17. 19). Sampai kini orang
Yahudi yg tinggal di negeri-negeri Muslim mempraktikkan poligami.
Sementara
poligami dipraktikkan, maka status dan hubungan antar para istri dapat
dikumpulkan baik dari cerita-cerita Alkitab maupun hukum. Adalah biasa jika
seorang suami lebih tertarik kepada istri yg satu daripada istri yg satu lagi.
Demikianlah Yakub, yg tertipu berpoligami, lebih mencintai Rahel daripada Lea
(#/TB Kej 29*). Elkana lebih mengutamakan Hana kendati tidak melahirkan anak
(#/TB 1Sam 1:18*). Dalam #/TB Ul 21:15-17* dikatakan bahwa seorang suami akan
mencintai istri yg satu dan membenci yg lain.
Karena anak
sangat penting dalam kelanjutan nama keluarga, maka seorang istri yg mandul
boleh jadi mengizinkan suaminya mengambil hambanya perempuan, untuk melahirkan
anak bagi istri tersebut. Ini sah menurut hukum sipil Mesopotamia (lih Kode Hammurabi, ºº 144-147),
dan dipraktikkan oleh Sara dan Abraham (#/TB Kej 16*), juga oleh Rahel dan
Yakub (#/TB Kej 30:1-8*), tapi Yakub bertindak lebih jauh lagi, yakni mengambil
hamba Lea juga sekalipun Lea sudah melahirkan anak bagi Yakub (#/TB Kej 30:9*).
Dalam kejadian-kejadian ini hak-hak istri dijamin; istrilah yg memberikan
hambanya kepada suaminya karena suatu kasus khusus. Memang sukar menentukan
kedudukan apa yg dimiliki hamba perempuan dalam kasus di atas; kedudukannya
cenderung sebagai ‘istri serep’ ketimbang istri kedua. Bila suami terus
mempunyai hubungan seksual dengan hambanya perempuan itu, maka ia menjadi gundik.
Barangkali inilah sebabnya, mengapa Bilha disebut gundik Yakub dalam Kej 35:22,
sedang Hagar tidak digolongkan dalam gundik-gundik Abraham dalam Kej 25:6.
Istri (bagi
orang Ibrani) biasanya dipilih dari perempuan Ibrani (ump Neh 13:23-28). Pertunangan dan pernikahan
dilaksanakan menurut acara-acara tertentu (lih di bawah). Kadang-kadang mereka
dibeli sebagai hamba Ibrani ( Kel 21:7-11; Neh 5:5). Dikatakan bahwa kepala
keluarga mempunyai hak bersetubuh dengan semua hambanya perempuan. Tentu ada
contoh-contoh mencolok mengenai hal ini, tapi Alkitab tidak menyinggungnya.
Perlu diperhatikan bahwa #/TB Kel 21:7-11* dan #/TB Ul 15:12* membedakan hamba
perempuan biasa, yg harus dibebaskan sesudah 7 thn, dari hamba perempuan yg
sengaja diambil menjadi istri, atau gundik, yg tidak boleh dengan sendirinya
minta bebas. Karena hak-hak hamba perempuan yg telah dijadikan istri atau
gundik itu dilindungi oleh hukum, maka kepala keluarga atau anaknya harus
melaksanakan sesuatu upacara pensahihan, bagaimanapun sederhananya, sesuai
hukum. Dalam membicarakan hak-haknya, acuan di atas tidak menentukan hak-hak
itu tergantung pada ucapannya melampaui ucapan kepala keluarga, juga tidak
tergantung pada perihal ia melahirkan seorang anak laki-laki bagi kepala
keluarga itu atau bagi putranya. Sukar sekali mengatakan apa kedudukan hamba
perempuan itu. Tentu kedudukan itu berbeda-beda sesuai kenyataan apakah dia
istri pertama, kedua atau satu-satunya dari kepala keluarga. Jika dia diberikan
kepada putra keluarga itu, dia bisa mendapat kedudukan penuh sebagai istri.
Kenyataan ialah, bahwa hukum ini, seperti terlihat dari acuan terkait,
menentukan haknya sebagai hamba dan bukan terutama sebagai istri.
Istri boleh
juga diambil dari tawanan perang, dengan syarat tidak boleh orang Kanaan (#/TB
Ul 20:14-18*). Ada penulis yg menganggap tawanan ini sebagai gundik, tapi
peraturan dalam #/TB Ul 21:10-14* memandang mereka sebagai istri biasa.
Tidak ada
hukum mengenai gundik, dan kita tidak tahu apa hak mereka. Jelas kedudukan
mereka lebih rendah dari kedudukan istri, tapi anak-anak mereka bisa turut
menjadi pewaris atas pertimbangan bapaknya (#/TB Kej 25:6*). Kitab Hak
menceritakan bangkitnya kekuasaan Abimelekh, anak gundik Gideon (#/TB Hak
8:31-9:57*), dan mencatat peristiwa tragis seorang Lewi dengan gundiknya (#/TB
Hak 19*). Kesan yg diberikan #/TB Hak 19:2-4* ialah, bahwa gundik ini bebas
meninggalkan ‘suaminya’, dan hanya dengan bujukan dia dapat dibawa pulang. Daud
dan Salomo mengikuti raja-raja Timur mengambil banyak istri dan gundik (#/TB
2Sam 5:13*; #/TB 1Raj 11:3*; #/TB Kid 6:8-9*). Dalam kedua ay terakhir agaknya
gundik-gundik itu diambil dari golongan bawah.
Dalam
pernikahan biasa pengantin perempuan yg pindah ke rumah laki-laki. Tapi dalam
#/TB Hak 14; 15* ada bentuk pernikahan lain. Inilah yg dipraktikkan oleh orang
Filistin, tapi tidak oleh orang Israel. Di sini istri Simson tetap tinggal di
rumah bapaknya, dan Simson yg mendatanginya. Bisa diberikan alasan bahwa Simson
bermaksud membawa istrinya ke rumahnya sesudah pernikahan, tapi Simson pergi
sendirian karena mengamuk sesudah istrinya menipu dia. Dan si istri masih tetap
di rumah bapaknya menurut #/TB Hak 15:1*, walaupun kemudian dia dikawinkan
dengan seorang Filistin.
II. Kebiasaan-kebiasaan pernikahan
Kebiasaan-kebiasaan pernikahan dalam Alkitab berpusat pada dua
peristiwa, yaitu pertunangan dan upacara pernikahan.
a. Pertunangan
Di Asia
Barat ikatan pertunangan (menurut Talmud ‘erusin dan qiddusyin) hampir sama
teguhnya dengan ikatan pernikahan. Dalam Alkitab perempuan yg sudah bertunangan
kadang-kadang disebut ‘istri’ dan mempunyai tanggung jawab kesetiaan yg sama (#/TB
Kej 29:21*; #/TB Ul 22:23-24*; #/TB Mat 1:18,20*), dan laki-laki yg sudah
bertunangan disebut ‘suami’ (#/TB Yoel 1:8*; #/TB Mat 1:19*). Alkitab tidak
memuat peraturan mengenai pertunangan yg diputus, tapi Kumpulan Undang-undang
Hammurabi (ºº 159-160) mencatat bahwa jika calon suami yg memutuskan
pertunangan, maka bapak perempuan berhak menahan bukti ikatan pertunangan. Tapi
jika bapak calon istri yg memutuskannya, maka dia harus membayar dua kali
hadiah calon suami (lih juga Kitab Undang-undang Lipit-Isytar, 29, dan Esynuna,
25). Mungkin ada pernyataan resmi, tapi pengumuman tentang hal itu tergantung
pada calon ‘suami’. Demikianlah Yusuf ingin diam-diam memutuskan pertunangannya
dengan Maria (#/TB Mat 1:19*).
Kasih dan kesetiaan Allah terhadap
umat-Nya digambarkan dengan pertunangan dalam ( Hos 2:20-21). Pertunangan
meliputi langkah-langkah berikut:
(i)
Memilih bakal istri. Biasanya orangtua lelaki yg memilih calon istri putranya
dan mengatur pernikahan, seperti dilakukan Hagar untuk Ismael (#/TB Kej 21:21*)
dan Yehuda untuk Er (#/TB Kej 38:6*). Kadang-kadang si pemuda yg memilih, dan
orangtuanya membicarakan pernikahan, dalam hal Sikhem (#/TB Kej 34:4,8*) dan
Simson (#/TB Hak 14:2*). Jarang seorang pemuda menikah di luar kehendak
orangtuanya, seperti yg dilakukan Esau (#/TB Kej 26:34-35*). Kadang-kadang sang
gadis ditanyai apakah dia setuju, seperti halnya dengan Ribka (#/TB Kej
24:58*). Ada kalanya orangtua perempuan yg memilih calon suami yg pantas
seperti dilakukan Naomi (#/TB Rut 3:1-2*) dan Saul (#/TB 1Sam 18:21*).
(ii) Bertukar hadiah. Dalam
Alkitab ada tiga macam hadiah berkaitan dengan pertunangan, yaitu:
1. mohar, ‘uang jujuran’ dalam
#/TB Kej 34:12*, untuk Dina; #/TB Kel 22:17*, ‘mas kawin’ untuk seorang anak
perempuan yg diperkosa; #/TB 1Sam 18:25* untuk Mikhal. Walaupun tidak disebut
namanya, tapi yg dimaksud adalah mohar dalam ay-ay seperti #/TB Kej 24:53*,
untuk Ribka; #/TB Kej 29:18*, Yakub 7 thn mengabdi untuk mendapatkan Rahel.
Bahwa Musa menggembalakan kambing domba mertuanya dapat juga ditafsirkan
demikian (#/TB Kel 3:1*). Mohar merupakan uang pengganti dari pihak laki-laki
kepada pihak perempuan, dan itu memeteraikan perjanjian yg mengikat kedua
pihak. Ada ahli yg menganggap mohar sebagai harga pengantin perempuan, tapi
istri tidaklah dibeli seperti hamba.
2. Pemberian atau hadiah
kepada pengantin perempuan atau kepada pengantin laki-laki dari bapak
perempuan, kadang-kadang berupa hamba-hamba (#/TB Kej 24:59,61*, kepada Ribka;
#/TB Kej 29:24*, kepada Lea) atau tanah (#/TB Hak 1:15*, kepada Akhsa; #/TB
1Raj 9:16*, kepada anak Firaun, istri Salomo), atau harta lain (Tobit 8:21,
kepada Tobias).
3. Hadiah pengantin laki-laki kepada
pengantin perempuan kadang-kadang berupa permata dan pakaian, seperti yg
diberikan kepada Ribka (#/TB Kej 24:53*). Contoh-contoh dalam Alkitab mengenai
perjanjian lisan ialah pengabdian Yakub selama 7 thn kepada Laban (#/TB Kej
19:18*) dan janji Sikhem yg hendak memberikan hadiah-hadiah kepada keluarga
Dina (#/TB Kej 34:12*). Dalam Talmud Babel janji pertunangan disebut syetar
giddugin (M. K. 18b) atau sy tar erusin (Kiddushin 9a). Sekarang ini di Asia
Barat tanggungan tiap pihak keluarga ditentukan dalam suatu janji pertunangan
tertulis.
b. Upacara-upacara pernikahan
Ciri
terpenting dari seluruh tata cara pernikahan ialah pengakuan khalayak umum
tentang hubungan suami istri. Dapat dimaklumi bahwa tidak selalu semua hal
berikut dilaksanakan dalam setiap pernikahan.
(i) Pakaian pengantin perempuan
dan pengantin laki-laki. Kadang-kadang pengantin perempuan mengenakan
pakaian bersulam berwarna-warni (#/TB Mazm 45:13-14*), perhiasan (#/TB Yes
61:10*), ikat pinggang khusus (#/TB Yer 2:32*) dan telekung (#/TB Kej 24:65*).
Hiasan pengantin laki-laki adalah perhiasan kepala (#/TB Yes 61:10*). #/TB Ef
5:27*; #/TB Wahy 19:8; 21:2* secara kiasan menunjuk kepada jubah putih dari
gereja sebagai Mempelai Perempuan bagi Kristus.
(ii) Teman-teman pengantin. #/TB Mazm
45:14* bicara tentang anak-anak dara pengiring tunangan raja. Tidak salah
menduga bahwa pengantin dari golongan bawah pun punya dara-dara pengiring.
Tentu ada juga pengiring pengantin laki-laki (#/TB Hak 14:11*), yg dalam PB
disebut ‘sahabat-sahabat mempelai laki-laki’ (#/TB Mat 9:15*). Salah seorang
dari sahabat itu disebut ‘pengiring’ dalam #/TB Hak 14:20; 15:2*, dan ‘sahabat
mempelai laki-laki’ dalam #/TB Yoh 3:29*. Mungkin dia sama dengan ‘pemimpin
pesta’ dalam #/TB Yoh 2:8-9*.
(iii) Iring-iringan menuju rumah
pengantin perempuan. Pada malam hari yg ditentukan, pengantin lelaki dengan
teman-temannya dalam iring-iringan menuju rumah perempuan. Jamuan pernikahan
dapat diadakan di sana: kadang-kadang keadaan memaksakan ini (#/TB Kej 29:22*;
#/TB Hak 14*), tapi mungkin hal itu adalah biasa, mengingat perumpamaan Sepuluh
Gadis dalam #/TB Mat 25:1-13* dapat dengan mudah diartikan, bahwa mempelai
laki-laki pergi ke rumah mempelai perempuan untuk jamuan malam. Berdasarkan
kebiasaan, pendapat cenderung mengatakan bahwa pengantin laki-lakilah yg
membawa istrinya ke rumahnya atau ke rumah bapaknya untuk jamuan malam di sana,
namun ay-ay dalam Alkitab yg mendasari ini hanyalah #/TB Mazm 45:14* dab; #/TB
Mat 22:1-14* (pernikahan anak raja), dan mungkin #/TB Yoh 2:9* dab.
Iring-iringan itu bisa disertai nyanyian-nyanyian, musik dan tari-tarian
(#/TB Yer 7:34*; 1 Makabe 9:39) dan lampu, jika hari sudah malam (#/TB Mat
25:7*).
(iv) Pesta pernikahan. Umumnya diadakan
di rumah pengantin lelaki (#/TB Mat 22:1-10*; #/TB Yoh 2:9*) dan biasanya malam
hari (#/TB Mat 22:13; 25:6*). Banyak sanak saudara dan handai tolan hadir;
justru masuk akal kalau anggur habis (#/TB Yoh 2:3*). Seorang pengatur atau
sahabat memimpin pesta itu (#/TB Yoh 2:9-10*). Menolak undangan pesta
pernikahan dianggap penghinaan (#/TB Mat 22:7*). Para undangan diharapkan
mengenakan pakaian pesta (#/TB Mat 22:11-12*). Dalam suasana khusus pesta boleh
dilaksanakan di rumah pengantin perempuan (#/TB Kej 29:22*; Tobit 8:19). Pesta
akbar kemenangan Kristus dengan orang-orang kudus-Nya di sorga kelak dikiaskan
sebagai ‘perjamuan kawin Anak Domba’ (#/TB Wahy 19:9*).
(v)
Pengantin lelaki menutupi pengantin perempuan dengan kainnya. Dua kali
dalam PL (#/TB Rut 3:9*, ‘kembangkanlah… sayapmu…’; #/TB Yeh 16:8*,
‘menghamparkan kain…’) laki-laki menutupi perempuan dengan kainnya, barangkali
sebagai tanda bahwa dia menempatkan perempuan itu dalam lindungannya. D. R Mace
mengikuti J. L Burckhardt (Notes on the Bedouin, 1830, hlm 264) mengatakan,
bahwa dalam pernikahan Arab hal ini dilakukan oleh salah seorang keluarga
laki-laki. J Eisler, Weltenmantel and Himmelszelt, 1910, mengatakan bahwa
pada bangsa Beduin pengantin laki-laki menutupi pengantin perempuan dengan
sehelai kain khusus, sambil berkata, ‘Sejak saat ini tidak seorang pun selain
saya akan menutupi kau.’ Ay-ay Alkitab di atas menggambarkan bahwa kebiasaan
kedualah yg diikuti.
(vi) Berkat. Orangtua dan
handai tolan memberkati kedua mempelai dan mengucapkan selamat (#/TB Kej
24:60*; #/TB Rut 4:11*; Tobit 7:13).
(vii) Perjanjian. Satu unsur
keagamaan yg lain ialah janji kesetiaan, yg terdapat dalam #/TB Ams 2:17*; #/TB
Yeh 16:8*; #/TB Mal 2:14*. Menurut Tobit 7:14, bapak perempuan mengambil janji
nikah yg tertulis, yg dalam Misyna disebut ketuva.
(viii) Kamar pengantin. Kamar
pengantin disediakan secara khusus (Tobit 7:16). Nama kamar ini dalam bh Ibrani
ialah khuppa (#/TB Mazm 19:4*; #/TB Yoel 2:16*), aslinya suatu selubung atau
tenda tersendiri, dan kata Yunaninya ialah nymfon (#/TB Mr 2:19*). Kata khuppa
masih dipakai oleh orang Yahudi hingga sekarang untuk tudung yg di bawahnya
kedua mempelai duduk atau berdiri selama upacara.
(ix) Persetubuhan. Akhirnya
kedua pengantin dituntun ke kamar ini, biasanya oleh orangtuanya (#/TB Kej
29:23*; Tobit 7:16-17; 8:1) atau oleh ‘sahabat-sahabat mempelai laki-laki’
(arti bh Yunani ‘anak-anak kamar pengantin’, #/TB Mat 9:15*). Sebelum
bersetubuh, yg untuk itu dipakai ungkapan Ibrani ‘mengenal’, kedua suami istri
berdoa lebih dulu (Tobit 8:4).
(x) Bukti kedaraan. Pakaian dalam
perempuan yg bernoda darah dijadikan bukti, bahwa dia anak dara (#/TB Ul
22:13-21*). Adat ini masih berjalan terus (sampai sekarang) di Asia Barat.
(xi) Pesta pernikahan.
Berlangsung satu minggu (#/TB Kej 29:27*, Yakub dan Lea) bahkan ada yg dua
minggu (Tobit 8:20, Tobia dan Sara). Upacara-upacara ini dicirikan oleh musik
(#/TB Mazm 45; 78:63*) dan senda gurau dengan teka-teki seperti Simson (#/TB
Hak 14:12-18*). Ada ahli menafsirkan Kidung Agung dalam terang tradisi petani
Aram, yg menyebut kedua pengantin ‘raja’ dan ‘ratu’ selama hari-hari pesta
sesudah pernikahan dan memuji-muji mereka dengan nyanyian-nyanyian.
III. Bentuk pernikahan yg dilarang
Hal ini
terperinci disebut dalam #/TB Im 18*, tapi kurang lengkap dalam #/TB Im
20:17-21*; #/TB Ul 27:20-23*. Ps-ps ini dibahas terperinci oleh David Mace,
Hebrew Marriage, hlm 152 dab. Baiklah menganggap bahwa larangan itu mencakup
baik larangan mengambil istri kedua selama istri pertama masih hidup, maupun
larangan menikah lagi sesudah kematian istri, kecuali menikah dengan adik istri
almarhumah: sebab #/TB Im 18:18* berkata, bahwa adik si istri boleh jadi belum
menikah sewaktu si istri masih hidup, berarti bahwa sang adik itu boleh
dinikahi sesudah istri meninggal.
Abraham
(#/TB Kej 20:12*) dan Yakub (#/TB Kej 29:21-30*) menikah dalam tali kekerabatan
yg di kemudian hari dilarang. Mungkin kejahatan yg dimaksud dalam jemaat
Korintus (#/TB 1Kor 5:1*) ialah perkawinan anak tiri dengan ibu tirinya,
sesudah bapaknya meninggal; namun karena sebutannya ialah ‘istri ayahnya’
(bukan janda), dan tindakan itu disebut percabulan, maka mungkin sekali
perbuatan itu adalah hubungan mesum dengan istri kedua usia muda dari bapaknya.
IV. Hukum pernikahan Levirat
Muasal
istilah ini adalah kata Latin levir, artinya ‘ipar’ —‘ saudara laki-laki dari
suami’. Jika suami meninggal tanpa anak, maka adiknya diharapkan akan menikahi
istrinya. Anak-anak yg lahir dari pernikahan ini dianggap anak dari suami
pertama. Adat ini terdapat juga di antara bangsa-bangsa lain disamping bangsa
Ibrani.
Demikianlah
yg terjadi dengan Onan dalam #/TB Kej 38:8-10*. Onan mengawini janda abangnya,
tapi ia tidak mau mendapat anak dari perkawinannya ini, sebab ‘bukan ia yg
empunya keturunannya nanti’ (ay #/TB Kej 38:9*), dan anak-anaknya sendiri tidak
akan mendapat warisan pertama. Ay ini sama sekali tidak boleh dipakai untuk
menentang keluarga berencana.
#/TB Ul
25:5-10* mengatakan bahwa hukum itu berlaku kepada kakak adik yg tinggal
bersama-sama, tapi memberi izin kepada sang saudara untuk menolaknya.
Kitab Rut
menunjukkan bahwa cakupan adat itu melampaui saudara kandung suami. Di sini
seorang kerabat terdekat yg tak disebut namanya, adalah yg pertama mempunyai
kewajiban, dan setelah dia menolak barulah Boas menikahi Rut. Pengembangan adat
itu di sini ialah bahwa yg menikah dengan Boas adalah Rut, bukan Naomi, mungkin
karena Naomi sudah terlalu tua untuk melahirkan anak. Anak itu disebut ‘anak
pada Naomi’ (#/TB Ul 4:17*).
Hukum
levirat tidak berlaku jika sudah ada anak perempuan, dan aturan warisan anak
perempuan diterapkan kepada anak-anak perempuan Zelafehad dalam #/TB Bil
27:1-11*. Agaknya di sini ada keganjilan, sebab ay #/TB Bil 27:9-11*
kelihatannya menyangkal bahkan menentang hukum levirat. Barangkali alasannya
bahwa #/TB Ul 25:5-10* belum diumumkan waktu itu. Di satu pihak, jika timbul
suatu hukum dari suatu peristiwa tertentu, seseorang harus mengetahui keadaan
yg sebenarnya untuk menentukan apa sebetulnya yg dinaungi hukum itu. Tidak ada
penentangan atas hukum levirat jika istri Zelafehad meninggal lebih dulu dari
dia, dan di sini hukum membatasi diri hanya sampai hal-hal seperti itu. Jadi
hukum levirat dan pengembangannya hanya berlaku, walaupun tidak bersifat
memaksa, jika tidak ada anak. #/TB Bil 27:8-11* berlaku jika hanya anak
perempuan ada, atau jika istri yg belum mempunyai anak lebih dulu meninggal
dari suaminya, atau jika saudara dari suami almarhum tidak mau mengawini janda
yg belum mempunyai anak atau jika istri itu tetap mandul kendati saudara
almarhum suaminya mengawini dia.
Dalam #/TB
Im 18:16; 20:21* seseorang dilarang mengawini istri kakaknya atau adiknya.
Dalam terang hukum levirat jelas bahwa seseorang tidak boleh mengawini iparnya
perempuan menjadi istrinya yg sah, apakah ipar perempuan itu telah diceraikan
pada masa hidup suaminya, maupun menjadi balu dengan atau tanpa anak. Yohanes
Pembaptis menempelak Herodes Antipas karena kawin dengan istri adiknya, Herodes
Filipus (#/TB Mat 14:3-4*); Herodes Filipus masih hidup waktu itu.
Dalam PB
orang Saduki menggunakan hukum levirat untuk mempermasalahkan kebangkitan (#/TB
Mat 22:23* dab).
V. PERCERAIAN
a. Dalam PL
Dalam Mat
19:8 Yesus berkata bahwa Musa ‘mengizinkan’ perceraian, hanya karena ketegaran
hati umat Israel. Artinya, Musa tidak memerintahkan perceraian, tapi mengatur
praktik hidup yg nyata ada, dan bentuk hukum dalam Ul 24:1-4 sebaiknya dipahami
dalam pengertian ini. Dan ay Ul 24:4 memuat peraturan yg nyata itu.
Bagaimanapun terjemahannya, dari bagian ini dapat disimpulkan bahwa perceraian
dipraktikkan, dan semacam perjanjian diberikan kepada si istri, kemudian sang
istri ini bebas menikah lagi.
Alasan-alasan perceraian di sini diberikan
dalam kaidah-kaidah umum, sehingga tafsiran yg tepat dan pasti tak dapat
diberikan. Suami mendapati ‘sesuatu yg tidak senonoh’ pada istrinya. Kata-kata
Ibrani ‘erwat davar (harfiah, ‘sesuatu yg telanjang’), terdapat hanya
sekali lagi sebagai ungkapan dalam Ul 23:14. Tidak lama sebelum zaman Kristus
sekolah Syammai menafsirkan ungkapan itu hanya sebagai ketidaksetiaan, tapi
sekolah Hillel memperluas artinya menjadi sesuatu yg tidak menyenangkan bagi
suami. Perlu kita ingat, bahwa Musa di sini bukanlah hendak menyatakan
dasar-dasar perceraian, tapi menerima perceraian itu sebagai fakta nyata.
Ada dua
hal yg menyebabkan perceraian dilarang: pertama, jika seseorang mengajukan
tuduhan palsu terhadap istrinya, bahwa sebelum pernikahan mereka, istri itu
sudah melakukan persetubuhan (Ul 22:13-19); kedua, jika seorang laki-laki
bersetubuh dengan seorang perempuan, dan bapak perempuan itu memaksa laki-laki
itu kawin dengan anaknya (Ul 22:28-29; Kel 22:16-17).
Ada dua
kekecualian dan yg mendesak perceraian dilakukan. Kekecualian itu ialah
orang-orang Yahudi buangan yg kembali dari pembuangan telah kawin dengan
perempuan non-Yahudi (Ezr 9; 10; Neh 13:23 dab). Dalam Mal 2:10-16 ada yg menceraikan istrinya sekalipun orang
Yahudi, supaya bisa kawin dengan perempuan non-Yahudi.
b. Dalam PB
Membandingkan ucapan Tuhan Yesus dalam Mat 5:32 dengan Mat 19:3-12; Mr
10:2-12; Luk 16:18 nampak bahwa Dia
mencap perceraian dan kawin kembali sebagai perzinaan. Tapi tidak dikatakan
bahwa manusia tidak boleh menceraikan apa yg sudah dipersatukan Allah. Kedua
bagian Mat di atas mengatakan bahwa hanya percabulan atau persundalanlah yg
boleh dijadikan dasar untuk menceraikan istri, walaupun ucapan itu alpa dalam
Mrk dan Luk. Percabulan atau persundalan di sini biasanya dianggap sama dengan
perzinaan; dan sejalan dengan itu tingkah laku umat Israel sebagai istri Yahweh
dicap sebagai perzinaan (Yer 3:2-3; Yeh
23:43); dalam Ekklus # Yeh 23:23 istri yg tidak setia dituduh melakukan zina
dalam percabulan (bnd juga 1Kor 7:2).
Alasan
mengapa ‘terkecuali’ alpa dalam Mrk
dan Luk mungkin adalah karena orang Yahudi, Romawi maupun Yunani menyangsikan
bahwa perzinaan dapat dijadikan dasar untuk perceraian, sementara para
penginjil menganggap zina hukum yg teguh. Sejalan dengan itu, dalam #/TB Rom
7:13*, sambil merujuk ke hukum Yahudi dan Romawi, rasul Paulus tidak menyebut
kemungkinan perceraian karena perzinaan, padahal hukum kedua bangsa itu
memuatnya.
Teori-teori lain mengemukakan makna lain dari ucapan Tuhan Yesus itu.
Sebagian mengenakan percabulan kepada kelakuan pra-nikah, yg diketahui oleh
suami sesudah nikah. Yg lain berpendapat bahwa kedua pihak mengetahui kemudian
bahwa mereka dalam tali kekerabatan yg terlarang menikah. Tapi yg terakhir ini
terlalu ganjil menjadi dasar kekecualian khusus dalam ucapan Tuhan Yesus itu.
Ada golongan yg mengartikan kata-kata itu menghalalkan perceraian, tapi tidak
menghalalkan kawin kembali. Namun sukar sekali menarik kesimpulan bahwa TB Mat
19:9* tidak mengizinkan menikah lagi; dan dalam kehidupan orang Yahudi tidak
terdapat perceraian tanpa boleh menikah lagi.
Ada yg meragukan keaslian TB Mr 10:12*,
karena biasanya perempuan Yahudi tidak boleh menceraikan suaminya. Tapi seorang
istri boleh mengadu ke pengadilan tentang perlakuan suaminya terhadap dia, dan
pengadilan dapat memaksa suami menceraikannya. Lagi pula, Tuhan Yesus mungkin
mengingat hukum Yunani dan Romawi, dan menurut kedua hukum itu istri boleh
menceraikan suaminya, seperti Herodias menceraikan suaminya yg pertama.
Ada
pendapat yg teguh pada golongan Protestan dan Katolik, bahwa #/TB
1Kor 7:10-16* mengemukakan dasar yg lain untuk perceraian. Di sini rasul Paulus
mengulangi ajaran yg diberikan Tuhan Yesus, tatkala Dia masih di bumi ini,
lalu, dengan pimpinan Roh Kudus, memberikan ajaran yg melebihi apa yg diberikan
oleh Tuhan Yesus, sebab situasi baru sudah timbul. Jika dalam pernikahan
non-Kristen satu pihak bertobat kepada Kristus, yg bertobat itu tak boleh
meninggalkan teman hidupnya. Tapi jika pihak yg tidak bertobat itu mendesak
perceraian, maka ‘dalam hal yg demikian saudara atau saudari tidak terikat’.
Kalimat terakhir ini tak mungkin berarti bahwa mereka bebas bercerai, tapi
harus berarti bahwa mereka bebas untuk menikah lagi. Dasar terakhir ini, yg
sekilas pandang pengenaannya terbatas, terkenal sebagai ‘keluwesan Paulus’.
Pada
zaman modern ini kekusutan pernikahan, perceraian, rujuk dan menikah lagi
melibatkan gereja menghadapi masalah pelik mengurus orang-orang yg baru percaya
dan anggota-anggota lama yg bertobat, sering terpaksa menerima kenyataan
sebagaimana adanya. Seorang yg baru percaya yg sebelumnya bercerai dengan
alasan-alasan yg sah atau tidak, dan yg sudah menikah lagi, tak dapat kembali
kepada pasangannya semula, dan pernikahan kedua tak dapat dicap sebagai
perzinaan (#/TB 1Kor 6:9,11*).
KEPUSTAKAAN.
- W. R Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia, 1903;
- E. A Westermarck, The History of Human Marriage, 3 jilid, 1922;
- H Granquist, Marriage Conditions in a Palestinian Village, 2 jilid, 1931, 1935;
- M Burrows, The Basis of Israelite Marriage, 1938;
- E Neufeld, Ancient Hebrew Marriage Laws, 1944;
- D. R Mace, Hebrew Marriage, 1953;
- John Murray, Divorce, 1953; D. S Bailey,
- The Man-Woman Relation in Christian Thought, 1959;
- R de Vaux, Ancient Israel, 1961; E Stauffer, TDNT 1, hlm 648657;
- W Gunther dll, NIDNTT 2, hlm 575-590; M. J Harris, C Brown, NIDNTT 3, hlm 534-543.
No comments:
Post a Comment