Wednesday, April 4, 2018

PERNIKAHAN & PERCERAIAN PL DAN PB

PERNIKAHAN & PERCERAIAN
PL DAN PB 

PERNIKAHAN
       Pernikahan adalah tahap kehidupan, yg dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama-sama dan menikmati seksual secara sah. Perzinaan dan persundalan adalah hubungan seksual yg tidak diakui oleh masyarakat sebagai konstitusi pernikahan. Definisi ini memperlihatkan bahwa poligami dalam PL tidak dianggap salah, karena merupakan konstitusi pernikahan yg sah diakui oleh masyarakat, walaupun umumnya terbukti tidak bijaksana.
I. Status pernikahan
          Pernikahan dianggap wajar dan dalam PL tak ada sebutan untuk ‘lajang’ atau ‘randa’. Berita tentang penciptaan Hawa (#/TB Kej 2:18-24*) menunjukkan hubungan yg unik antara suami dan istri, juga menyajikan gambar tentang hubungan Allah dengan umat-Nya (#/TB Yer 3*; #/TB Yeh 16*; #/TB Hos 1; 2; 3*) juga hubungan Kristus dengan gereja-Nya (#/TB Ef 5:22-33*). Perintah kepada Yeremia supaya tidak menikah (#/TB Yer 16:2*) adalah tanda kenabian yg unik; namun dalam PB diketahui bahwa untuk maksud-maksud tertentu melajang bisa merupakan ketentuan Allah bagi seorang Kristen (#/TB Mat 19:10-12*; #/TB 1Kor 7:7-9*), tapi pernikahan dan kehidupan berkeluarga adalah sesuatu yg wajar (#/TB Yoh 2:1-11*; #/TB Ef 5:22-6:4*; #/TB 1Tim 3:2; 4:3; 5:14*).
          Monogami secara implisit tersirat dalam cerita tentang Adam dan Hawa, sebab Allah menciptakan hanya satu istri bagi Adam. Tapi poligami dibiarkan sejak zaman Lamekh (#/TB Kej 4:19*) dan tidak dilarang dalam Alkitab. Nampaknya Allah membiarkan manusia menggumuli hal itu dengan mencari tau dari pengalamannya sendiri, bahwa monogami adalah asli aturan-Nya dan itulah hubungan yg sewajarnya. Jelas ditunjukkan bahwa poligami menimbulkan kesukaran-kesukaran, dan sering menimbulkan dosa, misalnya Abraham (#/TB Kej 21*); Gideon (#/TB Hak 8:29-9:57*); Daud (#/TB 2Sam 11;  13*); Salomo (#/TB 1Raj 11:1-8*). Belajar dari kebiasaan-kebiasaan Timur, raja-raja Israel diperingatkan supaya menentang poligami (#/TB Ul 17:17*). Kecemburuan dalam keluarga timbul karena poligami, seperti halnya kedua istri Elkana saling memusuhi (#/TB 1Sam 1:6*; bnd #/TB Im 18:18*). Sukar diketahui betapa jauh poligami dipraktikkan, tapi berdasarkan kemampuan ekonomi poligami mungkin lebih banyak di kalangan orang berada daripada orang biasa. Herodes Agung pada suatu waktu mempunyai sembilan istri (Jos., Ant. 17. 19). Sampai kini orang Yahudi yg tinggal di negeri-negeri Muslim mempraktikkan poligami.
          Sementara poligami dipraktikkan, maka status dan hubungan antar para istri dapat dikumpulkan baik dari cerita-cerita Alkitab maupun hukum. Adalah biasa jika seorang suami lebih tertarik kepada istri yg satu daripada istri yg satu lagi. Demikianlah Yakub, yg tertipu berpoligami, lebih mencintai Rahel daripada Lea (#/TB Kej 29*). Elkana lebih mengutamakan Hana kendati tidak melahirkan anak (#/TB 1Sam 1:18*). Dalam #/TB Ul 21:15-17* dikatakan bahwa seorang suami akan mencintai istri yg satu dan membenci yg lain.
          Karena anak sangat penting dalam kelanjutan nama keluarga, maka seorang istri yg mandul boleh jadi mengizinkan suaminya mengambil hambanya perempuan, untuk melahirkan anak bagi istri tersebut. Ini sah menurut hukum sipil Mesopotamia (lih Kode Hammurabi, ºº 144-147), dan dipraktikkan oleh Sara dan Abraham (#/TB Kej 16*), juga oleh Rahel dan Yakub (#/TB Kej 30:1-8*), tapi Yakub bertindak lebih jauh lagi, yakni mengambil hamba Lea juga sekalipun Lea sudah melahirkan anak bagi Yakub (#/TB Kej 30:9*). Dalam kejadian-kejadian ini hak-hak istri dijamin; istrilah yg memberikan hambanya kepada suaminya karena suatu kasus khusus. Memang sukar menentukan kedudukan apa yg dimiliki hamba perempuan dalam kasus di atas; kedudukannya cenderung sebagai ‘istri serep’ ketimbang istri kedua. Bila suami terus mempunyai hubungan seksual dengan hambanya perempuan itu, maka ia menjadi gundik. Barangkali inilah sebabnya, mengapa Bilha disebut gundik Yakub dalam Kej 35:22, sedang Hagar tidak digolongkan dalam gundik-gundik Abraham dalam  Kej 25:6.
          Istri (bagi orang Ibrani) biasanya dipilih dari perempuan Ibrani (ump  Neh 13:23-28). Pertunangan dan pernikahan dilaksanakan menurut acara-acara tertentu (lih di bawah). Kadang-kadang mereka dibeli sebagai hamba Ibrani ( Kel 21:7-11; Neh 5:5). Dikatakan bahwa kepala keluarga mempunyai hak bersetubuh dengan semua hambanya perempuan. Tentu ada contoh-contoh mencolok mengenai hal ini, tapi Alkitab tidak menyinggungnya. Perlu diperhatikan bahwa #/TB Kel 21:7-11* dan #/TB Ul 15:12* membedakan hamba perempuan biasa, yg harus dibebaskan sesudah 7 thn, dari hamba perempuan yg sengaja diambil menjadi istri, atau gundik, yg tidak boleh dengan sendirinya minta bebas. Karena hak-hak hamba perempuan yg telah dijadikan istri atau gundik itu dilindungi oleh hukum, maka kepala keluarga atau anaknya harus melaksanakan sesuatu upacara pensahihan, bagaimanapun sederhananya, sesuai hukum. Dalam membicarakan hak-haknya, acuan di atas tidak menentukan hak-hak itu tergantung pada ucapannya melampaui ucapan kepala keluarga, juga tidak tergantung pada perihal ia melahirkan seorang anak laki-laki bagi kepala keluarga itu atau bagi putranya. Sukar sekali mengatakan apa kedudukan hamba perempuan itu. Tentu kedudukan itu berbeda-beda sesuai kenyataan apakah dia istri pertama, kedua atau satu-satunya dari kepala keluarga. Jika dia diberikan kepada putra keluarga itu, dia bisa mendapat kedudukan penuh sebagai istri. Kenyataan ialah, bahwa hukum ini, seperti terlihat dari acuan terkait, menentukan haknya sebagai hamba dan bukan terutama sebagai istri.
          Istri boleh juga diambil dari tawanan perang, dengan syarat tidak boleh orang Kanaan (#/TB Ul 20:14-18*). Ada penulis yg menganggap tawanan ini sebagai gundik, tapi peraturan dalam #/TB Ul 21:10-14* memandang mereka sebagai istri biasa.
          Tidak ada hukum mengenai gundik, dan kita tidak tahu apa hak mereka. Jelas kedudukan mereka lebih rendah dari kedudukan istri, tapi anak-anak mereka bisa turut menjadi pewaris atas pertimbangan bapaknya (#/TB Kej 25:6*). Kitab Hak menceritakan bangkitnya kekuasaan Abimelekh, anak gundik Gideon (#/TB Hak 8:31-9:57*), dan mencatat peristiwa tragis seorang Lewi dengan gundiknya (#/TB Hak 19*). Kesan yg diberikan #/TB Hak 19:2-4* ialah, bahwa gundik ini bebas meninggalkan ‘suaminya’, dan hanya dengan bujukan dia dapat dibawa pulang. Daud dan Salomo mengikuti raja-raja Timur mengambil banyak istri dan gundik (#/TB 2Sam 5:13*; #/TB 1Raj 11:3*; #/TB Kid 6:8-9*). Dalam kedua ay terakhir agaknya gundik-gundik itu diambil dari golongan bawah.
          Dalam pernikahan biasa pengantin perempuan yg pindah ke rumah laki-laki. Tapi dalam #/TB Hak 14; 15* ada bentuk pernikahan lain. Inilah yg dipraktikkan oleh orang Filistin, tapi tidak oleh orang Israel. Di sini istri Simson tetap tinggal di rumah bapaknya, dan Simson yg mendatanginya. Bisa diberikan alasan bahwa Simson bermaksud membawa istrinya ke rumahnya sesudah pernikahan, tapi Simson pergi sendirian karena mengamuk sesudah istrinya menipu dia. Dan si istri masih tetap di rumah bapaknya menurut #/TB Hak 15:1*, walaupun kemudian dia dikawinkan dengan seorang Filistin.
II. Kebiasaan-kebiasaan pernikahan
          Kebiasaan-kebiasaan pernikahan dalam Alkitab berpusat pada dua peristiwa, yaitu pertunangan dan upacara pernikahan.
             a. Pertunangan
             Di Asia Barat ikatan pertunangan (menurut Talmud ‘erusin dan qiddusyin) hampir sama teguhnya dengan ikatan pernikahan. Dalam Alkitab perempuan yg sudah bertunangan kadang-kadang disebut ‘istri’ dan mempunyai tanggung jawab kesetiaan yg sama (#/TB Kej 29:21*; #/TB Ul 22:23-24*; #/TB Mat 1:18,20*), dan laki-laki yg sudah bertunangan disebut ‘suami’ (#/TB Yoel 1:8*; #/TB Mat 1:19*). Alkitab tidak memuat peraturan mengenai pertunangan yg diputus, tapi Kumpulan Undang-undang Hammurabi (ºº 159-160) mencatat bahwa jika calon suami yg memutuskan pertunangan, maka bapak perempuan berhak menahan bukti ikatan pertunangan. Tapi jika bapak calon istri yg memutuskannya, maka dia harus membayar dua kali hadiah calon suami (lih juga Kitab Undang-undang Lipit-Isytar, 29, dan Esynuna, 25). Mungkin ada pernyataan resmi, tapi pengumuman tentang hal itu tergantung pada calon ‘suami’. Demikianlah Yusuf ingin diam-diam memutuskan pertunangannya dengan Maria (#/TB Mat 1:19*).
             Kasih dan kesetiaan Allah terhadap umat-Nya digambarkan dengan pertunangan dalam ( Hos 2:20-21). Pertunangan meliputi langkah-langkah berikut:
             (i) Memilih bakal istri. Biasanya orangtua lelaki yg memilih calon istri putranya dan mengatur pernikahan, seperti dilakukan Hagar untuk Ismael (#/TB Kej 21:21*) dan Yehuda untuk Er (#/TB Kej 38:6*). Kadang-kadang si pemuda yg memilih, dan orangtuanya membicarakan pernikahan, dalam hal Sikhem (#/TB Kej 34:4,8*) dan Simson (#/TB Hak 14:2*). Jarang seorang pemuda menikah di luar kehendak orangtuanya, seperti yg dilakukan Esau (#/TB Kej 26:34-35*). Kadang-kadang sang gadis ditanyai apakah dia setuju, seperti halnya dengan Ribka (#/TB Kej 24:58*). Ada kalanya orangtua perempuan yg memilih calon suami yg pantas seperti dilakukan Naomi (#/TB Rut 3:1-2*) dan Saul (#/TB 1Sam 18:21*).
             (ii) Bertukar hadiah. Dalam Alkitab ada tiga macam hadiah berkaitan dengan pertunangan, yaitu:
             1. mohar, ‘uang jujuran’ dalam #/TB Kej 34:12*, untuk Dina; #/TB Kel 22:17*, ‘mas kawin’ untuk seorang anak perempuan yg diperkosa; #/TB 1Sam 18:25* untuk Mikhal. Walaupun tidak disebut namanya, tapi yg dimaksud adalah mohar dalam ay-ay seperti #/TB Kej 24:53*, untuk Ribka; #/TB Kej 29:18*, Yakub 7 thn mengabdi untuk mendapatkan Rahel. Bahwa Musa menggembalakan kambing domba mertuanya dapat juga ditafsirkan demikian (#/TB Kel 3:1*). Mohar merupakan uang pengganti dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dan itu memeteraikan perjanjian yg mengikat kedua pihak. Ada ahli yg menganggap mohar sebagai harga pengantin perempuan, tapi istri tidaklah dibeli seperti hamba.
             2. Pemberian atau hadiah kepada pengantin perempuan atau kepada pengantin laki-laki dari bapak perempuan, kadang-kadang berupa hamba-hamba (#/TB Kej 24:59,61*, kepada Ribka; #/TB Kej 29:24*, kepada Lea) atau tanah (#/TB Hak 1:15*, kepada Akhsa; #/TB 1Raj 9:16*, kepada anak Firaun, istri Salomo), atau harta lain (Tobit 8:21, kepada Tobias).
             3. Hadiah pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan kadang-kadang berupa permata dan pakaian, seperti yg diberikan kepada Ribka (#/TB Kej 24:53*). Contoh-contoh dalam Alkitab mengenai perjanjian lisan ialah pengabdian Yakub selama 7 thn kepada Laban (#/TB Kej 19:18*) dan janji Sikhem yg hendak memberikan hadiah-hadiah kepada keluarga Dina (#/TB Kej 34:12*). Dalam Talmud Babel janji pertunangan disebut syetar giddugin (M. K. 18b) atau sy tar erusin (Kiddushin 9a). Sekarang ini di Asia Barat tanggungan tiap pihak keluarga ditentukan dalam suatu janji pertunangan tertulis.
             b. Upacara-upacara pernikahan
             Ciri terpenting dari seluruh tata cara pernikahan ialah pengakuan khalayak umum tentang hubungan suami istri. Dapat dimaklumi bahwa tidak selalu semua hal berikut dilaksanakan dalam setiap pernikahan.
             (i) Pakaian pengantin perempuan dan pengantin laki-laki. Kadang-kadang pengantin perempuan mengenakan pakaian bersulam berwarna-warni (#/TB Mazm 45:13-14*), perhiasan (#/TB Yes 61:10*), ikat pinggang khusus (#/TB Yer 2:32*) dan telekung (#/TB Kej 24:65*). Hiasan pengantin laki-laki adalah perhiasan kepala (#/TB Yes 61:10*). #/TB Ef 5:27*; #/TB Wahy 19:8; 21:2* secara kiasan menunjuk kepada jubah putih dari gereja sebagai Mempelai Perempuan bagi Kristus.
             (ii) Teman-teman pengantin. #/TB Mazm 45:14* bicara tentang anak-anak dara pengiring tunangan raja. Tidak salah menduga bahwa pengantin dari golongan bawah pun punya dara-dara pengiring. Tentu ada juga pengiring pengantin laki-laki (#/TB Hak 14:11*), yg dalam PB disebut ‘sahabat-sahabat mempelai laki-laki’ (#/TB Mat 9:15*). Salah seorang dari sahabat itu disebut ‘pengiring’ dalam #/TB Hak 14:20; 15:2*, dan ‘sahabat mempelai laki-laki’ dalam #/TB Yoh 3:29*. Mungkin dia sama dengan ‘pemimpin pesta’ dalam #/TB Yoh 2:8-9*.
             (iii) Iring-iringan menuju rumah pengantin perempuan. Pada malam hari yg ditentukan, pengantin lelaki dengan teman-temannya dalam iring-iringan menuju rumah perempuan. Jamuan pernikahan dapat diadakan di sana: kadang-kadang keadaan memaksakan ini (#/TB Kej 29:22*; #/TB Hak 14*), tapi mungkin hal itu adalah biasa, mengingat perumpamaan Sepuluh Gadis dalam #/TB Mat 25:1-13* dapat dengan mudah diartikan, bahwa mempelai laki-laki pergi ke rumah mempelai perempuan untuk jamuan malam. Berdasarkan kebiasaan, pendapat cenderung mengatakan bahwa pengantin laki-lakilah yg membawa istrinya ke rumahnya atau ke rumah bapaknya untuk jamuan malam di sana, namun ay-ay dalam Alkitab yg mendasari ini hanyalah #/TB Mazm 45:14* dab; #/TB Mat 22:1-14* (pernikahan anak raja), dan mungkin #/TB Yoh 2:9* dab.
             Iring-iringan itu bisa disertai nyanyian-nyanyian, musik dan tari-tarian (#/TB Yer 7:34*; 1 Makabe 9:39) dan lampu, jika hari sudah malam (#/TB Mat 25:7*).
             (iv) Pesta pernikahan. Umumnya diadakan di rumah pengantin lelaki (#/TB Mat 22:1-10*; #/TB Yoh 2:9*) dan biasanya malam hari (#/TB Mat 22:13; 25:6*). Banyak sanak saudara dan handai tolan hadir; justru masuk akal kalau anggur habis (#/TB Yoh 2:3*). Seorang pengatur atau sahabat memimpin pesta itu (#/TB Yoh 2:9-10*). Menolak undangan pesta pernikahan dianggap penghinaan (#/TB Mat 22:7*). Para undangan diharapkan mengenakan pakaian pesta (#/TB Mat 22:11-12*). Dalam suasana khusus pesta boleh dilaksanakan di rumah pengantin perempuan (#/TB Kej 29:22*; Tobit 8:19). Pesta akbar kemenangan Kristus dengan orang-orang kudus-Nya di sorga kelak dikiaskan sebagai ‘perjamuan kawin Anak Domba’ (#/TB Wahy 19:9*).
             (v) Pengantin lelaki menutupi pengantin perempuan dengan kainnya. Dua kali dalam PL (#/TB Rut 3:9*, ‘kembangkanlah… sayapmu…’; #/TB Yeh 16:8*, ‘menghamparkan kain…’) laki-laki menutupi perempuan dengan kainnya, barangkali sebagai tanda bahwa dia menempatkan perempuan itu dalam lindungannya. D. R Mace mengikuti J. L Burckhardt (Notes on the Bedouin, 1830, hlm 264) mengatakan, bahwa dalam pernikahan Arab hal ini dilakukan oleh salah seorang keluarga laki-laki. J Eisler, Weltenmantel and Himmelszelt, 1910, mengatakan bahwa pada bangsa Beduin pengantin laki-laki menutupi pengantin perempuan dengan sehelai kain khusus, sambil berkata, ‘Sejak saat ini tidak seorang pun selain saya akan menutupi kau.’ Ay-ay Alkitab di atas menggambarkan bahwa kebiasaan kedualah yg diikuti.
             (vi) Berkat. Orangtua dan handai tolan memberkati kedua mempelai dan mengucapkan selamat (#/TB Kej 24:60*; #/TB Rut 4:11*; Tobit 7:13).
             (vii) Perjanjian. Satu unsur keagamaan yg lain ialah janji kesetiaan, yg terdapat dalam #/TB Ams 2:17*; #/TB Yeh 16:8*; #/TB Mal 2:14*. Menurut Tobit 7:14, bapak perempuan mengambil janji nikah yg tertulis, yg dalam Misyna disebut ketuva.
             (viii) Kamar pengantin. Kamar pengantin disediakan secara khusus (Tobit 7:16). Nama kamar ini dalam bh Ibrani ialah khuppa (#/TB Mazm 19:4*; #/TB Yoel 2:16*), aslinya suatu selubung atau tenda tersendiri, dan kata Yunaninya ialah nymfon (#/TB Mr 2:19*). Kata khuppa masih dipakai oleh orang Yahudi hingga sekarang untuk tudung yg di bawahnya kedua mempelai duduk atau berdiri selama upacara.
             (ix) Persetubuhan. Akhirnya kedua pengantin dituntun ke kamar ini, biasanya oleh orangtuanya (#/TB Kej 29:23*; Tobit 7:16-17; 8:1) atau oleh ‘sahabat-sahabat mempelai laki-laki’ (arti bh Yunani ‘anak-anak kamar pengantin’, #/TB Mat 9:15*). Sebelum bersetubuh, yg untuk itu dipakai ungkapan Ibrani ‘mengenal’, kedua suami istri berdoa lebih dulu (Tobit 8:4).
             (x) Bukti kedaraan. Pakaian dalam perempuan yg bernoda darah dijadikan bukti, bahwa dia anak dara (#/TB Ul 22:13-21*). Adat ini masih berjalan terus (sampai sekarang) di Asia Barat.

             (xi) Pesta pernikahan. Berlangsung satu minggu (#/TB Kej 29:27*, Yakub dan Lea) bahkan ada yg dua minggu (Tobit 8:20, Tobia dan Sara). Upacara-upacara ini dicirikan oleh musik (#/TB Mazm 45; 78:63*) dan senda gurau dengan teka-teki seperti Simson (#/TB Hak 14:12-18*). Ada ahli menafsirkan Kidung Agung dalam terang tradisi petani Aram, yg menyebut kedua pengantin ‘raja’ dan ‘ratu’ selama hari-hari pesta sesudah pernikahan dan memuji-muji mereka dengan nyanyian-nyanyian.
          III. Bentuk pernikahan yg dilarang
          Hal ini terperinci disebut dalam #/TB Im 18*, tapi kurang lengkap dalam #/TB Im 20:17-21*; #/TB Ul 27:20-23*. Ps-ps ini dibahas terperinci oleh David Mace, Hebrew Marriage, hlm 152 dab. Baiklah menganggap bahwa larangan itu mencakup baik larangan mengambil istri kedua selama istri pertama masih hidup, maupun larangan menikah lagi sesudah kematian istri, kecuali menikah dengan adik istri almarhumah: sebab #/TB Im 18:18* berkata, bahwa adik si istri boleh jadi belum menikah sewaktu si istri masih hidup, berarti bahwa sang adik itu boleh dinikahi sesudah istri meninggal.
          Abraham (#/TB Kej 20:12*) dan Yakub (#/TB Kej 29:21-30*) menikah dalam tali kekerabatan yg di kemudian hari dilarang. Mungkin kejahatan yg dimaksud dalam jemaat Korintus (#/TB 1Kor 5:1*) ialah perkawinan anak tiri dengan ibu tirinya, sesudah bapaknya meninggal; namun karena sebutannya ialah ‘istri ayahnya’ (bukan janda), dan tindakan itu disebut percabulan, maka mungkin sekali perbuatan itu adalah hubungan mesum dengan istri kedua usia muda dari bapaknya.
          IV. Hukum pernikahan Levirat
          Muasal istilah ini adalah kata Latin levir, artinya ‘ipar’ —‘ saudara laki-laki dari suami’. Jika suami meninggal tanpa anak, maka adiknya diharapkan akan menikahi istrinya. Anak-anak yg lahir dari pernikahan ini dianggap anak dari suami pertama. Adat ini terdapat juga di antara bangsa-bangsa lain disamping bangsa Ibrani.
          Demikianlah yg terjadi dengan Onan dalam #/TB Kej 38:8-10*. Onan mengawini janda abangnya, tapi ia tidak mau mendapat anak dari perkawinannya ini, sebab ‘bukan ia yg empunya keturunannya nanti’ (ay #/TB Kej 38:9*), dan anak-anaknya sendiri tidak akan mendapat warisan pertama. Ay ini sama sekali tidak boleh dipakai untuk menentang keluarga berencana.
          #/TB Ul 25:5-10* mengatakan bahwa hukum itu berlaku kepada kakak adik yg tinggal bersama-sama, tapi memberi izin kepada sang saudara untuk menolaknya.
          Kitab Rut menunjukkan bahwa cakupan adat itu melampaui saudara kandung suami. Di sini seorang kerabat terdekat yg tak disebut namanya, adalah yg pertama mempunyai kewajiban, dan setelah dia menolak barulah Boas menikahi Rut. Pengembangan adat itu di sini ialah bahwa yg menikah dengan Boas adalah Rut, bukan Naomi, mungkin karena Naomi sudah terlalu tua untuk melahirkan anak. Anak itu disebut ‘anak pada Naomi’ (#/TB Ul 4:17*).
          Hukum levirat tidak berlaku jika sudah ada anak perempuan, dan aturan warisan anak perempuan diterapkan kepada anak-anak perempuan Zelafehad dalam #/TB Bil 27:1-11*. Agaknya di sini ada keganjilan, sebab ay #/TB Bil 27:9-11* kelihatannya menyangkal bahkan menentang hukum levirat. Barangkali alasannya bahwa #/TB Ul 25:5-10* belum diumumkan waktu itu. Di satu pihak, jika timbul suatu hukum dari suatu peristiwa tertentu, seseorang harus mengetahui keadaan yg sebenarnya untuk menentukan apa sebetulnya yg dinaungi hukum itu. Tidak ada penentangan atas hukum levirat jika istri Zelafehad meninggal lebih dulu dari dia, dan di sini hukum membatasi diri hanya sampai hal-hal seperti itu. Jadi hukum levirat dan pengembangannya hanya berlaku, walaupun tidak bersifat memaksa, jika tidak ada anak. #/TB Bil 27:8-11* berlaku jika hanya anak perempuan ada, atau jika istri yg belum mempunyai anak lebih dulu meninggal dari suaminya, atau jika saudara dari suami almarhum tidak mau mengawini janda yg belum mempunyai anak atau jika istri itu tetap mandul kendati saudara almarhum suaminya mengawini dia.
          Dalam #/TB Im 18:16; 20:21* seseorang dilarang mengawini istri kakaknya atau adiknya. Dalam terang hukum levirat jelas bahwa seseorang tidak boleh mengawini iparnya perempuan menjadi istrinya yg sah, apakah ipar perempuan itu telah diceraikan pada masa hidup suaminya, maupun menjadi balu dengan atau tanpa anak. Yohanes Pembaptis menempelak Herodes Antipas karena kawin dengan istri adiknya, Herodes Filipus (#/TB Mat 14:3-4*); Herodes Filipus masih hidup waktu itu.
          Dalam PB orang Saduki menggunakan hukum levirat untuk mempermasalahkan kebangkitan (#/TB Mat 22:23* dab).
V. PERCERAIAN
a. Dalam PL
             Dalam Mat 19:8 Yesus berkata bahwa Musa ‘mengizinkan’ perceraian, hanya karena ketegaran hati umat Israel. Artinya, Musa tidak memerintahkan perceraian, tapi mengatur praktik hidup yg nyata ada, dan bentuk hukum dalam Ul 24:1-4 sebaiknya dipahami dalam pengertian ini. Dan ay Ul 24:4 memuat peraturan yg nyata itu. Bagaimanapun terjemahannya, dari bagian ini dapat disimpulkan bahwa perceraian dipraktikkan, dan semacam perjanjian diberikan kepada si istri, kemudian sang istri ini bebas menikah lagi.
             Alasan-alasan perceraian di sini diberikan dalam kaidah-kaidah umum, sehingga tafsiran yg tepat dan pasti tak dapat diberikan. Suami mendapati ‘sesuatu yg tidak senonoh’ pada istrinya. Kata-kata Ibrani ‘erwat davar (harfiah, ‘sesuatu yg telanjang’), terdapat hanya sekali lagi sebagai ungkapan dalam Ul 23:14. Tidak lama sebelum zaman Kristus sekolah Syammai menafsirkan ungkapan itu hanya sebagai ketidaksetiaan, tapi sekolah Hillel memperluas artinya menjadi sesuatu yg tidak menyenangkan bagi suami. Perlu kita ingat, bahwa Musa di sini bukanlah hendak menyatakan dasar-dasar perceraian, tapi menerima perceraian itu sebagai fakta nyata.
             Ada dua hal yg menyebabkan perceraian dilarang: pertama, jika seseorang mengajukan tuduhan palsu terhadap istrinya, bahwa sebelum pernikahan mereka, istri itu sudah melakukan persetubuhan (Ul 22:13-19); kedua, jika seorang laki-laki bersetubuh dengan seorang perempuan, dan bapak perempuan itu memaksa laki-laki itu kawin dengan anaknya (Ul 22:28-29; Kel 22:16-17).
             Ada dua kekecualian dan yg mendesak perceraian dilakukan. Kekecualian itu ialah orang-orang Yahudi buangan yg kembali dari pembuangan telah kawin dengan perempuan non-Yahudi (Ezr 9; 10; Neh 13:23 dab). Dalam Mal 2:10-16  ada yg menceraikan istrinya sekalipun orang Yahudi, supaya bisa kawin dengan perempuan non-Yahudi.
b. Dalam PB
             Membandingkan ucapan Tuhan Yesus dalam Mat 5:32 dengan Mat 19:3-12; Mr 10:2-12;  Luk 16:18 nampak bahwa Dia mencap perceraian dan kawin kembali sebagai perzinaan. Tapi tidak dikatakan bahwa manusia tidak boleh menceraikan apa yg sudah dipersatukan Allah. Kedua bagian Mat di atas mengatakan bahwa hanya percabulan atau persundalanlah yg boleh dijadikan dasar untuk menceraikan istri, walaupun ucapan itu alpa dalam Mrk dan Luk. Percabulan atau persundalan di sini biasanya dianggap sama dengan perzinaan; dan sejalan dengan itu tingkah laku umat Israel sebagai istri Yahweh dicap sebagai perzinaan (Yer 3:2-3;  Yeh 23:43); dalam Ekklus # Yeh 23:23  istri yg tidak setia dituduh melakukan zina dalam percabulan (bnd juga 1Kor 7:2).
             Alasan mengapa ‘terkecuali’ alpa dalam Mrk dan Luk mungkin adalah karena orang Yahudi, Romawi maupun Yunani menyangsikan bahwa perzinaan dapat dijadikan dasar untuk perceraian, sementara para penginjil menganggap zina hukum yg teguh. Sejalan dengan itu, dalam #/TB Rom 7:13*, sambil merujuk ke hukum Yahudi dan Romawi, rasul Paulus tidak menyebut kemungkinan perceraian karena perzinaan, padahal hukum kedua bangsa itu memuatnya.
             Teori-teori lain mengemukakan makna lain dari ucapan Tuhan Yesus itu. Sebagian mengenakan percabulan kepada kelakuan pra-nikah, yg diketahui oleh suami sesudah nikah. Yg lain berpendapat bahwa kedua pihak mengetahui kemudian bahwa mereka dalam tali kekerabatan yg terlarang menikah. Tapi yg terakhir ini terlalu ganjil menjadi dasar kekecualian khusus dalam ucapan Tuhan Yesus itu. Ada golongan yg mengartikan kata-kata itu menghalalkan perceraian, tapi tidak menghalalkan kawin kembali. Namun sukar sekali menarik kesimpulan bahwa TB Mat 19:9* tidak mengizinkan menikah lagi; dan dalam kehidupan orang Yahudi tidak terdapat perceraian tanpa boleh menikah lagi.
             Ada yg meragukan keaslian TB Mr 10:12*, karena biasanya perempuan Yahudi tidak boleh menceraikan suaminya. Tapi seorang istri boleh mengadu ke pengadilan tentang perlakuan suaminya terhadap dia, dan pengadilan dapat memaksa suami menceraikannya. Lagi pula, Tuhan Yesus mungkin mengingat hukum Yunani dan Romawi, dan menurut kedua hukum itu istri boleh menceraikan suaminya, seperti Herodias menceraikan suaminya yg pertama.
             Ada pendapat yg teguh pada golongan Protestan dan Katolik, bahwa #/TB 1Kor 7:10-16* mengemukakan dasar yg lain untuk perceraian. Di sini rasul Paulus mengulangi ajaran yg diberikan Tuhan Yesus, tatkala Dia masih di bumi ini, lalu, dengan pimpinan Roh Kudus, memberikan ajaran yg melebihi apa yg diberikan oleh Tuhan Yesus, sebab situasi baru sudah timbul. Jika dalam pernikahan non-Kristen satu pihak bertobat kepada Kristus, yg bertobat itu tak boleh meninggalkan teman hidupnya. Tapi jika pihak yg tidak bertobat itu mendesak perceraian, maka ‘dalam hal yg demikian saudara atau saudari tidak terikat’. Kalimat terakhir ini tak mungkin berarti bahwa mereka bebas bercerai, tapi harus berarti bahwa mereka bebas untuk menikah lagi. Dasar terakhir ini, yg sekilas pandang pengenaannya terbatas, terkenal sebagai ‘keluwesan Paulus’.
             Pada zaman modern ini kekusutan pernikahan, perceraian, rujuk dan menikah lagi melibatkan gereja menghadapi masalah pelik mengurus orang-orang yg baru percaya dan anggota-anggota lama yg bertobat, sering terpaksa menerima kenyataan sebagaimana adanya. Seorang yg baru percaya yg sebelumnya bercerai dengan alasan-alasan yg sah atau tidak, dan yg sudah menikah lagi, tak dapat kembali kepada pasangannya semula, dan pernikahan kedua tak dapat dicap sebagai perzinaan (#/TB 1Kor 6:9,11*).

KEPUSTAKAAN.
  • W. R Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia, 1903;
  • E. A Westermarck, The History of Human Marriage, 3 jilid, 1922;
  • H Granquist, Marriage Conditions in a Palestinian Village, 2 jilid, 1931, 1935;
  • M Burrows, The Basis of Israelite Marriage, 1938;
  • E Neufeld, Ancient Hebrew Marriage Laws, 1944;
  • D. R Mace, Hebrew Marriage, 1953;
  • John Murray, Divorce, 1953; D. S Bailey,
  • The Man-Woman Relation in Christian Thought, 1959;
  • R de Vaux, Ancient Israel, 1961; E Stauffer, TDNT 1, hlm 648657;
  • W Gunther dll, NIDNTT 2, hlm 575-590; M. J Harris, C Brown, NIDNTT 3, hlm 534-543.


No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...