KEJATUHAN KE DALAM DOSA
I. Berita Alkitab
Peristiwa
kejatuhan manusia ke dalam dosa sesuai #/TB Kej 3*, melukiskan bagaimana
manusia pertama — nenek moyang umat manusia, tatkala digoda oleh ular,
melanggar perintah Allah dengan memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yg
baik dan yg jahat. Inti segala dosa dipaparkan dal am dosa pertama dan asali
ini: manusia digoda untuk meragukan firman Allah (’ tentulah Allah berfirman …
bukan?’). Kemudian, manusia diarahkan supaya tidak percaya (’ Sekali-sekali
kamu tidak akan mati’), dan tidak menaatinya (’ mereka memakannya’).
Dosa ialah
pemberontakan manusia menentang kedaulatan dan otoritas Allah, dan kecongkakan
hati menganggap sanggup sendiri (’ kamu akan menjadi seperti Allah’). Akibat
dosa adalah ganda: pertama, sadar bersalah dan perpisahan ‘seketika’ dan serta
merta dari Allah (’ mereka bersembunyi’) dengan Siapa sebelumnya mereka
sehari-hari bersekutu tanpa halangan; kedua, kutuk dijatuhkan, ketetapan kerja
keras dan susah payah, duka cita dan maut bagi manusia sendiri, dan disamping
itu melibatkan seluruh tata ciptaan terhadap mana manusia adalah mahkotanya.
II. Dampaknya terhadap manusia
Oleh sebab
itu manusia adalah makhluk sesat. Pemberontakannya terhadap maksud dan tujuan
keberadaannya, yakni supaya hidup dan bertindak semata-mata demi kemuliaan
Pencipta-nya yg berdaulat, murah hati dan untuk melaksanakan kehendak-Nya, maka
hapuslah kesejatian kemanusiaannya. Kemanusiaannya yg sejati itu terdapat dalam
hal kesesuaian citranya dengan citra Allah, sebab dia diciptakan menurut citra
itu. Citra Allah itu dimanifestasikan dalam kesanggupan asli manusia
berkomunikasi dengan Penciptanya; dalam menikmati secara khusus apa yang baik;
dalam akal budinya yg memberinya kesanggupan dan perbedaan khas dari semua makhluk
lain untuk mendengar dan menanggapi Firman Allah; dalam pengetahuannya akan
kebenaran dan dalam kebebasan yg dijamin oleh pengetahuan itu; dan dalam
merajai, sebagai kepala dari segenap ciptaan Allah, dalam menaati perintah
untuk menguasai segala makhluk hidup dan menaklukkan bumi ini.
Kendati
manusia memberontak terhadap citra Allah yg telah menjadi citranya,
bagaimanapun juga manusia tak akan dapat menghapuskan citra itu, sebab itu
adalah bagian inti dari keberadaannya sebagai manusia. Hal itu, umpamanya,
jelas kelihatan dalam usahanya mengejar ilmu pengetahuan, dalam memanfaatkan
kekuatan-kekuatan alam, dalam mengembangkan kebudayaan, kesenian dan peradaban.
Tapi serentak dengan itu, semua usaha dari manusia yg sudah berdosa itu terhisab
dalam kutuk, yaitu kutuk kebalauan. Kebalauan ini sendiri adalah bukti
kesesatan hati manusia. Jadi sejarah menunjukkan, bahwa penemuan dan
kemajuan-kemajuan yg menjanjikan yg paling baik bagi umat manusia, justru
menimbulkan bencana-bencana besar akibat penyalahgunaan. Manusia yg tidak
mengasihi Allah tidak mengasihi sesamanya. Ia ditunggangi oleh egoisme. Citra
Iblis, pembenci ulung Allah dan manusia, telah ditempelkan senyawa kepadanya.
Akibat kejatuhan ke dalam dosa ialah, manusia sekarang mengetahui yg baik dan
yg jahat.
Akibat
psikologis dan etis kejatuhan ke dalam dosa, tak ada dilukiskan lebih jelas di
mana pun kecuali dalam #/TB Rom 1:18* dst. Semua manusia, betapa pun kefasikan
dan kelalimannya, mengetahui kebenaran mengenai Allah dan mereka sendiri, tapi
dengan fasiknya mereka menindas kebenaran ini (ay #/TB Rom 1:18*). Hal itu
merupakan kenyataan yg mustahil disingkirkan, sebab fakta ‘kekekalan kuasa dan
ke-Allah-an’ dari Pencipta itu, telah dimanifestasikan di dalam batin mereka,
baik melalui keberadaan mereka sebagai ciptaan Allah yg dibuat menurut
citra-Nya sendiri, juga dimanifestasikan oleh semua makhluk di sekitar mereka
dalam tatanan seluruh ciptaan, berupa alam semesta, yg memberi kesaksian
gamblang tentang asalnya sebagai karya tangan Allah (bnd ay #/TB Rom 1:19* dab,
bnd #/TB Mazm 19:1* dab). Justru, pada dasarnya, keadaan manusia bukanlah
keadaan tidak mengetahui, tapi mengetahui. Kutuk yg menimpanya ialah bahwa dia
mencintai kegelapan, bukan terang. Penolakannya untuk memuliakan Allah sebagai
Allah, dan sifatnya yg tidak berterima kasih menjerumuskan dia ke dalam
kehampaan dan kesia-siaan akal budi. Dengan angkuh manusia membanggakan dirinya
berhikmat, tapi nyatanya ia bodoh (#/TB Rom 1:21* dab)
Setelah
manusia dengan kesadaran penuh dan sengaja menjauhkan diri dari Pencipta-nya,
padahal makna keberadaannya terdapat hanya pada Allah saja, maka manusia
terpaksa mencari makna keberadaannya itu di tempat lain, sebab keterbatasannya
sebagai makhluk ciptaan membuat dia tak mungkin berhenti haus menjadi makhluk
agamawi. Dan usaha pencariannya menjurus makin bodoh dan fatal. Hal itu
menjerumuskan dia ke dalam jurang irasional berupa takhyul dan penyembahan
berhala, ke dalam kekejian dan keburukan yg luar biasa, dan ke dalam semua
kejahatan — sosial dan internasional, yg menimbulkan kebencian dan kesengsaraan
yg merongrong dunia ini. Kejatuhan manusia ke dalam dosa, singkatnya,
menjungkirbalikkan martabat asasi manusia (#/TB Rom 1:23* dab).
III. Ajaran Alkitab
Nampak
jelas, ajaran Alkitab tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa, sangat
bertentangan dengan pandangan modern yg mengatakan bahwa manusia, sebagai
makhluk, melalui perkembangan evolusi, telah berhasil bangkit dari ketakutan
purba dan ketidaktahuan yg meraba-raba seperti asal mulanya yg sederhana,
menuju keangkuhan puncak-puncak kepekaan dan pengertian keagamaan. Alkitab
tidak melukiskan manusia sebagai yg bangkit, tapi sebagai yg jatuh, ke dalam
keadaan yg sama sekali tanpa harapan. Hanya dalam latar belakang keadaan
demikianlah tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus mendapat maknanya yg
sebenarnya. Dengan iman dan bersyukur menerima pekerjaan pendamaian Kristus,
maka apa yg hilang karena kejatuhan ke dalam dosa, dipulihkan kembali kepada
manusia: martabatnya yg sebenarnya di pugar, maksud dan tujuan hidup diperoleh,
citra Allah dipulihkan, dan jalan ke Firdaus, yaitu hidup persekutuan yg erat
dengan Allah terjalin kembali.
IV. Perkembangan ajaran itu dalam
sejarah
Dalam
sejarah gereja, masalah kejatuhan ke dalam dosa dan dampaknya diperdebatkan
pada awal abad 5 M oleh Agustinus di satu pihak, dan para pembela ajaran
Pelagius di lain pihak. Pelagius mengajarkan bahwa dosa Adam berpengaruh hanya
terhadap Adam sendiri, bukan terhadap seluruh umat manusia, dan bahwa tiap
orang lahir dalam keadaan bebas dari dosa, dan sanggup dengan kekuatannya
sendiri hidup tanpa dosa, dan memang pernah ada orang yg berhasil hidup
demikian. Pertentangan ini dan implikasi-implikasinya dapat dipelajari — yg
pasti akan memberi faedah — dalam tulisan-tulisan Agustinus menentang Pelagius.
Ajaran Pelagius, yg mengandalkan totalitas kesanggupan manusia, muncul lagi
dalam ajaran Sosinius pada abad 16 dan 17, dan terus hidup dengan samaran agama
humanis modern.
Gereja RK
mengambil posisi di tengah, dengan mengajarkan bahwa apa yg hilang dari manusia
pada kejatuhan ke dalam dosa, ialah karunia keadilbenaran asli yg supra alami,
yg sebetulnya tidak termasuk pada keadaannya sebagai manusia, tapi sesuatu yg
istimewa yg ditambahkan oleh Allah (donum superadditum), dengan akibat bahwa
kejatuhan ke dalam dosa membiarkan manusia tetap dalam keadaan alaminya
sebagaimana ia diciptakan (in puris naturalibus). Manusia lebih cenderung
bersifat negatif jahat ketimbang positif; lebih bersifat di rongrong ketimbang
bersifat merongrong. Ajaran ini membentangkan jalan untuk mengandalkan
kesanggupan, bahkan keharusan bagi manusia yg belum dilahirkan kembali supaya
berupaya melalui perbuatannya untuk mencapai keselamatannya (semi-Pelagianisme,
atau sinergisme). Mengenai pandangan RK tentang manusia dan kasih karunia, lih H. J
Richards, ‘The Creation and Fall’, dalam Scripture 8, 1956, hlm 109-115.
Teologi
liberal yg muncul pada akhir-akhir ini, kendati mengakui konsepsi manusia
sebagai makhluk yg sudah jatuh ke dalam dosa, toh menyangkal ‘historisitas’
kejatuhan manusia ke dalam dosa. Teologi liberal berkata, bahwa tiap orang
ialah Adamnya orang itu sendiri. Sejalan dengan itu, bentuk-bentuk tertentu
dari filsafat eksistensialis, yg pada intinya memang menolak obyektivisme
bersejarah, gemar memakai istilah ‘keadaan sudah jatuh’ sebagai nama bagi
keadaan subyektif, dimana manusia menemukan dirinya pesimis. Tapi konsep
mengambang yg tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah dan nyata, tidak
menjelaskan apa-apa. Padahal PB secara pasti mengerti kejatuhan ke dalam dosa
sebagai peristiwa definitif dalam sejarah umat manusia — bahkan, peristiwa yg
konsekuensinya begitu gawat atas segenap umat manusia, sehingga peristiwa itu
berdiri berdampingan dan menerangkan peristiwa akbar lain dalam sejarah, yakni
kedatangan Kristus untuk menyelamatkan dunia ini (lih #/TB Rom 5:12* dab; #/TB
1Kor 15:21* dab).
Umat
manusia, bersama seluruh tata ciptaan lainnya, menantikan peristiwa sejarah yg
ketiga dan menentukan, yaitu kedatangan Kristus yg kedua kali pada akhir zaman,
tatkala seluruh akibat kejatuhan ke dalam dosa pada akhirnya dihapuskan untuk
selamanya, dan orang-orang yg tidak percaya akan dihakimi untuk penghukuman
kekal. Dan ciptaan baru, yaitu langit dan bumi baru tempat kebenaran
diberlakukan, akan ditegakkan sesuai tujuan-tujuan Allah yg mahakuasa, tujuan
yg tidak dapat berubah (lih #/TB Kis 3:20* dab; km #/TB Kis 8:19* dab; #/TB
2Pet 3:13*; #/TB Wahy 21; 22*). Dengan demikian, oleh kasih karunia Allah,
segala sesuatu yg telah hilang dalam Adam, bahkan lebih dari itu, akan
dipulihkan kembali di dalam Kristus.
KEPUSTAKAAN.
- NT Williams, The Ideas of the Fall and of Original Sin, 1927;
- J. G Machen, The Christian View of Man, 1937, ps 14;
- J Murray, The Imputation of Adam’s Sin, 1959.
No comments:
Post a Comment