Monday, April 23, 2018

FIRMAN, KESEPULUH FIRMAN


FIRMAN
       1. Ibrani davar. Akar kata ini berarti ‘hal yg ada di belakang’. Jadi dalam suatu pengertian menunjuk kepada ‘kamar di belakang rumah’, yaitu Tempat Yg Malta Kudus di Bait Suci. Dalam psikologi Ibrani, ucapan seseorang dianggap dalam pengertian tertentu sebagai sebagian dari kedirian si pembicara yg mempunyai keberadaan sendiri yg nyata. Maka ucapan atau Firman Allah dalam Alkitab ialah pernyataan diriNya sendiri, dan kata davar bisa menunjuk kepada berita-berita tersendiri yg diberikan kepada para nabi, atau kepada isi penyataan dalam keseluruhannya. Kata itu dipakai 394 kali tentang komunikasi dari Allah kepada manusia. Davar mengandung kuasa yg serupa dengan kuasa Allah yg mengucapkannya (#/TB Yes 55:11*), melaksanakan kehendak-Nya tanpa halangan, harus diperhatikan oleh para malaikat dan manusia (#/TB Mazm 103:20*; #/TB Ul 12:32*), tetap untuk selama-lamanya (#/TB Yes 40:8*), dan tak akan kembali kepada Allah tanpa digenapi lebih dahulu (#/TB Yes 55:11*). Dalam #/TB Mazm 119* davar lebih menunjuk kepada firman Allah yg tertulis.
       2. Yunani logos. (i) Latar belakang. Kata ini dipakai dalam LXX untuk menerjemahkan davar (lih di atas). Dalam bh Yunani pada dasarnya logos berarti ‘kata’, tapi kemudian berkembang dengan berbagai arti: dalam tata bh logos mengartikan kalimat yg lengkap; dalam logika mengartikan suatu pernyataan yg berdasarkan kenyataan; dalam retorika mengartikan pidato yg tersusun secara tepat.
       Dalam dunia filsafat istilah logos dipakai oleh aliran Stoa dengan mengikuti Herakleitos, untuk mengartikan kekuasaan atau tugas ilahi yg memberi kesatuan, pertalian dan makna pada alam semesta. Mereka menyebutnya logos spermatikos. Manusia dijadikan selaras dengan dasar yg sama, dan manusia itu sendiri dikatakan mempunyai logos, baik sebagai budi atau rasio (logos endiathetos) maupun sebagai kemampuan berbicara (logos proforikos). Istilah logos banyak sekali dipakai oleh ahli filsafat Filo. Ia beranggapan bahwa pikiran Yunani sudah dibayangkan dalam PL, dan ia memakai ay-ay seperti #/TB Mazm 33:6* untuk menerangkan bagaimana Allah yg transenden dapat menjadi Pencipta alam semesta dan menyatakan diriNya sendiri kepada Musa dan Bapak-bapak leluhur Israel. Ia menyamakan Logos dengan pikiran Plato tentang dunia ide-ide, sehingga kata itu mengartikan dua-duanya, baik rencana Allah maupun kuasa Allah untuk mencipta. Ia menjabarkan Logos menjadi Malaikat Yahweh dan juga Nama Yahweh dalam PL, dan menyebutnya suatu Allah yg kedua serta Manusia Idaman, pola ilahi bagi manusia yg diciptakan Allah di bumi.
       (ii) Dalam PB. Logos dipakai baik dalam arti kata biasa, maupun dengan pengertian pesan Injil Kristen (#/TB Mr 2:2*; #/TB Kis 6:2*; #/TB Gal 6:6*). Dalam Surat-surat Kiriman kita baca tentang Firman kehidupan (#/TB Fili 2:16*), Firman kebenaran (#/TB Ef 1:13*), kabar keselamatan (#/TB Kis 13:26*), berita pendamaian (#/TB 2Kor 5:19*), dan pemberitaan tentang salib (#/TB 1Kor 1:18*): dalam bh Yunani semuanya disebut logos. Logos ialah amanat dari pihak Allah yg dinyatakan dalam Yesus Kristus, yg wajib diberitakan dan ditaati.
       Pada tiga tempat kata logos dipakai secara teknis, yaitu #/TB Yoh 1:1,14*; #/TB 1Yoh 1:1-2*; #/TB Wahy 19:13*, #/TB Yoh 1:1* adalah satu-satunya kasus yg tidak meragukan. Di sini pendahuluan Injil bersifat sangat metafisis, dimana pentingnya Kristus ditafsirkan secara teologis. Silang pendapat di kalangan sarjana hanya pada masalah penentuan sumber-sumber primer dari ay-ay tersebut, dan arti logos yg paling pokok di sini. Upaya Yoh terutama hanya pada penggunaan kata davar dalam PL, atau pada ajaran para rabi mengenai Kitab Taurat. Upaya ini gagal karena konsep-konsep ini tidak jelas dibedakan dari Allah Yg Mahatinggi sehingga tetap berdiri tanpa perubahan pada ay #/TB Yoh 1:14*. Tokoh Hikmat menyediakan lebih banyak kesejajaran, tapi tidak cukup dipersamakan dengan Firman itu dalam sumber-sumber yg diteliti: ajaran mengenai Manusia Pertama atau Manusia Sorgawi yg dikemukakan oleh beberapa ahli kurang meyakinkan.
       Hanya ajaran Filo tentang Logos yg menyajikan kerangka teologis yg jelas, dimana Firman memiliki suatu kesatuan yg mirip dengan Allah dan sekaligus memiliki perbedaan dengan-Nya, mengandung kegiatan mencipta dan memelihara semesta alam, dan juga memiliki kegiatan yg bersifat menyatakan diri kepada manusia. Lebih lanjut konsep khas mengenai inkarnasi, setidak-tidaknya merupakan pengembangan yg tepat dari penyamaan Logos menurut Filo dengan Manusia Sejati. Jadi mungkin sekali di balik ini semua dijumpai penggunaan langsung dari konsep Filo atau pemikiran dari kelompok cendekiawan Yahudi yg menganut Helenisme.
       Dalam Surat #/TB 1Yoh 1:1* istilah ‘Firman Hidup’ tidak mungkin mengandung arti Logos secara teknis teologis, baik konteks maupun susunannya bertentangan dengan itu. Bahkan jika surat ini berasal dari penulis yg sama dengan penulis Injil Yoh (yg diragukan oleh beberapa ahli) surat ini mungkin berasal dari waktu yg lebih dini daripada saat diterimanya ajaran Logos yg telah berkembang penuh. Pemahaman ‘Injil Kristen’ adalah paling cocok untuk konteks ini.
       Dalam #/TB Wahy 19:13* pernahaman ‘Injil’ mungkin berada di balik pengenaan gelar Firman Allah kepada sang Pemenang (bnd #/TB Wahy 6:2* menurut beberapa penafsir tokoh yg berkuda harus diartikan Injil yg sedang berkembang dim kemenangan). Kita boleh membandingkannya dengan gambaran dalam Kebijaksanaan Salomo #/TB Wahy 18:15,16*. Tapi karena dalam Why tokoh itu jelas disebut Raja segala raja dan Tuhan segala tuan, pastilah ada lebih banyak makna metafisis yg terkandung di sini. Sifat sastra yg khas dari Why menjelaskan mengapa arti itu tidak dikembangkan di sini seperti halnya dalam Injil ke-4.
       Tiga bagian PB tersebut menggambarkan bagaimana kepenuhan Kristus secara tetap menyita semua gambaran dan pemikiran manusia; dan bagaimana bagian-bagian lain PB menuntut tafsiran berdasarkan banyak sumber, guna menyajikan keterangan terpadu. Yesus memberi makna segar terhadap istilah-istilah yg pada waktu sebelum Dia’ mengandung makna lebih terbatas.
       (iii) Dalam bentuk jamak (ta logia) istilah logos berarti seluruh PL atau suatu bagiannya yg khas. Dalam #/TB Kis 7:38* ‘firman-firman yg hidup’ menunjuk kepada Dasa Titah atau kepada seluruh isi Taurat Musa. Dalam #/TB Rom 3:2* artinya ialah PL, khususnya janji-janji Allah kepada Israel. Dalam #/TB 1Pet 4:11* pemberitaan ‘firman’ berarti pengkhotbah wajib menjaga beritanya sedemikian rupa sehingga ia seolah-olah; mengucapkan Kitab Suci yg diilhamkan. Ta Logia tampil pula dalam #/TB Ibr 5:12*, di situ diterjemahkan ‘penyataan Allah’; artinya tulang punggung ajaran Kristen, yg berhubungan dengan dasar-dasar pada PL maupun penyataan Allah yg terakhir melalui AnakNya (#/TB Ibr 1:1*). Makna teologis dari to logia ditekankan oleh 13.13 Warfield: ‘Ta logic ialah pengumuman-pengumuman Allah yg mempunyai kekuasaan, dan di hadapannya manusia berdiri dengan hormat dan menyembah dengan merendahkan diri’ (The Inspiration and Authority of the Bible, 1948, hlm 403).
       3. Yunani rhema. Kata ini berarti kata yg diucapkan, lalu menjadi inti ucapan, dan kenyataan. Kata ini juga memperoleh pengertian ‘firman Allah’, seperti logos, dan dengan demikian berarti ‘Injil Kristen’. Dalam perkembangannya timbul juga arti lain, yaitu pengakuan Kristen, yg membawa kepada keselamatan (#/TB Ef 5:26*). Rhema diterjemahkan ‘firman’ dalam mis #/TB Mat 4:4*; #/TB Luk 2:29*; #/TB Yoh 3:34*; #/TB Rom 10:8*; #/TB Ef 6:17*; #/TB Ibr 1:3*; #/TB 1Pet 1:25*.

KESEPULUH FIRMAN
       ‘Kesepuluh Firman’ atau ‘Kesepuluh Hukum’ atau ‘Dasa Titah’ (devarim; bnd #/TB Kel 34:28*; #/TB Ul 4:13; 10:4*) permulaannya diungkapkan oleh suara Allah sendiri dari puncak G Sinai, didengar oleh seluruh umat Israel (#/TB Kel 19:16-20:17*). Sesudah itu, Kesepuluh Firman itu dua kali ditulis oleh jari Allah sendiri di bagian muka dan belakang dari dua ‘loh’ batu (#/TB Kel 31:18; 32:15-16; 34:1,28*; bnd #/TB Ul 10:4*). Kedua loh batu pertama dihancurkan oleh Musa, yg menyingkapkan betapa kejinya dosa Israel karena patung anak lembu emas (#/TB Kel 32:19*). Kedua loh batu disimpan dalam tabut perjanjian (#/TB Kel 25:16; 40:20*). Di kemudian hari, Kesepuluh Firman itu disiarkan ulang oleh Musa dalam bentuk yg sedikit berubah (#/TB Ul 5:6-21*).

       Sebutan umum untuk isi kedua loh batu itu sebagai ‘Kesepuluh Hukum’, walaupun memang ada pendahulunya dalam Alkitab, cenderung tidak tepat untuk mengurangi tanggapan gereja mengenai konsep umum dari sifatnya yg asasi. Tidaklah sepatutnya Kesepuluh Firman itu digolongkan ke dalam hukum; sebab itu termasuk golongan yg lebih luas, yaitu golongan perjanjian. Peristilahan ‘perjanjian’ (berit, #/TB Ul 4:13*) dan ‘kata-kata dari perjanjian itu’ (#/TB Kel 34:28* bnd #/TB Ul 29:1,9*) diterapkan kepadanya. Isinya disamakan juga dengan ‘loh hukum’ (TBI ‘edut = loh hukum; #/TB Kel 25:16,21; 40:20*; bnd #/TB 2Raj 17:15*; peraturan-peraturan-Nya yang telah diperingatkan-Nya) yg menerangkan tata hidup perjanjian itu sebagai tata hidup yg ditetapkan dengan khidmat dan sumpah, sehingga ‘edut secara praktis menjadi searti dengan berit. Kedua loh batu itu disebut ‘loh-loh perjanjian’ (#/TB Ul 9:9,11,15*) dan ‘loh hukum’ (#/TB Kel 31:18; 32:15; 34:29*).
       Peristiwa historis ini, yaitu diberikannya penyataan asli, ialah didirikannya perjanjian teokrasi. Asas-asas yg ada dalam #/TB Kel 20:2-17*, seperti yg diperluas dan dikenakan dalam kaitan sesuatu hal dalam kitab perjanjian (#/TB Kel 20:22-23:33*) merupakan alat yg sah dalam pengesahan perjanjian itu (#/TB Kel 24:1-8*). Naskah Kitab Ul yg menyusul kemudian adalah bagian dari suatu dokumen pembaruan perjanjian.
       Jika Kitab Suci menyebut pernyataan dari kedua loh itu ‘Kesepuluh Firman’, itu dilakukannya adalah sebagai pars pro toto (artinya, bag yg mengartikan keseluruhannya). Serentak dengan itu, istilah ini beserta isinya yg lebih utama, yaitu hukum, mengisyaratkan bahwa jenis perjanjian yg digenggamnya ialah menegakkan suatu masyarakat (kerajaan) di bawah Pembuat Perjanjian sebagai Raja.
       Sifat perjanjian yg ada pada Kesepuluh Hukum ini diperjelas dan diperkuat oleh persetujuan-persetujuan (atau perjanjian-perjanjian) internasional kuno yg sejenis, yg merumuskan hubungan tuan dengan bawahan. Persetujuan macam ini dimulai dengan mukadimah pendahuluan yg menunjukkan siapa tuan perjanjian, atau si pembicara (bnd #/TB Kel 20:2*a), dan mukadimah yg bersejarah, yg menjajarkan secara khusus keuntungan-keuntungan yg dahulu dikaruniakan kepada bawahan itu karena betas kasihan dan kekuasaan dari tuan bersangkutan (bnd #/TB Kel 2:2*b).
       Lalu menyusullah kewajiban-kewajiban yg dibebankan kepada bawahan, yaitu bagian yg terpanjang. Ketentuan paling utama ialah tuntutan supaya tunduk kepada tuan perjanjian itu, atau secara negatif, pengutukan terhadap semua persekutuan dengan orang asing (bnd #/TB Kel 2:3-17*, asasnya yg pertama dan utama ialah mengasihi Yahweh dengan segenap hati, sebab Dia Allah yg cemburuan). Bagian lain menyebut kutuk dan berkat, yg akan dikenakan oleh ilah-ilah si penuntut sumpah perjanjian itu kepada para taklukannya, selaras dengan pelanggaran-pelanggaran atau kesetiaan mereka (bnd #/TB Kel 2:5*b, 6, 7b, 12b). Hal-hal lain yg sejajar ialah: gaya ‘Aku engkau’, kebiasaan untuk menaruh salinan perjanjian itu di dalam kuil kedua pihak, dan kebijaksanaan untuk melaksanakan pembaruan perjanjian dengan angkatan berikutnya dari kerajaan taklukan itu.
       Dalam pembaharuan perjanjian demikian, biasa terjadi perubahan-perubahan ketentuan dan mengadakan modernisasi secara khusus. Itulah yg dapat menerangkan adanya beberapa perbedaan dalam bentuk Kesepuluh Hukum dalam #/TB Kel 20* dan #/TB Ul 5*. Ump #/TB Ul 5:21* menambahkan ‘ladangnya’, karena pewarisan tanah Kanaan menjadi milik pusaka Israel, sekarang sudah dekat sekali dan pemilikan tanah di situ berkaitan erat dengan Kesepuluh Hukum itu.
       Dengan singkat, kedua loh hukum itu berisi saripati dari perjanjian Sinai. Yahweh, Pencipta langit, bumi, taut dengan segala isinya, ditunjukkan di sini sebagai Tuan (’ Tuhan’) perjanjian itu. Hubungan perjanjian yg bersifat teokrasi itu berdasar pada pemilihan Yahweh yg menebus dan melepaskan, dan bahwa perjanjian itu tetap berlaku terus sampai keturunan yg ke sekian ribu dan dipertanggungkan kepada rahmat-Nya yg setia. Cara hidup dalam perjanjian sudah digariskan dan diumumkan dengan penuh kekuasaan dalam Kesepuluh Firman, yaitu ukuran pengkhususan hidup Israel bagi Tuhan.
       Kenyataan yg sesungguh-sungguhnya, bahwa hukum Taurat dituangkan dalam rangka perjanjian ilahi, menunjukkan bahwa hidup yg sesuai dengan hukum Taurat adalah buah kasih karunia Yahweh, yg melepaskan dari perbudakan. Dalam kait naskah ini bahkan bentuk Kesepuluh Hukum itu bersifat negatif, adalah bertujuan untuk meluhurkan kasih karunia Allah. Walaupun Allah harus secara negatif menentang dosa manusia yg sudah jatuh itu, tapi perlawananNya tidaklah diajukan-Nya sebagai kutukan terakhir, melainkan sebagai ukuran hidup dalam lingkungan persekutuan perjanjian yg sudah dipulihkan. Maka bentuk negatif itu menjadi berupa janji Allah kepada hamba-hamba yg ditebus untuk memasuki kemenangan yg maha sempurna atas kuasa Iblis di dalam dan di luar manusia, yg hendak memperbudak manusia dalam kerajaan maut sekaligus terasing untuk selama-lamanya dari Allah. Dalam susila yg berakar pada agama yg sejenis, terdapat gerak hidup iman, pengharapan dan kasih.
       Pelaksanaan perjanjian kasih karunia itu terjadi dalam suatu perkembangan yg terus-menerus dalam perjalanan sejarah, dan di situlah pernyataan perjanjian itu dikembangkan secara organis. Karena dalam perkembangan pernyataan itu Kesepuluh Hukum tampil sebagai unsur yg tak terpisahkan, maka patutlah dasar-dasar Kesepuluh Hukum itu, yg terus-menerus berlaku, dirumuskan dalam ungkapan-ungkapan yg terkait kepada zaman Musa. Ump bentuk khas dari hukum Sabat memantulkan keadaan masa depan, pada masa eskatologi yg diumumkan oleh PL, dan janji yg ditambahkan kepada Firman yg (dan di tempat-tempat lain sehubungan dgn seluruh hukum Taurat, bnd #/TB Ul 5:33-6:3*) menggunakan gambar penjelmaan Kerajaan Allah, yg khas dari zaman itu.
Hal ini tidak mengurangi apa pun dari otoritas Kesepuluh Hukum sebagai ukuran hidup yg permanen, tapi menuntut pengenaan khusus pada saat tertentu supaya memperhitungkan kenyataan-kenyataan dalam sejarah penyelamatan sebagai tindakan menentukan yg bersifat eskatologis.
       Mengenai pembagiannya menjadi sepuluh Firman, perlu kita perhatikan kesejajaran Kesepuluh Hukum itu dengan susunan perjanjian dengan kekuasaan yg lebih tinggi. Hal ini menunjukkan kesalahan yg telah dibuat orang dalam menalar mukadimahnya dan kata pendahuluan sejarahnya sebagai suatu hukum atau perintah tersendiri. Demikian juga, bentuk larangan untuk mengingini, yg berbeda dalam #/TB Kel 20:17* dan #/TB Ul 5:21*, menentang pembagian hukum itu menjadi dua hukum atau dua perintah; dan hal di atas ini menolak keharusan untuk membuat kesalahan yg terkait seperti disinggung di atas, yaitu menggabungkannya menjadi satu hukum seperti anggapan dari kebanyakan Protestan, mengikuti tradisi tertua, sebagai hukum pertama dan hukum kedua. Kebiasaan untuk membagi Kesepuluh Hukum menjadi ‘dua loh batu’ berasal dan pengertian yg salah tentang kodrat kedua loh itu, yg sebetulnya keduanya ialah salinan yg sama.
       Apa yg disebut ‘kritikan tinggi’ menganggap bentuk Kesepuluh Firman dalam Alkitab sebagai sudah terjadi demikian akibat berbagai revisi pada kurun waktu berikutnya. Hal yg sekarang diketahui, ialah bahwa Kesepuluh Firman merupakan Perjanjian Raja dengan bawahannya, menunjukkan bahwa teori tadi adalah salah. Isi perjanjian demikian tidak di-’revisi’. Andaikata teori ini diterima, maka bentuk perjanjian yg sesuai dengan peristiwa Sinai, akan hilang. Teori lain yg mengatakan bahwa #/TB Kel 34:11-26* merupakan ‘Firman ke-10 yg primitif adalah didasarkan pada penyamaan yg salah antara ay-ay tersebut dengan Kesepuluh Firman yg disebut dalam #/TB Kel 34:28*. Sebenarnya hubungan #/TB Kel 34:5-27* dengan #/TB Kel 34:1-4,28*, adalah sama dengan hubungan #/TB Kel 20:22-23:33* dengan loh-loh batu yg asli (pertama).
KEPUSTAKAAN.
  • C Hodge, Systematic Theology, 3, 1940, hlm 271-465;
  • G Vos, Biblical Theology, 1954, hlm 145-159;
  • M. G Kline, The Structure of Biblical Authority, 1975.

No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...