FIRMAN
1. Ibrani davar. Akar kata ini berarti ‘hal yg ada di belakang’.
Jadi dalam suatu pengertian menunjuk kepada ‘kamar di belakang rumah’, yaitu
Tempat Yg Malta Kudus di Bait Suci. Dalam psikologi Ibrani, ucapan seseorang
dianggap dalam pengertian tertentu sebagai sebagian dari kedirian si pembicara
yg mempunyai keberadaan sendiri yg nyata. Maka ucapan atau Firman Allah dalam
Alkitab ialah pernyataan diriNya sendiri, dan kata davar bisa menunjuk kepada
berita-berita tersendiri yg diberikan kepada para nabi, atau kepada isi
penyataan dalam keseluruhannya. Kata itu dipakai 394 kali tentang komunikasi
dari Allah kepada manusia. Davar mengandung kuasa yg serupa dengan kuasa Allah
yg mengucapkannya (#/TB Yes 55:11*), melaksanakan kehendak-Nya tanpa halangan, harus
diperhatikan oleh para malaikat dan manusia (#/TB Mazm 103:20*; #/TB Ul
12:32*), tetap untuk selama-lamanya (#/TB Yes 40:8*), dan tak akan kembali
kepada Allah tanpa digenapi lebih dahulu (#/TB Yes 55:11*). Dalam #/TB Mazm
119* davar lebih menunjuk kepada firman Allah yg tertulis.
2. Yunani logos. (i)
Latar belakang. Kata ini dipakai dalam LXX untuk menerjemahkan davar (lih di
atas). Dalam bh Yunani pada dasarnya logos berarti ‘kata’, tapi kemudian
berkembang dengan berbagai arti: dalam tata bh logos mengartikan kalimat yg
lengkap; dalam logika mengartikan suatu pernyataan yg berdasarkan kenyataan;
dalam retorika mengartikan pidato yg tersusun secara tepat.
Dalam dunia
filsafat istilah logos dipakai oleh aliran Stoa dengan mengikuti Herakleitos,
untuk mengartikan kekuasaan atau tugas ilahi yg memberi kesatuan, pertalian dan
makna pada alam semesta. Mereka menyebutnya logos spermatikos. Manusia
dijadikan selaras dengan dasar yg sama, dan manusia itu sendiri dikatakan
mempunyai logos, baik sebagai budi atau rasio (logos endiathetos) maupun
sebagai kemampuan berbicara (logos proforikos). Istilah logos banyak sekali
dipakai oleh ahli filsafat Filo. Ia beranggapan bahwa pikiran Yunani sudah
dibayangkan dalam PL, dan ia memakai ay-ay seperti #/TB Mazm 33:6* untuk
menerangkan bagaimana Allah yg transenden dapat menjadi Pencipta alam semesta
dan menyatakan diriNya sendiri kepada Musa dan Bapak-bapak leluhur Israel. Ia
menyamakan Logos dengan pikiran Plato tentang dunia ide-ide, sehingga kata itu
mengartikan dua-duanya, baik rencana Allah maupun kuasa Allah untuk mencipta.
Ia menjabarkan Logos menjadi Malaikat Yahweh dan juga Nama Yahweh dalam PL, dan
menyebutnya suatu Allah yg kedua serta Manusia Idaman, pola ilahi bagi manusia
yg diciptakan Allah di bumi.
(ii) Dalam PB. Logos dipakai baik dalam arti kata biasa, maupun
dengan pengertian pesan Injil Kristen (#/TB Mr 2:2*; #/TB Kis 6:2*; #/TB Gal
6:6*). Dalam Surat-surat Kiriman kita baca tentang Firman kehidupan (#/TB
Fili 2:16*), Firman kebenaran (#/TB Ef 1:13*), kabar keselamatan (#/TB Kis
13:26*), berita pendamaian (#/TB 2Kor 5:19*), dan pemberitaan tentang salib
(#/TB 1Kor 1:18*): dalam bh Yunani semuanya disebut logos. Logos ialah amanat
dari pihak Allah yg dinyatakan dalam Yesus Kristus, yg wajib diberitakan dan
ditaati.
Pada tiga
tempat kata logos dipakai secara teknis, yaitu #/TB Yoh 1:1,14*; #/TB 1Yoh
1:1-2*; #/TB Wahy 19:13*, #/TB Yoh 1:1* adalah satu-satunya kasus yg tidak
meragukan. Di sini pendahuluan Injil bersifat sangat metafisis, dimana
pentingnya Kristus ditafsirkan secara teologis. Silang pendapat di kalangan
sarjana hanya pada masalah penentuan sumber-sumber primer dari ay-ay tersebut,
dan arti logos yg paling pokok di sini. Upaya Yoh terutama hanya pada penggunaan
kata davar dalam PL, atau pada ajaran para rabi mengenai Kitab Taurat. Upaya
ini gagal karena konsep-konsep ini tidak jelas dibedakan dari Allah Yg
Mahatinggi sehingga tetap berdiri tanpa perubahan pada ay #/TB Yoh 1:14*. Tokoh
Hikmat menyediakan lebih banyak kesejajaran, tapi tidak cukup dipersamakan
dengan Firman itu dalam sumber-sumber yg diteliti: ajaran mengenai Manusia
Pertama atau Manusia Sorgawi yg dikemukakan oleh beberapa ahli kurang
meyakinkan.
Hanya ajaran
Filo tentang Logos yg menyajikan kerangka teologis yg jelas, dimana Firman
memiliki suatu kesatuan yg mirip dengan Allah dan sekaligus memiliki perbedaan
dengan-Nya, mengandung kegiatan mencipta dan memelihara semesta alam, dan juga
memiliki kegiatan yg bersifat menyatakan diri kepada manusia. Lebih lanjut
konsep khas mengenai inkarnasi, setidak-tidaknya merupakan pengembangan yg
tepat dari penyamaan Logos menurut Filo dengan Manusia Sejati. Jadi mungkin
sekali di balik ini semua dijumpai penggunaan langsung dari konsep Filo atau pemikiran
dari kelompok cendekiawan Yahudi yg menganut Helenisme.
Dalam Surat
#/TB 1Yoh 1:1* istilah ‘Firman Hidup’ tidak mungkin mengandung arti Logos
secara teknis teologis, baik konteks maupun susunannya bertentangan dengan itu.
Bahkan jika surat ini berasal dari penulis yg sama dengan penulis Injil Yoh (yg
diragukan oleh beberapa ahli) surat ini mungkin berasal dari waktu yg lebih
dini daripada saat diterimanya ajaran Logos yg telah berkembang penuh.
Pemahaman ‘Injil Kristen’ adalah paling cocok untuk konteks ini.
Dalam #/TB Wahy
19:13* pernahaman ‘Injil’ mungkin berada di balik pengenaan gelar Firman Allah
kepada sang Pemenang (bnd #/TB Wahy 6:2* menurut beberapa penafsir tokoh yg
berkuda harus diartikan Injil yg sedang berkembang dim kemenangan). Kita boleh
membandingkannya dengan gambaran dalam Kebijaksanaan Salomo #/TB Wahy
18:15,16*. Tapi karena dalam Why tokoh itu jelas disebut Raja segala raja dan
Tuhan segala tuan, pastilah ada lebih banyak makna metafisis yg terkandung di
sini. Sifat sastra yg khas dari Why menjelaskan mengapa arti itu tidak
dikembangkan di sini seperti halnya dalam Injil ke-4.
Tiga bagian PB
tersebut menggambarkan bagaimana kepenuhan Kristus secara tetap menyita semua
gambaran dan pemikiran manusia; dan bagaimana bagian-bagian lain PB menuntut
tafsiran berdasarkan banyak sumber, guna menyajikan keterangan terpadu. Yesus
memberi makna segar terhadap istilah-istilah yg pada waktu sebelum Dia’
mengandung makna lebih terbatas.
(iii) Dalam bentuk jamak (ta logia)
istilah logos berarti seluruh PL atau suatu bagiannya yg khas. Dalam #/TB Kis
7:38* ‘firman-firman yg hidup’ menunjuk kepada Dasa Titah atau kepada seluruh
isi Taurat Musa. Dalam #/TB Rom 3:2* artinya ialah PL, khususnya janji-janji
Allah kepada Israel. Dalam #/TB 1Pet 4:11* pemberitaan ‘firman’ berarti
pengkhotbah wajib menjaga beritanya sedemikian rupa sehingga ia seolah-olah;
mengucapkan Kitab Suci yg diilhamkan. Ta Logia tampil pula dalam #/TB Ibr
5:12*, di situ diterjemahkan ‘penyataan Allah’; artinya tulang punggung ajaran
Kristen, yg berhubungan dengan dasar-dasar pada PL maupun penyataan Allah yg
terakhir melalui AnakNya (#/TB Ibr 1:1*). Makna teologis dari to logia
ditekankan oleh 13.13 Warfield: ‘Ta logic ialah pengumuman-pengumuman Allah yg
mempunyai kekuasaan, dan di hadapannya manusia berdiri dengan hormat dan
menyembah dengan merendahkan diri’ (The Inspiration and Authority of the Bible,
1948, hlm 403).
3. Yunani rhema. Kata ini berarti kata yg diucapkan, lalu
menjadi inti ucapan, dan kenyataan. Kata ini juga memperoleh pengertian ‘firman
Allah’, seperti logos, dan dengan demikian berarti ‘Injil Kristen’. Dalam
perkembangannya timbul juga arti lain, yaitu pengakuan Kristen, yg membawa
kepada keselamatan (#/TB Ef 5:26*). Rhema diterjemahkan ‘firman’ dalam mis #/TB
Mat 4:4*; #/TB Luk 2:29*; #/TB Yoh 3:34*; #/TB Rom 10:8*; #/TB Ef 6:17*; #/TB
Ibr 1:3*; #/TB 1Pet 1:25*.
KESEPULUH FIRMAN
‘Kesepuluh Firman’ atau ‘Kesepuluh Hukum’
atau ‘Dasa Titah’ (devarim; bnd #/TB Kel 34:28*; #/TB Ul 4:13; 10:4*)
permulaannya diungkapkan oleh suara Allah sendiri dari puncak G Sinai, didengar
oleh seluruh umat Israel (#/TB Kel 19:16-20:17*). Sesudah itu, Kesepuluh Firman
itu dua kali ditulis oleh jari Allah sendiri di bagian muka dan belakang dari
dua ‘loh’ batu (#/TB Kel 31:18; 32:15-16; 34:1,28*; bnd #/TB Ul 10:4*). Kedua
loh batu pertama dihancurkan oleh Musa, yg menyingkapkan betapa kejinya dosa Israel
karena patung anak lembu emas (#/TB Kel 32:19*). Kedua loh batu disimpan dalam
tabut perjanjian (#/TB Kel 25:16; 40:20*). Di kemudian hari, Kesepuluh Firman
itu disiarkan ulang oleh Musa dalam bentuk yg sedikit berubah (#/TB Ul
5:6-21*).
Sebutan umum
untuk isi kedua loh batu itu sebagai ‘Kesepuluh Hukum’, walaupun memang ada
pendahulunya dalam Alkitab, cenderung tidak tepat untuk mengurangi tanggapan
gereja mengenai konsep umum dari sifatnya yg asasi. Tidaklah sepatutnya
Kesepuluh Firman itu digolongkan ke dalam hukum; sebab itu termasuk golongan yg
lebih luas, yaitu golongan perjanjian. Peristilahan ‘perjanjian’ (berit, #/TB
Ul 4:13*) dan ‘kata-kata dari perjanjian itu’ (#/TB Kel 34:28* bnd #/TB Ul
29:1,9*) diterapkan kepadanya. Isinya disamakan juga dengan ‘loh hukum’ (TBI
‘edut = loh hukum; #/TB Kel 25:16,21; 40:20*; bnd #/TB 2Raj 17:15*;
peraturan-peraturan-Nya yang telah diperingatkan-Nya) yg menerangkan tata hidup
perjanjian itu sebagai tata hidup yg ditetapkan dengan khidmat dan sumpah,
sehingga ‘edut secara praktis menjadi searti dengan berit. Kedua loh batu itu
disebut ‘loh-loh perjanjian’ (#/TB Ul 9:9,11,15*) dan ‘loh hukum’ (#/TB Kel
31:18; 32:15; 34:29*).
Peristiwa
historis ini, yaitu diberikannya penyataan asli, ialah didirikannya perjanjian
teokrasi. Asas-asas yg ada dalam #/TB Kel 20:2-17*, seperti yg diperluas dan
dikenakan dalam kaitan sesuatu hal dalam kitab perjanjian (#/TB Kel
20:22-23:33*) merupakan alat yg sah dalam pengesahan perjanjian itu (#/TB Kel
24:1-8*). Naskah Kitab Ul yg menyusul kemudian adalah bagian dari suatu dokumen
pembaruan perjanjian.
Jika Kitab Suci
menyebut pernyataan dari kedua loh itu ‘Kesepuluh Firman’, itu dilakukannya
adalah sebagai pars pro toto (artinya, bag yg mengartikan keseluruhannya).
Serentak dengan itu, istilah ini beserta isinya yg lebih utama, yaitu hukum,
mengisyaratkan bahwa jenis perjanjian yg digenggamnya ialah menegakkan suatu
masyarakat (kerajaan) di bawah Pembuat Perjanjian sebagai Raja.
Sifat
perjanjian yg ada pada Kesepuluh Hukum ini diperjelas dan diperkuat oleh
persetujuan-persetujuan (atau perjanjian-perjanjian) internasional kuno yg
sejenis, yg merumuskan hubungan tuan dengan bawahan. Persetujuan macam ini
dimulai dengan mukadimah pendahuluan yg menunjukkan siapa tuan perjanjian, atau
si pembicara (bnd #/TB Kel 20:2*a), dan mukadimah yg bersejarah, yg menjajarkan
secara khusus keuntungan-keuntungan yg dahulu dikaruniakan kepada bawahan itu
karena betas kasihan dan kekuasaan dari tuan bersangkutan (bnd #/TB Kel 2:2*b).
Lalu
menyusullah kewajiban-kewajiban yg dibebankan kepada bawahan, yaitu bagian yg
terpanjang. Ketentuan paling utama ialah tuntutan supaya tunduk kepada tuan
perjanjian itu, atau secara negatif, pengutukan terhadap semua persekutuan
dengan orang asing (bnd #/TB Kel 2:3-17*, asasnya yg pertama dan utama ialah
mengasihi Yahweh dengan segenap hati, sebab Dia Allah yg cemburuan). Bagian
lain menyebut kutuk dan berkat, yg akan dikenakan oleh ilah-ilah si penuntut
sumpah perjanjian itu kepada para taklukannya, selaras dengan
pelanggaran-pelanggaran atau kesetiaan mereka (bnd #/TB Kel 2:5*b, 6, 7b, 12b).
Hal-hal lain yg sejajar ialah: gaya ‘Aku engkau’, kebiasaan untuk menaruh
salinan perjanjian itu di dalam kuil kedua pihak, dan kebijaksanaan untuk
melaksanakan pembaruan perjanjian dengan angkatan berikutnya dari kerajaan
taklukan itu.
Dalam
pembaharuan perjanjian demikian, biasa terjadi perubahan-perubahan ketentuan
dan mengadakan modernisasi secara khusus. Itulah yg dapat menerangkan adanya
beberapa perbedaan dalam bentuk Kesepuluh Hukum dalam #/TB Kel 20* dan #/TB Ul
5*. Ump #/TB Ul 5:21* menambahkan ‘ladangnya’, karena pewarisan tanah Kanaan
menjadi milik pusaka Israel, sekarang sudah dekat sekali dan pemilikan tanah di
situ berkaitan erat dengan Kesepuluh Hukum itu.
Dengan singkat,
kedua loh hukum itu berisi saripati dari perjanjian Sinai. Yahweh, Pencipta
langit, bumi, taut dengan segala isinya, ditunjukkan di sini sebagai Tuan (’
Tuhan’) perjanjian itu. Hubungan perjanjian yg bersifat teokrasi itu berdasar
pada pemilihan Yahweh yg menebus dan melepaskan, dan bahwa perjanjian itu tetap
berlaku terus sampai keturunan yg ke sekian ribu dan dipertanggungkan kepada
rahmat-Nya yg setia. Cara hidup dalam perjanjian sudah digariskan dan diumumkan
dengan penuh kekuasaan dalam Kesepuluh Firman, yaitu ukuran pengkhususan hidup
Israel bagi Tuhan.
Kenyataan yg
sesungguh-sungguhnya, bahwa hukum Taurat dituangkan dalam rangka perjanjian
ilahi, menunjukkan bahwa hidup yg sesuai dengan hukum Taurat adalah buah kasih
karunia Yahweh, yg melepaskan dari perbudakan. Dalam kait naskah ini bahkan
bentuk Kesepuluh Hukum itu bersifat negatif, adalah bertujuan untuk meluhurkan
kasih karunia Allah. Walaupun Allah harus secara negatif menentang dosa manusia
yg sudah jatuh itu, tapi perlawananNya tidaklah diajukan-Nya sebagai kutukan
terakhir, melainkan sebagai ukuran hidup dalam lingkungan persekutuan
perjanjian yg sudah dipulihkan. Maka bentuk negatif itu menjadi berupa janji
Allah kepada hamba-hamba yg ditebus untuk memasuki kemenangan yg maha sempurna
atas kuasa Iblis di dalam dan di luar manusia, yg hendak memperbudak manusia
dalam kerajaan maut sekaligus terasing untuk selama-lamanya dari Allah. Dalam
susila yg berakar pada agama yg sejenis, terdapat gerak hidup iman, pengharapan
dan kasih.
Pelaksanaan
perjanjian kasih karunia itu terjadi dalam suatu perkembangan yg terus-menerus
dalam perjalanan sejarah, dan di situlah pernyataan perjanjian itu dikembangkan
secara organis. Karena dalam perkembangan pernyataan itu Kesepuluh Hukum tampil
sebagai unsur yg tak terpisahkan, maka patutlah dasar-dasar Kesepuluh Hukum
itu, yg terus-menerus berlaku, dirumuskan dalam ungkapan-ungkapan yg terkait
kepada zaman Musa. Ump bentuk khas dari hukum Sabat memantulkan keadaan masa
depan, pada masa eskatologi yg diumumkan oleh PL, dan janji yg ditambahkan
kepada Firman yg (dan di tempat-tempat lain sehubungan dgn seluruh hukum
Taurat, bnd #/TB Ul 5:33-6:3*) menggunakan gambar penjelmaan Kerajaan Allah, yg
khas dari zaman itu.
Hal ini tidak mengurangi apa
pun dari otoritas Kesepuluh Hukum sebagai ukuran hidup yg permanen, tapi
menuntut pengenaan khusus pada saat tertentu supaya memperhitungkan
kenyataan-kenyataan dalam sejarah penyelamatan sebagai tindakan menentukan yg
bersifat eskatologis.
Mengenai
pembagiannya menjadi sepuluh Firman, perlu kita perhatikan kesejajaran
Kesepuluh Hukum itu dengan susunan perjanjian dengan kekuasaan yg lebih tinggi.
Hal ini menunjukkan kesalahan yg telah dibuat orang dalam menalar mukadimahnya
dan kata pendahuluan sejarahnya sebagai suatu hukum atau perintah tersendiri.
Demikian juga, bentuk larangan untuk mengingini, yg berbeda dalam #/TB Kel
20:17* dan #/TB Ul 5:21*, menentang pembagian hukum itu menjadi dua hukum atau
dua perintah; dan hal di atas ini menolak keharusan untuk membuat kesalahan yg
terkait seperti disinggung di atas, yaitu menggabungkannya menjadi satu hukum
seperti anggapan dari kebanyakan Protestan, mengikuti tradisi tertua, sebagai hukum
pertama dan hukum kedua. Kebiasaan untuk membagi Kesepuluh Hukum menjadi ‘dua
loh batu’ berasal dan pengertian yg salah tentang kodrat kedua loh itu, yg
sebetulnya keduanya ialah salinan yg sama.
Apa yg disebut
‘kritikan tinggi’ menganggap bentuk Kesepuluh Firman dalam Alkitab sebagai
sudah terjadi demikian akibat berbagai revisi pada kurun waktu berikutnya. Hal
yg sekarang diketahui, ialah bahwa Kesepuluh Firman merupakan Perjanjian Raja
dengan bawahannya, menunjukkan bahwa teori tadi adalah salah. Isi perjanjian
demikian tidak di-’revisi’. Andaikata teori ini diterima, maka bentuk
perjanjian yg sesuai dengan peristiwa Sinai, akan hilang. Teori lain yg
mengatakan bahwa #/TB Kel 34:11-26* merupakan ‘Firman ke-10 yg primitif adalah
didasarkan pada penyamaan yg salah antara ay-ay tersebut dengan Kesepuluh
Firman yg disebut dalam #/TB Kel 34:28*. Sebenarnya hubungan #/TB Kel 34:5-27*
dengan #/TB Kel 34:1-4,28*, adalah sama dengan hubungan #/TB Kel 20:22-23:33*
dengan loh-loh batu yg asli (pertama).
KEPUSTAKAAN.
- C Hodge, Systematic Theology, 3, 1940, hlm 271-465;
- G Vos, Biblical Theology, 1954, hlm 145-159;
- M. G Kline, The Structure of Biblical Authority, 1975.
No comments:
Post a Comment