Friday, December 8, 2017

TINGGI HATI (KETINGGIAN HATI)



TINGGI HATI (KETINGGIAN HATI)

       Tekanan yg diberikan kepada ketinggian hati dan kerendahan hati sebagai kebalikannya, menjadi ciri khas agama Alkitab, yg tiada kesejajarannya dalam agama-agama atau sistem-sistem etis lainnya. Ketinggian hati yg memberontak, yg menolak untuk bergantung kepada Allah dan takluk kepada-Nya, tapi yg memberikan kepada diri sendiri kehormatan yg seharusnya diberikan kepada Allah, dilihat sebagai akar dan hakikat dosa yg sebenarnya.
       Bersama dengan Aquinas kita boleh berkata, bahwa ketinggian hati pertama kali muncul ketika Iblis berusaha menempatkan tempat duduknya di tempat tertinggi, karena keangkuhannya menganggap dirinya tidak tergantung kepada Allah (#/TB Yes 14:12-14*). Iblis yg telah jatuh (#/TB Luk 10:18*) menanamkan keinginan untuk menjadi sama seperti Allah ke dalam diri Adam dan Hawa (#/TB Kej 3:5*). Akibatnya seluruh tabiat manusia dijangkiti ketinggian hati karena kejatuhannya (bnd #/TB Rom 1:21,22*).
       ‘Hukuman Iblis’ dihubungkan dengan kesombongan dalam #/TB 1Tim 3:6* (bnd jerat Iblis’, ay #/TB 1Tim 3:7*, #/TB 2Tim 2:26*); ketinggian hati merupakan dosanya, dan masih tetap mewujudkan jeratnya bagi manusia. Itulah sebabnya terdapat penghukuman yg terus-menerus atas ketinggian hati manusia di seluruh PL, khususnya dalam Mzm dan Kepustakaan Hikmat. Dalam #/TB Ams 8:13* kata ge’a, ‘kecongkakan’, dan ga wa, ‘kesombongan’ dibenci oleh hikmat ilahi: penjelmaannya dalam bentuk ketinggian hati kebangsaan di Moab (#/TB Yes 16:6*), Yehuda (#/TB Yer 13:9*), dan Israel (#/TB Hos 5:5*), khususnya dicela oleh para nabi. ‘Kecongkakan mendahului kehancuran’ (ga’on, ‘keunggulan yg membengkak’) disebut dalam #/TB Ams 16:18*, dan yg ditolak demi jiwa yg rendah hati. ‘Kesombongan’, govah, muncul sebagai sebab utama dari kefasikan dalam #/TB Mazm 10:4*. Kesombongan itu menyebabkan kejatuhan Nebukadnezar, demikian #/TB Dan 4:30,37*. Suatu kata yg lebih lunak, zadon, ‘kelancangan’ (sifat pemberani) diterapkan kepada kegairahan Daud yg masih muda itu dalam #/TB 1Sam 17:28*, tapi dalam #/TB Ob 1:3* kata ini dipandang sebagai kejahatan, yg memperdayakan. Selanjutnya peringatan-peringatan terhadap ketinggian hati muncul di Kepustakaan Hikmat yg lebih kemudian, ump Ekkl #/TB Ob 1:10*.
       Ajaran Yunani selama 4 abad terakhir sM, berbeda dengan ajaran Yahudi mengenai ketinggian hati sebagai kebajikan dan kerendahan hati sebagai hal yg harus dihinakan. Ajaran Aristoteles tentang ‘manusia yg berjiwa besar’ sangat menghargai keunggulan sendiri; andaikata ia menganggap rendah ketinggian hati, ia akan dicap orang yg jiwanya lemah. Demikian juga para guru Stoa meneguhkan moralnya sendiri yg bebas dan kesamaannya dengan dewa Zeus. Tapi kecongkakan (hubris) mewujudkan sumber kejahatan moral dalam lakon sedih Yunani (bnd ump Antigone dari Sofocles).
       Etika kristiani gamblang menolak gagasan Yunani dan mengutamakan pandangan PL. Kerendahan hati dikemukakan sangat tinggi mutunya pada saat Kristus mengungkapkan diriNya ‘lemah lembut dan rendah hati’ (#/TB Mat 11:29*). Sebaliknya, ketinggian hati (huperefania) ditempatkan dalam daftar kejahatan-kejahatan yg merusak, yg keluar dari hati jahat manusia (#/TB Mr 7:22*). Dalam nyanyian pujian Maria (#/TB Luk 1:51* dab) dikatakan bahwa Allah mencerai-beraikan orang-orang yg congkak dan meninggikan orang-orang yg rendah. Baik dalam #/TB Yak 4:6* maupun dalam #/TB 1Pet 5:5*; #/TB Ams 3:34* dikutip untuk menekankan perlawanan antara yg lembut (tapeinois), yg diperkenan Allah, dan yg tinggi hati (huperefanois), yg ditentang Allah. Paulus menggabungkan yg congkak (hubristas) dan yg sombong (alazonas) dengan orang-orang berdosa yg tinggi hati dalam uraian singkatnya tentang masyarakat kafir yg rusak akhlaknya dalam #/TB Rom 1:30*; bnd #/TB 2Tim 3:2*. Pameran kesombongan (alazoneia) yg memegahkan diremehkan dalam #/TB Yak 4:16* dan #/TB 1Yoh 2:16*. Dalam #/TB 1Kor 13:4* kasih dinyatakan bebas dari keduanya, kesombongan dan memegahkan dirilah yg merusak pengajar-pengajar kesesatan dalam #/TB 1Tim 6:4*.
       Paulus melihat ketinggian hati (’ menyombongkan’ pengetahuan akan Taurat dan kebenaran karena amal) sebagai roh yg mencirikan Yudaisme dan sebagai penyebab langsung ketidakpercayaan orang Yahudi. Ia tetap mempertahankan bahwa Injil direncanakan untuk mengucilkan perilaku bermegah (#/TB Rom 3:27*) dengan mengajarkan kepada manusia, bahwa mereka adalah orang berdosa dan karena itu pembenaran diri adalah mustahil dan bahwa orang harus memandang kepada Kristus untuk beroleh pembenaran dan menerimanya sebagai murni pemberian karena iman kepada-Nya. Penyelamatan ‘bukanlah karena perbuatan, supaya tiada orang yg bermegah’; semuanya itu karena kasih karunia. Karena itu tiada seorang pun, juga Abraham tidak, boleh bermegah atas jasanya bagi keselamatannya sendiri (lih #/TB Ef 2:9*; #/TB 1Kor 1:26-31*; #/TB Rom 4:1,2*). Berita Injil tentang kebenaran karena Kristus, terasa sebagai tusukan yg mematikan terhadap pembenaran diri dalam agama; itulah sebabnya mengapa ajaran itu menjadi batu sandungan bagi orang-orang Yahudi yg congkak (#/TB Rom 9:30-10:4*).
       Penekanan PB ini berdampak sangat dalam pada etika kuno dan etika abad pertengahan. Agustinus, Aquinas dan Dante, semuanya melihat ketinggian hati sebagai dosa tertinggi, sedang Milton dan Goethe mendramatisasikannya.

       KEPUSTAKAAN. ERE; Arndt; MM; R Niebuhr, The Nature and Destiny of Man, 1944-1945, ps 7; E Guting, C Brown, NIDNTT 3, hlm 27-32; G Bertram, TDNT 8, hlm 295-307, 525-529. DHT/HH/HAO

No comments:

Post a Comment

Hidup sebagai anak terang (Efesus 5:1-22)

Hidup sebagai anak terang (Efesus 5:1-22) Sebagai anak-anak terang, umat Allah hidup dengan meneladani Allah (ayat 1). Sama seperti Yesus ya...