TINGGI HATI (KETINGGIAN HATI)
Tekanan yg diberikan kepada ketinggian
hati dan kerendahan hati sebagai kebalikannya, menjadi ciri khas agama Alkitab,
yg tiada kesejajarannya dalam agama-agama atau sistem-sistem etis lainnya.
Ketinggian hati yg memberontak, yg menolak untuk bergantung kepada Allah dan
takluk kepada-Nya, tapi yg memberikan kepada diri sendiri kehormatan yg
seharusnya diberikan kepada Allah, dilihat sebagai akar dan hakikat dosa yg
sebenarnya.
Bersama dengan Aquinas kita boleh
berkata, bahwa ketinggian hati pertama kali muncul ketika Iblis berusaha
menempatkan tempat duduknya di tempat tertinggi, karena keangkuhannya
menganggap dirinya tidak tergantung kepada Allah (#/TB Yes 14:12-14*). Iblis yg
telah jatuh (#/TB Luk 10:18*) menanamkan keinginan untuk menjadi sama seperti
Allah ke dalam diri Adam dan Hawa (#/TB Kej 3:5*). Akibatnya seluruh tabiat manusia
dijangkiti ketinggian hati karena kejatuhannya (bnd #/TB Rom 1:21,22*).
‘Hukuman Iblis’
dihubungkan dengan kesombongan dalam #/TB 1Tim 3:6* (bnd jerat Iblis’, ay #/TB
1Tim 3:7*, #/TB 2Tim 2:26*); ketinggian hati merupakan dosanya, dan masih tetap
mewujudkan jeratnya bagi manusia. Itulah sebabnya terdapat penghukuman yg
terus-menerus atas ketinggian hati manusia di seluruh PL, khususnya dalam Mzm
dan Kepustakaan Hikmat. Dalam #/TB Ams 8:13* kata ge’a, ‘kecongkakan’, dan ga
wa, ‘kesombongan’ dibenci oleh hikmat ilahi: penjelmaannya dalam bentuk
ketinggian hati kebangsaan di Moab (#/TB Yes 16:6*), Yehuda (#/TB Yer 13:9*),
dan Israel (#/TB Hos 5:5*), khususnya dicela oleh para nabi. ‘Kecongkakan
mendahului kehancuran’ (ga’on, ‘keunggulan yg membengkak’) disebut dalam #/TB
Ams 16:18*, dan yg ditolak demi jiwa yg rendah hati. ‘Kesombongan’, govah,
muncul sebagai sebab utama dari kefasikan dalam #/TB Mazm 10:4*. Kesombongan
itu menyebabkan kejatuhan Nebukadnezar, demikian #/TB Dan 4:30,37*. Suatu kata
yg lebih lunak, zadon, ‘kelancangan’ (sifat pemberani) diterapkan kepada
kegairahan Daud yg masih muda itu dalam #/TB 1Sam 17:28*, tapi dalam #/TB Ob
1:3* kata ini dipandang sebagai kejahatan, yg memperdayakan. Selanjutnya
peringatan-peringatan terhadap ketinggian hati muncul di Kepustakaan Hikmat yg
lebih kemudian, ump Ekkl #/TB Ob 1:10*.
Ajaran Yunani selama 4 abad terakhir sM,
berbeda dengan ajaran Yahudi mengenai ketinggian hati sebagai kebajikan dan
kerendahan hati sebagai hal yg harus dihinakan. Ajaran Aristoteles tentang ‘manusia yg berjiwa besar’ sangat
menghargai keunggulan sendiri; andaikata ia menganggap rendah ketinggian hati,
ia akan dicap orang yg jiwanya lemah. Demikian juga para guru Stoa meneguhkan
moralnya sendiri yg bebas dan kesamaannya dengan dewa Zeus. Tapi kecongkakan
(hubris) mewujudkan sumber kejahatan moral dalam lakon sedih Yunani (bnd ump
Antigone dari Sofocles).
Etika kristiani gamblang menolak gagasan
Yunani dan mengutamakan pandangan PL. Kerendahan hati dikemukakan sangat tinggi
mutunya pada saat Kristus mengungkapkan diriNya ‘lemah lembut dan rendah hati’
(#/TB Mat 11:29*). Sebaliknya, ketinggian hati (huperefania) ditempatkan dalam
daftar kejahatan-kejahatan yg merusak, yg keluar dari hati jahat manusia (#/TB
Mr 7:22*). Dalam nyanyian pujian Maria (#/TB Luk 1:51* dab) dikatakan bahwa
Allah mencerai-beraikan orang-orang yg congkak dan meninggikan orang-orang yg
rendah. Baik dalam #/TB Yak 4:6* maupun dalam #/TB 1Pet 5:5*; #/TB Ams 3:34*
dikutip untuk menekankan perlawanan antara yg lembut (tapeinois), yg diperkenan
Allah, dan yg tinggi hati (huperefanois), yg ditentang Allah. Paulus
menggabungkan yg congkak (hubristas) dan yg sombong (alazonas) dengan
orang-orang berdosa yg tinggi hati dalam uraian singkatnya tentang masyarakat
kafir yg rusak akhlaknya dalam #/TB Rom 1:30*; bnd #/TB 2Tim 3:2*. Pameran
kesombongan (alazoneia) yg memegahkan diremehkan dalam #/TB Yak 4:16* dan #/TB
1Yoh 2:16*. Dalam #/TB 1Kor 13:4* kasih dinyatakan bebas dari keduanya,
kesombongan dan memegahkan dirilah yg merusak pengajar-pengajar kesesatan dalam
#/TB 1Tim 6:4*.
Paulus melihat ketinggian hati (’
menyombongkan’ pengetahuan akan Taurat dan kebenaran karena amal) sebagai roh
yg mencirikan Yudaisme dan sebagai penyebab langsung ketidakpercayaan orang
Yahudi. Ia tetap mempertahankan bahwa Injil direncanakan untuk mengucilkan
perilaku bermegah (#/TB Rom 3:27*) dengan mengajarkan kepada manusia, bahwa
mereka adalah orang berdosa dan karena itu pembenaran diri adalah mustahil dan bahwa
orang harus memandang kepada Kristus untuk beroleh pembenaran dan menerimanya
sebagai murni pemberian karena iman kepada-Nya. Penyelamatan ‘bukanlah karena
perbuatan, supaya tiada orang yg bermegah’; semuanya itu karena kasih karunia.
Karena itu tiada seorang pun, juga Abraham tidak, boleh bermegah atas jasanya
bagi keselamatannya sendiri (lih #/TB Ef 2:9*; #/TB 1Kor 1:26-31*; #/TB Rom
4:1,2*). Berita Injil tentang kebenaran karena Kristus, terasa sebagai tusukan
yg mematikan terhadap pembenaran diri dalam agama; itulah sebabnya mengapa
ajaran itu menjadi batu sandungan bagi orang-orang Yahudi yg congkak (#/TB Rom
9:30-10:4*).
Penekanan PB ini berdampak sangat dalam
pada etika kuno dan etika abad pertengahan. Agustinus, Aquinas dan Dante,
semuanya melihat ketinggian hati sebagai dosa tertinggi, sedang Milton dan
Goethe mendramatisasikannya.
KEPUSTAKAAN. ERE; Arndt; MM; R Niebuhr, The Nature and Destiny of Man,
1944-1945, ps 7; E Guting, C Brown, NIDNTT 3, hlm 27-32; G Bertram, TDNT 8, hlm
295-307, 525-529. DHT/HH/HAO
No comments:
Post a Comment