BERITAKANLAH
KASIH ALLAH KEPADA DUNIA
- KASIH, KEKASIH
- KASIH KARUNIA (ANUGERAH)
- KASIH MESRA
- KASIH PERSAUDARAAN
- KASIH SAYANG
- KASIH SETIA
BAB
I
KASIH,
KEKASIH
I.
Dalam PL
a. Etimologi
Kasih adalah terjemahan kata
Ibrani ‘ahev; amat luas pemakaiannya dan merupakan kata umum dengan beragam
makna sesuai kadarnya. Kata Ibrani lainnya adalah dod dan ra`ya (kasih asmara
dan objeknya wanita, khas dlm Kid), yadad (#/TB Mazm 127:2*), khasyaq (#/TB
Mazm 91:14*), khavav (hanya #/TB Ul 33:3*), ‘agav (#/TB Yer 4:30*, para
pencinta) dan rakham (#/TB Mazm 18:1*).
Kasih dalam PL, apakah yg insani
atau yg ilahi, adalah ungkapan yg paling dalam dari kepribadian sekaligus
hubungan pribadi paling akrab dan dekat. Dalam anti non agamawi ‘ahev adalah
kata yg paling umum digunakan untuk menggambarkan dorongan yg dirasakan oleh
dua insan beda jenis kelamin, yg di dalamnya tidak ada rasa pengekangan atau
rasa najis (lih Kid untuk pengungkapannya yg paling halus). Kata ini juga
digunakan untuk hubungan-hubungan pribadi (#/TB Kej 22:2; 37:3*) dan sub
pribadi (#/TB Ams 18:21*) tanpa ada kaitannya dengan dorongan seksual.
Pada dasarnya itu merupakan
kekuatan dari dalam (#/TB Ul 6:5*, ‘kekuatan’) yg mendorong untuk melakukan
suatu tindakan yg mendatangkan kegembiraan (#/TB Ams 20:13*), memperoleh objek
yg membangkitkan hasrat (#/TB Kej 27:4*), atau dalam hal pribadi untuk
melakukan pengorbanan diri demi kebaikan orang yg dikasihi (#/TB Im 19:18,34*),
dan ketaatan yg tulus (#/TB 1Sam 20:17-42*).
b. Kasih Allah kepada manusia
(i) Objeknya. Objek kasih ini terutama
adalah kelompok kolektif (#/TB Ul 4:37*, ‘nenek moyangmu’; #/TB Ams 8:17*,
‘orang yg mengasihi aku’; #/TB Yes 43:4*, ‘Israel’), walaupun implikasinya
jelas bahwa pribadi-pribadi terhisab dalam berbagai perhatian Allah yg
diberikan kepada kelompok itu. Hanya pada tiga tempat Allah digambarkan
langsung mengasihi perseorangan, dan ketiga-tiganya mengenai seorang raja (.
#/TB 2Sam 12:24* dan #/TB Neh 13:26*, Salomo; #/TB Yes 48:14*, Koresy [?]).
Hubungan yg khusus ini dapat demikian karena raja Israel, dalam arti tertentu,
dipandang sebagai anak Allah (bnd #/TB 2Sam 7:14*; #/TB Mazm 2:7; 89:25* dab),
sementara Koresy dalam naskah Yesaya mungkin adalah tokoh yg mewakili.
(ii) Bersifat pribadi. Berakar kuat pada sifat Allah sendiri. Kasih
itu lebih dalam dari kasih seorang ibu kepada anak-anaknya (#/TB Yes 49:15;
66:13*). Ini sangat jelas dalam #/TB Hos 1; 2; 3*, di mana hubungan antara nabi
itu dengan istrinya yg tidak setia, yaitu Gomer, adalah gambaran mengenai dasar
paling asasi dari perjanjian ilahi di dalam hubungan yg lebih dalam, yaitu
kasih disertai kerelaan menanggung derita, ketimbang hubungan berdasarkan
hukum. Kasih Allah adalah bagian dari kepribadian-Nya, dan tak dapat di guncang
oleh murka-Nya atau dialihkan karena ketidaktaatan obyeknya (#/TB Hos
11:1-4,7-9*; bg ini adalah acuan PL paling dekat pada deklarasi bahwa Allah
adalah kasih). Ketidaksetiaan Israel tidak akan dapat mempengaruhi kasih itu
karena, ‘Aku mengasihi engkau dengan kasih yg kekal’ (#/TB Yer 31:3*). Ancaman
‘Aku tidak akan mengasihi mereka lagi’ (#/TB Hos 9:15*) lebih baik ditafsirkan
‘tidak akan menjadi Allah mereka lagi’.
(iii) Sifatnya selektif. Kitab Ul khususnya mendasari hubungan
perjanjian antara Israel dan Allah pada kasih Allah yg terdahulu. Berbeda dari
ilah-ilah bangsa-bangsa lain, yg menjadi milik mereka karena alasan kodrati dan
geografis, Yahweh mengambil prakarsa dan memilih Israel karena Ia mengasihi
mereka (#/TB Ul 4:37; 7:6* dab; #/TB Ul 10:15*; #/TB Yes 43:4*). Kasih ini
spontan, tidak ditimbulkan oleh suatu nilai dari obyeknya, tapi bahkan
menciptakan nilai itu (#/TB Ul 7:7*). Kesimpulan bahwa Tuhan membenci mereka yg
tidak dikasihi-Nya adalah juga benar (#/TB Mal 1:2* dab). Walaupun dalam ay-ay
tertentu, terutama Yun dan Nyanyian Hamba Tuhan dalam Yes, ajaran mengenai
kasih yg universal nampak tersirat. Pengungkapan kasih secara konkrit tidak
mencolok dalam PL.
c. Kasih sebagai tugas agamawi
(i) Terhadap Allah. Mengasihi Allah dengan
totalitas diri manusia (#/TB Ul 6:5*) adalah tuntutan Allah. Ini harus
diartikan bukan hanya taat melaksanakan hukum Allah yg tidak bersifat pribadi,
tapi lebih daripada itu, yakni membangun hubungan yg sifatnya pemujaan pribadi
terhadap Allah, yg diciptakan dan didukung oleh karya Allah dalam hati manusia
(#/TB Ul 30:6*).
Kasih ini berupa pengalaman penuh
kegembiraan dalam persekutuan dengan Allah (#/TB Yer 2:2*; #/TB Mazm 18:1;
116:1*), terungkap dalam ketaatan sehari-hari melakukan perintah-perintah-Nya
(#/TB Ul 10:12*), ‘mengasihi dan beribadah kepadaNya’, #/TB Yos 22:5*,
‘mengasihi Allah dan hidup menurut segala jalan yg ditunjukkan-Nya’. Ketaatan
ini lebih berdasarkan hakikat kasih kepada Allah ketimbang perasaan. Allah
sendirilah yg akan menjadi Hakim untuk menilai kesungguhan kasih itu (#/TB Ul
13:3*).
(ii) Terhadap sesama manusia. Kasih ditetapkan oleh Allah untuk
jalinan hubungan yg normal dan ideal antar manusia, justru mengasihi dituntut
oleh hukum Allah (#/TB Im 19:18*). Larangan yg jiwanya senada, yaitu jangan
membenci seseorang, berkaitan dengan hati manusia (#/TB Im 19:17*); dan
menunjukkan jelas kedalaman bobotnya yg melebihi hubungan berdasarkan hukum.
Tidak pernah ada perintah untuk mengasihi musuh walaupun ia harus ditolong
(#/TB Kel 23:4* dab), bahkan sekalipun motivasinya mementingkan diri sendiri
(#/TB Ams 25:21* dab).
II.
Dalam PB
a. Etimologi
Kata paling umum untuk semua
bentuk kasih dalam PB adalah agape, agapao. Kata ini jarang dipakai dalam bh
Yunani klasik. Dalam pemunculannya, yg begitu sedikit, kata itu berarti kasih
yg paling tinggi dan paling mulia, yg melihat suatu nilai tak terbalas pada
obyek kasihnya. Penggunaannya dalam PB tidak langsung berasal dari bh Yunani
klasik, tapi lebih cenderung dari LXX, yg menerjemahkan 95% kasih dalam bh
Ibrani dengan kata itu, dan menggunakannya untuk menggambarkan kasih Allah
kepada manusia, kasih manusia kepada Allah, dan kasih manusia kepada sesamanya.
Keagungan yg dikandung kata itu dalam PB dilatarbelakangi penggunaannya sebagai
alat penyataan PL. Kata itu dipenuhi makna sesuai yg terkandung dalam PL.
Fileo adalah pilihan lain ganti
agapao. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kasih yg akrab (#/TB Yoh
11:3,36*; #/TB Wahy 3:19*), dan kesukaan’ untuk melakukan hal-hal yg
menggembirakan (#/TB Mat 6:5*), walaupun pemakaian kedua kata itu sering
tumpang-tindih. Banyak tafsiran mengenai #/TB Yoh 21:15-17* mengetengahkan
kecenderungan Petrus sengaja menggunakan katafilo se, dan ragu menggunakan
agapo se. Sulit dimengerti mengapa penulis dalam bh Yunani sederhana seperti
Yohanes, menggunakan kedua kata itu dalam konteks ini, kecuali ia hendak
menekankan perbedaan artinya. Tapi para ahli sungguh-sungguh mempersoalkan ada
tidaknya perbedaan arti yg jelas antara kedua kata itu. Perbedaan ini tidak
dicatat oleh penafsir zaman kuno, kecuali mungkin oleh Ambrosius (On #/TB Luk
10*) dan dalam Vulgata, yg untuk ay ini menggunakan kata diligo dan amo
menerjemahkan agapao dan fileo (B. B Warfield, ‘The Terminology
of Love in the New Testament’, PTR 16, 1918; J. H Bernard, St. John, /CC, 2,
1928, hlm 701 dst).
b. Kasih Allah
(i) Bagi Kristus. Hubungan Bapak dan Anak adalah
kasih (#/TB Yoh 3:35; 15:9*; #/TB Kol 1:13*). Ungkapan ‘yg dikasihi’ (agapetos)
kuat mengandung makna ‘satu-satunya yg dikasihi’; yg dalam Injil-injil Sinoptik
digunakan hanya untuk Kristus, baik langsung (#/TB Mat 17:5*; #/TB Mr 1:11*)
maupun tidak langsung (#/TB Mat 12:18*; #/TB Mr 12:6*). (B. W Bacon, ‘Jesus’
Voice from Heaven’, American Journal of Theology, 9, 1905, hlm 451 dst.) Kasih
ini dibalas dan bersifat timbal-balik (#/TB Yoh 14:31*; bnd #/TB Mat 11:27*).
Karena kasih ini secara historis mendahului penciptaan (#/TB Yoh 17:24*), maka
walaupun baru dikenal oleh manusia tatkala dinyatakan dalam Yesus Kristus dan
dalam penebusan (#/TB Rom 5:8*), kasih itu merupakan hakikat Allah sendiri (#/TB
1Yoh 4:8,16*); Yesus Kristus yg adalah kasih yg menjadi manusia dan menjadi
pribadi (#/TB 1Yoh 3:16*, ‘bahwa Dia’) adalah penyataan diri Allah.
(ii) Bagi manusia. Dalam Injil-injil Sinoptik
tidak ada catatan bahwa Yesus menggunakan kata agapao atau fileo untuk
menggambarkan kasih Allah kepada manusia. Yesus menyatakannya melalui sekian
tindakan penyembuhan berdasarkan kasih (#/TB Mr 1:41*; #/TB Luk 7:13*),
ajaran-Nya mengenai Allah menerima orang berdosa (#/TB Luk 15:11* dab; #/TB Luk
18:10* dab), kesedihan-Nya karena ketidaktaatan manusia (#/TB Mat 23:37*; #/TB
Luk 19:41* dab), dan tindakan-Nya menjadi sahabat (filos) pemungut cukai dan
orang-orang yg tersisih (#/TB Luk 7:34*). Tindakan-Nya yg menyelamatkan ini
dinyatakan dalam Yoh sebagai penyataan kasih Allah, membagikan realita hidup
abadi kepada manusia (#/TB Yoh 3:16*; #/TB 1Yoh 4:9* dab). Seluruh drama
penebusan, yg memusat pada kematian Kristus, adalah kasih Allah dalam tindakan
nyata (#/TB Gal 2:20*; #/TB Rom 5:8*; #/TB 2Kor 5:14*).
Seperti halnya dalam PL, kasih
Allah bersifat selektif. Obyeknya bukan lagi Israel lama, tapi Israel baru,
gereja (#/TB Gal 6:16*; #/TB Ef 5:25*). Kasih Allah dan pemilihan-Nya berkaitan
erat, tidak hanya dalam tulisan-tulisan Paulus, tapi gamblang pada
ucapan-ucapan Yesus sendiri (#/TB Mat 10:5* dab; #/TB Mat 15:24*). Mereka yg
tidak disentuh oleh kasih Allah yg memberi hidup, adalah ‘orang-orang yg harus
dimurkai’ (#/TB Yoh 3:35* dab; #/TB Ef 2:3* dab) dan anak-anak Iblis (#/TB Yoh
8:44*). Namun maksud Allah adalah jelas, yaitu keselamatan seluruh dunia (#/TB
Mat 8:5; 28:19*; #/TB Rom 11:25* dab), yakni obyek utama dari kasih-Nya (#/TB
Yoh 3:16; 6:51*), melalui pemberitaan Injil (#/TB Kis 1:8*; #/TB 2Kor 5:19*).
Dalam jiwa perjanjian baru manusia sebagai perseorangan dikasihi oleh Allah
(#/TB Gal 2:20*), kendati jawaban terhadap kasih-Nya itu menyangkut
keterlibatan dalam persekutuan umat Allah (#/TB 1Pet 2:9* dab umum dipandang
mempunyai konteks dgn upacara baptisan).
c. Kasih sebagai tugas agamawi
(i) Terhadap Allah. Keadaan manusia alamiah adalah musuh Allah
(#/TB Rom 5:10*; #/TB Kol 1:21*), yg membenci-Nya (#/TB Luk 19:14*; #/TB Yoh
15:18* dab). Permusuhan ini nampak mencolok pada peristiwa penyaliban. Keadaan
demikian diubah ke dalam bentuk kasih oleh tindakan Allah mengasihi manusia
(#/TB 1Yoh 4:11,19*). Kasih Allah kepada manusia dan kasih manusia kepada Allah
demikian erat hubungannya, sehingga sering sulit menentukan apakah ungkapan
‘kasih Allah’ berarti kasih yg ditunjukkan Allah atau kasih manusia terhadap
Allah (mis #/TB Yoh 5:42*).
Yesus, menerima dan
menggarisbawahi Syema Israel dengan otoritas-Nya sendiri (#/TB Mr 12:28* dab),
dan menekankan agar manusia memilih untuk mengasihi Allah dan diriNya sekalipun
penentangan terhadap itu teramat keras (#/TB Mat 6:24; 10:37* dab; #/TB Luk
11:42*; #/TB Yoh 3:19*). Namun Ia lebih suka berbicara tentang hubungan ideal
antara manusia dengan Allah sebagai hubungan iman (#/TB Mat 9:22*; #/TB Mr 4:40*).
Kata kasih nampaknya tidak cukup memberi penekanan pada penyerahan diri dengan
kerendahan hati, yg Yesus anggap adalah vital dalam hubungan manusia dengan
Allah. Dengan demikian dan kendati kasih kepada Allah, yg diterapkan dalam
pelayanan kepada sesama manusia terkandung dalam bagian-bagian lain PB (#/TB
1Kor 2:9*; #/TB Ef 6:24*; #/TB 1Yoh 4:20; 5:2* dab), para penulis umumnya
mengikuti Yesus dan menggunakan istilah iman.
(ii) Terhadap sesama manusia. Seperti dalam PL, saling
mengasihi adalah hubungan ideal antar manusia. Yesus memperbaiki pemikiran
orang Yahudi waktu itu dalam dua arah. (a) Ia mempertahankan bahwa perintah
untuk mengasihi sesama bukanlah aturan yg mengandung pembatasan (#/TB Luk
10:29*), seperti yg nampak pada tafsiran para rabi mengenai #/TB Im 19:18*;
tapi bahwa sesama adalah obyek pertama dari kasih itu, sebab terdekat, dan yg
menjadi ciri khas hati seorang Kristen (#/TB Luk 10:25-37*). (b) Ia memperluas
wawasan perintah ‘mengasihi sesama’ hingga mencakup musuh dan penganiaya (#/TB
Mat 5:44*; #/TB Luk 6:27*), sekalipun tidak ada orang kecuali umat baru milik
Allah yg dapat diharapkan memiliki sikap demikian; sebabnya ialah karena
tuntutan itu terhisab dalam zaman baru (#/TB Mat 5:38* dab), menyangkut
anugerah adikodrati (’ upah’, #/TB Mat 5:46*; ‘jasa’, #/TB Luk 6:32* dab;
‘lebihnya’, #/TB Mat 5:47*), dan ditujukan kepada sekelompok ‘pendengar’ (#/TB
Luk 6:27*) yg dibedakan dengan tajam dari kelompok orang-orang berdosa (#/TB
Luk 6:32* dab) dan para pemungut cukai (#/TB Mat 5:46* dab).
Sikap yg baru ini jauh dari
utopianisme sentimental, karena itu harus diwujudkan dalam perbuatan praktis
kepada mereka yg membutuhkannya (#/TB Luk 10:33* dab), itu juga bukan kebajikan
yg dangkal, karena menuntut tanggapan kasih yg mendasar dari hati seseorang
(#/TB 1Kor 13* passim) terhadap kasih Allah yg mendahuluinya (#/TB 1Yoh 4:19*),
dan apakah buah Roh Kudus telah nyata sebagai realita dalam diri seseorang
(#/TB Gal 5:22*).
Bentuk khas kasih ini dalam PB adalah
kasih antar sesama orang Kristen (#/TB Yoh 15:12,17*; #/TB Gal 6:10*; #/TB 1Pet
3:8; 4:8*; #/TB 1Yoh 2:10; 3:14*), kasih kepada orang lain yg dinyatakan dalam
upaya pemberitaan Injil (#/TB Kis 1:8; 10:45*; #/TB Rom 1:15* dab), dan dalam
menanggung penganiayaan dengan sabar (#/TB 1Pet 2:20*). Orang Kristen mengasihi
saudaranya karena: (a) meneladani kasih Allah (#/TB Mat 5:43,45*; #/TB Ef 5:2*;
#/TB 1Yoh 4:11*); (b) bagi dia, saudara itu adalah orang yg untuknya Kristus
telah mati (#/TB Rom 14:15*; #/TB 1Kor 8:11*); (c) ia melihat dalam diri
saudara itu Kristus sendiri (#/TB Mat 25:40*). Perilaku saling mengasihi ini,
yg terwujud dalam persekutuan umat Kristen (#/TB Ef 4:2* dab; #/TB Fili 2:1*
dab) adalah ciri khas dari realita kemuridan Kristen bagi dunia luar (#/TB Yoh
13:35*).[1]
BAB
II
KASIH
KARUNIA (ANUGERAH)
I. Dalam PL
Kasih karunia dipakai sebagai
terjemahan bh Ibrani khen. Kata ini berarti perbuatan atasan (dapat juga Allah)
yg menunjukkan kepada bawahannya kasih karunia, padahal sebenarnya bawahan itu
tidak layak menerimanya: mis #/TB Kej 6:7*; #/TB Kel 33:17*; #/TB Bil 6:25*.
Memang, tiada manusia yg dapat menunjukkan khen kepada Allah. PL menjelaskan,
Allah memilih Bapak-bapak leluhur Israel dan Israel juga, hanya atas dasar
kasih karunia-Nya. Sama sekali tidak ada jasa atau kebenaran dalam mereka, yg
dapat dianggap alasan bagi pemilihan itu, #/TB Ul 7:7-8*, bnd #/TB Ul 8:18*.
Dalam membuat perjanjian Sinai, seperti dulu dalam membuat perjanjian Abraham,
prakarsa dari Allah datangnya. Nabi-nabi juga, yg menekankan perlunya
pertobatan, mengakui bahwa hati yg baru harus diperoleh sebagai karunia dari
Tuhan (#/TB Yeh 36:26*; #/TB Yer 31:31-34*), artinya, berdasarkan kasih
karunia-Nya.
II. Dalam PB
Kata Yunani kharis adalah kata yg
biasa dipakai untuk menerjemahkan kata Ibrani khen. Kata kerja kharizesthai
dipakai untuk menunjukkan arti pengampunan, dari manusia dan juga dari Allah
(#/TB Kol 2:13; 3:13*; #/TB Ef 4:32*).
a. Injil-injil Sinoptis
Terlepas dari perkataan kharis, yg
tidak pernah dikenakan pada ucapan Yesus, gagasan tentang kasih karunia sangat
jelas. Yesus berkata bahwa Ia datang untuk mencari dan menyelamatkan yg hilang.
Banyak dari perumpamaan-Nya mengajarkan kasih karunia. Perumpamaan para pekerja
kebun anggur (#/TB Mat 20:1-16*) mengajarkan bahwa Allah tidak dapat didakwa
oleh siapa pun atas pemberian anugerahNya. Perumpamaan tentang perjamuan besar
(#/TB Luk 14:16-24*) menunjukkan bahwa hak istimewa rohaniah tidak menjamin
kebahagiaan akhir, dan bahwa undangan Injil ditujukan kepada semua orang. Anak
yg hilang diterima kembali oleh bapaknya dengan cara yg sebenarnya sang anak
tidak layak menerimanya (#/TB Luk 15:20-24*). Pertobatan ditekankan sebagai
syarat untuk menerima keselamatan (#/TB Mr 1:15; 6:12*; #/TB Luk 24:47*). Iman
juga mempunyai tempatnya (mis #/TB Mr 1:15*; #/TB Luk 7:50*), kendati tidak ada
pernyataan teologis pada tema-tema Paulus.
b. Tulisan-tulisan Lukas
Baik Injil maupun Kis perlu
diperhatikan secara khusus. Lukas memperlihatkan keluwesan dalam hubungan
dengan pokok ini. Bahkan pengertian yg tidak religius dari kata kharis, yaitu
usaha baik yg dibuat oleh seseorang kepada orang lain, muncul dalam #/TB Kis
24:27; 25:3,9*. Pengertian PL tentang ‘kemurahan hati’ terlihat dalam #/TB Luk
1:30; 2:52*; #/TB Kis 2:47; 7:10,46*. Pengertian dinamis tentang kasih karunia
yg menimbulkan keberanian yg sungguh dan kesaksian yg efektif muncul dalam #/TB
Kis 4:33; 11:23; 13:43* dan digunakan bila membicarakan seruan universal dari
Injil. Lukas juga mempertemukan istilah ‘injil’ (’ perkataan’) dan ‘kasih
karunia’ (#/TB Luk 4:22*; #/TB Kis 14:3; 20:24*) dengan cara yg bahkan Paulus
pun tidak melakukannya.
c. Surat-surat Paulus
Perkataan ‘kharis’ mempunyai
tempat utama dalam salam pembukaan dan ucapan syukur penutup dalam Surat-surat
Paulus, dan ditambahkan pada ucapan salam ‘damai’ yg biasa. Dasar dari ajaran
Paulus terdapat dalam #/TB Rom 1:16-3:20*. Manusia dinyatakan berdosa, tapi
oleh kasih karunia dibenarkan (#/TB Rom 3:21-4:25*), yaitu Allah dalam kasih
karunia-Nya memperlakukan dia, walaupun bersalah, seakan-akan ia tidak pernah
berbuat dosa.
Iman adalah tanggapan manusia atas
kasih karunia Allah (#/TB Rom 5:2; 10:9*; #/TB Ef 2:8*). Iman ini adalah
pemberian Allah (#/TB Ef 2:8*); kata-kata ‘bukan hasil usahamu’ mungkin
dikaitkan dengan sesosmenoi (’ diselamatkan’), tapi Paulus mencoba untuk
menunjukkan bahwa perkataan ‘iman’ tidak dimaksudkan untuk menyatakan suatu
tindakan bebas pada pihak orang percaya, lih juga #/TB 2Kor 4:13*; #/TB Fili
1:29*. Iman ini, meskipun menyatakan bahwa tidak ada keselamatan melalui hukum,
bukanlah tidak etis. Iman secara moral dengan sendirinya adalah vital. Iman
‘bekerja oleh kasih’ (#/TB Gal 5:6*). C. A Scott (Christianity according to St.
Paul, 1927, hlm 111) mengatakan bahwa mulai dari saat iman bekerja, suatu
transformasi pandangan etis secara ideal sudah ada di sana.
Kedudukan orang percaya dalam
anugerah dijelaskan, bukan oleh sesuatu dalam dirinya, tapi oleh kehendak Allah.
Ajaran tentang pemilihan mempunyai 2 fungsi: ia mengawasi kebebasan manusia dan
pembenaran dirinya, dan menunjukkan bahwa dalam melimpahkan karunia-Nya, Allah
adalah bebas sama sekali (#/TB Ef 1:1-6*; #/TB 2Tim 1:9*; #/TB Tit 3:5*).
Setiap langkah dalam proses kehidupan Kristen tergantung pada kasih karunia —
#/TB Gal 1:15* (panggilan); #/TB 2Tim 2:25* (pertobatan); #/TB Ef 2:8,9*
(iman). Dalam #/TB Rom 8:28-30* Paulus memandang pekerjaan Allah sejak dari
panggilan sampai kepada kemuliaan orang yg dibenarkan-Nya. Tapi ia tidak
mengabaikan tanggung jawab manusia. Ketaatan (#/TB Rom 1:5; 6:17*) adalah sikap
moral, dan tidak dapat dijadikan sesuatu yg lain. Seorang manusia dari dirinya
sendiri mustahil berbalik kepada Tuhan (#/TB 2Kor 3:16*). Kedua sisi tersebut
dipertemukan dalam #/TB Rom 9; 10*. Ps 9 berisi pernyataan yg paling kuat
terhadap predestinasi ganda, sedangkan ps 10 menyatakan bahwa penolakan oleh
Allah disebabkan oleh ketidakpercayaan dan ketidaktaatan. Tapi harus diingat
bahwa pokok utama dari ps-ps ini bukanlah keselamatan perseorangan, tapi adalah
fungsi-fungsi kolektif dari orang-orang yg dipilih Allah untuk melaksanakan
maksud-Nya.
#/TB Rom 6* memakai gambaran
baptisan untuk mengajarkan penaklukan dosa oleh kasih karunia. Lih juga #/TB
1Kor 6:11; 12:13*; #/TB Ef 5:26*; #/TB Kol 2:12*; #/TB Tit 3:5*. H Wheeler
Robinson (The Christian Doctrine of Man, 1926, hlm 124-125) berpendapat bahwa
baptisan orang percaya bukanlah semata-mata merupakan lambang yg ilustratif,
tapi adalah aspek obyektif dari apa yg secara subyektif adalah iman. Orang
mungkin memperdebatkan bahwa baptisan anak-anak adalah suatu cara anugerah,
karena anak adalah lambang ketidaksanggupan dan ketidakberdayaan manusia. Pandangan-pandangan
ini rupanya bertentangan dengan penekanan Paulus yg tidak berubah tentang iman.
d. Tulisan-tulisan PB yg lain
(i) 1 Ptr. Rasul Petrus menekankan kasih karunia
dalam ps 1 dan 2 pada hubungan yg lazim dengan pemilihan dan warisan dalam
perjanjian: pada #/TB Tit 3:7* terdapat ungkapan yg luar biasa ‘kasih karunia
kehidupan’. Kasih karunia juga dipakai dalam #/TB 1Pet 5:10* berkaitan dengan
kemuliaan yg akan datang bagi orang percaya.
(ii) Surat Ibr. Penulis menggunakan banyak
perkataan yg artinya adalah kasih karunia. Dalam #/TB 1Pet 2:9* kasih karunia
Allah dihubungkan dengan penderitaan Kristus. Perkataan kharis digunakan di
#/TB Ibr 12:28* dalam hubungan dengan ucapan syukur manusia kepada Allah. Kasih
karunia dipandang panggilan pengabdian diri dalam #/TB Ibr 12:14,15*. Ungkapan
yg mencolok ‘takhta kasih karunia’ dalam #/TB Ibr 4:16* mempersatukan keagungan
Allah dan kasih karunia-Nya. Ungkapan segar yg lain dalam #/TB Ibr 10:29*,
adalah ‘Roh kasih karunia’.
,( iii) Surat-surat Yohanes. Hanya sedikit
menyinggung secara langsung tentang kasih karunia, tapi kasih Allah ditekankan
di seluruh bagiannya. Gagasan kasih karunia harus dihubungkan dengan ‘kehidupan
kekal’. Iman adalah utama, dan Yohanes menggunakan suatu ungkapan Yunani
pisteuein eis (percaya kepada) mengenai iman yg sungguh kepada pribadi Kristus
(*IMAM). ‘Kasih karunia dan kebenaran’ yg mencirikan kemuliaan Firman yg telah
menjadi manusia dalam #/TB Yoh 1:14* (bnd ay #/TB Yoh 1:17*) menggemakan ‘kasih
dan setia’ dari #/TB Kel 34:6*.
Kita menarik kesimpulan bersama
Moffatt bahwa kepercayaan dalam Alkitab adalah ‘kepercayaan tentang kasih
karunia atau tidak ada apa-apa … kalau tidak ada kasih karunia, tidak ada
injil’ (Grace in the New Testament, hlm 15).[2]
BAB III
KASIH MESRA
Kasih mesra dipakai dalam #/TB Ef 4:32*;
#/TB Fili 1:18,21*, untuk menerjemahkan ungkapan Yunani yg secara harfiah
berarti usus. *USUS. MRD/MHS[3]
BAB IV
KASIH
PERSAUDARAAN
Yunani filadelfia (#/TB Rom 12:10*; #/TB 1Tes
4:9*; #/TB Ibr 13:1*; #/TB 1Pet 1:22*; #/TB 2Pet 1:7*) artinya bukan secara
kiasan kasih seperti saudara, melainkan kasih dari mereka yg disatukan dalam
persaudaraan Kristen (adelfotes, #/TB 1Pet 2:17; 5:9*; bnd kata sifat
filadelfos, #/TB 1Pet 3:8*). Di luar tulisan-tulisan Kristen (mis 1 Makabe
12:10, 17) filadelfia hanya dipakai bagi orang dari satu keturunan. Dalam PL,
‘saudara’, seperti juga ‘tetangga’, berarti ‘rekan Israel’ (#/TB Im 19:17* dst;
bnd #/TB Kis 13:26*). Yesus meluaskan arti kasih kepada sesama manusia (#/TB
Mat 5:43-48*; #/TB Luk 10:27-37*), tapi Ia juga menetapkan kasih khusus antara
sesama Kristen yg dimaksudkan oleh kata filadelfia (bnd #/TB Rom 8:29*), karena
Ia menyebut pengikut-Nya adalah saudara-Nya (#/TB Mr 3:33* dst; #/TB Mat
28:10*; #/TB Yoh 20:17*) dan mereka bersaudara semua (#/TB Mat 23:8*; #/TB Luk
22:32*).
Hal ini terungkap dalam hidup gereja
sehari-hari (bnd homothumadon, ‘dengan sehati’ #/TB Kis 1:14; 2:46; 4:24; 5:12;
15:25*). Ini adalah penjabaran kasih Kristus (#/TB Ef 5:1* dab) yg biasa
terdapat antara orang Kristen (#/TB 1Tes 4:9* dab), tapi yg harus digalakkan
dan diperdalam (#/TB Rom 12:10*) agar menjadi tetap (#/TB Ibr 13:1*), benar
(anupokritos, #/TB 1Pet 1:22*; bnd #/TB Rom 12:9*) dan sungguh-sungguh
(ektenes, #/TB 1Pet 1:22*; bnd #/TB 1Pet 4:8*). Ini nampak pada cara berpikir
yg sama (to auto fronein, #/TB Rom 12:16; 15:5*; #/TB 2Kor 13:11*; #/TB Fili
4:2*; bnd #/TB Gal 5:10*; #/TB Fili 2:2,5; 3:15*) dan cara hidup (to auto
stoikhein, #/TB Fili 3:16*), teristimewa dengan kesukaan memberi tumpangan
(#/TB Ibr 13:1* dab; #/TB 1Pet 4:8* dab) dan dengan membantu orang Kristen yg
berkekurangan (#/TB Rom 12:9-13*). Ini membuktikan ketulenan iman bagi orang
Kristen itu sendiri (#/TB 1Yoh 3:14*) dan bagi dunia (#/TB Yoh 13:35*).
Filadelfia dengan sendirinya tak dapat terlaksana
di luar persekutuan iman’, tapi dihubungkan dengan penghormatan (#/TB 1Pet
2:17*) dan berbuat baik kepada semua orang (#/TB Gal 6:10*). Kebalikannya bukan
penolakan atau sikap tak acuh akan orang di luar (hoi exo, #/TB Mr 4:11*; #/TB
1Kor 5:12* dab; #/TB Kol 4:5*; #/TB 1Tes 4:12*), tapi kasih Kristus bagi mereka
yg menguasai orang Kristen sehingga berusaha memenangkannya (#/TB 2Kor 5:14*;
bnd #/TB Luk 12:50-53*).[4]
BAB
V
KASIH
SAYANG
Kasih sayang atau belas kasih ialah
sifat yg terdapat baik pada Allah maupun pada manusia. Dua istilah ini (kasih
sayang dan belas kasih) menerjemahkan beberapa kata Ibrani dan Yunani yakni
Ibrani khamal dan rakhamim, Yunani eleeo dan oikteiro. Dalam #/TB Est 2:9* dan
#/TB Ayub 6:14* aslinya ialah khesed (*KASIH SETIA) dan dalam #/TB Est 2:15*
aslinya khen (*KASIH KARUNIA). Dalam #/TB 1Tes 2:8* aslinya himeromai, yg
terdapat hanya dalam ay ini dalam PB. Pengertian kasih sayang ialah ‘belas
kasih atasan kepada bawahan, yg sama sekali bawahan itu tidak layak
menerimanya’ (Snaith); juga mencakup kasih yg menyala. ‘Allah yg berpribadi itu
mempunyai hati’ (Barth). Pemikiran Allah terhadap manusia sehubungan dengan
kesalahan manusia ialah kasih karunia: pemikiran-Nya terhadap manusia
sehubungan dengan kesengsaraan manusia ialah kasih sayang.
Para nabi dan abdi Allah sadar akan
keajaiban rahmat dan belas kasih Allah terhadap orang berdosa dan orang
sengsara. Allah Bapak penuh belas kasih (Pengasih dan Penyayang) (#/TB 2Kor
1:3*; #/TB Kel 34:6*; #/TB Neh 9:17*; #/TB Mazm 86:15; 103:8-14*; #/TB Yoel
2:13*; #/TB Yun 4:2*), dan kasih-Nya (eleos) yg besar (#/TB Ef 2:4*)
menyelamatkan kita (#/TB Tit 3:5*).
Para nabi mengajarkan, setiap orang yg
mengalami belas kasih Allah dalam hidupnya, wajib menunjukkan belas kasih itu
kepada orang yg membutuhkannya, terutama ‘anak yatim, janda dan orang asing’,
yg berkali-kali disebut bersama-sama (mis #/TB Ul 10:18; 14:9; 16:11; 24:19*;
#/TB Yer 22:3*), orang miskin dan orang malang (#/TB Mazm 146:9*; #/TB Ayub
6:14*; #/TB Ams 19:17*; #/TB Za 7:9*; #/TB Mi 6:8*), dan terutama dalam Ul,
kepada orang asing. Hati Yesus kerap kali tergugah oleh belas kasih, dan Ia
menyuruh murid-Nya menunjukkan belas kasih kepada orang lain yg membutuhkan
pertolongan mereka. Belas kasih mereka harus serupa dengan belas kasih-Nya,
bukan hanya dalam hal tidak mau memandang orang, tapi dalam hal bertindak
dengan pengorbanan diri (#/TB 1Yoh 3:17*). Orang yg murah hati akan beroleh
kemurahan (#/TB Mat 5:7*; bnd #/TB Mat 18:21*; #/TB Luk 6:36*). ‘Murah hati’ di
sini menerjemahkan kata yg di tempat lain diterjemahkan kasih sayang atau belas
kasih.
BAB
VI
KASIH
SETIA
Kasih setia merupakan padanan kata
Ibrani khesed. Paling banyak muncul dalam Mzm. Di tempat-tempat lain khesed
diterjemahkan ‘belas kasihan’, ‘kemurahan hati’, dan ‘kebaikan’. Banyak
terjemahan telah dikemukakan, antara lain ‘kasih yg jujur’ (G Adam Smith),
‘kesalehan’ (C. H Dodd), ‘solidaritas’ (Koehler-Baumgartner) dan ‘kasih
perjanjian’ (N Snaith). Asal usul etimologisnya tidak jelas. Suatu penyelidikan
mengenai ay-ay di mana kata itu dijumpai (mis #/TB Mazm 89*), mengungkapkan
bahwa kata itu sangat erat hubungannya dengan dua pengertian, yaitu
‘perjanjian’ dan ‘kesetiaan’. Artinya mungkin dapat dirangkum sebagai ‘kasih yg
mantap teguh atas dasar perjanjian yg telah dibuat’. Arti ini digunakan untuk
menggambarkan baik sikap Allah terhadap umat-Nya maupun sikap umat Allah
terhadap Dia; penggunaan yg kedua khususnya dalam Hos.[5]
BAB VII
PENUTUP
Siapa yang harus kita Beritakan?
ALLAH
Kasih Allah:
ALLAH
Bagi pengertian Kristen, Alkitab adalah
satu-satunya sumber ajaran tentang Allah. Dalam Alkitab kita menemukan
penyataan Allah tentang diriNya sendiri.
I. Kata-kata Ibrani untuk Allah
a. ‘el, ‘eloah, ‘elohim
Sebutan el berakar pada suatu kata
yg berarti kekuatan atau tenaga. Dengan arti ini el digunakan dalam PL untuk
manusia, dan secara abstrak digunakan untuk benda, selain untuk Allah. Apabila
mengacu kepada Allah, maka kata itu sering dirangkai dengan julukan seperti ‘Yg
Mahakuasa’, misalnya el-shaddai, Allah Yg Mahakuasa, atau Maha sempurna. Kata
eloah (jarang digunakan kecuali dlm puisi) dan elohim juga digunakan; bentuk
jamaknya, elohim, lazim digunakan. Ada yg melihat penggunaan bentuk jamak ini
sebagai sisa politeisme, yg lain melihatnya sebagai tanda yg mengacu kepada
Trinitas. Tapi lebih mungkin ialah contoh penggunaannya yg lazim dalam bh
Ibrani, dimana penggunaan bentuk jamak dimaksudkan untuk mengintensifkan atau
memperluas gagasan yg dikemukakan dalam bentuk tunggal. Dengan demikian elohim
mengarahkan perhatian kepada kepenuhan Allah yg tak kunjung habis, kepada
kelimpahan hidup di dalam Allah.
b. Yahweh
Nama ini, sering ditulis Jehovah,
diterjemahkan ‘TUHAN’ dalam Alkitab terjemahan LAI. Yahweh adalah nama diri
Allah, seperti Elohim adalah nama umum bagi Allah. Jadi pada khususnya Yahweh
adalah nama dari Allah yg hidup yg dinyatakan oleh Alkitab. Asal mulanya tidak
pasti, meskipun mungkin berasal dari kata dasar hwh atau hyh, yg mengandung
pengertian ‘eksistensi yg mandiri dan tidak bermuasal’. Ketika pertama kalinya
dinyatakan kepada Musa dari nyala api yg keluar dari semak duri (#/TB Kel
3:11-15*), api yg berasal dari dirinya sendiri dan bukan dari sekelilingnya,
adalah pertanda dari eksistensi yg mandiri.
Penyingkapan Allah tentang arti
nama ‘AKU ADALAH AKU’, atau mungkin lebih tepat ‘AKU AKAN ADA YANG AKU AKAN
ADA’, mengumumkan kesetiaan Allah dan Allah yg tidak pernah berubah. Ia tetap
sama, kemarin, hari ini dan selama-lamanya. Sementara #/TB Kel 6:4* nampaknya
mengemukakan bahwa nama Yahweh belum dikenal sebelumnya, sedang dalam terang
#/TB Kej 15:7; 28:13* sudah diperkenalkan, maka #/TB Kel 6:4* mengartikan bahwa
Nama itu belum dinyatakan sebelumnya dalam pengertian yg sebenarnya dan dalam
makna kualitasnya. Perlu diperhatikan bahwa dalam penyataan ini Yahweh
menyatakan diriNya bukan sebagai Allah yg baru atau Allah yg asing,
sesungguhnya tidak ada yg lain, kecuali ‘Yahweh, Allah nenek moyangmu’ (#/TB
Kel 3:16*).
c. ‘adonay
Ini juga bentuk jamak, mengacu
kepada Allah sebagai penuh kehidupan dan kuasa. Artinya ‘Tuhan’, atau dalam
bentuknya yg lebih diperkuat, ‘Tuhan dari segala tuan’, dan ‘Tuhan semesta’, yg
menunjukkan Allah sebagai Pemerintah yg kepada-Nya segala sesuatu tunduk dan
kepada-Nya manusia dihubungkan sebagai hamba (#/TB Kej 18:27*). Sebutan ini
paling disukai oleh para penulis Yahudi di kemudian hari, dan nama itulah yg
diambil untuk mewakili nama suci YHWH.
Anggapan bahwa pemakaian nama-nama
ini menunjukkan adanya perbedaan antara Allah yg lebih tinggi dan yg lebih
rendah dalam pemikiran penulis-penulis PL, tidak cocok dengan fakta-fakta, dan
apabila hal itu dijadikan patokan bagi penentuan sumber-sumber maka akan
menyebabkan kekacauan belaka. Memang penulis-penulis PL menekankan aspek-aspek
yg berbeda tentang sifat Allah, tapi hal ini tidak mendukung pandangan
evolusioner tentang agama Israel yg berkembang dari polidemonisme sampai kepada
monoteisme. Kecenderungan umum yg berlaku di Israel ialah arah yg sebaliknya,
yaitu mundur dari`monoteisme murni dan menerima pengaruh politeisme dari
bangsa-bangsa di sekitarnya. Walaupun terdapat perkembangan sejarah tentang
penyataan din Allah kepada Israel, sifat dasar dan tabiat-Nya tetap tidak
pernah berubah selama-lamanya.
Allah yg dinyatakan oleh Kitab
Suci adalah Allah Yg Hidup, berpribadi, yg sendirinya ada dan tidak dijadikan,
sadar akan diriNya, Pencipta alam semesta, Sumber kehidupan dan berkat.
Kehidupan-Nya, sifat-Nya dan kehendak-Nya adalah tema-tema pokok yg menjiwai
pemikiran-pemikiran para penulis Alkitab.
II. Keberadaan Allah
Adalah benar bahwa Alkitab tidak
pernah membicarakan keberadaan Allah terlepas dari sifat-sifat-Nya, karena
Allah adalah Apa yg Ia sendiri nyatakan tentang diriNya. Tapi adalah mungkin
untuk memikirkan keberadaan Allah dalam hubungan dengan keberadaan kita
manusia, atau dari segi kesamaan maupun kebalikannya, sekalipun hakikatnya
tetap tak dapat dipahami. Dapat dikatakan bahwa Allah adalah Roh, Roh Sejati,
berpribadi dan tidak terbatas.
Menurut penyataan Kristus kepada
wanita Samaria, Allah adalah Roh (#/TB Yoh 4:24*), dan kita harus memahami Dia
sebagai Roh Sejati, dengan pengertian bahwa Ia bukanlah kumpulan atau terdiri
dari bagian-bagian, melainkan tanpa tubuh atau wujud jasmaniah, dan justru tak
dapat dilihat dengan indra jasmaniah (#/TB Yoh 1:18*).
Alkitab juga jelas menyatakan bahwa Allah adalah Roh,
berpribadi, rasional, sadar akan diriNya, mengambil keputusan dari diriNya, dan
pelaku moral yg piawai. Allah adalah Akal yg tertinggi, dan sumber dari segala
rasionalitas yg ada dalam seluruh ciptaan-Nya.
Allah
adalah Roh Yg Mahakuasa, tanpa ikatan dan batasan apa pun atas
keberadaan-Nya atau atas salah satu sifatNya, dan setiap aspek dan unsur dari
kodrat-Nya tidak terbatas. Terkait dengan waktu, ke-’tanpa-batas’-an-Nya
disebut kekekalan. Terkait dengan ruang atau tempat Ia disebut omnipresen
(hadir di mana-mana). Terkait dengan semesta alam Ia dinyatakan baik transenden
maupun immanen. Yg dimaksud dengan Allah yg transenden ialah, keterlepasan-Nya
dari seluruh ciptaan-Nya sebagai Pribadi yg berdaulat dan bebas bertindak
sendiri dan yg ‘ada hadir’ sendirinya. Ia tidak dikungkung oleh alam, tapi
tanpa batas Ia diagungkan di atasnya. Bahkan bagian-bagian Alkitab yg secara
khas menyingkap manifestasi-Nya yg temporal dan lokal menekankan keagungan-Nya
dan kemahakuasaan-Nya (omnipoten) sebagai Pribadi luar dunia, Pencipta dan
Hakim Yg Mahakuasa (bnd #/TB Yes 40:12-17*).
Yg
dimaksud dengan Allah yg immanen ialah kehadiran dan kuasa-Nya yg
senantiasa berlaku dalam ciptaan-Nya. Ia tidak berdiri jauh dari dunia, tidak
masa bodoh dan berpangku tangan menonton dari jauh hasil karya ciptaan-Nya; Ia
merasuki segala sesuatu yg organik dan yg anorganik, bertindak dari dalam ke
luar, dari titik pusat setiap atom dan dari sumber paling dalam pikiran dan
kehidupan dan perasaan, yaitu suatu rangkaian bersinambungan, dari sebab dan
akibat. Dalam #/TB Yes 57:15* terdapat ungkapan tentang Allah yg transenden
sebagai ‘Yg Mahatinggi dan Yg Mahamulia, yg bersemayam untuk selamanya dan Yg
Mahakudus namaNya’, dan tentang Dia yg immanen sebagai ‘Yg juga bersama-sama
orang yg remuk dan rendah hati’.
III. Sifat-sifat Allah
Jika Allah adalah Pribadi, maka
sebagai pelaku moral Ia memiliki tabiat. Jadi kita dapat berbicara tentang
sifat-sifat yg dapat dihubungkan dengan tabiat Allah. Sekalipun tidak ada sifat
yg dapat menjelaskan keadaan Allah, namun sifat-sifat yg sedemikian banyak
dikemukakan dalam Alkitab memberikan penjelasan yg memadai tentang transendensi
dan immanensi-Nya. Tapi haruslah diingat bahwa sifat-sifat Allah adalah
tercakup dalam keberadaan-Nya, justru sifat-sifat-Nya itu adalah koeksistensif
dengan kodrat-Nya.
Di dalam Allah sifat-sifat dan
keberadaan adalah satu. Di dalam manusia tidak demikian halnya. Sifat-sifat
manusia — karena dia makhluk — adalah terbatas. Di dalam manusia ada perbedaan
antara keberadaan, kehidupan, pengetahuan dan kemauan. Yg sangat kita harapkan
ialah keempat hal tersebut dapat berimbang. Dalam ihwal Allah, sifat-sifat-Nya
tetap berdaya rasuk dan masing-masing tidak terhingga dan tanpa batas. Sebagai
contoh, tak dapat dikatakan bahwa Allah adalah sebagian kasih dan sebagian adil
karena seantero diriNya adalah kasih dan sekaligus seantero diriNya adalah
adil. Setiap sifat Allah pada diriNya adalah Allah sendiri, dan Allah
diekspresikan sepenuhnya dalam setiap sifat-Nya itu. Manusia tetap manusia
sekalipun ia tidak memiliki salah satu sifat manusia tertentu: Allah bukanlah
Allah tanpa segenap sifat-Nya.
Adalah tepat membagi sifat-sifat
Allah dalam dua jenis. Pertama,
sifat-sifat yg dapat dikomunikasikan atau diberikan atau diteruskan; dan yg kedua, sifat-sifat yg tidak dapat
dikomunikasikan (kadang-kadang disebut sebagai ‘berhubungan’ dan ‘tidak
berhubungan’). Sifat-sifat yg dapat dikomunikasikan (dlm batas tertentu) kepada
makhluk ciptaan-Nya yg berakal dan berbudi pekerti, antara lain ialah:
kebijaksanaan, kebaikan, kebenaran, keadilan, kasih — yakni sifat-sifat yg
menyatakan immanensi Allah. Sifat-sifat yg tidak dapat dikomunikasikan atau
diteruskan ialah: kesempurnaan Allah yg tidak mempunyai kesamaan dalam (diri)
manusia — misalnya: Allah tidak diciptakan, tidak berubah, mahatahu, kekal —
yakni sifat-sifat yg menekankan transendensi-Nya. Kendati demikian, sifat-sifat
terakhir ini dapat dimengerti.
Yg dimaksud dengan ihwal ‘tidak
diciptakan’, ialah
Allah mempunyai keberadaan-Nya sendiri — berbeda dari semua makhluk ciptaan-Nya
— Ia tidak menggantungkan keberadaan-Nya kepada yg ada di luar diriNya sendiri.
Yg dimaksud dengan ketidakberubahan
Allah, ialah Ia
tidak memiliki perubahan apa pun dalam diriNya, dalam kesempurnaan-Nya,
maksud-maksud-Nya dan janji-janjiNya. Semua saran tentang perubahan yg
ditujukan kepadaNya dalam Alkitab adalah kata-kata kiasan, yg disesuaikan
dengan sudut pandangan manusia biasa.
Yg
dimaksud dengan keabadian-Nya, ialah Allah berada di atas batas-batas
waktu, tanpa awal dan tanpa akhir, dan tanpa pergantian waktu. Hal ini akan
lebih mudah dimengerti dengan mengingat bahwa waktu tidak ada baik di dan oleh
dirinya sendiri, dan hanyalah merupakan iringan dari kejadian. Dalam Allah
tidak ada waktu, tidak ada ‘menjadi’; Ia adalah yg kekal ‘Aku Ada’, dan
kekinian-Nya adalah kekal.
Yg dimaksud dengan kemahatahuan Allah
dan kehadiran-Nya di mana-mana, ialah
bahwa Ia berada di atas batas-batas tempat dan ruang. Pengetahuan Allah adalah
bagian dari sifat-Nya dan tidak perlu dipelajari-Nya, berbeda dari hal setiap
manusia. Justru pengetahuan-Nya adalah mutlak lengkap dan mutlak sempurna, dan
mencakup waktu lampau, kini dan waktu yg akan datang. Kemahatahuan-Nya
menyertai kehadiran-Nya di mana saja, sebab pengetahuan Allah meliputi
kehadiran Allah di segala tempat dan ruang dan pada segala waktu. Bukan bahwa
Allah berada di mana-mana, melainkan di mana-mana itulah Dia dan ada pada Dia.
Lagipula, Ia utuh seluruhnya, bukan sebagian Dia saja, hadir di mana-mana.
Yg dimaksud dengan kemahakuasaan
Allah, ialah
sesuatu yg sangat berbeda dari kuasa yg ada pada manusia. Pada manusia kuasa
adalah usaha kemauan yg memanfaatkan atau menggunakan kuasa yg telah tersedia
ada sebelumnya; pada Allah kemahakuasaan adalah sifat yg memiliki daya cipta,
suatu ‘daya kemampuan’ menciptakan segenap karya ciptaan yg ada dari yg tiada.
Dalam Allah semua kuasa adalah kreatif.
Kekudusan dapat disebut sebagai sifat
Allah yg paling khas,
kemilau dari segala keberadaan-Nya. Dan kekudusan-Nya-lah yg paling khas
memisahkan Dia dari segenap ciptaan-Nya — karena hanya Dia yg kudus — dan
itulah pula yg membuat Dia tidak terhampiri dalam segala kesempurnaan-Nya.
Kekudusan-Nya itulah semarak dan kemegahan intelektual dan moral-Nya, kemurnian
etis yg olehnya Ia menyukai kebaikan dan membenci yg jahat (*KEKUDUSAN).
IV. Kehendak Allah
Kehendak atau kemauan Allah terutama
menyatakan ‘sifat menentukan sendiri’ yg olehnya Allah bertindak sesuai
kemahakuasaan-Nya dan ke-Allah-an-Nya yg abadi. Meskipun kehendak Allah tidak
dapat dikatakan terbatas, kesempurnaan-Nya memberikan keyakinan bahwa Ia tidak
akan pernah melakukan sesuatu apa pun yg bertentangan dengan tabiat-Nya. Para
teolog membedakan kehendak Allah memutuskan sendiri, yg dengannya Ia memutuskan
sendiri apa pun yg terjadi, dari kehendak-Nya menyuruh, yg dengannya Ia
menugasi makhluk-makhluk-Nya melakukan tugas-tugas yg harus mereka lakukan.
Dapat dimengerti, bahwa kehendak memutuskan sendiri selalu tuntas, sedangkan
kehendak menyuruh sering tidak ditaati. Jika kita memikirkan kedaulatan kuasa
kehendak Allah, kita mengakui bahwa kekuasaan tersebut memperlihatkan Allah
sebagai dasar mutlak dari segala keberadaan, dan dasar mutlak dari segala
sesuatu yg pernah terjadi, atau secara aktif menyebabkan sesuatu terjadi, atau
secara pasif membolehkan sesuatu terjadi. Jadi, masuknya dosa ke dalam dunia
dikaitkan dengan kehendak Allah yg bersifat membolehkan.
Ciri-ciri khas dari kehendak Allah ialah, di balik
kehendak-Nya terdapat kebijaksanaan dan kekudusan-Nya yg tidak terbatas, dan
kehendak-Nya itu dilaksanakan-Nya dengan penuh anugerah dan kebaikan, dan
tindakan-Nya dilakukan tanpa syarat atau secara mutlak sebab kehendakNya itu
tidak bergantung kepada sesuatu apa pun di luar Allah sendiri. Tujuan dari
semuanya ini adalah untuk kemuliaan-Nya, atau dapat dikatakan, manifestasi dari
kemuliaan-Nya di mana dalamnya terletak berkat sepenuhnya kepada
makhluk-makhluk-Nya.
Segi kehendak Allah yg paling sering
disinggung dalam Alkitab ialah tujuan-Nya yg berkuasa. Maksud dan tujuan Allah
itu mencakup dan meliputi semuanya. Ini sesuai dengan kodrat Allah yg hakiki,
sebab pengetahuan-Nya adalah langsung, serta merta dan lengkap, dan Ia tidak perlu
menunggu terbentangnya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, tidak
seperti manusia harus menunggunya. Jadi Ia sanggup mencakup segala hal dalam
satu rencana. Dikatakan bahwa tujuan-Nya adalah bebas, berkuasa dan tidak
berubah — bebas dalam arti bahwa Ia tidak dapat di bawah pengaruh suatu apa pun
atau oleh siapa pun di luar diriNya sendiri; Allah berkuasa sebab Ia mempunyai
kemahakuasaan untuk melakukan maksud-maksud-Nya; Allah tidak berubah karena
tidak ada perubahan dalam Allah, sebab perubahan mengacu kepada lemahnya
kebijaksanaan dalam membuat rencana, atau kurangnya kuasa melaksanakan sesuatu.
Justru dikatakan selanjutnya, sebab tidak akan ada keadaan darurat atau bahaya
di luar dugaan, dan tidak ada kekurangan dalam batas kemampuan, maka dalam Dia
tidak akan pernah ada penyebab mungkinnya terjadi perubahan.
Jika kita tidak mampu ‘memadankan’ kemahakuasaan Allah
dengan tanggung jawab manusia, maka ketidakmampuan itu adalah sebab kita tidak
mengerti pengetahuan Allah dan pemahaman-Nya tentang segala hukum yg menguasai
tingkah laku manusia. Seantero Alkitab mengajarkan, bahwa seluruh kehidupan
manusia dijalaninya atas topangan dan kekuatan yg berasal dari kuasa Allah ‘yg
di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada’ (#/TB Kis 17:28*), dan
seperti burung bebas bergerak di udara dan ikan bebas hidup di laut,
masing-masing di tempatnya yg sewajarnya, demikianlah manusia mempunyai
kebebasan yg sebenarnya dalam kehendak Allah yg menciptakan dia bagi diriNya.
V.
Kebapakan Allah
Penyataan Kristen tentang Allah ialah
Allah sesungguhnya adalah Bapak. Sebutan itu paling sering dipakai oleh Yesus
terhadap Allah. Dalam teologi Kristen sebutan Bapak terutama mengacu kepada
Oknum Pertama dari Tritunggal. Tapi karena Oknum Pertama dianggap sebagai
sumber dari Allah Yg Ilahi, yaitu yg melambangkan martabat, kehormatan, dan
kemuliaan Tritunggal, maka sebutan Bapak kadang-kadang dipakai apabila menunjuk
kepada Allah atau Allah Yg Mahatinggi (bnd #/TB 1Pet 1:17*; #/TB Yak 1:27*; juga
#/TB Yes 9:6*, di mana Mesias disebut ‘Bapak yg kekal’ sebagai hunjukan kepada
Allah Yg Mahatinggi).
Pengertian tentang Allah sebagai
Bapak tidak berasal dari ajaran Yesus, walaupun Ia memberikan kepadanya konsep
baru dan dalam. Pemikiran ini terdapat dalam PL dengan hubungan yg kreatif dan
hubungan yg teokratif. Hubungan dasariah Allah kepada manusia yg Ia ciptakan
dalam gambar-Nya, mendapat gambar padanan paling lengkap dan tepat pada
hubungan alami itu yg meliputi pemberian hidup. Maleakhi mengajukan pertanyaan,
‘Bukankah kita sekalian mempunyai satu Bapak, bukankah satu Allah menciptakan
kita?’ (#/TB Yes 2:10*). Yesaya berseru, ‘Sekarang, ya Tuhan, Engkaulah Bapak
kami! Kamilah tanah liat dan Engkau-lah yg membentuk kami; dan kami sekalian
adalah buatan tanganMu’ (#/TB Yes 64:8*).
Tapi dalam arti rohanilah terutama
hubungan ini diajukan. Dalam #/TB Ibr 12:9* Allah disebut ‘Bapak segala roh’,
dan dalam #/TB Bil 16:22* disebut ‘Allah dari roh segala makhluk’. Paulus,
ketika berbicara dari atas Areopagus, memakai pikiran ini untuk menekankan
irasionalitas manusia rasional yg menyembah berhala-berhala dari kayu dan batu,
dengan mengutip penyair Aratus (’ Karena kita juga adalah keturunan’) untuk
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah. Jadi manusia sebagai makhluk
adalah padanan dari ke-Bapak-an Allah pada umumnya. Tanpa Bapak Pencipta tidak
ada warga manusia, tidak ada keluarga umat manusia.
Acuan atau sebutan Bapak dalam PL
juga mengungkapkan hubungan perjanjian Allah kepada umat-Nya, Israel. Dalam
pengertian ini hubungan tersebut adalah hubungan kolektif, bukan hubungan
perseorangan. Israel sebagai umat perjanjian adalah anak Allah, justru
ditantang untuk mengakui dan menanggapi hubungan Bapak — anak ini, ‘Jika Aku
ini Bapak, dimanakah hormat yg kepada-Ku itu?’ (#/TB Mal 1:6*). Tapi karena
hubungan perjanjian itu bersifat menyelamatkan dalam pengertian rohaninya,
hubungan ini dapat dianggap sebagai pertanda penyataan ke-Bapak-an Allah dalam
PB.
Dalam PB sebutan Bapak dipakai dalam
pengertian khas dan sangat pribadi. Kristus memakainya terlebih dahulu,
mengenai hubungan-Nya sendiri dengan Allah. Terdapat bukti mencolok bahwa
hubungan ini adalah unik dan tidak dapat dibagikan dengan makhluk apa pun juga.
Allah adalah BapakNya melalui kelahiran yg kekal, istilah yg menggambarkan
hubungan hakiki dan abadi. Adalah penuh arti betapa Yesus dalam ajaran-Nya
kepada ke-12 murid-Nya tidak pernah memakai sebutan ‘Bapak kita’, mencakup baik
diriNya dan murid-murid-Nya. Dalam amanat-Nya setelah kebangkitan-Nya, Ia
menunjukkan dua hubungan yg berbeda yaitu ‘BapakKu dan Bapak-mu’ (#/TB Yoh
20:17*); tapi kedua hubungan tersebut terangkai sedemikian rupa, sehingga yg
satu menjadi dasar bagi yg lain. Ia sebagai Anak, meskipun dalam tingkat yg
sama sekali unik, adalah dasar dari status murid-murid sebagai anak.
Inilah hubungan yg menyelamatkan bagi
semua orang percaya. Dalam konteks penyelamatan, hal ini dilihat dari dua segi,
yaitu dari kedudukan mereka di dalam Kristus dan dari pekerjaan Roh Kudus yg
membaharui di dalam mereka. Dari segi pertama, mereka — dalam persekutuan yg
hidup dengan Kristus — diterima masuk ke dalam keluarga Allah dan dengan
demikian diberikan segala hak istimewa sebagai anak; ‘dan jika kita adalah
anak, maka kita juga adalah ahli waris’ (#/TB Rom 8:17*). Dari segi kedua,
mereka dianggap sebagai dilahirkan ke dalam keluarga Allah melalui kelahiran
kembali. Yg pertama adalah segi obyektif, sedangkan yg kedua adalah aspek
subyektif. Oleh kedudukan mereka yg baru (pembenaran) dan hubungan
(pengangkatan) kepada Allah Bapak di dalam Kristus, mereka diikutsertakan dalam
kodrat ilahi (#/TB 2Pet 1:4*) dan dilahirkan ke dalam keluarga Allah.
Jelaslah bahwa ajaran Yesus tentang
ke-Bapak-an Allah, membatasi hubungan itu terhadap umat-Nya yg percaya. Tidak
pernah dilaporkan bahwa Ia menganggap hubungan ini terjadi antara Allah dan
orang yg tidak percaya. Ia bukan hanya tidak mengisyaratkan Allah sebagai Bapak
yg menyelamatkan semua orang, tapi Ia mengatakan dengan sangat tajam kepada
orang-orang Yahudi yg suka bertengkar, ‘Iblislah yg menjadi bapakmu’ (#/TB Yoh
8:44*).
Dalam hubungan Bapak inilah PB
menunjukkan segi-segi yg lebih lembut dari tabiat Allah, kasih-Nya,
pemeliharaan-Nya, karunia-Nya dan kesetiaan-Nya. Dalam mendidik ke-12 murid-Nya
Kristus memakai gambaran dan hubungan bapak duniawi kepada anak-anaknya dan
dari sana terus maju ke tingkat yg lebih tinggi: ‘Betapa terlebih lagi Bapak-mu
yg di sorga….’[6]
Lihat 00107 ALLAH, ANAK-ANAK
Lihat 00108 ALLAH, NAMA-NAMA
Lihat 00109 ALLAH, YG TIDAK DIKENAL
Lihat 00129 ANAK ALLAH
Lihat 00277 BAPAK, ALLAH
Lihat 00534 DOMBA, ANAK DOMBA ALLAH
Kepada siapa kita harus memberitakan?
Kasih ALLAH?
Kepada
Dunia:
DUNIA
Yunani, kosmos, dari akarnya berarti
‘dunia yg teratur’. Kata itu dipakai dalam PB tapi tidak dalam LXX,
kadang-kadang untuk menyatakan apa yg kita sebut ‘alam semesta’, dunia yg
dijadikan, yg di dalam PL digambarkan dengan ungkapan ‘segala sesuatu’ atau
‘langit dan bumi’ (bnd #/TB Kis 17:24*). ‘Dunia’ dalam arti itu dijadikan oleh
Firman (#/TB Yoh 1:10*); dan ‘dunia’ itulah yg tentangnya Yesus berbicara
ketika Dia mengatakan, bahwa tidak berguna seseorang memperoleh seluruh dunia
tapi kehilangan nyawanya (#/TB Mat 16:26*).
Tapi karena manusia adalah bagian yg
paling penting dari alam semesta, maka kata kosmos lebih sering dipakai di
dalam arti yg terbatas, yakni untuk manusia; ia merupakan kata searti untuk he
oikoumene ge, ‘bumi yg dihuni’, kata-kata yg dalam PB diterjemahkan ‘dunia’. Ke
dalam ‘dunia’ itulah manusia dilahirkan, dan di dalamnya mereka hidup sampai
mereka mati (#/TB Yoh 16:21*). Semua kerajaan dari dunia itulah yg ditawarkan
oleh Iblis untuk diberikan kepada Kristus asal saja Ia menyembahnya (#/TB Mat
4:8,9*). Dunia itulah, dunianya orang laki-laki dan orang perempuan dari daging
dan darah, yg dikasihi oleh Allah (#/TB Yoh 3:16*), dan yg ke dalamnya Yesus
datang ketika Ia lahir dari seorang ibu manusia (#/TB Yoh 11:27*).
Tapi, adalah aksioma Alkitab bahwa dunia
umat manusia itu, yakni puncak karya ciptaan Allah, dunia yg dijadikan oleh
Allah terutama untuk memantulkan kemuliaan-Nya, sekarang ada di dalam
pemberontakan terhadap Dia. Melalui pelanggaran satu orang, *dosa telah masuk
ke dalamnya (#/TB Rom 5:18*) dengan konsekuensi-konsekuensinya yg universal.
Sebagai akibatnya, dunia telah menjadi dunia yg tak teratur di dalam
cengkeraman si jahat (#/TB 1Yoh 5:19*). Dan dengan demikian sangat sering bahwa
dalam PB dan khususnya di dalam tulisan-tulisan Yohanes, kata kosmos mempunyai
arti yg buruk.
Kosmos dalam arti ini, bukan dunia
sebagaimana dikehendaki oleh Allah, melainkan menjadi ‘dunia ini’ yg
dipertentangkan dengan Allah, yg mengikuti hikmatnya sendiri dan yg hidup
dengan terang akal budinya sendiri (#/TB 1Kor 1:21*), yg tidak mengakui Sumber
segala hidup yg benar dan terang (#/TB Yoh 1:10*). Dua watak khas yg kuat dari
‘dunia ini’ ialah kebanggaan, yg lahir dari kegagalan manusia untuk menerima
kedudukannya sebagai makhluk dan ketergantungannya kepada Khalik, yg
menyebabkan ia bertindak seolah-olah ia adalah sungguh-sungguh Tuhan dan
pemberi hidup; dan ketamakan, yg menyebabkan manusia mengingini dan memiliki
semua yg menarik indera jasmaninya (#/TB 1Yoh 2:16*). Dan, karena manusia
sebenarnya cenderung untuk menyembah apa yg diingininya, maka ketamakan macam
itu adalah pemberhalaan (#/TB Kol 3:5*). Karena itu, keduniawian berarti
merajakan sesuatu yg lain dari Allah untuk dijadikan sasaran tertinggi bagi
perhatian dan kecintaan manusia. Kenikmatan dan jabatan, yg tidak salah pada
dirinya, menjadi begitu apabila dijadikan pusat perhatian.
‘Dunia ini’ dirasuki oleh rohnya
sendiri, yg harus diusir oleh Roh Allah, agar ia tidak tetap menguasai akal
budi dan pengertian manusia (#/TB 1Kor 2:12*). Manusia berada di dalam
perbudakan unsur-unsur yg meliputi dunia (#/TB Kol 2:20*) sampai ia
dimerdekakan oleh Kristus dari situ. Ia tidak dapat mengalahkannya sampai ia
sendiri ‘dilahirkan dari Allah’ (#/TB 1Yoh 5:4*). Legalisme, asketisme, dan
ritualisme adalah pengganti-pengganti duniawi yg melemahkan untuk agama yg
benar (#/TB Gal 4:9,10*); dan hanya pengetahuan yg benar akan Allah seperti
dinyatakan oleh Kristus, dapat mencegah manusia mempercayakan diri pada isme-isme
itu. Adalah karena mempercayakan diri pada semuanya itu maka orang Yahudi tidak
mengakui baik Kristus pada masa hidup-Nya di dalam daging (#/TB Yoh 1:11*)
maupun para pengikut-Nya (#/TB 1Yoh 3:1*). Nabi-nabi palsu yg menganjurkan
hal-hal semacam itu, atau para anti-Kristus yg serba anti hukum dalam
pengajarannya, akan selalu didengarkan oleh mereka yg dimiliki oleh dunia ini
(#/TB 1Yoh 4:5*).
Kristus, yg diutus Bapak untuk menjadi
Juruselamat dunia ini (#/TB 1Yoh 4:14*), dan yg kehadiran-Nya di dalamnya
merupakan suatu penghakiman atasnya (#/TB Yoh 9:39*), membebaskan manusia dari
kuasa-kuasa dunia yg mengancam, dengan cara Ia sendiri masuk ke dalam
peperangan dengan ‘penghulu’ dunia, penghasut kejahatan di dalamnya. Krisis
dunia ini terjadi pada saat Kristus meninggalkan Kamar Atas untuk menghadapi
‘penghulu’ itu. Dengan sukarela dan sengaja menyerahkan diri kepada maut, Yesus
mengalahkan dia yg mengongkong manusia di dalam cengkeraman maut tapi yg tidak
berkuasa sama sekali atas Dia sendiri (#/TB Yoh 12:31,32; 14:30*). Di kayu
salib terjadilah penghakiman atas penghulu dunia (#/TB Yoh 16:11*); dan iman
kepada Kristus sebagai Anak Allah, yg mempersembahkan korban yg satu-satunya
dapat membersihkan manusia dari kesalahan dan kuasa dosa (suatu pembasuhan yg
dilambangkan dgn mengalirnya air dan darah dari lambung-Nya yg ditikam, #/TB
Yoh 19:34*), membuat ‘orang percaya’ dapat mengalahkan dunia (#/TB 1Yoh
5:4-6*), dan dapat menahankan kesengsaraan yg pasti didatangkan oleh dunia ke
atasnya (#/TB Yoh 16:33*).
Kasih seorang Kristen kepada Allah,
Bapak Yesus Kristus Penebusnya, yg adalah pendamaian bagi dosa-dosa seluruh
dunia (#/TB 1Yoh 2:2*) mengusir segala keinginan yg lain. Dan kasih itu
membuatnya merasa jijik untuk mengarahkan lagi cintanya kepada ‘dunia ini’ — yg
karena terpotong dan sumber hidup yg benar — adalah fana dan mengandung di
dalam dirinya benih-benih kebinasaannya sendiri (#/TB 1Yoh 2:15-17*). Seseorang
yg telah mengalami kasih yg lebih tinggi kepada Allah, dan kepada Kristus dan
saudara-saudara-Nya, harus meninggalkan kasih yg lebih rendah kepada semua yg
dicemarkan oleh roh dunia: persahabatan dengan dunia adalah secara tak
terelakkan permusuhan dengan Allah (#/TB Yak 4:2*).
Dalam doa-Nya yg terakhir di ruangan
atas, Yesus tidak berdoa untuk dunia, melainkan untuk mereka yg ‘dari dunia’ yg
telah diberikan kepada-Nya oleh BapakNya. Dengan ‘pemberian’ itu maka
orang-orang itu, yg dilukiskan oleh Yesus sebagai ‘milik-Nya sendiri’, tidak
lagi memiliki watak-watak khas dunia; dan Yesus berdoa supaya mereka
terpelihara dari pengaruh-pengaruh jahat dunia (#/TB Yoh 17:9*), sebab Dia tahu
bahwa setelah kepergian-Nya mereka harus menanggung pukulan berat dari
kebencian dunia yg sampan sekarang ditujukan hampir seutuhnya terhadap Dia
sendiri. Sebagai Kristus yg telah bangkit dan naik, Dia masih membatasi
syafaat-Nya pada mereka yg datang kepada Allah melalui Dia (#/TB Ibr 7:25*);
dan Dia melanjutkan penyataan diri. Nya tidak kepada dunia, melainkan kepada
milik-Nya sendiri yg berada di dunia (#/TB Yoh 14:22*).
Tapi sangat pasti bahwa murid-murid
Kristus tidak dapat dan tidak boleh mencoba menarik diri dari dunia ini. Ke
dalam dunia inilah — ke seluruh dunia (#/TB Mr 16:15*) Dia mengutus mereka.
Mereka harus menjadi terang dunia (Ma #/TB Mr 5:14*); dan ‘ladang’ yg di
dalamnya gereja harus melakukan pekerjaan kesaksian tentang kebenaran
sebagaimana ada di dalam Yesus, tidaklah kurang luas dari dunia itu sendiri
(#/TB Mat 13:38*). Sebab dunia adalah tetap dunia Allah, sekalipun sekarang ada
dibawah si jahat. Pada akhir zaman ‘keindahan umi yg sebenarnya akan
dipulihkan’; dan, dengan dibinasakannya semua kejahatan dan dengan
dinyatakannya anak-anak Allah, maka segala makhluk akan ‘dimerdekakan dari
perbudakan kebinasaan menuju ke kemerdekaan yg mulia sebagai anak-anak Allah’
(#/TB Rom 8:21*). Kemudian Allah akan menjadi ‘semua di dalam semua’ (#/TB 1Kor
15:28*); atau, ‘hadir dengan cara menyeluruh di dalam alam semesta’ (begitulah
J. Hering dlm Vocabulay of the Bible, 1958). Si Pelihat dalam Why menggambarkan
hari ketika mana suara-suara besar di surga akan mengumumkan ‘Pemerintahan atas
dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yg diurapi-Nya; dan Dia akan memerintah
sebagai Raja sampai selama-lamanya’ (#/TB Wahy 11:15*). RVGT/BS
Lihat 01851 ROH-ROH DUNIA
Lihat 02277 UNSUR-UNSUR DUNIA
Bagaimanacaranya
kita memberitakanlah
KASIH ALLAH kepada
DUNIA
YOH 3:16
Pertanyaan?
1.
Menerimalah Kasih
Allah itu?
2.
Mengalami kasih
Allah itu?
3.
Memilikilah kasih
Allah itu?
4.
Mempergunakan kasih
Allah?
5.
Mempertanggung
jawabkan kasih Allah itu?
6.
Membagikan
kasih Allah itu?
Didalam
Kekristenan
Ø
Memberitakan kasih
Allah (Injil Kristus) melalui:
Gereja (Persekutuan) supaya iman umat
Kristen bertumbuh.,
Diluar
Kekristenan:
Ø
Memberitakan kasih
Allah (Injil Kristus) kepada jiwa-jiwa belum terjangkau, Supaya dapat
diselamatkan.,
[1] KEPUSTAKAAN.
G Quell dan E Stauffer, TDNT 1, hlm 2155; C Spicq, Agape dans le Nouveau
Testament, 1958; A Nygren, Agape and Eros, Pt. l, terj P. S Watson, 1953; NDNTT
2, hlm 538-551; J Moffatt, Love in the New Testament, 1929. FHP/SS
[2] KEPUSTAKAAN.
H Wheeler Robinson, The Christian Doctrine of Man, 1926; N. H Snaith, The
Distinctive Ideas of the Old Testament, 1944; J Moffatt, Grace in the New
Testament, 1931; N. P Williams, The Grace of God, 1930; C Ryder Smith, The
Bible Doctrine of Grace, 1956; H. H Esser, NIDNTT 2, hlm 115-124; H Conzelmann,
W Zimmerli, TDNT 9, hlm 372-402; H. D MacDonald. ZPEB 2, hlm 799-804. JHSr/JMP
[3] [Index
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini 00000]
[4] KEPUSTAKAAN.
A Nygren, Agape and Eros’, 1953, hlm 153-155; TDNT 1, hlm 144-146: NIDNTT 1,
hlm 254-260; 2,547-550. PE/S.
[5] KEPUSTAKAAN.
N Snaith, The Distinctive Ideas of the Old Testament, 1944, bab 5. GWG/SS
[6] KEPUSTAKAAN. J. J Crawford, The
Fatherhood of God, 1868; J Orr, The Christian View of God and the World, 1908;
A. S Pringle-Pattison, The Idea of God, 1917; G Vos, Biblical Theology, 1948; H
Bavinck, The Doctrine of God, 1951; J. I Packer, Knowing God, 1973; J Schneider,
C Brown, J Stafford Wright, NIDNTT 2, hlm 66-90; H Kleinknecht dll, TDNT 3, hlm
65-123. RAF/JMP
No comments:
Post a Comment