Friday, December 15, 2017

BERITAKANLAH KASIH ALLAH KEPADA DUNIA


 



BERITAKANLAH KASIH ALLAH KEPADA DUNIA


  1. KASIH, KEKASIH
  2. KASIH KARUNIA (ANUGERAH)
  3. KASIH MESRA
  4. KASIH PERSAUDARAAN
  5. KASIH SAYANG
  6. KASIH SETIA

BAB I
KASIH, KEKASIH
              I. Dalam PL
             a. Etimologi
             Kasih adalah terjemahan kata Ibrani ‘ahev; amat luas pemakaiannya dan merupakan kata umum dengan beragam makna sesuai kadarnya. Kata Ibrani lainnya adalah dod dan ra`ya (kasih asmara dan objeknya wanita, khas dlm Kid), yadad (#/TB Mazm 127:2*), khasyaq (#/TB Mazm 91:14*), khavav (hanya #/TB Ul 33:3*), ‘agav (#/TB Yer 4:30*, para pencinta) dan rakham (#/TB Mazm 18:1*).
             Kasih dalam PL, apakah yg insani atau yg ilahi, adalah ungkapan yg paling dalam dari kepribadian sekaligus hubungan pribadi paling akrab dan dekat. Dalam anti non agamawi ‘ahev adalah kata yg paling umum digunakan untuk menggambarkan dorongan yg dirasakan oleh dua insan beda jenis kelamin, yg di dalamnya tidak ada rasa pengekangan atau rasa najis (lih Kid untuk pengungkapannya yg paling halus). Kata ini juga digunakan untuk hubungan-hubungan pribadi (#/TB Kej 22:2; 37:3*) dan sub pribadi (#/TB Ams 18:21*) tanpa ada kaitannya dengan dorongan seksual.
             Pada dasarnya itu merupakan kekuatan dari dalam (#/TB Ul 6:5*, ‘kekuatan’) yg mendorong untuk melakukan suatu tindakan yg mendatangkan kegembiraan (#/TB Ams 20:13*), memperoleh objek yg membangkitkan hasrat (#/TB Kej 27:4*), atau dalam hal pribadi untuk melakukan pengorbanan diri demi kebaikan orang yg dikasihi (#/TB Im 19:18,34*), dan ketaatan yg tulus (#/TB 1Sam 20:17-42*).
             b. Kasih Allah kepada manusia
             (i) Objeknya. Objek kasih ini terutama adalah kelompok kolektif (#/TB Ul 4:37*, ‘nenek moyangmu’; #/TB Ams 8:17*, ‘orang yg mengasihi aku’; #/TB Yes 43:4*, ‘Israel’), walaupun implikasinya jelas bahwa pribadi-pribadi terhisab dalam berbagai perhatian Allah yg diberikan kepada kelompok itu. Hanya pada tiga tempat Allah digambarkan langsung mengasihi perseorangan, dan ketiga-tiganya mengenai seorang raja (. #/TB 2Sam 12:24* dan #/TB Neh 13:26*, Salomo; #/TB Yes 48:14*, Koresy [?]). Hubungan yg khusus ini dapat demikian karena raja Israel, dalam arti tertentu, dipandang sebagai anak Allah (bnd #/TB 2Sam 7:14*; #/TB Mazm 2:7; 89:25* dab), sementara Koresy dalam naskah Yesaya mungkin adalah tokoh yg mewakili.
             (ii) Bersifat pribadi. Berakar kuat pada sifat Allah sendiri. Kasih itu lebih dalam dari kasih seorang ibu kepada anak-anaknya (#/TB Yes 49:15; 66:13*). Ini sangat jelas dalam #/TB Hos 1; 2; 3*, di mana hubungan antara nabi itu dengan istrinya yg tidak setia, yaitu Gomer, adalah gambaran mengenai dasar paling asasi dari perjanjian ilahi di dalam hubungan yg lebih dalam, yaitu kasih disertai kerelaan menanggung derita, ketimbang hubungan berdasarkan hukum. Kasih Allah adalah bagian dari kepribadian-Nya, dan tak dapat di guncang oleh murka-Nya atau dialihkan karena ketidaktaatan obyeknya (#/TB Hos 11:1-4,7-9*; bg ini adalah acuan PL paling dekat pada deklarasi bahwa Allah adalah kasih). Ketidaksetiaan Israel tidak akan dapat mempengaruhi kasih itu karena, ‘Aku mengasihi engkau dengan kasih yg kekal’ (#/TB Yer 31:3*). Ancaman ‘Aku tidak akan mengasihi mereka lagi’ (#/TB Hos 9:15*) lebih baik ditafsirkan ‘tidak akan menjadi Allah mereka lagi’.
             (iii) Sifatnya selektif. Kitab Ul khususnya mendasari hubungan perjanjian antara Israel dan Allah pada kasih Allah yg terdahulu. Berbeda dari ilah-ilah bangsa-bangsa lain, yg menjadi milik mereka karena alasan kodrati dan geografis, Yahweh mengambil prakarsa dan memilih Israel karena Ia mengasihi mereka (#/TB Ul 4:37; 7:6* dab; #/TB Ul 10:15*; #/TB Yes 43:4*). Kasih ini spontan, tidak ditimbulkan oleh suatu nilai dari obyeknya, tapi bahkan menciptakan nilai itu (#/TB Ul 7:7*). Kesimpulan bahwa Tuhan membenci mereka yg tidak dikasihi-Nya adalah juga benar (#/TB Mal 1:2* dab). Walaupun dalam ay-ay tertentu, terutama Yun dan Nyanyian Hamba Tuhan dalam Yes, ajaran mengenai kasih yg universal nampak tersirat. Pengungkapan kasih secara konkrit tidak mencolok dalam PL.
             c. Kasih sebagai tugas agamawi
             (i) Terhadap Allah. Mengasihi Allah dengan totalitas diri manusia (#/TB Ul 6:5*) adalah tuntutan Allah. Ini harus diartikan bukan hanya taat melaksanakan hukum Allah yg tidak bersifat pribadi, tapi lebih daripada itu, yakni membangun hubungan yg sifatnya pemujaan pribadi terhadap Allah, yg diciptakan dan didukung oleh karya Allah dalam hati manusia (#/TB Ul 30:6*).
             Kasih ini berupa pengalaman penuh kegembiraan dalam persekutuan dengan Allah (#/TB Yer 2:2*; #/TB Mazm 18:1; 116:1*), terungkap dalam ketaatan sehari-hari melakukan perintah-perintah-Nya (#/TB Ul 10:12*), ‘mengasihi dan beribadah kepadaNya’, #/TB Yos 22:5*, ‘mengasihi Allah dan hidup menurut segala jalan yg ditunjukkan-Nya’. Ketaatan ini lebih berdasarkan hakikat kasih kepada Allah ketimbang perasaan. Allah sendirilah yg akan menjadi Hakim untuk menilai kesungguhan kasih itu (#/TB Ul 13:3*).
             (ii) Terhadap sesama manusia. Kasih ditetapkan oleh Allah untuk jalinan hubungan yg normal dan ideal antar manusia, justru mengasihi dituntut oleh hukum Allah (#/TB Im 19:18*). Larangan yg jiwanya senada, yaitu jangan membenci seseorang, berkaitan dengan hati manusia (#/TB Im 19:17*); dan menunjukkan jelas kedalaman bobotnya yg melebihi hubungan berdasarkan hukum. Tidak pernah ada perintah untuk mengasihi musuh walaupun ia harus ditolong (#/TB Kel 23:4* dab), bahkan sekalipun motivasinya mementingkan diri sendiri (#/TB Ams 25:21* dab).
          II. Dalam PB
             a. Etimologi
             Kata paling umum untuk semua bentuk kasih dalam PB adalah agape, agapao. Kata ini jarang dipakai dalam bh Yunani klasik. Dalam pemunculannya, yg begitu sedikit, kata itu berarti kasih yg paling tinggi dan paling mulia, yg melihat suatu nilai tak terbalas pada obyek kasihnya. Penggunaannya dalam PB tidak langsung berasal dari bh Yunani klasik, tapi lebih cenderung dari LXX, yg menerjemahkan 95% kasih dalam bh Ibrani dengan kata itu, dan menggunakannya untuk menggambarkan kasih Allah kepada manusia, kasih manusia kepada Allah, dan kasih manusia kepada sesamanya. Keagungan yg dikandung kata itu dalam PB dilatarbelakangi penggunaannya sebagai alat penyataan PL. Kata itu dipenuhi makna sesuai yg terkandung dalam PL.
             Fileo adalah pilihan lain ganti agapao. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kasih yg akrab (#/TB Yoh 11:3,36*; #/TB Wahy 3:19*), dan kesukaan’ untuk melakukan hal-hal yg menggembirakan (#/TB Mat 6:5*), walaupun pemakaian kedua kata itu sering tumpang-tindih. Banyak tafsiran mengenai #/TB Yoh 21:15-17* mengetengahkan kecenderungan Petrus sengaja menggunakan katafilo se, dan ragu menggunakan agapo se. Sulit dimengerti mengapa penulis dalam bh Yunani sederhana seperti Yohanes, menggunakan kedua kata itu dalam konteks ini, kecuali ia hendak menekankan perbedaan artinya. Tapi para ahli sungguh-sungguh mempersoalkan ada tidaknya perbedaan arti yg jelas antara kedua kata itu. Perbedaan ini tidak dicatat oleh penafsir zaman kuno, kecuali mungkin oleh Ambrosius (On #/TB Luk 10*) dan dalam Vulgata, yg untuk ay ini menggunakan kata diligo dan amo menerjemahkan agapao dan fileo (B. B Warfield, ‘The Terminology of Love in the New Testament’, PTR 16, 1918; J. H Bernard, St. John, /CC, 2, 1928, hlm 701 dst).
             b. Kasih Allah
             (i) Bagi Kristus. Hubungan Bapak dan Anak adalah kasih (#/TB Yoh 3:35; 15:9*; #/TB Kol 1:13*). Ungkapan ‘yg dikasihi’ (agapetos) kuat mengandung makna ‘satu-satunya yg dikasihi’; yg dalam Injil-injil Sinoptik digunakan hanya untuk Kristus, baik langsung (#/TB Mat 17:5*; #/TB Mr 1:11*) maupun tidak langsung (#/TB Mat 12:18*; #/TB Mr 12:6*). (B. W Bacon, ‘Jesus’ Voice from Heaven’, American Journal of Theology, 9, 1905, hlm 451 dst.) Kasih ini dibalas dan bersifat timbal-balik (#/TB Yoh 14:31*; bnd #/TB Mat 11:27*). Karena kasih ini secara historis mendahului penciptaan (#/TB Yoh 17:24*), maka walaupun baru dikenal oleh manusia tatkala dinyatakan dalam Yesus Kristus dan dalam penebusan (#/TB Rom 5:8*), kasih itu merupakan hakikat Allah sendiri (#/TB 1Yoh 4:8,16*); Yesus Kristus yg adalah kasih yg menjadi manusia dan menjadi pribadi (#/TB 1Yoh 3:16*, ‘bahwa Dia’) adalah penyataan diri Allah.
             (ii) Bagi manusia. Dalam Injil-injil Sinoptik tidak ada catatan bahwa Yesus menggunakan kata agapao atau fileo untuk menggambarkan kasih Allah kepada manusia. Yesus menyatakannya melalui sekian tindakan penyembuhan berdasarkan kasih (#/TB Mr 1:41*; #/TB Luk 7:13*), ajaran-Nya mengenai Allah menerima orang berdosa (#/TB Luk 15:11* dab; #/TB Luk 18:10* dab), kesedihan-Nya karena ketidaktaatan manusia (#/TB Mat 23:37*; #/TB Luk 19:41* dab), dan tindakan-Nya menjadi sahabat (filos) pemungut cukai dan orang-orang yg tersisih (#/TB Luk 7:34*). Tindakan-Nya yg menyelamatkan ini dinyatakan dalam Yoh sebagai penyataan kasih Allah, membagikan realita hidup abadi kepada manusia (#/TB Yoh 3:16*; #/TB 1Yoh 4:9* dab). Seluruh drama penebusan, yg memusat pada kematian Kristus, adalah kasih Allah dalam tindakan nyata (#/TB Gal 2:20*; #/TB Rom 5:8*; #/TB 2Kor 5:14*).
             Seperti halnya dalam PL, kasih Allah bersifat selektif. Obyeknya bukan lagi Israel lama, tapi Israel baru, gereja (#/TB Gal 6:16*; #/TB Ef 5:25*). Kasih Allah dan pemilihan-Nya berkaitan erat, tidak hanya dalam tulisan-tulisan Paulus, tapi gamblang pada ucapan-ucapan Yesus sendiri (#/TB Mat 10:5* dab; #/TB Mat 15:24*). Mereka yg tidak disentuh oleh kasih Allah yg memberi hidup, adalah ‘orang-orang yg harus dimurkai’ (#/TB Yoh 3:35* dab; #/TB Ef 2:3* dab) dan anak-anak Iblis (#/TB Yoh 8:44*). Namun maksud Allah adalah jelas, yaitu keselamatan seluruh dunia (#/TB Mat 8:5; 28:19*; #/TB Rom 11:25* dab), yakni obyek utama dari kasih-Nya (#/TB Yoh 3:16; 6:51*), melalui pemberitaan Injil (#/TB Kis 1:8*; #/TB 2Kor 5:19*). Dalam jiwa perjanjian baru manusia sebagai perseorangan dikasihi oleh Allah (#/TB Gal 2:20*), kendati jawaban terhadap kasih-Nya itu menyangkut keterlibatan dalam persekutuan umat Allah (#/TB 1Pet 2:9* dab umum dipandang mempunyai konteks dgn upacara baptisan).
             c. Kasih sebagai tugas agamawi
             (i) Terhadap Allah. Keadaan manusia alamiah adalah musuh Allah (#/TB Rom 5:10*; #/TB Kol 1:21*), yg membenci-Nya (#/TB Luk 19:14*; #/TB Yoh 15:18* dab). Permusuhan ini nampak mencolok pada peristiwa penyaliban. Keadaan demikian diubah ke dalam bentuk kasih oleh tindakan Allah mengasihi manusia (#/TB 1Yoh 4:11,19*). Kasih Allah kepada manusia dan kasih manusia kepada Allah demikian erat hubungannya, sehingga sering sulit menentukan apakah ungkapan ‘kasih Allah’ berarti kasih yg ditunjukkan Allah atau kasih manusia terhadap Allah (mis #/TB Yoh 5:42*).
             Yesus, menerima dan menggarisbawahi Syema Israel dengan otoritas-Nya sendiri (#/TB Mr 12:28* dab), dan menekankan agar manusia memilih untuk mengasihi Allah dan diriNya sekalipun penentangan terhadap itu teramat keras (#/TB Mat 6:24; 10:37* dab; #/TB Luk 11:42*; #/TB Yoh 3:19*). Namun Ia lebih suka berbicara tentang hubungan ideal antara manusia dengan Allah sebagai hubungan iman (#/TB Mat 9:22*; #/TB Mr 4:40*). Kata kasih nampaknya tidak cukup memberi penekanan pada penyerahan diri dengan kerendahan hati, yg Yesus anggap adalah vital dalam hubungan manusia dengan Allah. Dengan demikian dan kendati kasih kepada Allah, yg diterapkan dalam pelayanan kepada sesama manusia terkandung dalam bagian-bagian lain PB (#/TB 1Kor 2:9*; #/TB Ef 6:24*; #/TB 1Yoh 4:20; 5:2* dab), para penulis umumnya mengikuti Yesus dan menggunakan istilah iman.
             (ii) Terhadap sesama manusia. Seperti dalam PL, saling mengasihi adalah hubungan ideal antar manusia. Yesus memperbaiki pemikiran orang Yahudi waktu itu dalam dua arah. (a) Ia mempertahankan bahwa perintah untuk mengasihi sesama bukanlah aturan yg mengandung pembatasan (#/TB Luk 10:29*), seperti yg nampak pada tafsiran para rabi mengenai #/TB Im 19:18*; tapi bahwa sesama adalah obyek pertama dari kasih itu, sebab terdekat, dan yg menjadi ciri khas hati seorang Kristen (#/TB Luk 10:25-37*). (b) Ia memperluas wawasan perintah ‘mengasihi sesama’ hingga mencakup musuh dan penganiaya (#/TB Mat 5:44*; #/TB Luk 6:27*), sekalipun tidak ada orang kecuali umat baru milik Allah yg dapat diharapkan memiliki sikap demikian; sebabnya ialah karena tuntutan itu terhisab dalam zaman baru (#/TB Mat 5:38* dab), menyangkut anugerah adikodrati (’ upah’, #/TB Mat 5:46*; ‘jasa’, #/TB Luk 6:32* dab; ‘lebihnya’, #/TB Mat 5:47*), dan ditujukan kepada sekelompok ‘pendengar’ (#/TB Luk 6:27*) yg dibedakan dengan tajam dari kelompok orang-orang berdosa (#/TB Luk 6:32* dab) dan para pemungut cukai (#/TB Mat 5:46* dab).
             Sikap yg baru ini jauh dari utopianisme sentimental, karena itu harus diwujudkan dalam perbuatan praktis kepada mereka yg membutuhkannya (#/TB Luk 10:33* dab), itu juga bukan kebajikan yg dangkal, karena menuntut tanggapan kasih yg mendasar dari hati seseorang (#/TB 1Kor 13* passim) terhadap kasih Allah yg mendahuluinya (#/TB 1Yoh 4:19*), dan apakah buah Roh Kudus telah nyata sebagai realita dalam diri seseorang (#/TB Gal 5:22*).
             Bentuk khas kasih ini dalam PB adalah kasih antar sesama orang Kristen (#/TB Yoh 15:12,17*; #/TB Gal 6:10*; #/TB 1Pet 3:8; 4:8*; #/TB 1Yoh 2:10; 3:14*), kasih kepada orang lain yg dinyatakan dalam upaya pemberitaan Injil (#/TB Kis 1:8; 10:45*; #/TB Rom 1:15* dab), dan dalam menanggung penganiayaan dengan sabar (#/TB 1Pet 2:20*). Orang Kristen mengasihi saudaranya karena: (a) meneladani kasih Allah (#/TB Mat 5:43,45*; #/TB Ef 5:2*; #/TB 1Yoh 4:11*); (b) bagi dia, saudara itu adalah orang yg untuknya Kristus telah mati (#/TB Rom 14:15*; #/TB 1Kor 8:11*); (c) ia melihat dalam diri saudara itu Kristus sendiri (#/TB Mat 25:40*). Perilaku saling mengasihi ini, yg terwujud dalam persekutuan umat Kristen (#/TB Ef 4:2* dab; #/TB Fili 2:1* dab) adalah ciri khas dari realita kemuridan Kristen bagi dunia luar (#/TB Yoh 13:35*).[1]

BAB II
KASIH KARUNIA (ANUGERAH)
          I. Dalam PL
          Kasih karunia dipakai sebagai terjemahan bh Ibrani khen. Kata ini berarti perbuatan atasan (dapat juga Allah) yg menunjukkan kepada bawahannya kasih karunia, padahal sebenarnya bawahan itu tidak layak menerimanya: mis #/TB Kej 6:7*; #/TB Kel 33:17*; #/TB Bil 6:25*. Memang, tiada manusia yg dapat menunjukkan khen kepada Allah. PL menjelaskan, Allah memilih Bapak-bapak leluhur Israel dan Israel juga, hanya atas dasar kasih karunia-Nya. Sama sekali tidak ada jasa atau kebenaran dalam mereka, yg dapat dianggap alasan bagi pemilihan itu, #/TB Ul 7:7-8*, bnd #/TB Ul 8:18*. Dalam membuat perjanjian Sinai, seperti dulu dalam membuat perjanjian Abraham, prakarsa dari Allah datangnya. Nabi-nabi juga, yg menekankan perlunya pertobatan, mengakui bahwa hati yg baru harus diperoleh sebagai karunia dari Tuhan (#/TB Yeh 36:26*; #/TB Yer 31:31-34*), artinya, berdasarkan kasih karunia-Nya.
          II. Dalam PB
          Kata Yunani kharis adalah kata yg biasa dipakai untuk menerjemahkan kata Ibrani khen. Kata kerja kharizesthai dipakai untuk menunjukkan arti pengampunan, dari manusia dan juga dari Allah (#/TB Kol 2:13; 3:13*; #/TB Ef 4:32*).
             a. Injil-injil Sinoptis
             Terlepas dari perkataan kharis, yg tidak pernah dikenakan pada ucapan Yesus, gagasan tentang kasih karunia sangat jelas. Yesus berkata bahwa Ia datang untuk mencari dan menyelamatkan yg hilang. Banyak dari perumpamaan-Nya mengajarkan kasih karunia. Perumpamaan para pekerja kebun anggur (#/TB Mat 20:1-16*) mengajarkan bahwa Allah tidak dapat didakwa oleh siapa pun atas pemberian anugerahNya. Perumpamaan tentang perjamuan besar (#/TB Luk 14:16-24*) menunjukkan bahwa hak istimewa rohaniah tidak menjamin kebahagiaan akhir, dan bahwa undangan Injil ditujukan kepada semua orang. Anak yg hilang diterima kembali oleh bapaknya dengan cara yg sebenarnya sang anak tidak layak menerimanya (#/TB Luk 15:20-24*). Pertobatan ditekankan sebagai syarat untuk menerima keselamatan (#/TB Mr 1:15; 6:12*; #/TB Luk 24:47*). Iman juga mempunyai tempatnya (mis #/TB Mr 1:15*; #/TB Luk 7:50*), kendati tidak ada pernyataan teologis pada tema-tema Paulus.
             b. Tulisan-tulisan Lukas
             Baik Injil maupun Kis perlu diperhatikan secara khusus. Lukas memperlihatkan keluwesan dalam hubungan dengan pokok ini. Bahkan pengertian yg tidak religius dari kata kharis, yaitu usaha baik yg dibuat oleh seseorang kepada orang lain, muncul dalam #/TB Kis 24:27; 25:3,9*. Pengertian PL tentang ‘kemurahan hati’ terlihat dalam #/TB Luk 1:30; 2:52*; #/TB Kis 2:47; 7:10,46*. Pengertian dinamis tentang kasih karunia yg menimbulkan keberanian yg sungguh dan kesaksian yg efektif muncul dalam #/TB Kis 4:33; 11:23; 13:43* dan digunakan bila membicarakan seruan universal dari Injil. Lukas juga mempertemukan istilah ‘injil’ (’ perkataan’) dan ‘kasih karunia’ (#/TB Luk 4:22*; #/TB Kis 14:3; 20:24*) dengan cara yg bahkan Paulus pun tidak melakukannya.
             c. Surat-surat Paulus
             Perkataan ‘kharis’ mempunyai tempat utama dalam salam pembukaan dan ucapan syukur penutup dalam Surat-surat Paulus, dan ditambahkan pada ucapan salam ‘damai’ yg biasa. Dasar dari ajaran Paulus terdapat dalam #/TB Rom 1:16-3:20*. Manusia dinyatakan berdosa, tapi oleh kasih karunia dibenarkan (#/TB Rom 3:21-4:25*), yaitu Allah dalam kasih karunia-Nya memperlakukan dia, walaupun bersalah, seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa.
             Iman adalah tanggapan manusia atas kasih karunia Allah (#/TB Rom 5:2; 10:9*; #/TB Ef 2:8*). Iman ini adalah pemberian Allah (#/TB Ef 2:8*); kata-kata ‘bukan hasil usahamu’ mungkin dikaitkan dengan sesosmenoi (’ diselamatkan’), tapi Paulus mencoba untuk menunjukkan bahwa perkataan ‘iman’ tidak dimaksudkan untuk menyatakan suatu tindakan bebas pada pihak orang percaya, lih juga #/TB 2Kor 4:13*; #/TB Fili 1:29*. Iman ini, meskipun menyatakan bahwa tidak ada keselamatan melalui hukum, bukanlah tidak etis. Iman secara moral dengan sendirinya adalah vital. Iman ‘bekerja oleh kasih’ (#/TB Gal 5:6*). C. A Scott (Christianity according to St. Paul, 1927, hlm 111) mengatakan bahwa mulai dari saat iman bekerja, suatu transformasi pandangan etis secara ideal sudah ada di sana.
             Kedudukan orang percaya dalam anugerah dijelaskan, bukan oleh sesuatu dalam dirinya, tapi oleh kehendak Allah. Ajaran tentang pemilihan mempunyai 2 fungsi: ia mengawasi kebebasan manusia dan pembenaran dirinya, dan menunjukkan bahwa dalam melimpahkan karunia-Nya, Allah adalah bebas sama sekali (#/TB Ef 1:1-6*; #/TB 2Tim 1:9*; #/TB Tit 3:5*). Setiap langkah dalam proses kehidupan Kristen tergantung pada kasih karunia — #/TB Gal 1:15* (panggilan); #/TB 2Tim 2:25* (pertobatan); #/TB Ef 2:8,9* (iman). Dalam #/TB Rom 8:28-30* Paulus memandang pekerjaan Allah sejak dari panggilan sampai kepada kemuliaan orang yg dibenarkan-Nya. Tapi ia tidak mengabaikan tanggung jawab manusia. Ketaatan (#/TB Rom 1:5; 6:17*) adalah sikap moral, dan tidak dapat dijadikan sesuatu yg lain. Seorang manusia dari dirinya sendiri mustahil berbalik kepada Tuhan (#/TB 2Kor 3:16*). Kedua sisi tersebut dipertemukan dalam #/TB Rom 9; 10*. Ps 9 berisi pernyataan yg paling kuat terhadap predestinasi ganda, sedangkan ps 10 menyatakan bahwa penolakan oleh Allah disebabkan oleh ketidakpercayaan dan ketidaktaatan. Tapi harus diingat bahwa pokok utama dari ps-ps ini bukanlah keselamatan perseorangan, tapi adalah fungsi-fungsi kolektif dari orang-orang yg dipilih Allah untuk melaksanakan maksud-Nya.
             #/TB Rom 6* memakai gambaran baptisan untuk mengajarkan penaklukan dosa oleh kasih karunia. Lih juga #/TB 1Kor 6:11; 12:13*; #/TB Ef 5:26*; #/TB Kol 2:12*; #/TB Tit 3:5*. H Wheeler Robinson (The Christian Doctrine of Man, 1926, hlm 124-125) berpendapat bahwa baptisan orang percaya bukanlah semata-mata merupakan lambang yg ilustratif, tapi adalah aspek obyektif dari apa yg secara subyektif adalah iman. Orang mungkin memperdebatkan bahwa baptisan anak-anak adalah suatu cara anugerah, karena anak adalah lambang ketidaksanggupan dan ketidakberdayaan manusia. Pandangan-pandangan ini rupanya bertentangan dengan penekanan Paulus yg tidak berubah tentang iman.
             d. Tulisan-tulisan PB yg lain
             (i) 1 Ptr. Rasul Petrus menekankan kasih karunia dalam ps 1 dan 2 pada hubungan yg lazim dengan pemilihan dan warisan dalam perjanjian: pada #/TB Tit 3:7* terdapat ungkapan yg luar biasa ‘kasih karunia kehidupan’. Kasih karunia juga dipakai dalam #/TB 1Pet 5:10* berkaitan dengan kemuliaan yg akan datang bagi orang percaya.
             (ii) Surat Ibr. Penulis menggunakan banyak perkataan yg artinya adalah kasih karunia. Dalam #/TB 1Pet 2:9* kasih karunia Allah dihubungkan dengan penderitaan Kristus. Perkataan kharis digunakan di #/TB Ibr 12:28* dalam hubungan dengan ucapan syukur manusia kepada Allah. Kasih karunia dipandang panggilan pengabdian diri dalam #/TB Ibr 12:14,15*. Ungkapan yg mencolok ‘takhta kasih karunia’ dalam #/TB Ibr 4:16* mempersatukan keagungan Allah dan kasih karunia-Nya. Ungkapan segar yg lain dalam #/TB Ibr 10:29*, adalah ‘Roh kasih karunia’.
             ,( iii) Surat-surat Yohanes. Hanya sedikit menyinggung secara langsung tentang kasih karunia, tapi kasih Allah ditekankan di seluruh bagiannya. Gagasan kasih karunia harus dihubungkan dengan ‘kehidupan kekal’. Iman adalah utama, dan Yohanes menggunakan suatu ungkapan Yunani pisteuein eis (percaya kepada) mengenai iman yg sungguh kepada pribadi Kristus (*IMAM). ‘Kasih karunia dan kebenaran’ yg mencirikan kemuliaan Firman yg telah menjadi manusia dalam #/TB Yoh 1:14* (bnd ay #/TB Yoh 1:17*) menggemakan ‘kasih dan setia’ dari #/TB Kel 34:6*.
             Kita menarik kesimpulan bersama Moffatt bahwa kepercayaan dalam Alkitab adalah ‘kepercayaan tentang kasih karunia atau tidak ada apa-apa … kalau tidak ada kasih karunia, tidak ada injil’ (Grace in the New Testament, hlm 15).[2]

BAB III
KASIH MESRA

       Kasih mesra dipakai dalam #/TB Ef 4:32*; #/TB Fili 1:18,21*, untuk menerjemahkan ungkapan Yunani yg secara harfiah berarti usus. *USUS. MRD/MHS[3]

BAB IV
KASIH PERSAUDARAAN

       Yunani filadelfia (#/TB Rom 12:10*; #/TB 1Tes 4:9*; #/TB Ibr 13:1*; #/TB 1Pet 1:22*; #/TB 2Pet 1:7*) artinya bukan secara kiasan kasih seperti saudara, melainkan kasih dari mereka yg disatukan dalam persaudaraan Kristen (adelfotes, #/TB 1Pet 2:17; 5:9*; bnd kata sifat filadelfos, #/TB 1Pet 3:8*). Di luar tulisan-tulisan Kristen (mis 1 Makabe 12:10, 17) filadelfia hanya dipakai bagi orang dari satu keturunan. Dalam PL, ‘saudara’, seperti juga ‘tetangga’, berarti ‘rekan Israel’ (#/TB Im 19:17* dst; bnd #/TB Kis 13:26*). Yesus meluaskan arti kasih kepada sesama manusia (#/TB Mat 5:43-48*; #/TB Luk 10:27-37*), tapi Ia juga menetapkan kasih khusus antara sesama Kristen yg dimaksudkan oleh kata filadelfia (bnd #/TB Rom 8:29*), karena Ia menyebut pengikut-Nya adalah saudara-Nya (#/TB Mr 3:33* dst; #/TB Mat 28:10*; #/TB Yoh 20:17*) dan mereka bersaudara semua (#/TB Mat 23:8*; #/TB Luk 22:32*).
       Hal ini terungkap dalam hidup gereja sehari-hari (bnd homothumadon, ‘dengan sehati’ #/TB Kis 1:14; 2:46; 4:24; 5:12; 15:25*). Ini adalah penjabaran kasih Kristus (#/TB Ef 5:1* dab) yg biasa terdapat antara orang Kristen (#/TB 1Tes 4:9* dab), tapi yg harus digalakkan dan diperdalam (#/TB Rom 12:10*) agar menjadi tetap (#/TB Ibr 13:1*), benar (anupokritos, #/TB 1Pet 1:22*; bnd #/TB Rom 12:9*) dan sungguh-sungguh (ektenes, #/TB 1Pet 1:22*; bnd #/TB 1Pet 4:8*). Ini nampak pada cara berpikir yg sama (to auto fronein, #/TB Rom 12:16; 15:5*; #/TB 2Kor 13:11*; #/TB Fili 4:2*; bnd #/TB Gal 5:10*; #/TB Fili 2:2,5; 3:15*) dan cara hidup (to auto stoikhein, #/TB Fili 3:16*), teristimewa dengan kesukaan memberi tumpangan (#/TB Ibr 13:1* dab; #/TB 1Pet 4:8* dab) dan dengan membantu orang Kristen yg berkekurangan (#/TB Rom 12:9-13*). Ini membuktikan ketulenan iman bagi orang Kristen itu sendiri (#/TB 1Yoh 3:14*) dan bagi dunia (#/TB Yoh 13:35*).
       Filadelfia dengan sendirinya tak dapat terlaksana di luar persekutuan iman’, tapi dihubungkan dengan penghormatan (#/TB 1Pet 2:17*) dan berbuat baik kepada semua orang (#/TB Gal 6:10*). Kebalikannya bukan penolakan atau sikap tak acuh akan orang di luar (hoi exo, #/TB Mr 4:11*; #/TB 1Kor 5:12* dab; #/TB Kol 4:5*; #/TB 1Tes 4:12*), tapi kasih Kristus bagi mereka yg menguasai orang Kristen sehingga berusaha memenangkannya (#/TB 2Kor 5:14*; bnd #/TB Luk 12:50-53*).[4]

BAB V
KASIH SAYANG

       Kasih sayang atau belas kasih ialah sifat yg terdapat baik pada Allah maupun pada manusia. Dua istilah ini (kasih sayang dan belas kasih) menerjemahkan beberapa kata Ibrani dan Yunani yakni Ibrani khamal dan rakhamim, Yunani eleeo dan oikteiro. Dalam #/TB Est 2:9* dan #/TB Ayub 6:14* aslinya ialah khesed (*KASIH SETIA) dan dalam #/TB Est 2:15* aslinya khen (*KASIH KARUNIA). Dalam #/TB 1Tes 2:8* aslinya himeromai, yg terdapat hanya dalam ay ini dalam PB. Pengertian kasih sayang ialah ‘belas kasih atasan kepada bawahan, yg sama sekali bawahan itu tidak layak menerimanya’ (Snaith); juga mencakup kasih yg menyala. ‘Allah yg berpribadi itu mempunyai hati’ (Barth). Pemikiran Allah terhadap manusia sehubungan dengan kesalahan manusia ialah kasih karunia: pemikiran-Nya terhadap manusia sehubungan dengan kesengsaraan manusia ialah kasih sayang.
       Para nabi dan abdi Allah sadar akan keajaiban rahmat dan belas kasih Allah terhadap orang berdosa dan orang sengsara. Allah Bapak penuh belas kasih (Pengasih dan Penyayang) (#/TB 2Kor 1:3*; #/TB Kel 34:6*; #/TB Neh 9:17*; #/TB Mazm 86:15; 103:8-14*; #/TB Yoel 2:13*; #/TB Yun 4:2*), dan kasih-Nya (eleos) yg besar (#/TB Ef 2:4*) menyelamatkan kita (#/TB Tit 3:5*).
       Para nabi mengajarkan, setiap orang yg mengalami belas kasih Allah dalam hidupnya, wajib menunjukkan belas kasih itu kepada orang yg membutuhkannya, terutama ‘anak yatim, janda dan orang asing’, yg berkali-kali disebut bersama-sama (mis #/TB Ul 10:18; 14:9; 16:11; 24:19*; #/TB Yer 22:3*), orang miskin dan orang malang (#/TB Mazm 146:9*; #/TB Ayub 6:14*; #/TB Ams 19:17*; #/TB Za 7:9*; #/TB Mi 6:8*), dan terutama dalam Ul, kepada orang asing. Hati Yesus kerap kali tergugah oleh belas kasih, dan Ia menyuruh murid-Nya menunjukkan belas kasih kepada orang lain yg membutuhkan pertolongan mereka. Belas kasih mereka harus serupa dengan belas kasih-Nya, bukan hanya dalam hal tidak mau memandang orang, tapi dalam hal bertindak dengan pengorbanan diri (#/TB 1Yoh 3:17*). Orang yg murah hati akan beroleh kemurahan (#/TB Mat 5:7*; bnd #/TB Mat 18:21*; #/TB Luk 6:36*). ‘Murah hati’ di sini menerjemahkan kata yg di tempat lain diterjemahkan kasih sayang atau belas kasih.
BAB VI
KASIH SETIA
       Kasih setia merupakan padanan kata Ibrani khesed. Paling banyak muncul dalam Mzm. Di tempat-tempat lain khesed diterjemahkan ‘belas kasihan’, ‘kemurahan hati’, dan ‘kebaikan’. Banyak terjemahan telah dikemukakan, antara lain ‘kasih yg jujur’ (G Adam Smith), ‘kesalehan’ (C. H Dodd), ‘solidaritas’ (Koehler-Baumgartner) dan ‘kasih perjanjian’ (N Snaith). Asal usul etimologisnya tidak jelas. Suatu penyelidikan mengenai ay-ay di mana kata itu dijumpai (mis #/TB Mazm 89*), mengungkapkan bahwa kata itu sangat erat hubungannya dengan dua pengertian, yaitu ‘perjanjian’ dan ‘kesetiaan’. Artinya mungkin dapat dirangkum sebagai ‘kasih yg mantap teguh atas dasar perjanjian yg telah dibuat’. Arti ini digunakan untuk menggambarkan baik sikap Allah terhadap umat-Nya maupun sikap umat Allah terhadap Dia; penggunaan yg kedua khususnya dalam Hos.[5]

      
BAB VII
PENUTUP

Siapa yang harus kita Beritakan?
ALLAH
Kasih Allah:
 ALLAH
       Bagi pengertian Kristen, Alkitab adalah satu-satunya sumber ajaran tentang Allah. Dalam Alkitab kita menemukan penyataan Allah tentang diriNya sendiri.
          I. Kata-kata Ibrani untuk Allah
             a. ‘el, ‘eloah, ‘elohim
             Sebutan el berakar pada suatu kata yg berarti kekuatan atau tenaga. Dengan arti ini el digunakan dalam PL untuk manusia, dan secara abstrak digunakan untuk benda, selain untuk Allah. Apabila mengacu kepada Allah, maka kata itu sering dirangkai dengan julukan seperti ‘Yg Mahakuasa’, misalnya el-shaddai, Allah Yg Mahakuasa, atau Maha sempurna. Kata eloah (jarang digunakan kecuali dlm puisi) dan elohim juga digunakan; bentuk jamaknya, elohim, lazim digunakan. Ada yg melihat penggunaan bentuk jamak ini sebagai sisa politeisme, yg lain melihatnya sebagai tanda yg mengacu kepada Trinitas. Tapi lebih mungkin ialah contoh penggunaannya yg lazim dalam bh Ibrani, dimana penggunaan bentuk jamak dimaksudkan untuk mengintensifkan atau memperluas gagasan yg dikemukakan dalam bentuk tunggal. Dengan demikian elohim mengarahkan perhatian kepada kepenuhan Allah yg tak kunjung habis, kepada kelimpahan hidup di dalam Allah.
             b. Yahweh
             Nama ini, sering ditulis Jehovah, diterjemahkan ‘TUHAN’ dalam Alkitab terjemahan LAI. Yahweh adalah nama diri Allah, seperti Elohim adalah nama umum bagi Allah. Jadi pada khususnya Yahweh adalah nama dari Allah yg hidup yg dinyatakan oleh Alkitab. Asal mulanya tidak pasti, meskipun mungkin berasal dari kata dasar hwh atau hyh, yg mengandung pengertian ‘eksistensi yg mandiri dan tidak bermuasal’. Ketika pertama kalinya dinyatakan kepada Musa dari nyala api yg keluar dari semak duri (#/TB Kel 3:11-15*), api yg berasal dari dirinya sendiri dan bukan dari sekelilingnya, adalah pertanda dari eksistensi yg mandiri.
             Penyingkapan Allah tentang arti nama ‘AKU ADALAH AKU’, atau mungkin lebih tepat ‘AKU AKAN ADA YANG AKU AKAN ADA’, mengumumkan kesetiaan Allah dan Allah yg tidak pernah berubah. Ia tetap sama, kemarin, hari ini dan selama-lamanya. Sementara #/TB Kel 6:4* nampaknya mengemukakan bahwa nama Yahweh belum dikenal sebelumnya, sedang dalam terang #/TB Kej 15:7; 28:13* sudah diperkenalkan, maka #/TB Kel 6:4* mengartikan bahwa Nama itu belum dinyatakan sebelumnya dalam pengertian yg sebenarnya dan dalam makna kualitasnya. Perlu diperhatikan bahwa dalam penyataan ini Yahweh menyatakan diriNya bukan sebagai Allah yg baru atau Allah yg asing, sesungguhnya tidak ada yg lain, kecuali ‘Yahweh, Allah nenek moyangmu’ (#/TB Kel 3:16*).
             c. ‘adonay
             Ini juga bentuk jamak, mengacu kepada Allah sebagai penuh kehidupan dan kuasa. Artinya ‘Tuhan’, atau dalam bentuknya yg lebih diperkuat, ‘Tuhan dari segala tuan’, dan ‘Tuhan semesta’, yg menunjukkan Allah sebagai Pemerintah yg kepada-Nya segala sesuatu tunduk dan kepada-Nya manusia dihubungkan sebagai hamba (#/TB Kej 18:27*). Sebutan ini paling disukai oleh para penulis Yahudi di kemudian hari, dan nama itulah yg diambil untuk mewakili nama suci YHWH.
             Anggapan bahwa pemakaian nama-nama ini menunjukkan adanya perbedaan antara Allah yg lebih tinggi dan yg lebih rendah dalam pemikiran penulis-penulis PL, tidak cocok dengan fakta-fakta, dan apabila hal itu dijadikan patokan bagi penentuan sumber-sumber maka akan menyebabkan kekacauan belaka. Memang penulis-penulis PL menekankan aspek-aspek yg berbeda tentang sifat Allah, tapi hal ini tidak mendukung pandangan evolusioner tentang agama Israel yg berkembang dari polidemonisme sampai kepada monoteisme. Kecenderungan umum yg berlaku di Israel ialah arah yg sebaliknya, yaitu mundur dari`monoteisme murni dan menerima pengaruh politeisme dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Walaupun terdapat perkembangan sejarah tentang penyataan din Allah kepada Israel, sifat dasar dan tabiat-Nya tetap tidak pernah berubah selama-lamanya.
             Allah yg dinyatakan oleh Kitab Suci adalah Allah Yg Hidup, berpribadi, yg sendirinya ada dan tidak dijadikan, sadar akan diriNya, Pencipta alam semesta, Sumber kehidupan dan berkat. Kehidupan-Nya, sifat-Nya dan kehendak-Nya adalah tema-tema pokok yg menjiwai pemikiran-pemikiran para penulis Alkitab.
          II. Keberadaan Allah
          Adalah benar bahwa Alkitab tidak pernah membicarakan keberadaan Allah terlepas dari sifat-sifat-Nya, karena Allah adalah Apa yg Ia sendiri nyatakan tentang diriNya. Tapi adalah mungkin untuk memikirkan keberadaan Allah dalam hubungan dengan keberadaan kita manusia, atau dari segi kesamaan maupun kebalikannya, sekalipun hakikatnya tetap tak dapat dipahami. Dapat dikatakan bahwa Allah adalah Roh, Roh Sejati, berpribadi dan tidak terbatas.

          Menurut penyataan Kristus kepada wanita Samaria, Allah adalah Roh (#/TB Yoh 4:24*), dan kita harus memahami Dia sebagai Roh Sejati, dengan pengertian bahwa Ia bukanlah kumpulan atau terdiri dari bagian-bagian, melainkan tanpa tubuh atau wujud jasmaniah, dan justru tak dapat dilihat dengan indra jasmaniah (#/TB Yoh 1:18*).
          Alkitab juga jelas menyatakan bahwa Allah adalah Roh, berpribadi, rasional, sadar akan diriNya, mengambil keputusan dari diriNya, dan pelaku moral yg piawai. Allah adalah Akal yg tertinggi, dan sumber dari segala rasionalitas yg ada dalam seluruh ciptaan-Nya.
          Allah adalah Roh Yg Mahakuasa, tanpa ikatan dan batasan apa pun atas keberadaan-Nya atau atas salah satu sifatNya, dan setiap aspek dan unsur dari kodrat-Nya tidak terbatas. Terkait dengan waktu, ke-’tanpa-batas’-an-Nya disebut kekekalan. Terkait dengan ruang atau tempat Ia disebut omnipresen (hadir di mana-mana). Terkait dengan semesta alam Ia dinyatakan baik transenden maupun immanen. Yg dimaksud dengan Allah yg transenden ialah, keterlepasan-Nya dari seluruh ciptaan-Nya sebagai Pribadi yg berdaulat dan bebas bertindak sendiri dan yg ‘ada hadir’ sendirinya. Ia tidak dikungkung oleh alam, tapi tanpa batas Ia diagungkan di atasnya. Bahkan bagian-bagian Alkitab yg secara khas menyingkap manifestasi-Nya yg temporal dan lokal menekankan keagungan-Nya dan kemahakuasaan-Nya (omnipoten) sebagai Pribadi luar dunia, Pencipta dan Hakim Yg Mahakuasa (bnd #/TB Yes 40:12-17*).
          Yg dimaksud dengan Allah yg immanen ialah kehadiran dan kuasa-Nya yg senantiasa berlaku dalam ciptaan-Nya. Ia tidak berdiri jauh dari dunia, tidak masa bodoh dan berpangku tangan menonton dari jauh hasil karya ciptaan-Nya; Ia merasuki segala sesuatu yg organik dan yg anorganik, bertindak dari dalam ke luar, dari titik pusat setiap atom dan dari sumber paling dalam pikiran dan kehidupan dan perasaan, yaitu suatu rangkaian bersinambungan, dari sebab dan akibat. Dalam #/TB Yes 57:15* terdapat ungkapan tentang Allah yg transenden sebagai ‘Yg Mahatinggi dan Yg Mahamulia, yg bersemayam untuk selamanya dan Yg Mahakudus namaNya’, dan tentang Dia yg immanen sebagai ‘Yg juga bersama-sama orang yg remuk dan rendah hati’.
          III. Sifat-sifat Allah
          Jika Allah adalah Pribadi, maka sebagai pelaku moral Ia memiliki tabiat. Jadi kita dapat berbicara tentang sifat-sifat yg dapat dihubungkan dengan tabiat Allah. Sekalipun tidak ada sifat yg dapat menjelaskan keadaan Allah, namun sifat-sifat yg sedemikian banyak dikemukakan dalam Alkitab memberikan penjelasan yg memadai tentang transendensi dan immanensi-Nya. Tapi haruslah diingat bahwa sifat-sifat Allah adalah tercakup dalam keberadaan-Nya, justru sifat-sifat-Nya itu adalah koeksistensif dengan kodrat-Nya.
          Di dalam Allah sifat-sifat dan keberadaan adalah satu. Di dalam manusia tidak demikian halnya. Sifat-sifat manusia — karena dia makhluk — adalah terbatas. Di dalam manusia ada perbedaan antara keberadaan, kehidupan, pengetahuan dan kemauan. Yg sangat kita harapkan ialah keempat hal tersebut dapat berimbang. Dalam ihwal Allah, sifat-sifat-Nya tetap berdaya rasuk dan masing-masing tidak terhingga dan tanpa batas. Sebagai contoh, tak dapat dikatakan bahwa Allah adalah sebagian kasih dan sebagian adil karena seantero diriNya adalah kasih dan sekaligus seantero diriNya adalah adil. Setiap sifat Allah pada diriNya adalah Allah sendiri, dan Allah diekspresikan sepenuhnya dalam setiap sifat-Nya itu. Manusia tetap manusia sekalipun ia tidak memiliki salah satu sifat manusia tertentu: Allah bukanlah Allah tanpa segenap sifat-Nya.
          Adalah tepat membagi sifat-sifat Allah dalam dua jenis. Pertama, sifat-sifat yg dapat dikomunikasikan atau diberikan atau diteruskan; dan yg kedua, sifat-sifat yg tidak dapat dikomunikasikan (kadang-kadang disebut sebagai ‘berhubungan’ dan ‘tidak berhubungan’). Sifat-sifat yg dapat dikomunikasikan (dlm batas tertentu) kepada makhluk ciptaan-Nya yg berakal dan berbudi pekerti, antara lain ialah: kebijaksanaan, kebaikan, kebenaran, keadilan, kasih — yakni sifat-sifat yg menyatakan immanensi Allah. Sifat-sifat yg tidak dapat dikomunikasikan atau diteruskan ialah: kesempurnaan Allah yg tidak mempunyai kesamaan dalam (diri) manusia — misalnya: Allah tidak diciptakan, tidak berubah, mahatahu, kekal — yakni sifat-sifat yg menekankan transendensi-Nya. Kendati demikian, sifat-sifat terakhir ini dapat dimengerti.
          Yg dimaksud dengan ihwal ‘tidak diciptakan’, ialah Allah mempunyai keberadaan-Nya sendiri — berbeda dari semua makhluk ciptaan-Nya — Ia tidak menggantungkan keberadaan-Nya kepada yg ada di luar diriNya sendiri.
          Yg dimaksud dengan ketidakberubahan Allah, ialah Ia tidak memiliki perubahan apa pun dalam diriNya, dalam kesempurnaan-Nya, maksud-maksud-Nya dan janji-janjiNya. Semua saran tentang perubahan yg ditujukan kepadaNya dalam Alkitab adalah kata-kata kiasan, yg disesuaikan dengan sudut pandangan manusia biasa.
          Yg dimaksud dengan keabadian-Nya, ialah Allah berada di atas batas-batas waktu, tanpa awal dan tanpa akhir, dan tanpa pergantian waktu. Hal ini akan lebih mudah dimengerti dengan mengingat bahwa waktu tidak ada baik di dan oleh dirinya sendiri, dan hanyalah merupakan iringan dari kejadian. Dalam Allah tidak ada waktu, tidak ada ‘menjadi’; Ia adalah yg kekal ‘Aku Ada’, dan kekinian-Nya adalah kekal.
          Yg dimaksud dengan kemahatahuan Allah dan kehadiran-Nya di mana-mana, ialah bahwa Ia berada di atas batas-batas tempat dan ruang. Pengetahuan Allah adalah bagian dari sifat-Nya dan tidak perlu dipelajari-Nya, berbeda dari hal setiap manusia. Justru pengetahuan-Nya adalah mutlak lengkap dan mutlak sempurna, dan mencakup waktu lampau, kini dan waktu yg akan datang. Kemahatahuan-Nya menyertai kehadiran-Nya di mana saja, sebab pengetahuan Allah meliputi kehadiran Allah di segala tempat dan ruang dan pada segala waktu. Bukan bahwa Allah berada di mana-mana, melainkan di mana-mana itulah Dia dan ada pada Dia. Lagipula, Ia utuh seluruhnya, bukan sebagian Dia saja, hadir di mana-mana.
          Yg dimaksud dengan kemahakuasaan Allah, ialah sesuatu yg sangat berbeda dari kuasa yg ada pada manusia. Pada manusia kuasa adalah usaha kemauan yg memanfaatkan atau menggunakan kuasa yg telah tersedia ada sebelumnya; pada Allah kemahakuasaan adalah sifat yg memiliki daya cipta, suatu ‘daya kemampuan’ menciptakan segenap karya ciptaan yg ada dari yg tiada. Dalam Allah semua kuasa adalah kreatif.
          Kekudusan dapat disebut sebagai sifat Allah yg paling khas, kemilau dari segala keberadaan-Nya. Dan kekudusan-Nya-lah yg paling khas memisahkan Dia dari segenap ciptaan-Nya — karena hanya Dia yg kudus — dan itulah pula yg membuat Dia tidak terhampiri dalam segala kesempurnaan-Nya. Kekudusan-Nya itulah semarak dan kemegahan intelektual dan moral-Nya, kemurnian etis yg olehnya Ia menyukai kebaikan dan membenci yg jahat (*KEKUDUSAN).
          IV. Kehendak Allah

          Kehendak atau kemauan Allah terutama menyatakan ‘sifat menentukan sendiri’ yg olehnya Allah bertindak sesuai kemahakuasaan-Nya dan ke-Allah-an-Nya yg abadi. Meskipun kehendak Allah tidak dapat dikatakan terbatas, kesempurnaan-Nya memberikan keyakinan bahwa Ia tidak akan pernah melakukan sesuatu apa pun yg bertentangan dengan tabiat-Nya. Para teolog membedakan kehendak Allah memutuskan sendiri, yg dengannya Ia memutuskan sendiri apa pun yg terjadi, dari kehendak-Nya menyuruh, yg dengannya Ia menugasi makhluk-makhluk-Nya melakukan tugas-tugas yg harus mereka lakukan. Dapat dimengerti, bahwa kehendak memutuskan sendiri selalu tuntas, sedangkan kehendak menyuruh sering tidak ditaati. Jika kita memikirkan kedaulatan kuasa kehendak Allah, kita mengakui bahwa kekuasaan tersebut memperlihatkan Allah sebagai dasar mutlak dari segala keberadaan, dan dasar mutlak dari segala sesuatu yg pernah terjadi, atau secara aktif menyebabkan sesuatu terjadi, atau secara pasif membolehkan sesuatu terjadi. Jadi, masuknya dosa ke dalam dunia dikaitkan dengan kehendak Allah yg bersifat membolehkan.
          Ciri-ciri khas dari kehendak Allah ialah, di balik kehendak-Nya terdapat kebijaksanaan dan kekudusan-Nya yg tidak terbatas, dan kehendak-Nya itu dilaksanakan-Nya dengan penuh anugerah dan kebaikan, dan tindakan-Nya dilakukan tanpa syarat atau secara mutlak sebab kehendakNya itu tidak bergantung kepada sesuatu apa pun di luar Allah sendiri. Tujuan dari semuanya ini adalah untuk kemuliaan-Nya, atau dapat dikatakan, manifestasi dari kemuliaan-Nya di mana dalamnya terletak berkat sepenuhnya kepada makhluk-makhluk-Nya.
          Segi kehendak Allah yg paling sering disinggung dalam Alkitab ialah tujuan-Nya yg berkuasa. Maksud dan tujuan Allah itu mencakup dan meliputi semuanya. Ini sesuai dengan kodrat Allah yg hakiki, sebab pengetahuan-Nya adalah langsung, serta merta dan lengkap, dan Ia tidak perlu menunggu terbentangnya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, tidak seperti manusia harus menunggunya. Jadi Ia sanggup mencakup segala hal dalam satu rencana. Dikatakan bahwa tujuan-Nya adalah bebas, berkuasa dan tidak berubah — bebas dalam arti bahwa Ia tidak dapat di bawah pengaruh suatu apa pun atau oleh siapa pun di luar diriNya sendiri; Allah berkuasa sebab Ia mempunyai kemahakuasaan untuk melakukan maksud-maksud-Nya; Allah tidak berubah karena tidak ada perubahan dalam Allah, sebab perubahan mengacu kepada lemahnya kebijaksanaan dalam membuat rencana, atau kurangnya kuasa melaksanakan sesuatu. Justru dikatakan selanjutnya, sebab tidak akan ada keadaan darurat atau bahaya di luar dugaan, dan tidak ada kekurangan dalam batas kemampuan, maka dalam Dia tidak akan pernah ada penyebab mungkinnya terjadi perubahan.
          Jika kita tidak mampu ‘memadankan’ kemahakuasaan Allah dengan tanggung jawab manusia, maka ketidakmampuan itu adalah sebab kita tidak mengerti pengetahuan Allah dan pemahaman-Nya tentang segala hukum yg menguasai tingkah laku manusia. Seantero Alkitab mengajarkan, bahwa seluruh kehidupan manusia dijalaninya atas topangan dan kekuatan yg berasal dari kuasa Allah ‘yg di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada’ (#/TB Kis 17:28*), dan seperti burung bebas bergerak di udara dan ikan bebas hidup di laut, masing-masing di tempatnya yg sewajarnya, demikianlah manusia mempunyai kebebasan yg sebenarnya dalam kehendak Allah yg menciptakan dia bagi diriNya.
          V. Kebapakan Allah
          Penyataan Kristen tentang Allah ialah Allah sesungguhnya adalah Bapak. Sebutan itu paling sering dipakai oleh Yesus terhadap Allah. Dalam teologi Kristen sebutan Bapak terutama mengacu kepada Oknum Pertama dari Tritunggal. Tapi karena Oknum Pertama dianggap sebagai sumber dari Allah Yg Ilahi, yaitu yg melambangkan martabat, kehormatan, dan kemuliaan Tritunggal, maka sebutan Bapak kadang-kadang dipakai apabila menunjuk kepada Allah atau Allah Yg Mahatinggi (bnd #/TB 1Pet 1:17*; #/TB Yak 1:27*; juga #/TB Yes 9:6*, di mana Mesias disebut ‘Bapak yg kekal’ sebagai hunjukan kepada Allah Yg Mahatinggi).
          Pengertian tentang Allah sebagai Bapak tidak berasal dari ajaran Yesus, walaupun Ia memberikan kepadanya konsep baru dan dalam. Pemikiran ini terdapat dalam PL dengan hubungan yg kreatif dan hubungan yg teokratif. Hubungan dasariah Allah kepada manusia yg Ia ciptakan dalam gambar-Nya, mendapat gambar padanan paling lengkap dan tepat pada hubungan alami itu yg meliputi pemberian hidup. Maleakhi mengajukan pertanyaan, ‘Bukankah kita sekalian mempunyai satu Bapak, bukankah satu Allah menciptakan kita?’ (#/TB Yes 2:10*). Yesaya berseru, ‘Sekarang, ya Tuhan, Engkaulah Bapak kami! Kamilah tanah liat dan Engkau-lah yg membentuk kami; dan kami sekalian adalah buatan tanganMu’ (#/TB Yes 64:8*).
          Tapi dalam arti rohanilah terutama hubungan ini diajukan. Dalam #/TB Ibr 12:9* Allah disebut ‘Bapak segala roh’, dan dalam #/TB Bil 16:22* disebut ‘Allah dari roh segala makhluk’. Paulus, ketika berbicara dari atas Areopagus, memakai pikiran ini untuk menekankan irasionalitas manusia rasional yg menyembah berhala-berhala dari kayu dan batu, dengan mengutip penyair Aratus (’ Karena kita juga adalah keturunan’) untuk menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah. Jadi manusia sebagai makhluk adalah padanan dari ke-Bapak-an Allah pada umumnya. Tanpa Bapak Pencipta tidak ada warga manusia, tidak ada keluarga umat manusia.
          Acuan atau sebutan Bapak dalam PL juga mengungkapkan hubungan perjanjian Allah kepada umat-Nya, Israel. Dalam pengertian ini hubungan tersebut adalah hubungan kolektif, bukan hubungan perseorangan. Israel sebagai umat perjanjian adalah anak Allah, justru ditantang untuk mengakui dan menanggapi hubungan Bapak — anak ini, ‘Jika Aku ini Bapak, dimanakah hormat yg kepada-Ku itu?’ (#/TB Mal 1:6*). Tapi karena hubungan perjanjian itu bersifat menyelamatkan dalam pengertian rohaninya, hubungan ini dapat dianggap sebagai pertanda penyataan ke-Bapak-an Allah dalam PB.
          Dalam PB sebutan Bapak dipakai dalam pengertian khas dan sangat pribadi. Kristus memakainya terlebih dahulu, mengenai hubungan-Nya sendiri dengan Allah. Terdapat bukti mencolok bahwa hubungan ini adalah unik dan tidak dapat dibagikan dengan makhluk apa pun juga. Allah adalah BapakNya melalui kelahiran yg kekal, istilah yg menggambarkan hubungan hakiki dan abadi. Adalah penuh arti betapa Yesus dalam ajaran-Nya kepada ke-12 murid-Nya tidak pernah memakai sebutan ‘Bapak kita’, mencakup baik diriNya dan murid-murid-Nya. Dalam amanat-Nya setelah kebangkitan-Nya, Ia menunjukkan dua hubungan yg berbeda yaitu ‘BapakKu dan Bapak-mu’ (#/TB Yoh 20:17*); tapi kedua hubungan tersebut terangkai sedemikian rupa, sehingga yg satu menjadi dasar bagi yg lain. Ia sebagai Anak, meskipun dalam tingkat yg sama sekali unik, adalah dasar dari status murid-murid sebagai anak.
          Inilah hubungan yg menyelamatkan bagi semua orang percaya. Dalam konteks penyelamatan, hal ini dilihat dari dua segi, yaitu dari kedudukan mereka di dalam Kristus dan dari pekerjaan Roh Kudus yg membaharui di dalam mereka. Dari segi pertama, mereka — dalam persekutuan yg hidup dengan Kristus — diterima masuk ke dalam keluarga Allah dan dengan demikian diberikan segala hak istimewa sebagai anak; ‘dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris’ (#/TB Rom 8:17*). Dari segi kedua, mereka dianggap sebagai dilahirkan ke dalam keluarga Allah melalui kelahiran kembali. Yg pertama adalah segi obyektif, sedangkan yg kedua adalah aspek subyektif. Oleh kedudukan mereka yg baru (pembenaran) dan hubungan (pengangkatan) kepada Allah Bapak di dalam Kristus, mereka diikutsertakan dalam kodrat ilahi (#/TB 2Pet 1:4*) dan dilahirkan ke dalam keluarga Allah.

          Jelaslah bahwa ajaran Yesus tentang ke-Bapak-an Allah, membatasi hubungan itu terhadap umat-Nya yg percaya. Tidak pernah dilaporkan bahwa Ia menganggap hubungan ini terjadi antara Allah dan orang yg tidak percaya. Ia bukan hanya tidak mengisyaratkan Allah sebagai Bapak yg menyelamatkan semua orang, tapi Ia mengatakan dengan sangat tajam kepada orang-orang Yahudi yg suka bertengkar, ‘Iblislah yg menjadi bapakmu’ (#/TB Yoh 8:44*).
          Dalam hubungan Bapak inilah PB menunjukkan segi-segi yg lebih lembut dari tabiat Allah, kasih-Nya, pemeliharaan-Nya, karunia-Nya dan kesetiaan-Nya. Dalam mendidik ke-12 murid-Nya Kristus memakai gambaran dan hubungan bapak duniawi kepada anak-anaknya dan dari sana terus maju ke tingkat yg lebih tinggi: ‘Betapa terlebih lagi Bapak-mu yg di sorga….’[6]
       Lihat 00107 ALLAH, ANAK-ANAK
       Lihat 00108 ALLAH, NAMA-NAMA
       Lihat 00109 ALLAH, YG TIDAK DIKENAL
       Lihat 00129 ANAK ALLAH
       Lihat 00277 BAPAK, ALLAH
       Lihat 00534 DOMBA, ANAK DOMBA ALLAH

Kepada siapa kita harus memberitakan?
Kasih ALLAH?

Kepada Dunia:
 DUNIA
       Yunani, kosmos, dari akarnya berarti ‘dunia yg teratur’. Kata itu dipakai dalam PB tapi tidak dalam LXX, kadang-kadang untuk menyatakan apa yg kita sebut ‘alam semesta’, dunia yg dijadikan, yg di dalam PL digambarkan dengan ungkapan ‘segala sesuatu’ atau ‘langit dan bumi’ (bnd #/TB Kis 17:24*). ‘Dunia’ dalam arti itu dijadikan oleh Firman (#/TB Yoh 1:10*); dan ‘dunia’ itulah yg tentangnya Yesus berbicara ketika Dia mengatakan, bahwa tidak berguna seseorang memperoleh seluruh dunia tapi kehilangan nyawanya (#/TB Mat 16:26*).
       Tapi karena manusia adalah bagian yg paling penting dari alam semesta, maka kata kosmos lebih sering dipakai di dalam arti yg terbatas, yakni untuk manusia; ia merupakan kata searti untuk he oikoumene ge, ‘bumi yg dihuni’, kata-kata yg dalam PB diterjemahkan ‘dunia’. Ke dalam ‘dunia’ itulah manusia dilahirkan, dan di dalamnya mereka hidup sampai mereka mati (#/TB Yoh 16:21*). Semua kerajaan dari dunia itulah yg ditawarkan oleh Iblis untuk diberikan kepada Kristus asal saja Ia menyembahnya (#/TB Mat 4:8,9*). Dunia itulah, dunianya orang laki-laki dan orang perempuan dari daging dan darah, yg dikasihi oleh Allah (#/TB Yoh 3:16*), dan yg ke dalamnya Yesus datang ketika Ia lahir dari seorang ibu manusia (#/TB Yoh 11:27*).
       Tapi, adalah aksioma Alkitab bahwa dunia umat manusia itu, yakni puncak karya ciptaan Allah, dunia yg dijadikan oleh Allah terutama untuk memantulkan kemuliaan-Nya, sekarang ada di dalam pemberontakan terhadap Dia. Melalui pelanggaran satu orang, *dosa telah masuk ke dalamnya (#/TB Rom 5:18*) dengan konsekuensi-konsekuensinya yg universal. Sebagai akibatnya, dunia telah menjadi dunia yg tak teratur di dalam cengkeraman si jahat (#/TB 1Yoh 5:19*). Dan dengan demikian sangat sering bahwa dalam PB dan khususnya di dalam tulisan-tulisan Yohanes, kata kosmos mempunyai arti yg buruk.
       Kosmos dalam arti ini, bukan dunia sebagaimana dikehendaki oleh Allah, melainkan menjadi ‘dunia ini’ yg dipertentangkan dengan Allah, yg mengikuti hikmatnya sendiri dan yg hidup dengan terang akal budinya sendiri (#/TB 1Kor 1:21*), yg tidak mengakui Sumber segala hidup yg benar dan terang (#/TB Yoh 1:10*). Dua watak khas yg kuat dari ‘dunia ini’ ialah kebanggaan, yg lahir dari kegagalan manusia untuk menerima kedudukannya sebagai makhluk dan ketergantungannya kepada Khalik, yg menyebabkan ia bertindak seolah-olah ia adalah sungguh-sungguh Tuhan dan pemberi hidup; dan ketamakan, yg menyebabkan manusia mengingini dan memiliki semua yg menarik indera jasmaninya (#/TB 1Yoh 2:16*). Dan, karena manusia sebenarnya cenderung untuk menyembah apa yg diingininya, maka ketamakan macam itu adalah pemberhalaan (#/TB Kol 3:5*). Karena itu, keduniawian berarti merajakan sesuatu yg lain dari Allah untuk dijadikan sasaran tertinggi bagi perhatian dan kecintaan manusia. Kenikmatan dan jabatan, yg tidak salah pada dirinya, menjadi begitu apabila dijadikan pusat perhatian.
       ‘Dunia ini’ dirasuki oleh rohnya sendiri, yg harus diusir oleh Roh Allah, agar ia tidak tetap menguasai akal budi dan pengertian manusia (#/TB 1Kor 2:12*). Manusia berada di dalam perbudakan unsur-unsur yg meliputi dunia (#/TB Kol 2:20*) sampai ia dimerdekakan oleh Kristus dari situ. Ia tidak dapat mengalahkannya sampai ia sendiri ‘dilahirkan dari Allah’ (#/TB 1Yoh 5:4*). Legalisme, asketisme, dan ritualisme adalah pengganti-pengganti duniawi yg melemahkan untuk agama yg benar (#/TB Gal 4:9,10*); dan hanya pengetahuan yg benar akan Allah seperti dinyatakan oleh Kristus, dapat mencegah manusia mempercayakan diri pada isme-isme itu. Adalah karena mempercayakan diri pada semuanya itu maka orang Yahudi tidak mengakui baik Kristus pada masa hidup-Nya di dalam daging (#/TB Yoh 1:11*) maupun para pengikut-Nya (#/TB 1Yoh 3:1*). Nabi-nabi palsu yg menganjurkan hal-hal semacam itu, atau para anti-Kristus yg serba anti hukum dalam pengajarannya, akan selalu didengarkan oleh mereka yg dimiliki oleh dunia ini (#/TB 1Yoh 4:5*).
       Kristus, yg diutus Bapak untuk menjadi Juruselamat dunia ini (#/TB 1Yoh 4:14*), dan yg kehadiran-Nya di dalamnya merupakan suatu penghakiman atasnya (#/TB Yoh 9:39*), membebaskan manusia dari kuasa-kuasa dunia yg mengancam, dengan cara Ia sendiri masuk ke dalam peperangan dengan ‘penghulu’ dunia, penghasut kejahatan di dalamnya. Krisis dunia ini terjadi pada saat Kristus meninggalkan Kamar Atas untuk menghadapi ‘penghulu’ itu. Dengan sukarela dan sengaja menyerahkan diri kepada maut, Yesus mengalahkan dia yg mengongkong manusia di dalam cengkeraman maut tapi yg tidak berkuasa sama sekali atas Dia sendiri (#/TB Yoh 12:31,32; 14:30*). Di kayu salib terjadilah penghakiman atas penghulu dunia (#/TB Yoh 16:11*); dan iman kepada Kristus sebagai Anak Allah, yg mempersembahkan korban yg satu-satunya dapat membersihkan manusia dari kesalahan dan kuasa dosa (suatu pembasuhan yg dilambangkan dgn mengalirnya air dan darah dari lambung-Nya yg ditikam, #/TB Yoh 19:34*), membuat ‘orang percaya’ dapat mengalahkan dunia (#/TB 1Yoh 5:4-6*), dan dapat menahankan kesengsaraan yg pasti didatangkan oleh dunia ke atasnya (#/TB Yoh 16:33*).
       Kasih seorang Kristen kepada Allah, Bapak Yesus Kristus Penebusnya, yg adalah pendamaian bagi dosa-dosa seluruh dunia (#/TB 1Yoh 2:2*) mengusir segala keinginan yg lain. Dan kasih itu membuatnya merasa jijik untuk mengarahkan lagi cintanya kepada ‘dunia ini’ — yg karena terpotong dan sumber hidup yg benar — adalah fana dan mengandung di dalam dirinya benih-benih kebinasaannya sendiri (#/TB 1Yoh 2:15-17*). Seseorang yg telah mengalami kasih yg lebih tinggi kepada Allah, dan kepada Kristus dan saudara-saudara-Nya, harus meninggalkan kasih yg lebih rendah kepada semua yg dicemarkan oleh roh dunia: persahabatan dengan dunia adalah secara tak terelakkan permusuhan dengan Allah (#/TB Yak 4:2*).
       Dalam doa-Nya yg terakhir di ruangan atas, Yesus tidak berdoa untuk dunia, melainkan untuk mereka yg ‘dari dunia’ yg telah diberikan kepada-Nya oleh BapakNya. Dengan ‘pemberian’ itu maka orang-orang itu, yg dilukiskan oleh Yesus sebagai ‘milik-Nya sendiri’, tidak lagi memiliki watak-watak khas dunia; dan Yesus berdoa supaya mereka terpelihara dari pengaruh-pengaruh jahat dunia (#/TB Yoh 17:9*), sebab Dia tahu bahwa setelah kepergian-Nya mereka harus menanggung pukulan berat dari kebencian dunia yg sampan sekarang ditujukan hampir seutuhnya terhadap Dia sendiri. Sebagai Kristus yg telah bangkit dan naik, Dia masih membatasi syafaat-Nya pada mereka yg datang kepada Allah melalui Dia (#/TB Ibr 7:25*); dan Dia melanjutkan penyataan diri. Nya tidak kepada dunia, melainkan kepada milik-Nya sendiri yg berada di dunia (#/TB Yoh 14:22*).
       Tapi sangat pasti bahwa murid-murid Kristus tidak dapat dan tidak boleh mencoba menarik diri dari dunia ini. Ke dalam dunia inilah — ke seluruh dunia (#/TB Mr 16:15*) Dia mengutus mereka. Mereka harus menjadi terang dunia (Ma #/TB Mr 5:14*); dan ‘ladang’ yg di dalamnya gereja harus melakukan pekerjaan kesaksian tentang kebenaran sebagaimana ada di dalam Yesus, tidaklah kurang luas dari dunia itu sendiri (#/TB Mat 13:38*). Sebab dunia adalah tetap dunia Allah, sekalipun sekarang ada dibawah si jahat. Pada akhir zaman ‘keindahan umi yg sebenarnya akan dipulihkan’; dan, dengan dibinasakannya semua kejahatan dan dengan dinyatakannya anak-anak Allah, maka segala makhluk akan ‘dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan menuju ke kemerdekaan yg mulia sebagai anak-anak Allah’ (#/TB Rom 8:21*). Kemudian Allah akan menjadi ‘semua di dalam semua’ (#/TB 1Kor 15:28*); atau, ‘hadir dengan cara menyeluruh di dalam alam semesta’ (begitulah J. Hering dlm Vocabulay of the Bible, 1958). Si Pelihat dalam Why menggambarkan hari ketika mana suara-suara besar di surga akan mengumumkan ‘Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yg diurapi-Nya; dan Dia akan memerintah sebagai Raja sampai selama-lamanya’ (#/TB Wahy 11:15*). RVGT/BS
       Lihat 01851 ROH-ROH DUNIA
       Lihat 02277 UNSUR-UNSUR DUNIA




Bagaimanacaranya kita memberitakanlah
KASIH ALLAH kepada DUNIA
YOH 3:16

Pertanyaan?
1.   Menerimalah Kasih Allah itu?
2.   Mengalami kasih Allah itu?
3.   Memilikilah kasih Allah itu?
4.   Mempergunakan kasih Allah?
5.   Mempertanggung jawabkan kasih Allah itu?
6.   Membagikan kasih Allah itu?


Didalam Kekristenan

Ø Memberitakan kasih Allah (Injil Kristus) melalui:
Gereja (Persekutuan) supaya iman umat Kristen bertumbuh.,

Diluar Kekristenan:
Ø Memberitakan kasih Allah (Injil Kristus) kepada jiwa-jiwa belum terjangkau, Supaya dapat diselamatkan.,



[1] KEPUSTAKAAN. G Quell dan E Stauffer, TDNT 1, hlm 2155; C Spicq, Agape dans le Nouveau Testament, 1958; A Nygren, Agape and Eros, Pt. l, terj P. S Watson, 1953; NDNTT 2, hlm 538-551; J Moffatt, Love in the New Testament, 1929. FHP/SS
[2] KEPUSTAKAAN. H Wheeler Robinson, The Christian Doctrine of Man, 1926; N. H Snaith, The Distinctive Ideas of the Old Testament, 1944; J Moffatt, Grace in the New Testament, 1931; N. P Williams, The Grace of God, 1930; C Ryder Smith, The Bible Doctrine of Grace, 1956; H. H Esser, NIDNTT 2, hlm 115-124; H Conzelmann, W Zimmerli, TDNT 9, hlm 372-402; H. D MacDonald. ZPEB 2, hlm 799-804. JHSr/JMP
[3] [Index Ensiklopedi Alkitab Masa Kini 00000]
[4] KEPUSTAKAAN. A Nygren, Agape and Eros’, 1953, hlm 153-155; TDNT 1, hlm 144-146: NIDNTT 1, hlm 254-260; 2,547-550. PE/S.

[5] KEPUSTAKAAN. N Snaith, The Distinctive Ideas of the Old Testament, 1944, bab 5. GWG/SS

[6]          KEPUSTAKAAN. J. J Crawford, The Fatherhood of God, 1868; J Orr, The Christian View of God and the World, 1908; A. S Pringle-Pattison, The Idea of God, 1917; G Vos, Biblical Theology, 1948; H Bavinck, The Doctrine of God, 1951; J. I Packer, Knowing God, 1973; J Schneider, C Brown, J Stafford Wright, NIDNTT 2, hlm 66-90; H Kleinknecht dll, TDNT 3, hlm 65-123. RAF/JMP

No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...