Sunday, December 31, 2017

Pandangan Alkitab Haruskah Orang Kristen Ikut Serta dalam Kemeriahan Tahun Baru?



Pandangan Alkitab
Haruskah Orang Kristen Ikut Serta dalam Kemeriahan Tahun Baru?

Daftar Isi
  • Sejarah Asal Usul Perayaan Tahun Baru Masehi .
  • Sejarah Tahun Baru Masehi
  • Haruskah Orang Kristen Ikut Serta dalam Kemeriahan Tahun Baru?
  • Fakta Masa Lalu
  • SABAT, TAHUN
  • WAKTU dan Musim
  • Kesimpulan: Pandangan Alkitab

Sejarah Asal Usul Perayaan Tahun Baru Masehi .
Tiap kali menjelang malam pergantian tahun (Kalender Masehi), milyaran orang di penjuru dunia merayakannya. Tiupan terompet, pesta kembang api, hingar bingar pertunjukkan musik, pesta pora di hotel-hotel berbintang atau tempat wisata, hingga ucapan "Selamat Tahun Baru" atau "Happy New Year" berkumandang di mana-mana.
Tapi, tak banyak yang mengetahui sejarah di balik perayaan tahun baru masehi ini. Apa sebenarnya dasar penentuan perayaan tahun baru?
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskkitariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli.
Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus. Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September.
Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari.
Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Tahun Masehi sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Kristen. Masehi adalah nama lain dari Isa Al Masih.
Menurut catatan Encarta Reference Library Premium 2005, orang yang pertama membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada 45 SM, jika menggunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus. Namun dalam perkembangannya, ada seorang pendeta Kristen bernama Dionisius yang kemudian memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadobsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus.
Itulah sebabnya penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti in the year of our lord) alias Masehi.
Sementara untuk jaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi). Kemudian Pope (Paus) Gregory III memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh Eropa, bahkan kini seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender Masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakina Kristen:”The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date”.
Demikian keterangan dalam Encarta Reference Library Premiun 2005. Di jaman Romawi, pesta ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa pada abad permulaan Masehi.
Seiring muncul dan berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai suatu perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal.
Itulah mengapa ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu (Merry Christmas and Happy New Year).
Soal Janus Dewa-Dewa pagan Tersebut bisa dibaca di sini untuk lebih lengkapnya Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam.
Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh.
Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Yunani, buah delima yang menurut orang yunani melambangkan kesuburan dan kesuksesan ditebarkan di pintu rumah, kantor dan took took sebagai simbol doa untuk mendapatkan kemakmuran sepanjang tahun.
Italia, disalah satu kotanya, tepatnya Naples, pada pukul 00 tepat pada malam pergantian tahun, masyarakat disana akan membuang barang barang yang sudah usang dan tidak terpakai di jalanan. Spanyol, masyarakat spanyol tepat pada malam pergantian tahun akan memakan anggur sebanyak 12 biji, jumlah yang hanya 12 melambangkan harapan selama 12 bulan kedepan.
Jepang, di jepang, masyarakat disana merayakan tahun barunya dengan memakan 3 jenis makanan sebagai simbol yaitu telur ikan melambangkan kemakmuran, ikan sarden asap melambangkan kesuburan tanah dan manisan dari tumbuhan laut yang melambangkan perayaan. Korea, pada malam pergantian tahun masyarakat disana menikmati kaldu daging sapi yang dicampur dengan potongan telur dadar dan kerupuk nasi atau yang biasa disebut thuck gook.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba football Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana.
Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang meneriakkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!
Perayaan tahun baru Masehi biasanya dirayakan sangat meriah bahkan ada yang sengaja melupakan sejenak persoalan hidup yang berat untuk sekedar merayakan pergantian tahun: old and new. Tradisi yang dilakukan selalu rutin: meniup terompet dan menyalakan kembang api pada saat detik jarum jam tepat di angka 12 atau pada jam digital menunjukkan kombinasi angka “00.00”. [1]

Pandangan Alkitab:
Haruskah Orang Kristen Ikut Serta dalam Kemeriahan Tahun Baru?

”SORE hari sebelum Malam Tahun Baru tiba, suasananya luar biasa tenang,” kata Fernando, seorang dokter di Brasil. ”Kemudian, sekitar pukul 23.00, orang-orang mulai berdatangan—semakin banyak yang butuh perawatan karena luka tusukan atau tembakan, para remaja yang menjadi korban kecelakaan mobil, serta istri-istri yang babak-belur. Alkohol hampir selalu menjadi penyebabnya.”

Memperhatikan hal di atas, tidaklah mengejutkan bila sebuah jurnal di Brasil menyebut hari pertama tahun baru sebagai hari pemabukan internasional. Sebuah kantor berita di Eropa mengatakan bahwa ”Perayaan Tahun Baru merupakan pemuasan bagi hedonis (pencari kesenangan) tahunan”, dan menambahkan bahwa hal itu merupakan ”satu ronde lagi dalam pertarungan abadi antara manusia dan alkohol”.

Memang, tidak semua orang merayakan Tahun Baru dengan minum-minum berlebihan dan melakukan tindak kekerasan. Malah, banyak orang memiliki kenangan manis tentang peristiwa itu. ”Sebagai anak-anak, kami sangat menanti-nantikan Malam Tahun Baru,” kata Fernando, yang dikutip sebelumnya. ”Selalu ada banyak permainan, makanan, dan minuman ringan. Pada tengah malam kami akan saling peluk, cium, dan memberi salam ’Selamat Tahun Baru!’”

Demikian pula, banyak orang sekarang ini merasa bahwa mereka ikut serta dalam kemeriahan Tahun Baru tanpa melewati batas. Namun, orang Kristen hendaknya menyelidiki asal usul dan arti penting perayaan populer ini. Apakah kemeriahan Tahun Baru bertentangan dengan ajaran Alkitab?

Fakta dari Masa Lalu

Kemeriahan Tahun Baru bukanlah hal baru. Inskripsi kuno memperlihatkan bahwa peristiwa itu diadakan di Babilon pada permulaan milenium ketiga SM. Pesta itu, yang dirayakan pada pertengahan bulan Maret, sangatlah penting. ”Saat itu, dewa Marduk memutuskan nasib bangsa itu untuk tahun berikutnya,” kata The World Book Encyclopedia. Perayaan tahun baru Babilon berlangsung selama 11 hari dan mencakup pemberian korban, pawai, serta ritus kesuburan.

Selama beberapa waktu, orang Romawi juga memulai tahun mereka pada bulan Maret. Tetapi, pada tahun 46 SM, Kaisar Yulius Caesar menetapkan bahwa tahun baru harus dimulai pada awal bulan Januari. Hari itu telah dibaktikan kepada Janus, dewa asal mula, dan yang sekarang juga menandai hari pertama tahun Romawi. Tanggalnya telah diubah, tetapi suasana ingar-bingarnya tetap ada. Pada awal bulan Januari, orang-orang ”menyerah kepada tingkah laku liar yang kelewat batas”, kata McClintock and Strong’s Cyclopedia, ”dan berbagai jenis takhayul yang tidak beradab”.

Bahkan dewasa ini, ritus yang bersifat takhayul masih berperan dalam kemeriahan Tahun Baru. Sebagai contoh, di beberapa daerah di Afrika Selatan, banyak orang menyambut Tahun Baru sambil berdiri hanya dengan kaki kanan. Yang lainnya membunyikan sirene dan meledakkan petasan. Menurut kebiasaan Ceko, Malam Tahun Baru merupakan saat untuk menikmati sup miju, sedangkan menurut tradisi Slovakia, orang-orang mesti meletakkan uang atau sisik ikan di bawah taplak meja. Ritus semacam itu, yang dirancang untuk menghalau kesialan dan menjamin kemakmuran, semata-mata melestarikan kepercayaan kuno bahwa pergantian tahun adalah saatnya untuk menentukan nasib.

SABAT, TAHUN
       Istilah ini mengacu kepada ketentuan yg dibuat mengenai Tanah Perjanjian. #/TB Im 25:2* menyatakan wesyavetah a’arets syabbat, ‘maka tanah itu harus mendapat perhentian’. Hal itu juga disebut ‘perhentian istirahat’ dan ‘tahun perhentian’ (#/TB Im 25:4,5*). Sesudah 6 thn masa tanam, pemeliharaan dan panen, tanah dibiarkan tidak ditanami selama 1 thn. Tanaman yg tumbuh sendiri di ladang itu diperuntukkan bagi orang miskin dan sisanya bagi hewan (#/TB Kel 23:11*; #/TB Ul 15:2-18*). Untuk menenangkan kekuatiran umat Israel akan kekurangan, Tuhan menjamin bahwa thn ke-6 akan menyediakan cukup tuaian buat 3 thn (#/TB Im 25:20* dab). Sejak saat itu ‘tahun perhentian’ ini diberlakukan di Israel (#/TB Neh 10:31*; 1 Makabe 6:49, 53; bnd Jos., Ant. 12. 378; 14. 206). #/TB Im 26:34-43*; #/TB 2Taw 36:21*; #/TB Yer 34:14-22* mengacu kepada kemarahan Tuhan terhadap pelanggaran atas peraturan ini.
       Puncak tahun-tahun sabat dicapai pada setiap thn yg ke-50. Inilah yubilium (Ibrani Yovel, ‘domba jantan’, mengacu kepada ‘terompet’ — tanduk domba jantan — dgn mana tahun itu dirayakan). Sanksi-sanksi tahun sabat diterapkan dengan keras. Disamping itu hak milik dikembalikan kepada pemilik aslinya. Hutang-hutang dinyatakan lunas, dan orang Ibrani yg menjadi budak akibat hutang dibebaskan. Saat itu adalah saat pengucapan syukur dan tindak penerapan iman bahwa Allah akan menyediakan pangan (#/TB Im 25:8* dst).
       Makna tidak mengolah tanah pada setiap thn ke-7, tidak hanya terletak pada prinsip-prinsip kimia pertanahan. Juga bukannya mengikuti pola 7 thn putaran tanpa panen dari orang Kanaan yg diikuti oleh 7 thn kelimpahan. Dalam naskah, tanah itu dibiarkan tidak diolah selama 1 thn. (Lih C. H Gordon, Ugaritic Literature, 1949, hlm 5 dst.) Alasan utama untuk ketentuan ini terletak pada pernyataan bahwa istirahat pada thn ke-7 itu adalah sabat peristirahatan, baik untuk tanah itu maupun untuk Allah (#/TB Im 25:2,4*). Di sini jelas adanya hubungan dengan lembaga sabat yg didasarkan atas karya penciptaan Tuhan (*SABAT). Sejalan dengan ini unsur-unsur lain perlu diperhatikan, yakni bahwa manusia bukanlah satu-satunya pemilik tanah, dan ia tidak mempunyai hak milik untuk selama-lamanya, tapi mempunyainya dalam kepercayaan di bawah Tuhan (#/TB Im 25:23*). Orang Israel juga harus ingat bahwa ia tidak memiliki apa pun berdasarkan hak warisan, karena ia dulu adalah budak di Mesir (#/TB Ul 15:15*). Kemurahan hati didasari rasa terima kasih.

WAKTU
          I. Waktu dan musim
          Mengherankan bahwa PL dan orang Ibrani tidak mempunyai kata khusus untuk ‘waktu penanggalan’, walaupun mereka mempunyai cara mengukur perjalanan waktu. Tapi mereka mempunyai beberapa kata untuk waktu dan musim dalam pengertian waktu yg ditentukan, waktu yg tepat, kesempatan untuk suatu kegiatan atau tindakan tertentu. Kata yg paling biasa ialah ‘et (lih #/TB Pengkh 3:1* untuk pemakaian yg khas); zeman mempunyai arti yg sama. mo’ed, akar katanya berarti ‘menentukan’, dan dipakai untuk masa-masa seperti bulan baru (mis #/TB Mazm 104:19*) dan pesta-pesta tertentu (mis #/TB Bil 9:2*). Secara khusus semua kata ini dipakai untuk menunjuk kepada waktu-waktu yg ditentukan Allah; kesempatan-kesempatan yg diberikan-Nya (mis #/TB Ul 11:14*; #/TB Mazm 145:15*; #/TB Yes 49:8*; #/TB Yer 18:23*). Cara ini diteruskan dalam PB oleh kata Yunani kairos (bnd #/TB Luk 19:44*; #/TB Kis 17:26*; #/TB Tit 1:3*; #/TB 1Pet 1:11*).
          Jadi Alkitab tidak menekankan kesinambungan waktu yg abstrak, melainkan menekankan isi yg diberikan Allah terhadap waktu-waktu tertentu dalam sejarah. ‘Pandangan’ waktu ini boleh disebut linear (lurus memanjang) sebagai lawan dari ‘pandangan’ waktu yg siklis (berputar-putar) yg biasa di dunia kuno. Allah bergerak untuk mencapai penggenapan tujuan-Nya; peristiwa-peristiwa tidak terus berlangsung begitu saja atau kembali ke titik awalnya. Tapi jika ‘pandangan’ waktu alkitabiah ini disebut linear, hal itu tidak boleh dinalar seolah-olah mengisyaratkan bahwa waktu dan sejarah terus berjalan dalam urutan peristiwa-peristiwa yg tak terelakkan. Alkitab justru menekankan ‘waktu-waktu’, tatkala Allah sendiri memajukan tujuan-Nya dalam dunia ini. Allah berdaulat dalam menentukan saat-saat ini, maka bahkan AnakNya sendiri selama pelayanan jabatanNya di bumi tidak mengetahui hari atau saat dari penggenapan tujuan Allah (#/TB Mr 13:32*; #/TB Kis 1:7*). Kedaulatan Allah mencakup juga saat-saat dari hidup perseorangan. *HARI TUHAN.
          Dalam Dan (yg ditulis dgn bh Aram) kata ‘iddan menunjuk kepada periode kronologis (saat-saat atau masa-masa dari waktu yg masuk dlm penanggalan) (mis #/TB Kis 2:9; 3:15*), sering artinya adalah suatu tahun, sekalipun tidak Semua penafsir sependapat mengenai ini (mis #/TB Kis 4:16; 7:25*). Kedaulatan Allah sekali lagi ditekankan.

         Image 00319



          Dalam PB kata khronos, seperti dalam bh Yunani umum, melulu mengartikan perjalanan waktu (mis #/TB Luk 20:9*; #/TB Kis 14:28*). Kait naskah bisa memberikan pengertian ‘penundaan’ atau ‘saat menanti-nanti’ (mis #/TB Kis 18:20,23*; #/TB Wahy 10:6*). #/TB Kis 1:7* bisa berarti bahwa Allah-lah yg memberi saat-saat kesempatan dan keputusan (kairoi) dan Allah juga yg memutuskan, kapan saat-saat itu akan mulai dan berakhir (khronoi). Bnd #/TB Kis 7:17*; #/TB Gal 4:4*.
          II. Kekekalan
          Kata-kata Ibrani ‘ad dan ‘olam mengartikan suatu masa yg batasnya menuju ke satu arah tidak tentu, seperti panjangnya umur seseorang yg tidak diketahui sebelumnya (bnd #/TB 1Sam 1:22,28*) atau umur bukit-bukit (#/TB Kej 49:26*). Di atas segala-galanya, kata-kata ini diterapkan kepada Allah, yg diriNya tidak dibatasi oleh waktu mana pun (#/TB Mazm 90:2*). Alpanya batas waktu ini terkait juga kepada semua sifat Allah dan kasih setia-Nya terhadap umat-Nya (bnd #/TB Yer 31:3; 32:40*; #/TB Hos 2:20*). Untuk mengungkapkan lebih tajam dan lebih tegas keyakinan bahwa Allah tidak dibatasi oleh waktu mana pun, bh Ibrani memakai bentuk puitis ganda yg menguatkan (mis #/TB Mazm 145:13*; #/TB Dan 9:24*) atau bentuk pengulangan (mis #/TB Mazm 132:14*).
          Pemakaian aion dalam PB juga sama; dapat dipakai untuk mengartikan seluruh masa hidup seseorang (#/TB 1Kor 8:13*) atau suatu waktu yg tidak tentu pada masa lalu (#/TB Luk 1:70*) atau pada masa yg akan datang (#/TB Mr 11:14*). Kata itu dipakai untuk menguatkan dalam beberapa ungkapan seperti eis tous aionas ton aionon (mis #/TB Gal 1:5*). Bahwa pemakaian ini lebih bermaksud menguatkan daripada bermakna ganda yg memandang sederet zaman di dunia, diisyaratkan dalam #/TB Ibr 1:8*; di situ dikatakan aiona tou aionios dalam bentuk tunggal (terjemahannya ‘untuk seterusnya dan selamanya’). Tapi ungkapan-ungkapan ini memang khusus menunjuk ke waktu sejak penciptaan, karena dikatakan bahwa Allah telah aktif pro ton aionon, ‘sebelum dunia dijadikan’ (#/TB 1Kor 2:7*).

          Kata sifat aionios sesuai pemakaian aion yg merujuk kepada Allah, diberi tambahan arti waktu ‘selama-lamanya’ yg hakikat nadanya ‘bersifat ilahi’ atau ‘tak dapat mati’. Kecenderungan ini dibantu oleh kenyataan bahwa kemudian dalam bh Ibrani ‘olam berarti ‘dunia ini’; dan itulah asal terjemahan aion sebagai ‘dunia yg akan datang’ dalam #/TB Mr 10:30* dan #/TB Ef 1:21*.
          III. Kedua zaman
          PB mencakup satu di antara waktu yg ditentukan Allah sebagai yg menentukan. Catatan pertama dalam pemberitaan Yesus ialah ‘Waktunya telah genap’ (#/TB Mr 1:15*). Hidup dan pekerjaan Yesus mencirikan kegenapan tujuan-tujuan Allah (#/TB Ef 1:10*). Inilah kesempatan besar (#/TB 2Kor 6:2*), yg harus dimanfaatkan orang Kristen sebaik-baiknya (#/TB Ef 5:16*; #/TB Kol 4:5*). Dalam masa pelayanan Yesus di bumi, perhatian makin tertuju pada saat kematian dan kebangkitan-Nya (bnd #/TB Mat 26:18*; #/TB Yoh 7:6*).
          Yg membuat pengharapan Yahudi berbeda dari pengharapan Kristen, ialah bahwa bagi orang Yahudi saat yg menentukan ini masih belum datang, padahal bagi orang Kristen sudah genap pada masa lampau. Orang Yahudi menanti-nantikan tibanya campur tangan Allah yg menentukan pada masa yg akan datang, orang Kristen mempunyai pengharapan yg malahan lebih jelas mengenai penggenapan segala sesuatu, sebab ia tahu bahwa saat yg menentukan sudah genap ‘sekali untuk selamanya’. Saat-saat terakhir sudah pada zaman kita sekarang (#/TB Kis 2:17*; #/TB Ibr 1:2*; #/TB 1Yoh 2:18*; #/TB 1Pet 1:20*).
          PB membuat perbedaan mencolok dalam pembagian waktu kontemporer orang Yahudi antara zaman sekarang dan zaman yg akan datang. Masih ada masa peralihan di hari depan antara waktu kini dan waktu yg akan datang (#/TB Mr 10:30*; #/TB Ef 1:21*; #/TB Tit 2:12-13*), tapi ada pengharapan akan penggenapan itu, sebab di dalam Yesus tujuan Allah telah tuntas digenapi seutuhnya. Pemberian Roh Kudus adalah tanda dari pengharapan ini, dalam Dia kita mengecap kekuasaan dunia yg akan datang (#/TB Ef 1:14*; #/TB Ibr 6:4-6*; bnd #/TB Rom 8:18-23*; #/TB Gal 1:4*). Justru Yohanes dengan mantap menekankan bahwa sekarang ini kita telah beroleh hidup yg kekal, zoe aionios (mis #/TB Yoh 3:36*). Bukanlah bahwa kualifikasi aionios melebih-lebihkan; Yohanes khas menekankan kenyataan bahwa orang Kristen sekarang ini telah beroleh hidup, yg akan mereka jalani kelak sepenuhnya sesudah kebangkitan dari antara orang mati (#/TB Yoh 11:23-25*). Sifat tindih-menindih dari kedua zaman itulah mungkin maksud Paulus dalam #/TB 1Kor 10:11*.
          IV. Waktu dan kekekalan
          Bahasan filosofis mengenai hubungan waktu dengan kekekalan tidak terdapat dalam Alkitab. Ungkapan-ungkapan yg dipakai untuk mengartikan sifat Allah yg tak terbatas — ungkapan-ungkapan itu sendiri pada diriNya adalah bersifat temporer.
          Banyak filsuf Kristen tetap mempertahankan bahwa ungkapan yg kuat tentang waktu dalam Alkitab menunjuk pada Diri Allah yg dalam filsafat dapat tepat diungkapkan sebagai gagasan mengenai kekekalan, yg sedikit banyak sifatnya berbeda dari sifat waktu.
          Ahli-ahli lain menalar bahwa gagasan mengenai Diri Allah yg sifatnya tidak terkait dengan waktu, adalah tidak berdasarkan Alkitab. Menurut mereka, bahasa manusia harus berkaitan dengan waktu, dan karena itu tak dapat kita bicara tentang makhluk yg tidak terkait dengan waktu tanpa menghadapi risiko, yaitu mengkhayalkan makhluk itu demikian terasing dari dunia ini’sehingga tak dapat lagi digambarkan mempengaruhi hidup di dunia ini secara langsung. Jadi jika pandangan Kristen mengenai Allah yg bertindak dalam sejarah akan dipertahankan, kita harus lebih bertaut kepada bahasa Alkitab daripada peristilahan Plato yg mempertentangkan dunia serba waktu ‘di sini’ dengan dunia serba kekal ‘di sana’. Namun demikian PB melampaui pertentangan sederhana dari dunia ini dengan dunia yg akan datang, dunia ‘sekarang’ dan dunia ‘nanti’ melalui ajarannya tentang pengharapan.
          Apa pun hasil perdebatan filsafat itu, Alkitab seutuhnya menekankan bahwa Allah tidak dibatasi oleh waktu seperti manusia, dan bahwa Dia-lah ‘Raja segala zaman’ (TB 1Tim 1:17*; bnd #/TB 2Pet 3:8*).
KESIMPULANNYA: Pandangan Alkitab

Alkitab memperingatkan orang Kristen agar ”berjalan dengan sopan, tidak dengan pesta pora dan bermabuk-mabukan”.* (Roma 13:12-14; Galatia 5:19-21; 1 Petrus 4:3) Karena kemeriahan Tahun Baru selalu dicirikan oleh tingkah laku kelewat batas yang dikutuk Alkitab, orang Kristen tidak berpartisipasi di dalamnya. Hal ini tidak mengartikan bahwa orang Kristen anti terhadap kesenangan. Sebaliknya, mereka tahu bahwa Alkitab berulang kali memberi tahu para penyembah Allah yang benar agar bersukacita—dan hal itu untuk sejumlah alasan. (Ulangan 26:10, 11; Mazmur 32:11; Amsal 5:15-19; Pengkhotbah 3:22; 11:9) Alkitab juga mengakui bahwa sukacita sering kali diwarnai oleh makanan dan minuman.—Mazmur 104:15; Pengkhotbah 9:7a.

Akan tetapi, seperti yang sudah kita lihat, perayaan Tahun Baru berakar pada kebiasaan-kebiasaan kafir. Ibadat palsu adalah najis dan memuakkan dalam pandangan Allah Yehuwa, dan orang Kristen menolak praktek-praktek yang berasal usul seperti itu. (Ulangan 18:9-12; Yehezkiel 22:3, 4) Rasul Paulus menulis, ”Apakah ada persekutuan antara keadilbenaran dengan pelanggaran hukum? Atau apakah ada persamaan antara terang dengan kegelapan? Selanjutnya, apakah ada keselarasan antara Kristus dan Belial?” Sungguh tepat, Paulus menambahkan, ”Berhentilah menyentuh perkara yang najis.”—2 Korintus 6:14-17a.
Orang Kristen juga sadar bahwa ambil bagian dalam ritus yang bersifat takhayul tidaklah menjamin kebahagiaan dan kemakmuran—khususnya karena berpartisipasi dalam kemeriahan semacam itu dapat menimbulkan ketidaksenangan Allah. (Pengkhotbah 9:11; Yesaya 65:11, 12) Lagi pula, Alkitab memperingatkan orang Kristen agar bersahaja dan berpengendalian diri dalam tingkah laku mereka. (1 Timotius 3:2, 11) Jelaslah, bukanlah hal yang patut bagi seseorang yang mengaku mengikuti ajaran Kristus untuk ikut serta dalam perayaan yang dicirikan oleh tingkah laku liar yang kelewat batas.
Semenarik dan sememikat apa pun kemeriahan Tahun Baru, Alkitab memberi tahu kita untuk ’berhenti menyentuh perkara yang najis’ dan untuk ”membersihkan diri dari setiap pencemaran daging dan roh”. Kepada mereka yang menyelaraskan diri, Yehuwa mengulurkan jaminan yang menghangatkan hati, ”Aku akan menerima kamu. . . . Aku akan menjadi bapakmu, dan kamu akan menjadi putra-putriku.” (2 Korintus 6:17b–7:1) Sesungguhnya, Ia menjanjikan berkat-berkat kekal dan kemakmuran bagi orang-orang yang loyal kepada-Nya.—Mazmur 37:18, 28; Penyingkapan 21:3, 4, 7.[2]


KEPUSTAKAAN.
  • J Barr, Biblical Words for Time, 1962;
  • Cullmann, Christ and Time, 1951;
  • J Marsh, The Fulness of Time, 1952, H Sasse, artikel aion dalam TWNT. MHC/MHS/HAO
  • https://www.facebook.com/abunawasmajdub/posts/391321904346994
  • Referensi Paulus tentang ”pesta pora dan bermabuk-mabukan” boleh jadi mencakup hal-hal yang dilakukan selama kemeriahan Tahun Baru, mengingat hal-hal itu populer di Roma pada abad pertama.






[1] https://www.facebook.com/abunawasmajdub/posts/391321904346994
[2] Referensi Paulus tentang ”pesta pora dan bermabuk-mabukan” boleh jadi mencakup hal-hal yang dilakukan selama kemeriahan Tahun Baru, mengingat hal-hal itu populer di Roma pada abad pertama.

No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...