Haruskah Orang Kristen Ikut Serta
dalam Kemeriahan Tahun Baru?
Daftar Isi
- Sejarah Asal Usul Perayaan Tahun Baru Masehi .
- Sejarah Tahun Baru Masehi
- Haruskah Orang Kristen Ikut Serta dalam Kemeriahan Tahun Baru?
- Fakta Masa Lalu
- SABAT, TAHUN
- WAKTU dan Musim
- Kesimpulan: Pandangan Alkitab
Sejarah Asal Usul Perayaan Tahun Baru Masehi
.
Tiap kali
menjelang malam pergantian tahun (Kalender Masehi), milyaran orang di penjuru
dunia merayakannya. Tiupan terompet, pesta kembang api, hingar bingar
pertunjukkan musik, pesta pora di hotel-hotel berbintang atau tempat wisata,
hingga ucapan "Selamat Tahun Baru" atau "Happy New Year"
berkumandang di mana-mana.
Tapi, tak banyak yang mengetahui sejarah di balik perayaan tahun baru masehi ini. Apa sebenarnya dasar penentuan perayaan tahun baru?
Tapi, tak banyak yang mengetahui sejarah di balik perayaan tahun baru masehi ini. Apa sebenarnya dasar penentuan perayaan tahun baru?
Sejarah
Tahun Baru Masehi
Tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Dalam mendesain kalender baru ini, Julius
Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskkitariyah, yang
menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi
matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam
penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar
menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1
Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat
tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa
menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar
terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya,
yaitu Julius atau Juli.
Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan
nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus. Perayaan
Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh
orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September.
Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun
Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari.
Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1
Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal
tersebut.
Tahun Masehi sebenarnya berhubungan dengan
keyakinan agama Kristen. Masehi adalah nama lain dari Isa Al Masih.
Menurut catatan Encarta Reference Library
Premium 2005, orang yang pertama membuat penanggalan kalender Masehi adalah
seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat
pada 45 SM, jika menggunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran
Yesus. Namun dalam perkembangannya, ada seorang pendeta Kristen bernama
Dionisius yang kemudian memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk
diadobsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus
Kristus.
Itulah sebabnya penanggalan tahun setelah
kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti
in the year of our lord) alias Masehi.
Sementara untuk jaman prasejarahnya
disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi). Kemudian Pope (Paus)
Gregory III memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan
kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh
seluruh Eropa, bahkan kini seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa
saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender Masehi dibuat
berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakina Kristen:”The Gregorian
calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of
Jesus Christ as a starting date”.
Demikian keterangan dalam Encarta Reference
Library Premiun 2005. Di jaman Romawi, pesta ulang tahun baru adalah untuk
menghormati Dewa janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Kemudian perayaan
ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa pada abad permulaan Masehi.
Seiring muncul dan berkembangnya agama
Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai
suatu perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal.
Itulah mengapa ucapan Natal dan Tahun baru
dijadikan satu (Merry Christmas and Happy New Year).
Soal Janus Dewa-Dewa pagan Tersebut bisa dibaca di sini untuk lebih lengkapnya Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam.
Soal Janus Dewa-Dewa pagan Tersebut bisa dibaca di sini untuk lebih lengkapnya Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam.
Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap
tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan
pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya
dan semangka di pasir pantai sebagai penghormatan terhadap sang dewa
Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno
pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan
pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis
emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah,
bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke
depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman,
jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1
Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh.
Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni
belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus
atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa
sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus
lahir disebut tahun Masehi.
Yunani, buah delima yang menurut orang yunani
melambangkan kesuburan dan kesuksesan ditebarkan di pintu rumah, kantor dan
took took sebagai simbol doa untuk mendapatkan kemakmuran sepanjang tahun.
Italia, disalah satu kotanya, tepatnya
Naples, pada pukul 00 tepat pada malam pergantian tahun, masyarakat disana akan
membuang barang barang yang sudah usang dan tidak terpakai di jalanan. Spanyol,
masyarakat spanyol tepat pada malam pergantian tahun akan memakan anggur
sebanyak 12 biji, jumlah yang hanya 12 melambangkan harapan selama 12 bulan
kedepan.
Jepang, di jepang, masyarakat disana
merayakan tahun barunya dengan memakan 3 jenis makanan sebagai simbol yaitu
telur ikan melambangkan kemakmuran, ikan sarden asap melambangkan kesuburan
tanah dan manisan dari tumbuhan laut yang melambangkan perayaan. Korea, pada
malam pergantian tahun masyarakat disana menikmati kaldu daging sapi yang
dicampur dengan potongan telur dadar dan kerupuk nasi atau yang biasa disebut
thuck gook.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika
mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga
Tournament of Roses sebelum lomba football Amerika Rose Bowl dilangsungkan di
Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl
di Lousiana.
Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan
dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana
orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di
jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah
malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang
meneriakkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di
negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!
Perayaan tahun baru Masehi biasanya dirayakan sangat meriah bahkan ada yang sengaja melupakan sejenak persoalan hidup yang berat untuk sekedar merayakan pergantian tahun: old and new. Tradisi yang dilakukan selalu rutin: meniup terompet dan menyalakan kembang api pada saat detik jarum jam tepat di angka 12 atau pada jam digital menunjukkan kombinasi angka “00.00”. [1]
Perayaan tahun baru Masehi biasanya dirayakan sangat meriah bahkan ada yang sengaja melupakan sejenak persoalan hidup yang berat untuk sekedar merayakan pergantian tahun: old and new. Tradisi yang dilakukan selalu rutin: meniup terompet dan menyalakan kembang api pada saat detik jarum jam tepat di angka 12 atau pada jam digital menunjukkan kombinasi angka “00.00”. [1]
Pandangan Alkitab:
Haruskah
Orang Kristen Ikut Serta dalam Kemeriahan Tahun Baru?
”SORE hari sebelum Malam Tahun Baru tiba, suasananya luar
biasa tenang,” kata Fernando, seorang dokter di Brasil. ”Kemudian, sekitar
pukul 23.00, orang-orang mulai berdatangan—semakin banyak yang butuh perawatan
karena luka tusukan atau tembakan, para remaja yang menjadi korban kecelakaan
mobil, serta istri-istri yang babak-belur. Alkohol hampir selalu menjadi
penyebabnya.”
Memperhatikan hal di atas, tidaklah mengejutkan bila sebuah
jurnal di Brasil menyebut hari pertama tahun baru sebagai hari pemabukan
internasional. Sebuah kantor berita di Eropa mengatakan bahwa ”Perayaan Tahun
Baru merupakan pemuasan bagi hedonis (pencari kesenangan) tahunan”, dan
menambahkan bahwa hal itu merupakan ”satu ronde lagi dalam pertarungan abadi
antara manusia dan alkohol”.
Memang, tidak semua orang merayakan Tahun Baru dengan
minum-minum berlebihan dan melakukan tindak kekerasan. Malah, banyak orang
memiliki kenangan manis tentang peristiwa itu. ”Sebagai anak-anak, kami sangat
menanti-nantikan Malam Tahun Baru,” kata Fernando, yang dikutip sebelumnya.
”Selalu ada banyak permainan, makanan, dan minuman ringan. Pada tengah malam
kami akan saling peluk, cium, dan memberi salam ’Selamat Tahun Baru!’”
Demikian pula, banyak orang sekarang ini merasa bahwa mereka
ikut serta dalam kemeriahan Tahun Baru tanpa melewati batas. Namun, orang
Kristen hendaknya menyelidiki asal usul dan arti penting perayaan populer ini.
Apakah kemeriahan Tahun Baru bertentangan dengan ajaran Alkitab?
Fakta
dari Masa Lalu
Kemeriahan Tahun Baru bukanlah hal baru. Inskripsi kuno
memperlihatkan bahwa peristiwa itu diadakan di Babilon pada permulaan milenium
ketiga SM. Pesta itu, yang dirayakan pada pertengahan bulan Maret, sangatlah
penting. ”Saat itu, dewa Marduk memutuskan nasib bangsa itu untuk tahun
berikutnya,” kata The World Book Encyclopedia. Perayaan tahun baru Babilon
berlangsung selama 11 hari dan mencakup pemberian korban, pawai, serta ritus
kesuburan.
Selama beberapa waktu, orang Romawi juga memulai tahun
mereka pada bulan Maret. Tetapi, pada tahun 46 SM, Kaisar Yulius Caesar
menetapkan bahwa tahun baru harus dimulai pada awal bulan Januari. Hari itu
telah dibaktikan kepada Janus, dewa asal mula, dan yang sekarang juga menandai
hari pertama tahun Romawi. Tanggalnya telah diubah, tetapi suasana
ingar-bingarnya tetap ada. Pada awal bulan Januari, orang-orang ”menyerah
kepada tingkah laku liar yang kelewat batas”, kata McClintock and Strong’s
Cyclopedia, ”dan berbagai jenis takhayul yang tidak beradab”.
Bahkan dewasa ini, ritus yang bersifat takhayul masih
berperan dalam kemeriahan Tahun Baru. Sebagai contoh, di beberapa daerah di
Afrika Selatan, banyak orang menyambut Tahun Baru sambil berdiri hanya dengan
kaki kanan. Yang lainnya membunyikan sirene dan meledakkan petasan. Menurut
kebiasaan Ceko, Malam Tahun Baru merupakan saat untuk menikmati sup miju,
sedangkan menurut tradisi Slovakia, orang-orang mesti meletakkan uang atau
sisik ikan di bawah taplak meja. Ritus semacam itu, yang dirancang untuk
menghalau kesialan dan menjamin kemakmuran, semata-mata melestarikan
kepercayaan kuno bahwa pergantian tahun adalah saatnya untuk menentukan nasib.
SABAT, TAHUN
Istilah ini mengacu kepada ketentuan yg
dibuat mengenai Tanah Perjanjian. #/TB Im 25:2* menyatakan wesyavetah a’arets
syabbat, ‘maka tanah itu harus mendapat perhentian’. Hal itu juga disebut ‘perhentian
istirahat’ dan ‘tahun perhentian’ (#/TB Im 25:4,5*). Sesudah 6 thn masa tanam,
pemeliharaan dan panen, tanah dibiarkan tidak ditanami selama 1 thn. Tanaman yg
tumbuh sendiri di ladang itu diperuntukkan bagi orang miskin dan sisanya bagi
hewan (#/TB Kel 23:11*; #/TB Ul 15:2-18*). Untuk menenangkan kekuatiran umat
Israel akan kekurangan, Tuhan menjamin bahwa thn ke-6 akan menyediakan cukup
tuaian buat 3 thn (#/TB Im 25:20* dab). Sejak saat itu ‘tahun perhentian’ ini
diberlakukan di Israel (#/TB Neh 10:31*; 1 Makabe 6:49, 53; bnd Jos., Ant. 12.
378; 14. 206). #/TB Im 26:34-43*; #/TB 2Taw 36:21*; #/TB Yer 34:14-22* mengacu
kepada kemarahan Tuhan terhadap pelanggaran atas peraturan ini.
Puncak tahun-tahun sabat dicapai pada
setiap thn yg ke-50. Inilah yubilium (Ibrani Yovel, ‘domba jantan’, mengacu
kepada ‘terompet’ — tanduk domba jantan — dgn mana tahun itu dirayakan).
Sanksi-sanksi tahun sabat diterapkan dengan keras. Disamping itu hak milik
dikembalikan kepada pemilik aslinya. Hutang-hutang dinyatakan lunas, dan orang
Ibrani yg menjadi budak akibat hutang dibebaskan. Saat itu adalah saat
pengucapan syukur dan tindak penerapan iman bahwa Allah akan menyediakan pangan
(#/TB Im 25:8* dst).
Makna tidak mengolah tanah pada setiap
thn ke-7, tidak hanya terletak pada prinsip-prinsip kimia pertanahan. Juga
bukannya mengikuti pola 7 thn putaran tanpa panen dari orang Kanaan yg diikuti
oleh 7 thn kelimpahan. Dalam naskah, tanah itu dibiarkan tidak diolah selama 1
thn. (Lih C. H Gordon, Ugaritic Literature, 1949, hlm 5 dst.) Alasan utama
untuk ketentuan ini terletak pada pernyataan bahwa istirahat pada thn ke-7 itu
adalah sabat peristirahatan, baik untuk tanah itu maupun untuk Allah (#/TB Im
25:2,4*). Di sini jelas adanya hubungan dengan lembaga sabat yg didasarkan atas
karya penciptaan Tuhan (*SABAT). Sejalan dengan ini unsur-unsur lain perlu
diperhatikan, yakni bahwa manusia bukanlah satu-satunya pemilik tanah, dan ia
tidak mempunyai hak milik untuk selama-lamanya, tapi mempunyainya dalam kepercayaan
di bawah Tuhan (#/TB Im 25:23*). Orang Israel juga harus ingat bahwa ia tidak
memiliki apa pun berdasarkan hak warisan, karena ia dulu adalah budak di Mesir
(#/TB Ul 15:15*). Kemurahan hati didasari rasa terima kasih.
WAKTU
I. Waktu dan musim
Mengherankan bahwa PL dan orang
Ibrani tidak mempunyai kata khusus untuk ‘waktu penanggalan’, walaupun mereka
mempunyai cara mengukur perjalanan waktu. Tapi mereka mempunyai beberapa kata
untuk waktu dan musim dalam pengertian waktu yg ditentukan, waktu yg tepat,
kesempatan untuk suatu kegiatan atau tindakan tertentu. Kata yg paling biasa
ialah ‘et (lih #/TB Pengkh 3:1* untuk pemakaian yg khas); zeman mempunyai arti
yg sama. mo’ed, akar katanya berarti ‘menentukan’, dan dipakai untuk masa-masa
seperti bulan baru (mis #/TB Mazm 104:19*) dan pesta-pesta tertentu (mis #/TB
Bil 9:2*). Secara khusus semua kata ini dipakai untuk menunjuk kepada
waktu-waktu yg ditentukan Allah; kesempatan-kesempatan yg diberikan-Nya (mis
#/TB Ul 11:14*; #/TB Mazm 145:15*; #/TB Yes 49:8*; #/TB Yer 18:23*). Cara ini
diteruskan dalam PB oleh kata Yunani kairos (bnd #/TB Luk 19:44*; #/TB Kis
17:26*; #/TB Tit 1:3*; #/TB 1Pet 1:11*).
Jadi Alkitab tidak menekankan
kesinambungan waktu yg abstrak, melainkan menekankan isi yg diberikan Allah
terhadap waktu-waktu tertentu dalam sejarah. ‘Pandangan’ waktu ini boleh
disebut linear (lurus memanjang) sebagai lawan dari ‘pandangan’ waktu yg siklis
(berputar-putar) yg biasa di dunia kuno. Allah bergerak untuk mencapai
penggenapan tujuan-Nya; peristiwa-peristiwa tidak terus berlangsung begitu saja
atau kembali ke titik awalnya. Tapi jika ‘pandangan’ waktu alkitabiah ini
disebut linear, hal itu tidak boleh dinalar seolah-olah mengisyaratkan bahwa
waktu dan sejarah terus berjalan dalam urutan peristiwa-peristiwa yg tak
terelakkan. Alkitab justru menekankan ‘waktu-waktu’, tatkala Allah sendiri
memajukan tujuan-Nya dalam dunia ini. Allah berdaulat dalam menentukan
saat-saat ini, maka bahkan AnakNya sendiri selama pelayanan jabatanNya di bumi
tidak mengetahui hari atau saat dari penggenapan tujuan Allah (#/TB Mr 13:32*;
#/TB Kis 1:7*). Kedaulatan Allah mencakup juga saat-saat dari hidup
perseorangan. *HARI TUHAN.
Dalam Dan (yg ditulis dgn bh Aram)
kata ‘iddan menunjuk kepada periode kronologis (saat-saat atau masa-masa dari
waktu yg masuk dlm penanggalan) (mis #/TB Kis 2:9; 3:15*), sering artinya
adalah suatu tahun, sekalipun tidak Semua penafsir sependapat mengenai ini (mis
#/TB Kis 4:16; 7:25*). Kedaulatan Allah sekali lagi ditekankan.
Image 00319
Dalam PB kata khronos, seperti dalam
bh Yunani umum, melulu mengartikan perjalanan waktu (mis #/TB Luk 20:9*; #/TB
Kis 14:28*). Kait naskah bisa memberikan pengertian ‘penundaan’ atau ‘saat
menanti-nanti’ (mis #/TB Kis 18:20,23*; #/TB Wahy 10:6*). #/TB Kis 1:7* bisa
berarti bahwa Allah-lah yg memberi saat-saat kesempatan dan keputusan (kairoi)
dan Allah juga yg memutuskan, kapan saat-saat itu akan mulai dan berakhir
(khronoi). Bnd #/TB Kis 7:17*; #/TB Gal 4:4*.
II. Kekekalan
Kata-kata Ibrani ‘ad dan ‘olam
mengartikan suatu masa yg batasnya menuju ke satu arah tidak tentu, seperti
panjangnya umur seseorang yg tidak diketahui sebelumnya (bnd #/TB 1Sam
1:22,28*) atau umur bukit-bukit (#/TB Kej 49:26*). Di atas segala-galanya,
kata-kata ini diterapkan kepada Allah, yg diriNya tidak dibatasi oleh waktu
mana pun (#/TB Mazm 90:2*). Alpanya batas waktu ini terkait juga kepada semua
sifat Allah dan kasih setia-Nya terhadap umat-Nya (bnd #/TB Yer 31:3; 32:40*;
#/TB Hos 2:20*). Untuk mengungkapkan lebih tajam dan lebih tegas keyakinan
bahwa Allah tidak dibatasi oleh waktu mana pun, bh Ibrani memakai bentuk puitis
ganda yg menguatkan (mis #/TB Mazm 145:13*; #/TB Dan 9:24*) atau bentuk
pengulangan (mis #/TB Mazm 132:14*).
Pemakaian aion dalam PB juga sama; dapat
dipakai untuk mengartikan seluruh masa hidup seseorang (#/TB 1Kor 8:13*) atau
suatu waktu yg tidak tentu pada masa lalu (#/TB Luk 1:70*) atau pada masa yg
akan datang (#/TB Mr 11:14*). Kata itu dipakai untuk menguatkan dalam beberapa
ungkapan seperti eis tous aionas ton aionon (mis #/TB Gal 1:5*). Bahwa
pemakaian ini lebih bermaksud menguatkan daripada bermakna ganda yg memandang
sederet zaman di dunia, diisyaratkan dalam #/TB Ibr 1:8*; di situ dikatakan
aiona tou aionios dalam bentuk tunggal (terjemahannya ‘untuk seterusnya dan
selamanya’). Tapi ungkapan-ungkapan ini memang khusus menunjuk ke waktu sejak
penciptaan, karena dikatakan bahwa Allah telah aktif pro ton aionon, ‘sebelum
dunia dijadikan’ (#/TB 1Kor 2:7*).
Kata sifat aionios sesuai pemakaian
aion yg merujuk kepada Allah, diberi tambahan arti waktu ‘selama-lamanya’ yg
hakikat nadanya ‘bersifat ilahi’ atau ‘tak dapat mati’. Kecenderungan ini
dibantu oleh kenyataan bahwa kemudian dalam bh Ibrani ‘olam berarti ‘dunia
ini’; dan itulah asal terjemahan aion sebagai ‘dunia yg akan datang’ dalam #/TB
Mr 10:30* dan #/TB Ef 1:21*.
III. Kedua zaman
PB mencakup satu di antara waktu yg
ditentukan Allah sebagai yg menentukan. Catatan pertama dalam pemberitaan Yesus
ialah ‘Waktunya telah genap’ (#/TB Mr 1:15*). Hidup dan pekerjaan Yesus
mencirikan kegenapan tujuan-tujuan Allah (#/TB Ef 1:10*). Inilah kesempatan
besar (#/TB 2Kor 6:2*), yg harus dimanfaatkan orang Kristen sebaik-baiknya (#/TB
Ef 5:16*; #/TB Kol 4:5*). Dalam masa pelayanan Yesus di bumi, perhatian makin
tertuju pada saat kematian dan kebangkitan-Nya (bnd #/TB Mat 26:18*; #/TB Yoh
7:6*).
Yg membuat pengharapan Yahudi berbeda
dari pengharapan Kristen, ialah bahwa bagi orang Yahudi saat yg menentukan ini
masih belum datang, padahal bagi orang Kristen sudah genap pada masa lampau.
Orang Yahudi menanti-nantikan tibanya campur tangan Allah yg menentukan pada
masa yg akan datang, orang Kristen mempunyai pengharapan yg malahan lebih jelas
mengenai penggenapan segala sesuatu, sebab ia tahu bahwa saat yg menentukan
sudah genap ‘sekali untuk selamanya’. Saat-saat terakhir sudah pada zaman kita
sekarang (#/TB Kis 2:17*; #/TB Ibr 1:2*; #/TB 1Yoh 2:18*; #/TB 1Pet 1:20*).
PB membuat perbedaan mencolok dalam
pembagian waktu kontemporer orang Yahudi antara zaman sekarang dan zaman yg
akan datang. Masih ada masa peralihan di hari depan antara waktu kini dan waktu
yg akan datang (#/TB Mr 10:30*; #/TB Ef 1:21*; #/TB Tit 2:12-13*), tapi ada
pengharapan akan penggenapan itu, sebab di dalam Yesus tujuan Allah telah
tuntas digenapi seutuhnya. Pemberian Roh Kudus adalah tanda dari pengharapan
ini, dalam Dia kita mengecap kekuasaan dunia yg akan datang (#/TB Ef 1:14*;
#/TB Ibr 6:4-6*; bnd #/TB Rom 8:18-23*; #/TB Gal 1:4*). Justru Yohanes dengan
mantap menekankan bahwa sekarang ini kita telah beroleh hidup yg kekal, zoe
aionios (mis #/TB Yoh 3:36*). Bukanlah bahwa kualifikasi aionios
melebih-lebihkan; Yohanes khas menekankan kenyataan bahwa orang Kristen
sekarang ini telah beroleh hidup, yg akan mereka jalani kelak sepenuhnya
sesudah kebangkitan dari antara orang mati (#/TB Yoh 11:23-25*). Sifat
tindih-menindih dari kedua zaman itulah mungkin maksud Paulus dalam #/TB 1Kor
10:11*.
IV. Waktu dan kekekalan
Bahasan filosofis mengenai hubungan
waktu dengan kekekalan tidak terdapat dalam Alkitab. Ungkapan-ungkapan yg
dipakai untuk mengartikan sifat Allah yg tak terbatas — ungkapan-ungkapan itu
sendiri pada diriNya adalah bersifat temporer.
Banyak filsuf Kristen tetap
mempertahankan bahwa ungkapan yg kuat tentang waktu dalam Alkitab menunjuk pada
Diri Allah yg dalam filsafat dapat tepat diungkapkan sebagai gagasan mengenai
kekekalan, yg sedikit banyak sifatnya berbeda dari sifat waktu.
Ahli-ahli lain menalar bahwa gagasan
mengenai Diri Allah yg sifatnya tidak terkait dengan waktu, adalah tidak
berdasarkan Alkitab. Menurut mereka, bahasa manusia harus berkaitan dengan
waktu, dan karena itu tak dapat kita bicara tentang makhluk yg tidak terkait
dengan waktu tanpa menghadapi risiko, yaitu mengkhayalkan makhluk itu demikian
terasing dari dunia ini’sehingga tak dapat lagi digambarkan mempengaruhi hidup
di dunia ini secara langsung. Jadi jika pandangan Kristen mengenai Allah yg
bertindak dalam sejarah akan dipertahankan, kita harus lebih bertaut kepada
bahasa Alkitab daripada peristilahan Plato yg mempertentangkan dunia serba
waktu ‘di sini’ dengan dunia serba kekal ‘di sana’. Namun demikian PB melampaui
pertentangan sederhana dari dunia ini dengan dunia yg akan datang, dunia
‘sekarang’ dan dunia ‘nanti’ melalui ajarannya tentang pengharapan.
Apa pun hasil perdebatan filsafat
itu, Alkitab seutuhnya menekankan bahwa Allah tidak dibatasi oleh waktu seperti
manusia, dan bahwa Dia-lah ‘Raja segala zaman’ (TB 1Tim 1:17*; bnd #/TB 2Pet
3:8*).
KESIMPULANNYA: Pandangan
Alkitab
Alkitab memperingatkan orang Kristen agar ”berjalan dengan sopan,
tidak dengan pesta pora dan bermabuk-mabukan”.* (Roma 13:12-14; Galatia
5:19-21; 1 Petrus 4:3) Karena kemeriahan Tahun Baru selalu dicirikan oleh
tingkah laku kelewat batas yang dikutuk Alkitab, orang Kristen tidak
berpartisipasi di dalamnya. Hal ini tidak mengartikan bahwa orang Kristen anti
terhadap kesenangan. Sebaliknya, mereka tahu bahwa Alkitab berulang kali
memberi tahu para penyembah Allah yang benar agar bersukacita—dan hal itu untuk
sejumlah alasan. (Ulangan 26:10, 11; Mazmur 32:11; Amsal 5:15-19; Pengkhotbah
3:22; 11:9) Alkitab juga mengakui bahwa sukacita sering kali diwarnai oleh
makanan dan minuman.—Mazmur 104:15; Pengkhotbah 9:7a.
Akan tetapi, seperti yang sudah kita lihat, perayaan Tahun
Baru berakar pada kebiasaan-kebiasaan kafir. Ibadat palsu adalah najis dan
memuakkan dalam pandangan Allah Yehuwa, dan orang Kristen menolak
praktek-praktek yang berasal usul seperti itu. (Ulangan 18:9-12; Yehezkiel
22:3, 4) Rasul Paulus menulis, ”Apakah ada persekutuan antara keadilbenaran
dengan pelanggaran hukum? Atau apakah ada persamaan antara terang dengan
kegelapan? Selanjutnya, apakah ada keselarasan antara Kristus dan Belial?”
Sungguh tepat, Paulus menambahkan, ”Berhentilah menyentuh perkara yang
najis.”—2 Korintus 6:14-17a.
Orang Kristen juga sadar bahwa ambil bagian dalam ritus yang
bersifat takhayul tidaklah menjamin kebahagiaan dan kemakmuran—khususnya karena
berpartisipasi dalam kemeriahan semacam itu dapat menimbulkan ketidaksenangan
Allah. (Pengkhotbah 9:11; Yesaya 65:11, 12) Lagi pula, Alkitab memperingatkan
orang Kristen agar bersahaja dan berpengendalian diri dalam tingkah laku
mereka. (1 Timotius 3:2, 11) Jelaslah, bukanlah hal yang patut bagi seseorang
yang mengaku mengikuti ajaran Kristus untuk ikut serta dalam perayaan yang
dicirikan oleh tingkah laku liar yang kelewat batas.
Semenarik dan sememikat apa pun kemeriahan Tahun Baru,
Alkitab memberi tahu kita untuk ’berhenti menyentuh perkara yang najis’ dan
untuk ”membersihkan diri dari setiap pencemaran daging dan roh”. Kepada mereka
yang menyelaraskan diri, Yehuwa mengulurkan jaminan yang menghangatkan hati,
”Aku akan menerima kamu. . . . Aku akan menjadi bapakmu, dan kamu akan menjadi
putra-putriku.” (2 Korintus 6:17b–7:1) Sesungguhnya, Ia menjanjikan
berkat-berkat kekal dan kemakmuran bagi orang-orang yang loyal
kepada-Nya.—Mazmur 37:18, 28; Penyingkapan 21:3, 4, 7.[2]
KEPUSTAKAAN.
- J Barr, Biblical Words for Time, 1962;
- Cullmann, Christ and Time, 1951;
- J Marsh, The Fulness of Time, 1952, H Sasse, artikel aion dalam TWNT. MHC/MHS/HAO
- https://www.facebook.com/abunawasmajdub/posts/391321904346994
- Referensi Paulus tentang ”pesta pora dan bermabuk-mabukan” boleh jadi mencakup hal-hal yang dilakukan selama kemeriahan Tahun Baru, mengingat hal-hal itu populer di Roma pada abad pertama.
No comments:
Post a Comment