Wednesday, December 20, 2017

Manusia



                                                                 MANUSIA
       Cerita Kitab Kej tentang penciptaan memberikan kepada manusia tempat mulia dalam alam semesta. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan penutup dari segenap karya ciptaan Allah, tapi dalam penciptaan manusia itu sendiri terkandung penggenapan dan makna dari seluruh pekerjaan Allah pada kelima hari lainnya. Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan menaklukkannya, dan manusia berkuasa atas semua makhluk (#/TB Kej 1:27-2:3*). Kesaksian yg sama tentang kekuasaan manusia dan tentang tempatnya yg sentral di alam ciptaan ini, diberikan lagi di tempat-tempat lain (#/TB Am 4:13*; #/TB Yes 42:5-6*; #/TB Mazm 8:4-8; 104:14-15*), dan secara mengagumkan diberikan dalam inkarnasi (bnd #/TB Ibr 2*).

a. Manusia dalam alam
          Dalam seluruh Alkitab ditekankan bahwa manusia adalah bagian dari alam ini. Manusia ialah debu dan diciptakan dari debu tanah (#/TB Kej 2:7*); secara biologis dan badani ia mempunyai banyak kesamaan dengan binatang. Semuanya itu nampak jelas dalam banyak segi hidup manusia (#/TB Kej 18:27*; #/TB Ayub 10:8-9*; #/TB Mazm 103:14*; #/TB Pengkh 3:19,20; 12:5-7*). Manusia sebagai ‘daging’ adalah lemah dan bergantung pada belas kasihan Allah, seperti semua makhluk lainnya (#/TB Yes 2:22; 40:6*; #/TB Mazm 103:15; 104:27-30*). Bahkan dalam memanfaatkan alam untuk melayani kebutuhannya, manusia harus melayani alam ini, harus menjaganya dan mengolahnya untuk mencapai tujuannya (#/TB Kej 2:15*). Manusia tunduk kepada hukum-hukum yg sama, seperti kaidah alam, dan ia dapat terpesona di tengah-tengah keagungan dunia yg menjadi tempat hidupnya (#/TB Ayub 38; 39; 40; 41; 42*).
          Alam ini bukanlah melulu suatu kerangka atau latar belakang yg netral bagi hidup manusia. Antara alam dan manusia ada ikatan-ikatan yg sangat mendalam dan rahasia. Dunia ini turut ditimpa kutuk kebinasaan karena manusia jatuh ke dalam dosa (#/TB Kej 3:17-18*), dan sekarang menanggung sakit dan kematian, sambil menantikan pemerdekaan manusia secara final, sebelum pemulihannya sendiri dapat diharapkan (#/TB Rom 8:19-23*). Dalam Alkitab alam digambarkan bersukaria berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yg menuju kepada keselamatan manusia (#/TB Mazm 96:10-13*; #/TB Yes 35; 55:12-13*), sementara alam ini juga menikmati pemulihannya (#/TB Yes 11:6-9; 65:25*). Di pihak manusia ada simpati naluriah terhadap alam (#/TB Kej 2:19*) dan manusia harus menjunjung tinggi hukum-hukum alam (#/TB Im 19:19*; #/TB Ul 22:9,10*; #/TB Ayub 31:38-40*), harus mengakui kenyataan ketergantungannya pada alam, dan harus membanting tulang untuk mendapat makanan yg dibutuhkannya dari alam sekitarnya supaya ia dapat hidup, juga hal-hal yg memperkaya kebudayaannya (#/TB Kej 3:17; 9:1-7*).

b. Tujuan manusia
          Tapi manusia tidak bisa mendapat makna sebenarnya dari hidup dalam alam yg dilukiskan di atas. Binatang-binatang tidak dapat menjadi penolong yg layak baginya. Manusia mempunyai sejarah dan masa depan yg harus digenapi, unik di tengah-tengah makhluk dan ciptaan lainnya. Dia diciptakan ‘menurut gambar Allah’ (#/TB Kej 1:27*). Ada ahli menafsirkan bahwa gambar Allah ini terungkap dalam kekuasaan manusia atas dunia ini, atau dalam daya pikirnya, atau bahkan dalam sifat-sifat badaninya. Tapi agaknya lebih baik tidak mencari hal itu dalam hubungan manusia dengan dunia ini, ataupun dalam suatu cap yg statis pada dini manusia, tapi dalam tanggung jawabnya terhadap Khalik-nya.
          Laporan Kitab Kej tentang penciptaan mencatat bahwa waktu Allah menciptakan manusia, Ia mengambil sikap yg menunjukkan perhatian yg sangat pribadi dan mendalam terhadap manusia itu (#/TB Kej 1:26*; bnd #/TB Kej 1:3,6*, dll). Dan cara pendekatan-Nya ialah melibatkan diriNya dalam hubungan yg lebih erat dengan manusia ciptaan-Nya itu (#/TB Kej 2:7*) dibandingkan dengan semua ciptaan lainnya. Allah mendekati manusia dan menyapanya ‘engkau’ (#/TB Kej 3:9*), dan manusia dimampukan menanggapi ucapan Allah yg penuh kasih itu dengan kasih pribadi dan kepercayaan. Hanya dalam jawaban demikianlah manusia bisa menjadi ‘apa sebenarnya dia’. Firman Allah yg olehnya manusia hidup (bnd #/TB Mat 4:4*), menempatkan manusia dalam suatu hubungan yg meninggikan dia di atas semua ciptaan lain di sekelilingnya, dan mengaruniakan kepadanya martabat sebagai anak Allah, yg diciptakan menurut citra Allah dan memantulkan kemuliaan Allah. Manusia memiliki martabat ini bukan sebagai perseorangan terisolir di hadapan Allah, tapi hanya jika ia berada dalam hubungan yg bertanggung jawab dan penuh kasih terhadap sesamanya manusia. Hanya bila ia berada di tengah-tengah lingkungan keluarganya dan dalam hubungan sosialnya, ia dapat betul-betul memantulkan citra Allah (#/TB Kej 1:27-28; 2:18*).

c. Struktur manusia
          Ada beberapa kata yg dipakai untuk menerangkan hubungan manusia dengan Allah dan alam sekitarnya, juga tentang struktur dirinya sendiri. Kata-kata itu ialah: roh (Ibrani ruakh, Yunani pneuma), jiwa (Ibrani nefesy, Yunani psuche), badan (hanya dlm Pu Yunani soma), daging (Ibrani basar, Yunani sari). Kata-kata ini dipakai bertalian dengan aneka ragamnya kegiatan manusia atau kepribadiannya, masing-masing dengan tekanannya yg khas; tapi kata-kata itu tidak boleh diartikan mengacu pada bagian-bagian yg terpisah-pisah, atau bagian-bagian yg dapat dipisah-pisahkan, seolah-olah yg satu dapat ditambahkan kepada yg lain untuk menciptakan seorang manusia.
          Kata ‘jiwa’ boleh jadi menekankan unsur perseorangan dan kuasa hidup manusia itu, dengan penekanan pada hidup batinnya, perasaannya dan kesadaran dirinya. Kata ‘badan’ dipakai untuk menekankan kaftan sejarah dan lahiriah yg mempengaruhi hidupnya. Tapi jiwa ialah jiwa, yg memang harus disatukan dengan badannya, dan demikian sebaliknya. Manusia juga mempunyai hubungan dengan Roh Allah sehingga dia sendiri mempunyai roh, tapi sekalipun demikian manusia tidak bisa disebut suatu roh, dan roh juga tidak dapat dianggap sebagai unsur ketiga dari dini manusia. Manusia sebagai ‘daging’ ialah manusia dalam hubungannya dengan dunia alam dan dengan umat manusia sebagai keseluruhan, tidak hanya dalam kelemahannya tapi juga dalam kedosaannya dan pemberontakannya terhadap Allah.
          Kata-kata lain menggambarkan kedudukan dari segi-segi khusus atau fungsi tertentu dari manusia. Dalam PL dorongan emosi dan perasaan dianggap bersumber — dalam arti sebenarnya maupun kiasan — dari organ-organ badan seperti jantung (lev), hati (kaved), buah pinggang (kelayot), dan usus perut (me’im). Begitu juga darah dianggap sebagai pusat kehidupan atau nefesy. Dan khususnya jantung (lev) dianggap sebagai pusat sejumlah besar kegiatan jiwa manusia, seperti kehendak, budi dan perasaan. Dan kata jantung cenderung mengartikan jiwa, atau manusia ditinjau dari segi batin dan yg tersembunyi. Begitu juga dalam PB kata Yunani kardia (= jantung atau lev). Ada dua lagi kata yg dipakai dalam PB, yaitu nous, ‘pikiran, hati’, dan syneidesis, ‘suara hati, hati nurani’. PB juga menjelaskan perbedaan manusia ‘batiniah’ dan manusia ‘lahiriah’, tapi kedua segi ini tidak dapat dipisahkan dari manusia yg satu itu. Dan zaman baru bukan hanya mencakup ‘jiwa yg tak dapat binasa’, tapi juga ‘kebangkitan daging’, yg berarti keselamatan dan pembaharuan menyeluruh sang manusia dalam kepenuhan seluruh dirinya.

d. Dosa manusia
          Kejatuhan manusia dalam dosa (#/TB Kej 3*) mencakup penolakan manusia menanggapi firman Allah, dan menolak memasuki persekutuan dengan Allah, pada persekutuan mana ia dapat menggenapi tujuan ketika ia diciptakan. Manusia berusaha mencari dalam dirinya sendiri pembenaran akan keberadaannya (#/TB Rom 10:3*). Manusia tidak berusaha untuk hidup dalam persekutuan yg benar dengan Allah dan dengan sesamanya manusia, di mana ia dapat memantulkan citra dan kemuliaan Allah. Tapi manusia berusaha mencari makna hidupnya melulu dalam hubungannya dengan dunia ciptaan ini dalam arti alam sekitarnya (#/TB Rom 1:25*). Akibatnya ialah hidupnya ditandai dengan perbudakan (#/TB Ibr 2:14-15*), permusuhan dengan roh-roh jahat (#/TB Ef 6:12*), kelemahan dan kegagalan (#/TB Yes 40:6*; #/TB Ayub 14:1*), dan ia demikian busuk dan jahat dalam pikiran dan hati (#/TB Kej 8:21*; #/TB Ayub 14:4*; #/TB Mazm 51:5*; #/TB Mat 15:19,20; 12:39*) sehingga ia memutarbalikkan kebenaran Allah menjadi dusta (#/TB Rom 1:25*).

e. Manusia menurut gambar Allah
          Kendati manusia telah jatuh dalam dosa, manusia menurut janji Kristus masih harus dipandang sebagai citra Allah (#/TB Kej 5:1* dab; #/TB Kej 9:1* dab; #/TB Mazm 8*; #/TB 1Kor 11:7*; #/TB Yak 3:9*), bukan berdasarkan apa dia dalam dirinya sendiri, tapi berdasarkan apa makna Kristus bagi dirinya, dan berdasarkan apa makna dia dalam Kristus. Sekarang dalam Kristus-lah dilihat makna yg sebenarnya dari perjanjian yg hendak dibuat Allah dengan manusia dalam Firman, dan itulah tujuan sehingga manusia diciptakan oleh Allah untuk mencapainya (bnd #/TB Kej 1:27-30; 9:8-17*; #/TB Mazm 8*; #/TB Ef 1:22*; #/TB Ibr 2:6* dab), sebab ketidaksetiaan manusia tidak dapat membatalkan kesetiaan Allah (#/TB Rom 3:3*). Maka di hadapan Allah, manusia, dari segi hidup perseorangan (#/TB Mat 18:12*) maupun dari segi hidup bersama (#/TB Mat 9:36; 23:37*), dipandang adalah jauh lebih bernilai dari seluruh alam (#/TB Mat 10:31; 12:12*; #/TB Mr 8:36,37*). Justru menemukan manusia yg hilang adalah menghapuskan segala penderitaan mencarinya, dan menggenapi tuntas pengorbanan Kristus (#/TB Luk 15*).
          Yesus Kristus-lah yg benar citra Allah (#/TB Kol 1:15*; #/TB 2Kor 4:4*), justru Dia-lah manusia yg sebenarnya (#/TB Yoh 19:5*). Dia serentak adalah perseorangan yg unik dan mewakili segenap masyarakat manusia, dan karya penyelamatan-Nya beserta kemenangan-Nya memberikan kebebasan dan kehidupan bagi seluruh umat manusia (#/TB Rom 5:12-21*). Kristus menggenapi perjanjian, yg di dalamnya Allah memberikan kepada manusia tujuan hidupnya yg sesungguhnya. Di dalam Kristus, oleh iman, manusia mendapati dirinya sedang diubah menjadi serupa dengan gambar Allah (#/TB 2Kor 3:18*) dan boleh teguh mengharap akan penuh segambar dengan Dia (#/TB Rom 8:29*) kelak pada waktu pernyataan terakhir kemuliaan-Nya (#/TB 1Yoh 3:2*). Sementara dalam iman mengenakan gambar Allah, maka manusia harus ‘menanggalkan manusia lama’ (#/TB Ef 4:24*; #/TB Kol 3:10*). Hal ini nampaknya mendorong kita untuk menjauhkan pemikiran yg mengatakan, bahwa gambar Allah harus ditafsirkan sebagai sudah melekat dan menyatu dalam dini manusia alami, walaupun memang manusia alami itu harus dipandang sebagai sudah diciptakan menurut gambar Allah (bnd #/TB 2Kor 5:16-17*).
          Dalam perkembangan dogma tentang manusia, gereja terpengaruh oleh pemikiran Yunani yg penuh pertentangan dualistik antara zat dan roh. Yg diberi penekanan ialah jiwa yg dianggap sebagai ‘bunga api ilahi’. Dan ada kecenderungan untuk memandang manusia sebagai makhluk perseorangan yg mandiri; dan sifat-sifat yg sebenarnya dari makhluk ini dapat dimengerti dengan menyelidiki secara terpisah setup unsur yg membangun ciptaan mi. Beberapa di antara Bapak gereja menekankan rasionalitas, kebebasan dan immortalitas sebagai unsur utama dalam gambar Allah yg dimiliki manusia, walaupun ada orang lain yg melihat gambar Allah itu pada segi jasadnya juga. Ireneus memandang gambar Allah sebagai tujuan yg untuknya manusia diciptakan. Agustinus menekankan kesamaan pada Tritunggal dengan struktur rangkap tiga yg terdapat pada manusia, yaitu ingatan, akal budi dan kehendak.
          Pembedaan yg agak berlebihan diusulkan ada pada anti kedua kata ‘gambar’ dan ‘rupa’ (tselem dan demut) Allah. Dikatakan bahwa pada kedua kata itu manusia diciptakan (#/TB Kej 1:26*). Hal ini menimbulkan ajaran skolastik, bahwa ‘rupa’ (Latin similitude) Allah ialah karunia supra alami yg diberikan Allah kepada manusia sewaktu manusia itu diciptakan. Maksudnya ialah kebenaran asli (justitia originalis) dan penentuan diri sendiri yg sempurna di hadapan Allah. Rupa yg demikian dapat hilang, dan memang sudah hilang, waktu manusia jatuh dalam dosa. Pada pihak lain ‘gambar’ (imago) terdiri dari apa yg telah tertanam pada manusia menurut kodratnya, yaitu kehendak bebas, akal budi dan kekuasaan atas dunia binatang, yg tak mungkin hilang biarpun manusia jatuh dalam dosa. Ini berarti bahwa kejatuhan manusia dalam dosa merusak sesuatu yg pada aslinya adalah supra alami dalam dini manusia, tapi membiarkan wataknya dan gambar Allah di dalamnya terluka, dan membiarkan kehendaknya tetap bebas.
          Pada zaman Reformasi perbedaan imago dari similitudo disangkal oleh Luther. Kejatuhan dalam dosa merasuki dan merusak imago Allah sampai ke akar-akarnya, merusak kehendak bebas manusia (dlm arti arbitrium, mengambil keputusan yg benar), tapi tidak dalam arti voluntas (sanggup memilih), dan merusak segi-segi terpenting dalam diri manusia; yg tersisa hanya sedikit sekali dari gambar aslinya yakni gambar Allah — dan hubungannya dengan Allah. Calvin juga menekankan fakta, bahwa makna yg sebenarnya dari penciptaan manusia harus dicari dalam apa yg dikaruniakan kepadanya dalam Kristus, dan bahwa manusia akan menjadi gambar Allah jika dia memantulkan kemuliaan Allah kepada Allah dengan gelora terima kasih dan iman.
          Di kemudian hari dogmatika Reformasi membedakan lagi pengertian imago dari similitudo (gambar dari rupa), tatkala ahli-ahli teologi berbicara tentang gambar Allah yg hakiki, yg tak mungkin hilang, dan tentang bakat-bakat nyata tapi alami (termasuk kebenaran asli), yg bisa saja raib tanpa hilangnya kemanusiaan itu sendiri. Pada zaman modern ini Brunner berusaha memahami konsep dari ‘bentuk’ imago itu sebagai struktur kini dari wujud dini manusia, berlandaskan hukum. Hal ini tidak sirna kendati manusia jatuh dalam dosa, dan merupakan titik temu bagi Injil. Ini merupakan salah satu segi dari kodrat manusia yg dipersatukan secara teologis, yg masih menunjukkan tanda-tanda gambar Allah walaupun manusia sudah dirusak dosa. Tapi ‘secara praktis’ bagi Brunner gambar Allah (imago) sudah hilang sama sekali. R Niebuhr kembali ke pembedaan skolastik, di satu pihak, kodrat hakiki manusia tak dapat dirusak, dan di pihak lain kebenaran asli, kebajikan dan kesempurnaannya akan menghadirkan pengungkapan biasa dari kodrat itu.
          Karl Barth, dalam merumuskan ajarannya mengenai manusia, memilih jalan yg berbeda dari jalan yg ditempuh tradisi gereja. Kita tidak dapat mengenai manusia yg sesungguhnya, sampai kita mengenai dia dalam dan melalui Kristus. Maka untuk dapat mengerti apa sebenarnya manusia itu, hanyalah melalui apa yg kita kenal tentang Yesus Kristus dalam Injil. Tidak boleh menganggap dosa lebih unggul daripada kasih karunia. Karena itu pandangan yg mengatakan bahwa manusia bukan lagi manusia seperti yg diciptakan Allah, harus ditolak. Dosa menciptakan keadaan-keadaan, yg atasnya Allah bertindak. Tapi dosa tidak mengubah struktur diri manusia demikian jauh; memandang Yesus Kristus dalam hubungan-Nya dengan manusia dan masyarakat manusia, masih terlihat dalam kehidupan manusia hubungan-hubungan yg serupa, yg menunjukkan bentuk dasar dari kemanusiaan, yg selaras dengan ketentuan Allah mengenai manusia. Sekalipun manusia menurut kodratnya bukanlah ‘rekan seperjanjian’ Allah, tapi dalam daya dan semangat pengharapan yg kita miliki di dalam Kristus, keberadaan manusia adalah keberadaan yg sesuai dengan keberadaan Allah sendiri, dan dalam pengertian ini (manusia ada) menurut gambar Allah.
          Barth melihat makna khusus dalam kenyataan, bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah, dan menekankan hubungan saling menolong antara sesama manusia sebagai termasuk hakikat dari kodrat manusia. Tapi hanya dalam Yesus Kristus, yaitu Anak yg sudah menjadi manusia, dan melalui dipilihnya manusia dalam Kristus, manusia dapat mengenai Allah dan dapat dihubungkan dengan Allah dalam gambaran Allah ini.



KEPUSTAKAAN.
  1. H Wheeler Robinson, The Christian Doctrine of Man, 1926;
  2. Weber, Dogmatck, 1, 1955, hlm 582-640;
  3. E Brunner, Man in Revolt, E. T, 1939;
  4. K Berth, Church Dogmatics, E. T, III/1, hlm 176-211, 235-249, dan III/2, Christ and Adam, E. T, 1956; David Cairns, The Image of God in Man, 1953;
  5. R Niebuhr, The Nature and Destiny of Man, 1941;
  6. T. F Torrance, Calvin’s Doctrine of Man, 1947;
  7. Gustaf Wingren, Man and the Incarnation, 1959;
  8. Gunther Dehn, Man and Revelation, 1936, hlm 9-37;
  9. H Heppe, Reformed Dogmatics, E. T, 1959, hlm 220-250;
  10. C lodge, Systematic Theology, 2, 1883, hlm 3-116;
  11. W Eichrodt, Man in the Old Testament, E. T, 1951;
  12. George A. F Knight, A Christian Technology of the Old Testament, 1959, hlm 2539, 119-130;
  13. Charles West, Communism and the Theologians, 1957;
  14. W. A Whitehouse, ‘The Christian View of Man’, SJT, 2, 1949, hlm 57-82;
  15. C. H Dodd, P. I Bratsiotis, R Bultmann and H Clavier, Man in God’s Design, 1952;
  16. R. P Shedd, Man in Community, 1958;
  17. W. G Kummel, Man in the NT, 1963;
  18. K Rahner, Man in the Church (= Theological Investigations 2), 1963;
  19. Theology, Anthropology, Christology (= Theological Investigations 13), 1975;
  20. R Scroggs, The Last Adam; A Study in Pauline Anthropology, 1966;
  21. W Pannenburg, What is Man? 1970; T. M Kitwood, What is Human? 1970;
  22. J Moltmann, Man, 1971; R Jewett, Paul’s Use of Anthropological Terms, 1971;
  23. P. K Jewett, Man as Male and Female, 1975; H Vorlander, C Brown, J. S Wright dlm NIDNTT 2, hlm 562-572.




No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...