Wednesday, May 16, 2018

KORBAN DAN PERSEMBAHAN


KORBAN DAN PERSEMBAHAN
Dalam PL
             a. Istilah-istilah
             PL tidak memiliki kata umum untuk ‘korban’ kecuali qorban yg jarang digunakan; artinya ‘yg dibawa mendekat’ (qrh), dan secara praktis terbatas pada susastra keimaman. ‘Isysyeh mungkin secara umum berarti korban sesuai hukum Taurat, tapi diperdebatkan apakah itu tidak harus dibatasi untuk ‘korban dengan api’ (’ esy) (namun lih #/TB Im 24:9*). Kata-kata lain yg banyak digunakan melukiskan macam korban tertentu, dan dijabarkan atau dari bentuk kata korban, seperti zevakh (korban), ‘yg disembelih’ (zavakh), dan ‘ola (korban bakaran), ‘yg membubung ke atas’, atau dari maksudnya, seperti ‘asyam (korban penebus salah), ‘untuk kesalahan’ (’ asyam), dan khatta’t (korban penghapus dosa), ‘untuk dosa’ (khattat). Ini sebagian boleh dibedakan dengan keadaan yg dikorbankan, apakah seluruhnya dibakar (‘ola, #/TB Im 1*), atau dimakan oleh imam-imam bersama yg ikut kebaktian (zevakh, #/TB Im 3*), atau dimakan oleh imam sendirian (khatta’t dan’asyam, #/TB Im 4; 5*). Untuk pembedaan antara ‘ola dan zevakh, lih #/TB Ul 12:27* (bnd #/TB Yer 7:21*, dimana sang nabi secara ironis menganjurkan penghapusan pembedaan itu).

             Juga termasuk ke dalam qorban ialah korban-korban bukan darah, korban sajian (minkha, #/TB Im 2*), buah sulung (re, syit, bikkurim), berkas 16 Nisan, adonan Pesta Minggu, dan zakat.

             b. Teori asal mula korban persembahan

             Korban persembahan tidak terbatas hanya pada Israel di antara bangsa-bangsa purba (lih #/TB Hak 16:23*; #/TB 1Sam 6:4*; #/TB 2Raj 3:27; 5:17*). Banyak kesejajaran yg berasal dari bangsa-bangsa sekitar dikemukakan untuk menjelaskan korban dalam masyarakat Israel. W. R Smith (’ Sacrifice’, EBr9, 21, 1886, hlm 132-138; The Religion of the Semites, 1894) berdasarkan sumber-sumber yg berasal dari orang Arab pengembara pada zaman pra-Islam, mengemukakan bahwa daging korban persembahan dalam bentuknya yg paling dini adalah berkaitan dengan orang ‘Semit’ purba, dan persekutuan antara penyembah dengan dewa merupakan gagasan yg mengendalikannya. Gerakan Pan-Babilonia (H Winckler, A Jeremias, dari kr thn 1900 dst) menyoroti peradaban Mesopotamia yg lebih tinggi dan upacara korban pendamaian yg dikembangkan dan dipraktikkan di sana.

             R Dussaud lebih suka memilih latar belakang Kanaan, dan menemukan kemiripan pertama-tama dalam pajak-pajak korban (Kartago Le sacrifice en Israel et chez les Pheniciens, 1914, Les origins cananeennes du sacrifice israelite, 1921), dan kemudian dalam naskah-naskah Ras Syamra (Les decouvertes de Ras Shamra et l’Ancien Testament, 1937). Di sini bahan-bahan dari Ugarit kuno (kr 1400 sM) menunjukkan upacara korban yg telah berkembang dengan nama-nama yg serupa dengan yg ada dalam PL. Syrp adalah korban bakaran, dhkh, korban sembelihan untuk dimakan, sylm, mungkin korban pendamaian, dan ‘atm sama dengan ‘asyam dalam bh Ibrani (ini semua bukan identifikasinya Dussaud). Aliran mite dan ritual (S. H Hooke, The Origins of Early Semitic Ritual, 1938; I Engnell, Studies in Divine Kingship in the Ancient Near East, 1943) menekankan latar belakang pemukim tetap dan memberi bobot yg berat terhadap peranan pengganti dari raja yg menderita dalam ibadah.

             Hal itu tidak meyakinkan bagi A Alt, yg sebelumnya sudah mengajukan pendapat sendiri (’ Der Gott der Vdter, 1929) bahwa awal kepercayaan Israel yg sebenarnya harus dicari di kalangan nenek moyang pengembara yg sudah mempraktikkan suatu bentuk agama yg memusat pada ilah kepala suku (’ Allah Abraham’, ‘Allah Ishak’, ‘Allah Yakub’). V Maag (’ Der Hirte Israels’, Schweizerische Theologische Umschau 28, 1958, hlm 2-28) mengutip ini lebih lanjut dengan mencatat banyaknya kiasan tentang gembala dalam lukisan-lukisan tentang Allah, dan berdasarkan latar belakang kebudayaan gembala imigran dari padang-padang Asia, berpendapat bahwa korban persembahan mereka adalah makan bersama yg di dalamnya sang dewa mengambil alih tanggung jawab penumpahan darah, yg kalau tidak demikian berarti harus ada pembalasan (lih A. E Jensen, ‘Uber das Toten als kulturgeschichtliche Erscheinung’, Paideuma 4, 1950, hlm 23-38; H Baumann, ‘Nyama, die Rachemacht’, hlm 191-230). Agama orang Israel, sebagaimana nyata dalam PL, dikatakan adalah suatu sinkritisme dimana korban zevakh pengembara ada bersama korban persembahan gaya ‘ola, yg masuk ke dalam dari pihak Kanaan, yaitu pemukim tetap (V Maag, VT 6, 1956, hlm 10-18).

             Pandangan demikian memberi tempat baik pada kelompok penetap maupun pengembara, tapi menjadi subyektif bila dikenakan pada cerita PL tertentu. PL melukiskan Israel mula-mula lebih sebagai bangsa yg sedang dalam proses untuk menetap ketimbang sebagai pengembara. Bapak-bapak leluhur sudah memiliki sejumlah besar ternak dan bertani dan mungkin saja bahwa kesamaan yg dekat dengan korban persembahan Ibrani ditemukan di lingkungan suku seperti suku Nuer di Afrika, yg korbannya, sebagaimana dilukiskan oleh E Eans-Pritchard (Nuer Religion, 1956), termasuk seekor lembu jantan untuk penghapus dosa. Aliran Wellhausen melacak evolusi dari suatu upacara meriah penyerahan korban persembahan pada zaman dulu sampai kepada korban dosa dan korban kesalahan pada zaman sesudah pembuangan (J Wellhausen, Prolegomena to the History of Israel, 1885; W. R Smith). Karya tersebut berpendapat bahwa hubungan korban dengan dosa merupakan unsur terakhir. Tapi pendapat ini tidak diterima lagi (lih Beckwith, Penitence and Sacrifice in Early Israel, Leiden, 1963), sebagaimana sketsa berikut akan memperlihatkannya.

             c. Perkembangan dalam sejarah

                   1. Zaman Bapak-bapak leluhur.

                   Adalah penting bahwa korban-korban yg pertama sekali disebut dalam Kej bukanlah korban sembelihan zevakhim, melainkan korban persembahan Kain dan Habel (minkha, #/TB Kej 4:3,4*) dan korban bakaran Nuh (’ ola, #/TB Kej 8:20*; di sinilah pertama kali muncul sebutan mezbah). Mezbah para Bapak leluhur sering dilukiskan (mis #/TB Kej 12:6-8*), tapi sayang jenis korban secara rinci kurang digambarkan. Maag berpendapat korban itu adalah makanan persekutuan zevakh, tapi T. C Vriezen (An Outline of Old Testament Theology, 1958, hlm 26) menganggap pendapat ‘ola lebih mungkin. Kej mendukung pendapat ini. Ishak tahu Abraham biasa mempersembahkan korban ‘ola dan biasanya seekor domba yg dipersembahkan (ay #/TB Kej 12:7*). Tapi daging korban persembahan memeteraikan perjanjian (#/TB Kej 31:54*; zevakh muncul pertama kali), walaupun tidak semua janji sejenis ini. #/TB Kej 15:9-11* paling baik dimengerti sebagai upacara penyucian seperti naskah Het yg diterjemahkan oleh O Masson (RHR, 137, 1950, hlm 5-25; bnd O. R Gurney, The Hittites, 1952, hlm 151).

                   Motif-motif korban zaman itu, juga ihwal memuliakan Allah dan pengucapan syukur atas kebaikan-Nya adalah nyata, tapi kemungkinan adanya pemikiran yg lebih khidmat tak dapat ditiadakan. Korban persembahan Nuh harus dilihat tidak melulu sebagai korban pengucapan syukur karena kelepasan, tapi juga sebagai korban pertobatan atau penebusan dosa. Ketika Yakub pergi ke Mesir (#/TB Kej 46:1*) ia berhenti untuk bertanya kepada Allah, dan mempersembahkan korban (zevakh) yg mungkin bersifat pertobatan (lih L Rost, VT Suppl, 7, 1960, hlm 354; ZDPV, 66, 1943, hlm 205-216). Di Mesir Israel dipanggil untuk mempersembahkan korban khidmat di padang gurun (#/TB Kel 5:3*, zevakh), yg menuntut persembahan berupa hewan (#/TB Kel 10:25,26*) dan dibedakan dari korban persembahan orang Mesir yg manapun (#/TB Kel 8:26*).

                   2. Suku.

                   Pembentukan Israel sebagai suatu organisasi kesukuan, yg menurut Noth terjadi hanya di tanah Palestina pada zaman para Hakim (lih The History of Israel, 1958), menurut tradisi Alkitab terjadi pada masa Musa. Peristiwa-peristiwa utama yg terjadi dalam kehidupan suku — ialah tiga pesta raya, pada saat mana korban harus dipersembahkan: ‘janganlah orang menghadap kehadirat-Ku dengan tangan hampa’ (#/TB Kel 23:15*). Korban persembahan yg paling kita kenal ialah korban Paskah dan korban perjanjian. Paskah menggabungkan unsur-unsur korban persembahan sebagai ‘daya’ yg mampu mengatasi yg jahat dan korban persembahan sebagai perjamuan bersama. Rasa aman karena mengetahui bahwa darah sudah ditumpahkan untuk mengenyahkan yg jahat, maka setiap anggota keluarga dapat duduk dalam persekutuan penuh kegembiraan (#/TB Kel 12*; #/TB Yos 5:5-12*; *PASKAH). Unsur-unsur yg sama mungkin masuk ke dalam korban perjanjian dan pengulangan perjanjian itu (#/TB Kel 24:1-8*; #/TB Ul 27:1* dab; #/TB Yos 8:30* dab; 24; #/TB Mazm 50:5*).Pemercikan darah menyucikan perjanjian dan menyantap daging korban persembahan menandai penggenapannya.

                   Sebagai tambahan, beberapa korban lainnya secara nasional maupun lokal dipersembahkan. Persembahan korban khas nasional adalah yg dipersembahkan bila bencana timbul atau perang terjadi (#/TB Hak 20:26; 21:4*; #/TB 1Sam 7:9*), dan bila penyesalan nasional menjadi tuntutan utama (bnd #/TB Hak 2:1-5*). Penyerahan dan awal timbulnya yg baru ditandai dengan korban (#/TB Hak 6:28*; #/TB Kel 32:6*; #/TB 1Sam 6:14; 11:15*; #/TB 2Sam 6:17*), sebagaimana juga kegiatan-kegiatan perayaan pribadi (#/TB 1Sam 1:3*), syafaat (#/TB Bil 23:1* dab) dan mungkin keramah-tamahan (#/TB Kel 18:12*).

                   3. Zaman kerajaan.

                   Pembangunan Bait Allah oleh Salomo menuntut upacara penahbisan dengan penyerahan korban persembahan (#/TB 1Raj 8:62* dab) dan korban-korban biasa (#/TB 1Raj 9:25*). Tapi karena sumber informasi itu adalah beberapa kitab tentang ‘raja-raja’, maka kitab-kitab itu lebih berbicara tentang peranan raja (bnd #/TB 2Raj 16:10* dab) ketimbang peranan rakyat. Bahwa upacara harian keagamaan berjalan terus, dinyatakan oleh ay seperti #/TB 2Raj 12:16*, dan oleh seringnya hal itu disebut dalam kitab nabi-nabi dan mazmur-mazmur. Beberapa hunjukan dalam mazmur menyatakan bahwa kutukan-kutukan dahulu janganlah diartikan mutlak, seolah-olah kelompok nabi bertentangan dengan kelompok imam. Para nabi tidak seberapa keras menentang upacara itu sendiri, tapi keras menentang ide-ide yg melibatkan peranan sihir yg diambil dari upacara-upacara kesuburan (#/TB Am 4:4,5*; #/TB Yes 1:11-16*), dan terhadap hal-hal yg baru seperti menyembah berhala dan mengorbankan anak-anak yg diperkenalkan oleh penguasa yg murtad (#/TB Yer 19:4*; #/TB Yeh 16:21*).

                   Tokoh seperti Yesaya dapat memperoleh panggilannya di Bait Allah (#/TB Yes 6*), dan tokoh Yeremia atau Yehezkiel dapat menemukan tempat bagi upacara pemurnian di masa datang (#/TB Yer 17:26*; #/TB Yeh 40; 41; 42; 43; 44; 45; 46; 47; 48*). Hal ini juga merupakan perasaan yg dominan di kalangan pemazmur, yg terus-menerus berbicara tentang korban persembahan pengucapan syukur mereka guna memenuhi nazar sumpah mereka (mis #/TB Mazm 66:13-15*). Ungkapan tentang pertobatan dan kesukacitaan berkat pengampunan juga ada (#/TB Mazm 32;  51*), dan meskipun korban tidak sering disebut dalam konteks-konteks itu, toh dapat diandaikan ada sebab pengampunan itu dialami di Bait Allah (#/TB Mazm 65:1-4*). Tidak perlu menganggap semua acuan macam itu berasal dari zaman pasta pembuangan, walaupun keluhan para nabi bahwa pertobatan acap kali tidak cukup menyertai korban dalam periode kerajaan yg terakhir harus juga diingat.

                   4. Zaman pasca pembuangan.

                   Musibah ‘pembuangan’ biasanya dinalar sebagai mendampakkan pengakuan berdosa yg lebih mendalam. Bahwa hal itu benar tidak perlu diragukan (lih #/TB 2Raj 17:7* dab; #/TB Neh 9*), tapi tidak dalam pengertian seperti dikemukakan oleh Wellhausen, bahwa nada menebus dosa barulah waktu itu memasuki agama Israel (#/TB Im 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7;  16*). Acuan-acuan terhadap korban persembahan dalam tulisan-tulisan yg tidak berasal dari kelompok imam pra dan pasca pembuangan, yg umumnya terlalu fragmentaris untuk menyoroti masalah itu, tidak menunjang teori tersebut. Kesukacitaan maupun pertobatan tetap mencirikan korban (#/TB Ezr 6:16-18*; #/TB Neh 8:8* dab). Bait Allah dan upacara dihargai (#/TB Hag 1; 2*; #/TB Yoel 2:14*, dan terutama Taw), namun hanya selama itu merupakan wahana bagi ibadah yg sungguh (#/TB Mal 1:6* dab; #/TB Mal 3:3* dab). Kesusastraan apokaliptik dan kebijaksanaan menganggap upacara sebagai sesuatu yg sudah ada (#/TB Dan 9:21,27*; #/TB Pengkh 5:5; 9:2*) dan juga melanjutkan penekanan moral khas nabi (#/TB Pengkh 5:2*; #/TB Ams 15:8*).

             d. Peraturan-peraturan hukum

             Hukum tentang korban persembahan berserakan dalam Kitab-kitab hukum (#/TB Kel 20:24* dab, #/TB Kel 34:25* dab; #/TB Im 17; 19:5* dab; #/TB Bil 15*; #/TB Ul 12*, dll), tapi ‘torat’ tentang korban itu terutama ialah #/TB Im 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7*. Ps 1-5 secara berurutan menyangkut korban bakaran (’ ola), korban sajian (minkha), korban pendamaian (zevakh), korban penghapus dosa (khatta’t), dan korban penebus salah (’ asyam), sedangkan ps 6-7 memberikan tambahan peraturan untuk kelima-limanya — #/TB Im 6:8-13* (bakaran), 7:11 dab (pendamaian) yg dapat disimpulkan sbb.

             ==> Image 00142


                   1. Bahan-bahan.

                   Korban yg akan dipersembahkan haruslah ternak atau burung yg halal (#/TB Kej 8:20*). Jadi bisa lembu jantan, kambing, domba, merpati (bnd #/TB Kej 15:9*), tidak onta atau tidak keledai (#/TB Kel 13:13*) (*TAHIR, PENTAHIRAN). Ketentuan macam itu janganlah dilacak sampai pada gagasan bahwa korban itu untuk santapan ‘dewa-dewa’ (bahwa dewa memakan apa yg dimakan manusia) — seperti yg mungkin terkesan oleh #/TB Im 3:11; 21:6*; #/TB Yeh 44:7* — karena ikan (#/TB Im 11:9*) dan binatang-binatang liar (#/TB Ul 12:22*) boleh dimakan tapi tidak boleh dijadikan korban. Nampaknya prinsipnya ialah, manusia wajib memberi kepada Allah sesuatu yg adalah milik manusia itu sendiri (bnd #/TB 2Sam 24:24*); binatang liar dianggap adalah kepunyaan Allah, bukan kepunyaan manusia (#/TB Mazm 50:9* dab; #/TB Yes 40:16*), sedangkan binatang piaraan adalah milik manusia oleh pekerjaannya (#/TB Kej 22:13* sebenarnya bukan pengecualian), dan berada dalam semacam ‘kesesuaian biotik’ dengan dia. Hal ini lebih jelas dalam hal korban tanpa darah, yg dihasilkan dengan ‘keringat di alisnya’ (biji-bijian, tepung, minyak, anggur, dll), dan yg senantiasa dimakan. Hal-hal yg dimiliki tidak sesuai dengan hukum, tidak boleh dipersembahkan (#/TB Ul 23:18*).

                   Prinsip ‘yg terbaik bagi Tuhan’ senantiasa dilaksanakan; dalam hal jenis kelamin, jantan lebih diutamakan ketimbang betina (#/TB Im 1:3*; tapi bnd #/TB Im 3:1*; #/TB Kej 15:9*; #/TB 1Sam 6:14; 16:2*); dalam hal umur, kematangan sangat dihargai (#/TB 1Sam 1:24*); dalam hal kesempurnaan fisik, ‘tanpa cacat’ senantiasa ditekankan (#/TB Im 1:3; 3:1*; #/TB Ul 15:21; 17:1; 22:17-25*; bnd #/TB Mal 1:6* dab, tapi hendaknya dicatat perkecualian bagi korban persembahan sukarela, #/TB Im 22:23*); dalam segi tertentu juga ihwal warna, dipilih warna merah (#/TB Bil 19:2*), mungkin melambangkan darah (bnd lukisan-lukisan binatang yg terdapat dlm gua-gua prasejarah).

                   Perbedaan antara Israel dengan tetangga-tetangganya nampak jelas dalam penolakan terhadap perluasan prinsip ini sampai kepada puncaknya yg logis, yakni: korban anak sulung manusia. Mengorbankan anak-anak yg terdapat pada masa kerajaan yg terakhir (#/TB 2Raj 21:6*), bahkan mengorbankan manusia dewasa pada waktu-waktu yg lebih dini (#/TB Hak 11:29* dab), berasal dari pengaruh-pengaruh luar dan dikutuk oleh nabi-nabi (#/TB Yer 7:31* dab), perintah (#/TB Im 20:4*), dan contoh (#/TB Kej 22*). #/TB Kel 22:29*b jelas harus ditafsirkan dengan #/TB Kel 34:19,20* dan #/TB Kel 13:12-16*. Prinsip penggantian diberlakukan tidak hanya dalam mengganti anak sulung manusia dengan binatang. tapi juga dalam ketentuan yg diberikan bagi orang miskin untuk mempersembahkan korban berupa burung dara yg lebih murah untuk korban penghapus dosa (#/TB Im 5:7*), dan jika ini masih terlalu mahal, korban sajian (#/TB Im 5:11*). Kalimat ‘sekadar kemampuannya’ (#/TB Im 14:22* dab) penting artinya di sini.

                   Penuangan minyak (#/TB Kej 28:18*), anggur (#/TB Kej 35:14*), dan air (? #/TB 1Sam 7:6*) nampaknya mendapat tempat dalam upacara, namun hanya persembahan anggur yg diacu dalam hukum-hukum dasar (#/TB Bil 28:7* dll). Larangan terhadap adonan beragi dan madu (dgn beberapa pengecualian), dan mungkin juga susu yg boleh jadi karena cepat basi. Sebaliknya, garam tentu ditambahkan ke dalam korban persembahan, karena daya pengawetannya (hanya disebutkan dlm #/TB Im 2:13* dan #/TB Yeh 43:24*, bnd #/TB Mr 9:49*). Kemenyan (levona, qetoret) digunakan baik sebagai korban persembahan yg berdiri sendiri (#/TB Kel 30:7*, bnd cara pembuatannya dlm ay #/TB Kel 30:34-38*) maupun sebagai salah satu dalam korban sajian (#/TB Im 2*). Ada ahli yg meragukan penggunaan kemenyan pada zaman dulu itu, dengan alasan kemenyan tidak dapat dimakan dan bukan milik yg tumbuh di halaman rumah (#/TB Yer 6:20*). Mereka menganggap bahwa qetoret adalah pembakaran lemak (qtr) bukan kemenyan. Namun anggapan ini belum pasti. (Lih N. H Snaith, IB, 3, 1954, hlm 40; J. A Montgomery, ICC, Kings, 1952, hlm 104; juga VT 10, 1960, hlm 113-129; *KEMENYAN.)

                   2. Waktu.

                   Peraturan yg ada meliputi baik korban persembahan nasional maupun perseorangan, peristiwa sehari-hari dan hari-hari raya. Korban persembahan umum paling utama ialah yg bersifat musiman seperti Hari Raya Roti Tidak Beragi, Hari Raya Menuai, dan Hari Raya Pondok Daun (#/TB Kel 23:14-17; 34:18-23*; #/TB Ul 16*). Dari sejak awal, hari raya pertama sudah dikaitkan dengan Paskah (#/TB Yos 5:10-12*), dan yg terakhir sangat mungkin sekali dengan upacara membaharui perjanjian (#/TB Kel 24*; #/TB Ul 31:10* dab; #/TB Yos 24*), tahun baru dan penebusan dosa (bnd #/TB Im 23:27* dab) (*PENTAKOSTA; *PASKAH; *HARI RAYA PONDOK DAUN). Daftar korban persembahan untuk upacara ini dan tambahannya secara bulanan (bulan baru), mingguan (sabat), harian (pagi dan malam), disajikan dalam #/TB Bil 28:29* dan dapat didaftarkan sbb: (dikutip dari A. R. S Kennedy, Leviticus and Numbers, Century Bible, 1910, hlm 349).

                   Kapan dimulai korban bakaran yg dilakukan sehari dua kali itu masih diteliti dan sulit untuk mendapatkan kepastiannya karena sifat minkha yg bermakna ganda bagi korban sajian maupun bakaran. Acuan-acuan pokoknya ialah ‘Ola dan minkha yg juga tanpa catatan waktu dalam #/TB 1Sam 3:14*; #/TB Yer 14:12*, dan #/TB Mazm 20:2*, dan kesinambungan ‘olot dan minkhot dalam #/TB Ezr 3:3* dab dan #/TB Neh 10:33*.

                   ==> Image 00143


                   Korban persembahan yg lebih bersifat pribadi adalah Paskah, yg dirayakan di dan oleh keluarga (#/TB Kel 12*; bnd #/TB 1Sam 20:6*, tapi ini adalah bulan baru, bukan purnama), dan korban perseorangan seperti untuk memenuhi sumpah (#/TB 1Sam 1:3*, bnd ay #/TB 1Sam 1:21*; #/TB 2Sam 15:7* dab), atau pengukuhan perjanjian (#/TB Kej 31:54*), penghormatan akan Tuhan (#/TB Hak 13:19*), penyerahan pribadi (#/TB 1Raj 3:4*), urapan (#/TB 1Sam 16:3*), atau penebusan (#/TB 2Sam 24:17* dab). Apakah memberi tumpangan kepada seseorang selalu dipandang sebagai peristiwa korban tidaklah jelas (#/TB Kej 18*; #/TB Bil 22:40*; #/TB 1Sam 28:24* mungkin tidak mencakup upacara mezbah, tapi bnd #/TB 1Sam 9*). Peristiwa-peristiwa tambahan yg disebut dalam hukum adalah penyucian penderita kusta (#/TB Im 14*), penyucian sesudah kelahiran bayi (#/TB Im 12*), penahbisan imam (#/TB Im 8; 9*) atau seorang bani Lewi (#/TB Bil 8*), dan pembebasan seorang nasir dari sumpahnya (#/TB Bil 6*). Korban persembahan yg agak jarang ialah penahbisan tempat suci (#/TB 2Sam 6:13*; #/TB 1Raj 8:5* dab, #/TB Yeh 43:18* dab; #/TB Ezr 3:2* dab), penobatan raja (#/TB 1Sam 11:15*; #/TB 1Raj 1:9*), dan hari pertobatan nasional (#/TB Hak 20:26*; #/TB 1Sam 7*) atau persiapan untuk pertempuran (#/TB 1Sam 13:8* dab; #/TB Mazm 20*).

                   Di antara korban persembahan musim yg diserahkan sebagai kewajiban tahunan, dalam rangka mengakui kemurahan Tuhan memberikan hasil ialah anak sulung dan panen pertama (#/TB Kel 13; 23:19*; #/TB Ul 15:19* dab; #/TB Ul 18:4*, 26; #/TB Bil 18*; bnd #/TB Kej 4:3,4*; #/TB 1Sam 10:3*; #/TB 2Raj 4:42*), persepuluhan, seberkas tuaian pertama (#/TB Im 23:9* dab) dan tepung jelai yg pertama (#/TB Bil 15:18-21*; #/TB Yeh 44:30*; bnd #/TB Im 23:15* dab). Mungkin tujuannya bukan untuk menguduskan sisa dari hasil seluruhnya, melainkan untuk melepaskannya dari kekhususannya. Semuanya adalah milik Tuhan sampai bagian pertama dipersembahkan dan diterima mewakili seluruh panen. Setelah penyerahan korban persembahan itu barulah ditiadakan pembatasan atas sisanya untuk digunakan oleh manusia (#/TB Im 23:14*; bnd #/TB Im 19:23-25*). Bahkan bagian yg dipersembahkan itu biasanya diserahkan di mezbah hanyalah sebagai bukti, kemudian diambil untuk dimanfaatkan oleh imam atau untuk perjamuan korban. Halnya juga sama atas roti hunjukan mingguan.

                   3. Upacara.

                   Korban persembahan utama sesuai #/TB Im 1; 2; 3; 4; 5* dibahas dalam kerangka penyelenggaraan enam upacara keagamaan yg kaku. Tiga di antaranya dilakukan oleh penyembah dan yg tiga lagi oleh imam. Semuanya dapat digambarkan dari ‘ola dan zevakh (lih R Rendtorff, Die Gesetze in der Priesterschrift, 1954).

                   ==> Image 00144


                   Upacara penyerahan korban persembahan untuk pengampunan dosa, beberapa kali diulangi untuk berbagai tingkatan (#/TB Im 4:1-12; 13:21; *; Im 27-31), mengikuti skema yg sama, kecuali dalam hal-hal yg kecil. Korban bakaran berupa unggas (#/TB Im 1:14-17*) dan korban sajian (#/TB Im 2*) menunjukkan keanekaragaman, namun tidak seluruhnya berbeda. Rumus yg serupa untuk korban penghapus salah tidak diberikan (kendati demikian bnd #/TB Im 7:1-7*), tapi itu harus dimengerti termasuk dalam hukum korban penghapus dosa (#/TB Im 7:7*).

                   (i) Penyembah membawa persembahannya mendekat (higriv) (juga hevi, ‘asah). Tempat penyerahan korban adalah ruang depan Kemah Perjanjian, di sebelah utara mezbah (untuk korban bakaran, penghapus dosa dan salah, tapi tidak untuk korban pendamaian yg lebih banyak), walaupun pada masa yg lebih awal mungkin di pintu Kemah Suci (#/TB Im 17:4*), atau tempat suci setempat (#/TB 1Sam 2:12* dab) atau batu karang (#/TB 1Sam 6:14*) atau tugu (#/TB Kej 28:18*). Membunuh korban persembahan di mezbah, walaupun tersirat di #/TB Kej 22:9* dan #/TB Kel 20:24*, tidak biasa.

                   (ii) Penyembah meletakkan kedua tangannya (samakh), atau pada zaman Alkitab mungkin satu tangan (lih #/TB Bil 27:18*) pada korban, dan besar kemungkinan sambil mengakui dosanya. Hal kedua disebut hanya dalam kaitan mempersembahkan kambing jantan di mana darah tidak ditumpahkan (#/TB Im 21*), dan dengan beberapa korban penghapus dosa (#/TB Im 5:5*) dan korban penghapus salah (Bit #/TB Im 5:7*) (tapi bnd #/TB Ul 26:3*; #/TB Yos 7:19,20*), sehingga semikha tidak pasti dapat diartikan pemindahan dosa. Pada sisi lain, belum cukup menganggapnya melulu tanda kepemilikan oleh pemilik, karena pertanda macam itu tidak berlaku atas korban tanpa darah kendati kedua perbuatan itu adalah sama. Terwakili — kalau artinya memang bukan pemindahan dosa — jelas tersirat dalamya; bnd penggunaan kata yg sama dalam penugasan Yosua (#/TB Bil 27:18*) dan orang Lewi (#/TB Bil 8:10*) dan perajaman penghujat (#/TB Im 24:13* dab). Lih P Volz, ZAW 21, 1901, hlm 93-100, dan untuk pendapat yg berlawanan J. C Matthes, ZAW 23, 1903, hlm 97-119.

                   (iii) Penyembelihan korban (syakhat) dilakukan sendiri oleh penyembah kecuali korban persembahan nasional (#/TB Im 16:11*; #/TB 2Taw 29:24*). Dalam kesusastraan PL di luar Im kata kerja zavakh (mempersembahkan korban) dipakai, tapi mungkin mengacu kepada pemotongan daging korban sesudah penyembelihan, dan peletakan bagian-bagiannya di atas mezbah (mizbeakh, bukan misykhat) (demikian K Galling, Der Altar, 1925, hlm 56 dst). Untuk ini ntkh biasanya yg digunakan (#/TB 1Raj 18:23*; #/TB Im 1:6*), dan zavakh melukiskan korban-korban zevakhim, kecuali untuk beberapa bagian (#/TB Kel 20:24*; #/TB 1Raj 3:4*; bnd #/TB 2Raj 10:18* dab) dimana dihubungkan dengan ‘olot. Mungkin dalam hal ini penggunaan kata kerja tersebut diperlunak, yg di dalam bahasa-bahasa serumpun bahkan dapat digunakan untuk sayuran yg dipersembahkan, dan dalam bentuk Piel Ibrani nampaknya umum digunakan bagi keseluruhan upacara (yg sering murtad). Jadi penggunaan zevakh tidaklah pasti selalu terkait dengan korban, atau apakah daging hanya dapat dimakan pada saat penyerahan korban, kendati memang sering demikian pada zaman purba (bnd masalah daging persembahan berhala di Korintus).

                   (iv) Penggunaan (zaraq) darah adalah urusan imam, yg menampungnya di dalam sebuah bejana dan menempatkannya di sudut timur laut dan barat daya dari mezbah, sedemikian rupa, sehingga keempat sisi mezbah itu dapat kena percikannya. Halnya sama dengan penyerahan korban bakaran binatang (#/TB Im 1*), korban pendamaian (#/TB Im 3*), dan korban penghapus salah (#/TB Im 7:2*), tapi tidak dengan korban bakaran unggas (#/TB Im 1:15*), karena jumlah darah tidak mencukupi, sehingga dipercikkan hanya pada sisi mezbah saja. Korban penghapus dosa (#/TB Im 4*) menggunakan beberapa kata kerja yg berbeda, hizza (’ memercik’) atau natan (’ menaruh’) tergantung apakah korban itu tergolong tingkat pertama atau kedua (lih di bawah). Sisa darah kemudian dituangkan (syafakh) pada dasar mezbah. Upacara yg berkaitan dengan darah dalam Kitab-kitab sejarah hanya diacu di #/TB 2Raj 16:15* (namun bnd #/TB 1Sam 14:31-35*; #/TB Kel 24:6-8*). (Lih T. C Vriezen, OTS 7, 1950, hlm 201-235; D. J McCarthy, JBL 88, 1969, hlm 166-176; 92, 1973, hlm 205-210; N. H Snaith, ExpT 82, 1970-1971, hlm 23 dst.)

                   (v) Pembakaran (hiqtir) terjadi atas semua korban. Karena darah dan lemak adalah milik Tuhan, maka kedua bagian itulah yg pertama dibakar (#/TB Kej 4:4*; #/TB 1Sam 2:16*). Lemak ini bukanlah lemak biasa, tapi lemak khusus seperti lemak ginjal, hati, dan usus. Dari korban pendamaian, penghapus dosa, dan penghapus salah hanya lemak jenis inilah yg dibakar. Dari korban sajian suatu bagian yg disebut ‘azkara dipisahkan untuk dibakar, tapi korban-korban seluruhnya dibakar kecuali kulit, yg menjadi bagian imam (#/TB Im 7:8*). Pembakaran yg lain (saraf) yg dilakukan jauh dari mezbah berkaitan dengan korban-korban dosa yg tergolong tingkat pertama. Dalam pembakaran ini kulit korban persembahan juga turut dibakar.

                   (vi) Bagian-bagian yg tersisa dari daging korban (’ akhal) dimakan dalam perjamuan korban, baik oleh imam-imam bersama para penyembah (korban pendamaian), atau oleh imam-imam dan keluarga mereka, atau hanya oleh para imam. Makanan untuk imam digolongkan sebagai yg suci atau yg teramat suci. Golongan pertama mencakup korban-korban pendamaian (#/TB Im 10:14; 22:10* dab), panenan pertama dan persepuluhan (#/TB Bil 18:13*), dan dapat dimakan oleh keluarga imam di tempat mana saja asal bersih. Golongan kedua mencakup korban penghapus dosa (#/TB Im 6:16*), roti hunjukan (#/TB Im 24:9*), dan dapat dimakan hanya oleh imam-imam dan di dalam Bait Allah. Pesta perjamuan massal yg jamuannya berasal dari korban pendamaian digemari dalam ibadah lokal pada zaman dulu (#/TB 1Sam 1:9*), tapi dengan pensentralisasian ibadah di Yerusalem (bnd #/TB Ul 12*) maka kecenderungan itu lebih memberi tempat ke aspek-aspek formal ibadah. Namun upacara serupa masih terus berlangsung sampai zaman Yeh 46:21-24.

                   4. Jenis-jenis.

                   (i) ‘ola. Korban bakaran nampaknya mempunyai ciri-ciri yg cukup untuk dianggap sebagai korban khan Ibrani ketimbang zevakh yg disukai oleh aliran Wellhausen. Itu sudah demikian sejak semula (? #/TB Kej 4; 8:20; 22:2*; #/TB Kel 20:25; 18:12*; #/TB Hak 6:26; 13:16*), sejak dlm telah menjadi upacara yg teratur (#/TB 1Raj 9:25*; bnd #/TB 1Raj 10:5*), tidak pernah alpa dalam peristiwa-peristiwa besar (#/TB 1Raj 3:4*; #/TB Yos 8:31*), dan peranannya bertahan dominan sampai masa-masa terakhir (#/TB Yeh 43:18*; #/TB Ezr 3:2-4*) (lih R Rendtorff, Studien zur Geschichtle des Opfers im alien Israel, Neukirchener Verlag, 1963). Apa pun yg dapat dikatakan terhadap pandangan Robertson Smith tentang korban pendamaian yg utama, dan dari mana korban bakaran dikembangkan kemudian, bagi PL adalah ‘ola asal dari minhka, ‘asyam, khatta’t dan bahkan syelamim. Kalil yg diacu lima kali (#/TB 1Sam 7:9*; #/TB Mazm 51:17*; #/TB Ul 33:10*, bnd #/TB Ul 13:16* dan #/TB Im 6:22,23*) adalah juga nama lain bagi ‘ola, meskipun agak berbeda sedikit dalam penilaian Kartago dan Marseilles.

                   Sementara pandangan Rost ada benarnya, yaitu bahwa ola terbatas pada Yunani dan daerah ‘yg dibatasi oleh Taurus di utara, Laut Tengah di barat, dan padang gurun di timur dan selatan’ (’ Erwagungen zum israelitischen Brandopfer’, Von Ugarit nach Qumran [Eissfeldt Festschrif], 1958, hlm 177-183), namun itu tidak berarti bahwa penyembahan korban manusia berasal dari Israel (#/TB 2Raj 3:27*) atau upacara kebencian gaya Yunani. Sifatnya yg pasti sebagai pemberian nyata dari perubahan unsur-unsurnya ke dalam suatu bentuk dengan mana semuanya dapat diserahkan kepada Tuhan (#/TB Hak 6:21; 13:20*; bnd #/TB Ul 33:10*). Tapi ini tidak menyatakan apapun tentang tujuan pemberian itu, yg mungkin sekali berarti pemujaan dan pengucapan syukur, ataupun untuk membasuh dosa. Tujuan yg terakhir dinyatakan dalam #/TB Ayub 1:5; 42:8* dan beberapa bagian terdahulu, dan menjadi alasan bagi korban persembahan dalam #/TB Im 1:4* (bnd Naskah Ugarit #/TB Im 9:7*, dimana korban bakaran (syrp) dihubungkan kepada pengampunan jiwa (slh npsy)). Ketika korban penghapus dosa menjadi acara pertama dari serentetan korban persembahan (Misynah, Zebahim #/TB Im 10:2*), hal itu cenderung untuk mengambil alih fungsi ini, namun pada mulanya tidaklah demikian (bnd #/TB Bil 28; 29* dan bnd #/TB Bil 6:14* dgn #/TB Bil 6:11*).

                   (ii) Minkha (’ korban makanan’). Agak membingungkan karena istilah ini digunakan dengan tiga cara yg berbeda dalam PL. Melulu dengan arti ‘hadiah’ atau ‘upeti’ muncul 34 kali (bnd #/TB Hak 3:15*; #/TB 1Raj 4:21* — akar katanya mungkin manakh, ‘memberi’, lih bentuk jamaknya yg istimewa dlm MT pada #/TB Mazm 20:2*), 97 kali muncul dalam kesusastraan imam untuk korban sajian (mis di #/TB Im 2*), dan sekian kali juga muncul dengan arti yg sama (mis #/TB Yes 43:23; 66:20*). Tapi kemunculan terakhir menunjuk kepada korban pada umumnya (#/TB 1Sam 2:29; 26:19* dan mungkin Mal), dan untuk korban binatang khususnya (#/TB 1Sam 2:12-17*; #/TB Kej 4:3,4*; namun lih N. H Snaith, VT 7, 1957, hlm 314-316). S. R Driver dengan tepat menerangkan bahwa minkha tidak semata-mata menyatakan pemikiran netral tentang pemberian, tapi juga sebagai ‘hadiah yg diberikan untuk memastikan atau mempertahankan kemauan baik’ (HDB 3, 1900, hlm 587; bnd #/TB Kej 33:10*), dan makna pendamaian ini menonjol juga dalam acuan-acuan korban seperti #/TB 1Sam 3:10-14; 26:19*.

                   Dalam acuan-acuan di atas minkha merupakan persembahan korban yg berdiri sendiri, sedang dalam hukum menyertai korban pendamaian (#/TB Bil 15:1-16*), kecuali dalam #/TB Bil 5:15,25*; #/TB Im 5:11-13; 6:19-23*. Menurut #/TB Im 2*, persembahan itu harus terdiri dari tepung (#/TB Im 2:1-3*), kue bakar (#/TB Im 2:4-10*), atau gandum mentah (#/TB Im 2:14-16*), dengan minyak dan kemenyan (levona). Dengan ini ‘minkha di latar depan’ dapat dibandingkan dengan apa yg disebut oleh Kurtz ‘minkha dari tempat suci’ — mezbah kemenyan, roti hunjukan di atas meja, dan minyak di dalam pelita (The Sacrificial Worship of the Old Testament, 1865). Bumbu-bumbu lainnya mungkin berupa garam (#/TB Im 2:13*) dan anggur (#/TB Im 23:13*). Semua persembahan ini tidak ada yg dimakan oleh penyembah (tapi? #/TB Im 7:11-18*). Semuanya untuk imam-imam, tapi hanya setelah suatu ‘bagian ingat-ingatan’ (#/TB Im 2:2*) dibakar di atas mezbah. Terjemahan ini menyangkut keturunan ‘azkara dari zakhar, tapi G. R Driver, menyarankan arti ‘tanda’, suatu bagian untuk keseluruhan (JSS 1, 1956, hlm 97-105), dan ini merupakan contoh yg lain lagi dari prinsip penggantian di dalam korban.

                   (iii) Zevakh dan syelamin. Lagi-lagi terdapat variasi dalam penggunaannya, dimana zavakh dan syelamin sering digunakan bergantian (#/TB Im 7:11-21*; #/TB 2Raj 16:13,15*), sering juga dibedakan (#/TB Yos 22:27*; bnd #/TB Kel 24:5*; #/TB 1Sam 11:15*), sering berdiri sendiri-sendiri (#/TB 2Sam 6:17,18*; #/TB Kel 32:6*), dan sering digabung ke dalam rangkaian kata zevakh syelamin atau zivekhe syelamin (biasanya dlm hukum keimaman). Diragukan apakah semua penggunaan itu menunjuk kepada perjamuan korban zevakh saja. Syelamin, bila dipakai sendirian, mungkin sama sekali bukan perjamuan (tapi bnd #/TB 2Sam 6:19*), melainkan korban penebus salah dengan khidmat, yg serupa dengan ‘ola (demikian R Rendtorff, Studien zur Geschichte des Opfers), dan dalam kaitannya dengan korban-korban yg lain mungkin masih mempertahankan arti ini. Suatu sylm dari macam pendamaian agaknya sudah dikenal di Ugarit (D. M. L Urie, ‘Sacrifice among the West Semites’, PEQ 81, 1949, hlm 75-77) dan dicerminkan dalam bagian-bagian seperti #/TB Hak 20:26*; #/TB 1Sam 13:9*; #/TB 2Sam 24:25*. Adalah cocok sekali bila perjamuan penuh sukacita menyusul, jika sukacita itu merupakan kegembiraan pengampunan, karena perjamuan perjanjian zevakh itu biasanya juga menandai pendamaian sesudah keterasingan (#/TB Kej 31:54*; bnd S. I Curtiss, ‘The Semitic Sacrifice of Reconciliation’, The Expositor, serf keenam, 6, 1902, hlm 454-462).

                   Keterangan mengenai penjabaran kata syelem — apakah itu dari kata syalom, ‘damai’, membuat pendamaian’, ataupun dari kata syillem, ‘mengganti’, ‘melunasi’ — akan sesuai dan lebih baik, ketimbang pengurangan korban pendamaian menjadi hanyalah segmen-segmen dari ‘korban sumpah’ ataupun ‘korban syukur’. Kedua-duanya bersama korban sukarela, membentuk tiga kelas dalam korban pendamaian, dan peraturan yg menata ketiganya (#/TB Im 7:11* dab) merupakan tambahan pada #/TB Im 3*. Ketiga-tiganya adalah korban pengucapan syukur, tapi korban sumpah yg meniadakan janji yg telah dibuat sebelumnya pada waktu dilaksanakan, tidak bersifat sukarela lagi, sedangkan yg lain-lainnya tetap bersifat sukarela.

                   Mungkin karena alasan inilah maka sumpah diatur dengan ketentuan yg lebih ketat, yaitu binatang korban persembahannya tidak boieh cacat (#/TB Im 22:19*; bnd #/TB Mal 1:14*, dan ditambahkan harus jantan), sedang untuk korban sukarela ketentuannya lebih longgar (#/TB Im 22:23*). #/TB Im 7* juga menambahkan ketentuan mengenai makan korban persembahan, yg tidak terdapat dalam #/TB Im 3*, yaitu korban syukur harus dimakan pada hari yg sama. Korban sumpah dan korban sukarela tidak boleh lewat hari berikutnya. Bagian-bagian yg khusus untuk imam ditentukan (#/TB Im 7:32* dab) seperti dada atau paha. G. R Driver menyarankan arti ‘sumbangan’ untuk istilah-istilah tenufa dan teruma. Arti itu lebih baik ketimbang saran dulu yg mengartikannya gerakan vertikal dan horizontal di mezbah, yg kurang layak bila yg menjadi obyek dari kata kerja itu adalah kambing, domba jantan dan orang Lewi (#/TB Bil 8:11*). (Lih W. B Stevenson, ‘Hebrew ‘Olah and Zebach Sacrifices’, Festschrift A Bertholet, 1950, hlm 488-497; bnd J Milgrom, ‘The Alleged Wave-offering in Israel and in the Ancient Near East’, IEJ 22, 1972, hlm 33-38.)

                   (iv) ‘asyam dan khatta’t. Nama dari korban-korban ini, korban penghapus salah (korban pelanggaran) dan korban penghapus dosa, merupakan nama dari pelanggaran yg harus ditebus, yaitu ‘asyam (kesalahan) dan khatta’t (dosa). Dalam konteks upacara istilah-istilah ini mengacu bukannya terutama kepada pelanggaran-pelanggaran moral, melainkan kepada hal-hal yg menurut kaidah upacara adalah ternoda, walaupun aspek moralnya sama sekali bukannya ditiadakan. Upacara dari jenis pertama adalah penyerahan korban dosa sehubungan dengan kusta (#/TB Im 14*; bnd #/TB Mr 1:44*) dan ibu sesudah melahirkan (#/TB Im 12*; #/TB Luk 2:24*). Dan jenis kedua adalah dusta dan ketidaklayakan dalam #/TB Im 6:1-7*, dan nafsu dalam #/TB Im 19:20-22*.

                   Contoh-contoh ini pastilah sekedar menggambarkan hukum, dan janganlah dianggap memberikan keterangan tuntas tentang korban penghapus dosa sesuai hukum tadi, bahkan dalam upacara ibadah Israel keseluruhannya. Dalam perjalanan sejarah, misalnya, jenis upacara penyerahan korban ini jarang sekali disebut. Tidak disebut dalam Ul (bnd #/TB Ul 12*), dan mungkin tidak dimengerti dalam #/TB Hos 4:8*. Tapi terjadi demikian bukanlah karena asalnya pasca pembuangan seperti dipertahankan oleh Wellhausen sebab korban-korban itu sudah dikenal baik oleh Yehezkiel (#/TB Yeh 40:39; 42:13*) dan mungkin tersirat dalam #/TB Mazm 40:6*; #/TB 2Raj 12:16*; #/TB 1Sam 6:3* (asal ini tidak hanya soal keuangan) — tapi karena sifat individunya (ini dapat menjelaskan mengapa ‘asyam tidak disebut-sebut, yg memang bukan upacara korban itu), dan karena ciri fragmentaris dari catatan-catatan yg ada. Korban-korban itu juga sama-sama tidak disebut dalam periode pasca pembuangan (’ asyam disebut hanya dlm #/TB Ezr 10:19* dan khatta’t dlm #/TB Neh 10:33* dan dlm apa yg nampak sbg rumusan Tawarikh pada #/TB Ezr 6:17; 8:35* dan #/TB 2Taw 29:21* dab).

                   Hubungan antara korban tebusan salah dengan korban tebusan dosa adalah kabur (mis keduanya digunakan secara sinonim dlm #/TB Im 5:6*). Yg jelas dapat dikatakan ialah, bahwa dosa terhadap sesama lebih mencolok pada ‘asyam dan dosa terhadap Tuhan pada khatta’t. Karena itu ‘asyam menuntut ganti rugi berupa uang sebagai tambahan korban persembahan. Jumlah sesuatu yg digelapkan ditambah seperlimanya, harus dibayarkan kepada sesama yg menjadi korban penggelapan itu (#/TB Im 6:5*), atau kepada imam jika ia atau wakilnya tidak ada (#/TB Bil 5:8*). Binatang korban yg dipersembahkan untuk penghapus salah, biasanya kambing jantan, juga menjadi kepunyaan imam, dan sesudah upacara pemercikan darah dan upacara pembakaran lemak seperti biasa dapat dimakan oleh imam sebagai ‘yg maha kudus’ (#/TB Im 7:1-7*). Halnya sama (#/TB Im 6:24-29*) dengan korban penghapus dosa penguasa (#/TB Im 4:22-26*) dan orang biasa (#/TB Im 4:27-31*), tapi dalam hal ini darah ditaruh pada tanduk-tanduk mezbah.

                   Korban penghapus dosa imam agung (#/TB Im 4:1-12*) dan seluruh masyarakat (#/TB Im 4:13-21*) mengikuti upacara yg lebih khidmat, pada upacara mana darah dipercikkan (hizza, bukan zaraq) di depan tirai tempat kudus, dan tubuh binatang korban tidak dimakan melainkan dibakar (saraf, bukan higtir) di luar kemah (#/TB Im 6:30*; bnd #/TB Ibr 13:11*). Sebagai tambahan terhadap keempat macam ketentuan itu, dibuat ketentuan tambahan tentang korban pengganti bagi masyarakat miskin (#/TB Im 5:7-13*). Demikianlah ps 4 dan 5 berisi skala bertingkat dari binatang korban persembahan: lembu jantan (imam agung dan jemaat, tapi bnd #/TB Bil 15:24*; #/TB Im 9:15; 16:5*), domba jantan (penguasa), domba betina atau biri-biri (orang biasa), burung dara atau merpati (orang miskin), tepung (miskin sekali). Prinsip-prinsip berikut dapat dicatat: setiap orang harus mempersembahkan korban penghapus dosa, tidak seorang pun boleh memakan korban penghapus dosanya sendiri, dan semakin upacara itu bersifat menebus kesalahan maka darah korban harus semakin dekat menghampiri Tuhan. Pada Hari Pendamaian tirai itu sendiri diterobos dan darah dipercikkan pada mezbah. (Lih D Schbtz, Schuld-und Siindopfer im Alten Testament, 1930; L Morris, Asham, EQ 30, 1958, hlm 196-210; J Milgrom, VT 21, 1971, hlm 237-239; D Kellerman, TDOT 1, hlm 429-437.)

                   5. Arti.

                   Maksud korban persembahan di dalam Im sering dinyatakan untuk ‘menebus’ (kipper, #/TB Im 1:4*, dst). Arti kata kerja ini dapat dijelaskan menurut salah satu dari tiga cara berikut: ‘menutup’, dari kata Arab kafara; ‘menghapus’, dari kata Akad kuppuru; ‘menebus dengan suatu pengganti’, dari kata Ibrani kofer. Yg terakhir nampaknya paling sesuai artinya dengan teori tentang korban yg diberikan dalam #/TB Im 17:11*, ‘Nyawa makhluk ada di dalam darahnya … karena darah menandakan pendamaian bagi nyawa’ (bnd J Milgrom, JBL 90, 1971, hlm 149-156), dan dengan prinsip yg berlaku dalam banyak praktik yg disebut di atas: pemilihan ‘makhluk hidup’ yg akan dipersembahkan ditandai dengan peletakan tangan; pembakaran bukti persembahan seperti lemak atau ‘azkara; persembahan, bagian pertama dan penebusan yg sulung (lih S. H Hooke, ‘The Theory and Practice of Substitution’, VT 2, 1952, hlm 1-17, dan untuk pandangan yg berlawan, artikel-artikel A Metzinger, Bib 21, 1940). Mungkin dapat ditambahkan juga upacara korban lembu muda dalam #/TB Ul 21* dan domba jantan dalam #/TB Im 16*, yg walaupun bukan korban darah, mencerminkan gagasan yg lebih tepat pada korban darah. Dalam terang inilah #/TB Im 16* dimengerti sesuai tradisi Yahudi (Misynah, Yoma, 6.4, pikullah dosa-dosa kami dan pergilah’).

                   Bagian-bagian Alkitab tadi merupakan peringatan atas pembatasan penebusan dosa hanya pada satu tindakan saja, seolah-olah hanya kematian, atau hanya penyerahan darah, atau pembuangan daging binatang korban, yg menebus. Kematian itu penting — kambing hidup itu hanyalah setengah dari upacara dalam #/TB Im 16* (bnd ay #/TB Im 16:15* dgn #/TB Im 14:4-7; 5:7-11*). Penggunaan darah juga penting — dalam #/TB 2Taw 29:24* nampaknya penebusan terjadi sesudah korban persembahan dibunuh. Melemparkan binatang korban ke dalam api atau dimakan mempunyai tempatnya — dalam #/TB Im 10:16-20* imam memakan daging korban persembahan dosa adalah lebih dari sekedar pernyataan. Pandangan bahwa kematian korban adalah demi membebaskan kehidupan yg ada dalam darah, dan bahwa penebusan terdiri dari hanya bagian terakhir, adalah berat sebelah sama seperti pandangan lain yg melihat kematian sebagai pelampiasan hukuman secara kuantitatif. Terhadap pandangan kedua, telah ditolak pendapat yg mengatakan bahwa dosa-dosa terhadap mana korban diserahkan bukannya dosa yg ganjarannya kematian, dan bahwa korban penghapus dosa tidak selalu menuntut kematian (bnd #/TB Im 5:11-13*), dan bahwa pembunuhan korban tidak mungkin menjadi pusatnya, sebab bila demikian maka pembunuhan itu ada di tangan para imam, bukan di tangan kaum awam. Penolakan-penolakan ini hanya melawan bentuk-bentuk teori penggantian yg ekstrim, bukannya prinsip penggantian itu sendiri.

                   Teori penggantian menolong karena mempertahankan kategori-kategori hubungan pribadi, sedang pandangan-pandangan yg lain cenderung mengarah ke kategori-kategori magis, dimana darah dianggap menimbulkan kesatuan mistik atau yg menyemangatkan melalui cara yg semi-magis (lih teori-teori dari H Hubert dan M Mauss, ‘Essai sur la nature et la fonction du sacrifice’, L’Annee Sociologiqme, 1897-1898, hlm 29-138; A Loisy, RHLR, NS 1, 1910, hlm 1-30, dan Essai historique sur le sacrifice, 1920; S. G Gayford, Sacrifice and Priesthood, 1924; A Bertholet, JBL 49, 1930, hlm 218-233, dan Der Sinn des kultischen Opfers, 1942; E. 0 James, The Origins of Sacrifice, 1933).

                   Keberatan paling berbobot terhadap teori penggantian, ialah kesulitan menerima sebutan ‘yg maha kudus’ bagi korban penghapus dosa sesuai upacara, sehingga dapat dimakan oleh imam. Bila dosa telah dipindahkan ke daging korban persembahan itu, bukankah itu berarti bahwa daging tersebut menjadi tidak suci, dan hanya layak dibinasakan dengan membakarnya (saraf)? Hal ini sebenarnya memang terjadi atas korban penghapus dosa tingkat pertama. Dalam kasus lain, ihwal imam memakan persembahan mungkin harus ditafsirkan serupa, seakan-akan keperkasaan daya dari ‘kesucian’ yg begitu unggul yg ada pada imam oleh pengurapan, menyirnakan ketidaksucian korban (bnd #/TB Im 10:16-20* dan artikel ‘Sin-Eating’, ERE, 11, 1920, hlm 572-576 [Hartland]). Di sini kita menghadapi kategori ‘kesucian’, yg bukan kategori kita, jelas dari perintah untuk memecahkan belanga tanah tempat korban penghapus dosa dimasak (#/TB Im 6:28*; *TAHIR, PENTAHIRAN). Kemungkinan lain, matinya korban dapat dimengerti sebagai yg menetralkan infeksi dosa, sehingga lemak dan darah tidak terhalangi untuk menghampiri mezbah sebagai persembahan bagi Allah.

                   Apakah pandangan lain tentang korban seperti ‘penghormatan’ dan ‘persekutuan’, mungkin sejalan dengan apa yg diutarakan di atas, seperti yg disetujui oleh kebanyakan sarjana akhir-akhir ini (A Wendel, Das Opfer in der altisraelitischen Religion, 1927; W. O. E Oesterley, Sacrifices in Ancient Israel, 1957; H. H Rowley, The Meaning of Sacrifice, 1950), atau apakah jenis jenis korban tertentu menyatakan salah satu dari aspek-aspek tsb lebih nyata dari yg lainnya (mis korban bakaran, penghormatan, dan korban pendamaian, persekutuan) sebaiknya dibiarkan ‘terbuka’. Tapi dalam hukum Taurat paling tidak korban bakaran, korban sajian, dan bahkan korban pendamaian (hanya jarang sekali; lih #/TB Kel 29:33*; #/TB Yeh 45:15*), demikian juga korban penghapus dosa dan korban penghapus salah, disebut akan menebus. Dan apa yg benar bagi Hukum nampaknya benar pula bagi sejarah.

                   Pertanyaan apakah korban persembahan meliputi sekaligus peniadaan (yaitu dosa) dan pendamaian (yaitu dari murka) atau hanya peniadaan saja sulit dijawab. Kipper tanpa diragukan berarti pendamaian dalam beberapa hal (#/TB Bil 16:41-50*; #/TB Kel 32:30*), dan ini didukung oleh penggunaan ungkapan reakh nikhoakh, ‘bumbu yg berbau harum’ sepanjang Hukum itu (lih juga #/TB Kej 8:21*; dan LXX untuk #/TB Ul 33:10*). Tapi arti reakh nikhoakh bisa lemah (G. B Gray, Sacrifice in the Old Testament, 1925, hlm 77-8 1, menunjuk bahwa itu digunakan dimana kita hampir tidak akan menduganya, yaitu sajian dan korban zevakh, namun tidak pada korban perghapus dosa dan korban penghapus salah dimana justru kita mengharapkannya) dan hal ini bahkan lebih nyata lagi dengan kipper jika digunakan terkait dengan material seperti perabot Kemah Suci (#/TB Kel 29:37*; #/TB Yeh 43:20; 45:19*), di mana harus diartikan semata-mata ‘menyucikan’.

                   Penting bagi pembahasan di sini ialah pengakuan, bahwa Allah sendiri yg memberikan upacara itu kepada orang berdosa (#/TB Im 17:11*, ’…Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu’). Korban-korban itu harus dipandang beroperasi dalam suasana perjanjian dan rahmat. Dan bukan ‘sesuatu yg disajikan manusia sendiri untuk keselamatannya’ seperti dikemukakan oleh Kohler (Old Testament Theology, 1957), tapi merupakan ‘buah dari rahmat, bukan akamya’ (A. C Knudson, The Religious Teaching of the Old Testament, 1918, hlm 295). Pertanyaan apakah dalam konteks ini pendamaian mempunyai tempatnya, adalah serupa dengan pertanyaan yg sama di PB, dan jawabnya tergantung kepada pandangan yg diambil terhadap dosa, hukum dan hakikat Allah (*DAMAI, PENDAMAIAN; lih juga L Morris, The Apostolic Preaching of the Cross, 1955).

                   Masih harus dikatakan bahwa dalam PL sendiri ada bukti bahwa sistemnya bukanlah yg final. Tidak ada korban yg diberlakukan, misalnya, bagi pelanggaran terhadap perjanjian (bnd #/TB Kel 32:30* dab) — dalam terang inilah maka penolakan nabi atas korban harus dimengerti — atau untuk dosa-dosa dari suatu ‘tangan yg tinggi’ yg menempatkan orang di luar perjanjian (#/TB Bil 15:30*), meskipun di sini kasusnya mungkin adalah penyembahan berhala dan penghujatan. Kita tidak menerima pandangan satu pihak yg mengatakan, bahwa kekuatan korban persembahan dibatasi bagi dosa-dosa yg tidak disengaja, yg bukan dosa yg sungguh-sungguh sama sekali, atau, pendapat pihak lain yg mengatakan bahwa nabi-nabi dan para pemazmur yg saleh tidak melihat adanya nilai apapun dalam korban. Namun demikian, benar bahwa upacara itu dapat diselewengkan dan disalahgunakan, bilamana ikatan batiniah antara penyembah dan peranti kebaktian diputuskan, sehingga agama nabiah perlu menekankan prioritas hubungan pribadi dengan Allah. Dan bukannya kebetulan, ketika agama keimaman dan kenabian bertemu pada tokoh Hamba Tuhan di #/TB Yes 53* maka titik tertinggi dari agama PL telah dicapai, karena semua yg berharga dalam upacara dipadukan dalam diri seorang pribadi, yg telah melakukan baik korban pendamaian (hizza, ‘domba’, ‘korban kesalahan’) dan menghimbau kasih dan kesetiaan pribadi dari hati manusia.

          KEPUSTAKAAN.
  • Artikel mengenai korban dalam EB, HDB, ERE, ISBE, ZPEB;
  • S. I Curtiss, Primitive Semitic Religion Today, 1902; artikel-artikel dalam The Expositor, serf 6, 1902-1905; F. C. N Hicks, The Fullness of Sacrifices3, 1946;
  • F. D Kidner, Sacrifice in the Old Testament, 1952;
  • R. K Yerkes, Sacrifice in Greek and Roman Religions and Early Judaisme, 1952;
  • H Ringgren, Sacrifice in the Bible, 1962, dan Israelite Religion, 1965;
  • R de Vaux, Studies in Old Testament Sacrifice, 1964, dan Ancient Israel, 1965; G Fohrer, History of Israelite Religion, 1973;
  • B. A Levine, In the Presence of the Lord, 1974;
  • F. M Young, Sacrifice and the Death of Christ, 1975.

II. Dalam PB

          Kata-kata Yunani yg digunakan ialah thusia, doron, prosfora dan yg seasal dengan itu, dan anaferb, yg diterjemahkan ‘korban, pemberian, persembahan’ (thusia dlm #/TB Mr 12:33* mungkin berarti ‘korban makanan’); holokautoma, Urban bakaran’; thumiama, ‘kemenyan’; spendo, ‘dituangkan seperti korban minuman’. Semua itu diterima, dengan istilah-istilah lain yg diberikan di bawah ini, dari LXX.

             a. Korban-korban PL di dalam PB

             Korban-korban PL (lih di atas) masih dipersembahkan selama periode penyusunan PB, dan karenanya tak mengherankan bahwa maknanya mendapat beberapa komentar yg justru memperjelas. Beberapa ucapan penting terdapat di #/TB Mat 5:23,24; 12:3-5* dan ay-ay sejajar #/TB Mat 17:24-27; 23:16-20*; #/TB 1Kor 9:13,14*. Penting dicatat bahwa ada korban yg dipersembahkan bagi Yesus pada waktu pertama kalinya Ia diserahkan kepada Allah di Bait Suci atau Ia sendiri yg mempersembahkan korban pada Paskah yg terakhir, dan mungkin sekali dalam peristiwa-peristiwa lain ketika Ia naik ke Yerusalem untuk merayakan hari-hari besar. Praktik para rasul dalam Kis meniadakan pendapat bahwa sesudah korban Kristus, kebaktian Bait Allah Yahudi harus dipandang menjijikkan bagi Allah. Rasul-rasul sering dan teratur hadir di Bait Suci. Paulus sendiri pergi ke Yerusalem untuk merayakan Pentakosta, dan dalam peristiwa itu mempersembahkan korban-korban (termasuk korban penghapus dosa) untuk gangguan sumpah (#/TB Kis 21*; lih #/TB Bil 6:10-12*). Namun, pada prinsipnya korban-korban tersebut sekarang tidak perlu lagi, karena perjanjian yg lama sudah menjadi ‘lama’ dan ‘siap untuk lenyap’ (#/TB Ibr 8:13*), sehingga ketika orang Roma menghancurkan Bait Suci maka bahkan orang Yahudi yg bukan Kristen pun juga berhenti mempersembahkan korban.

             Surat Ibr menguraikan jelas korban-korban PL. Ajaran penulis surat ini mengandung segi yg positif (#/TB Ibr 11:4*), namun perhatiannya yg terbesar ialah menunjukkan ketidakcukupannya kecuali sebagai lambang. Kenyataan bahwa semua korban PL tidak dapat menjadikan manusia masuk ke dalam tempat Yang Mahasuci, membuktikan bahwa semua korban itu tidak dapat membebaskan hati nurani dari kesalahan. Semua korban itu hanyalah peraturan jasmaniah belaka, yg diberlakukan sampai datangnya masa pembaharuan (#/TB Ibr 9:6-10*). Ketidakmampuannya menebus nyata dari fakta bahwa hanya hewan saja yg dikorbankan (#/TB Ibr 10:4*), dan oleh fakta harus diulang-ulangi (#/TB Ibr 10:1,2*). Korban-korban itu bukanlah penawar dosa, melainkan yg mengingatkan pada dosa (#/TB Ibr 10:3*).

             b. ‘Korban-korban rohani’

             ‘Korban-korban rohani’ (#/TB 1Pet 2:5*; bnd #/TB Yoh 4:23,24*; #/TB Rom 12:1*; #/TB Fili 3:3*) dalam PB adalah pengganti peraturan-peraturan jasmaniah, dan sering muncul (#/TB Rom 12:1; 15:16,17*; #/TB Fili 2:17; 4:18*; #/TB 2Tim 4:6*; #/TB Ibr 13:15,16*; #/TB Wahy 5:8; 6:9; 8:3,4*). Tapi bahkan dalam PL para pemazmur dan nabi-nabi sering menggunakan bahasa korban secara kiasan (mis #/TB Mazm 50:13,14; 51:14,15*; #/TB Yes 66:20*), dan penggunaan demikian diteruskan dalam kesusastraan intertestamental (Ecclus #/TB Yes 35:1-3*; Testament of Levi, #/TB Yes 3:6*; Manual of Discipline, 8-9; Philo, De Somniis 2.183). Usaha F. C. N Hicks (The Fulness of Sacrifice, 1946) untuk menunjukkan bagian-bagian macam itu kepada korban harfiah, harus dianggap seluruhnya gagal. Korban-korban yg disebut di sini tidak selalu harus immaterial, dan kadang-kadang melibatkan kematian: makna ‘rohaninya’ ialah bahwa korban persembahan itu menjadi milik zaman Roh Kudus (#/TB Yoh 4:23,24*; #/TB Rom 15:16*). Tapi kadang-kadang korban itu immaterial, dan tidak pernah mempunyai upacara yg dijadwalkan. Dan ternyata bahwa setiap tindakan dari orang yg dipenuhi oleh Roh dapat dianggap sebagai korban persembahan rohani, dalam arti dikhususkan bagi Allah dan dapat diterima oleh Allah, tentu tidak mengandung penebusan. Korban pendamaian sejati harus dicari bukannya di sini melainkan dalam korban Kristus, tanpa mana korban rohani tidak akan diterima (#/TB Ibr 13:15*; #/TB 1Pet 2:5*).

             c. Korban Kristus

             Korban Kristus adalah tema utama PB. Karya penyelamatan-Nya sering dibicarakan dalam pengertian etis, kadang-kadang pidana maupun korban persembahan. Kristus dikatakan Domba Allah yg disembelih, darah-Nya yg suci meniadakan dosa dunia (#/TB Yoh 1:29,36*; #/TB 1Pet 1:18*; #/TB Wahy 5:6-10; 13:8*) — seekor domba yaitu binatang yg digunakan untuk bermacam-macam korban. Lebih khusus lagi, Ia diatakan domba Paskah yg sesungguhnya (paskha, #/TB 1Kor 5:5-8*), persembahan bagi dosa (peri hamartias, #/TB Rom 8:3*; bnd LXX #/TB Im 5:6,7,11; 9:2,3*; #/TB Mazm 40:5*, dst), dan di #/TB Ibr 9; 10*. Ia Jisebut penggenapan korban perjanjian dari #/TB Kel 24*, lembu antan muda berwarna merah yg disebut di #/TB Bil 19* dan kor, an-korban pada Hari Pendamaian. PB terus-menerus nenyamakan Tuhan Yesus dengan Hamba yg menderita di #/TB Yes 52:1-53:12 yg adalah korban penghapus salah (#/TB Yes 53:10*), tan dengan Mesias (Kristus) dan #/TB Dan 9*, yg menghapuskan kesalahan (#/TB Dan 9:24*). PB menggunakan istilah ‘mendamaian’ dan ‘tebusan’ tentang Kristus dalam pengertian korban, dan pemikiran mengenai hal disucikan oleh darah-Nya (#/TB 1Yoh 1:7*; Ibr, nama-nama) itu adalah korbaniah (*DAMAI, PENDAMAIAN).

             Doktrin tentang itu dikembangkan paling terpadu dalam urat Ibr. Penulis menekankan pentingnya kematian dalam korban Kristus, yakni kematian-Nya sendiri (#/TB Ibr 2:9,14; 9:15-17,22,25-28; 13:12,20*), dan kenyataan bahwa kematian-Nya sebagai korban adalah genap dan tuntas (#/TB Ibr 1:3; 7:21; 9:12,25-28; 10:10,12-14,18*). Tapi pernyataan lain dari penulis membuat suatu golongan (S. C Gayford, Sacrifice and Priesthood, 1924; dan W Milligan, The Ascension and Heavenly Priesthood of our Lord, 1892) berkesimpulan sebaliknya, bahwa kematian bukan unsur penting dalam korban Kristus, dan bahwa pengorbanan-Nya berlangsung terus selama-lamanya. Memang benar Surat Ibr membatasi keimaman dan kesucian Kristus pada kawasan sorga (#/TB Ibr 8:1-5; 9:11*), tapi tegas tidak membatasi korban-Nya hanya di sana. Memang dinyatakan bahwa Ia mempersembahkannya di sana (#/TB Ibr 8:3*), tapi ‘mempersembahkan’ adalah kata yg digunakan dengan arti yg sama bagi donor yg membawa dan membunuh korban di luar Bait Suci dan bagi imam yg mempersembahkannya, apakah di sana di atas mezbah atau di dalam Bait Suci. Acuan di sini pasti kepada pemercikan atau ‘persembahan’ darah di tempat maha kudus pada hari Pendamaian oleh imam agung (#/TB Ibr 9:7,21-24*), suatu tindakan khas yg telah digenapi oleh Kristus.

             Segala sesuatu yg teramat penting dalam korban persembahan peranan donor dan korban itu sendiri — telah dipenuhi di salib: kecuali peranan keimaman — yaitu penyerahan kepada Tuhan oleh pengantara yg laik diterima — dan inilah yg dilakukan oleh Kristus dengan memasuki hadirat BapakNya pada waktu kenaikan. Sejak itu darahNya yg terpercik ada di sana (#/TB Ibr 12:24*). Tidak perlu berpikir bahwa penampilan Kristus atau darah-Nya terjadi pada Hari Kenaikan dalam arti harfiah: cukup bahwa Ia masuk sebagai Imam yg menjadi korban yg dibunuh di kayu salib, serta-merta disambut, duduk dalam kemuliaan, dan karya penyelamatan-Nya genap seutuhnya. Doa syafaat-Nya yg kekal (#/TB Ibr 7:24* dab, bnd #/TB Mazm 99:6*; #/TB Yoel 2:17*) bukanlah baru, tapi merupakan bagian dari hal ‘la masuk ke dalam sorga menghadap hadirat Allah untuk kepentingan kita’ (#/TB Ibr 9:24*). Atas dasar karya-Nya di salib yg sudah selesai, dan karena semua penderitaan-Nya sudah berlalu, maka kehadiran-Nya di depan Allah untuk kepentingan kita merupakan baik syafaat maupun pendamaian yg terus-menerus (#/TB Ibr 2:10,17* dab).

             Adalah salah memandang korban Kristus lebih bersifat harfiah ketimbang korban-korban rohaniah. Keduanya melampaui korban-korban PL, dan tidak satu pun yg bersifat ritual. Pernyataan Owen dan yg lain-lain bahwa korban Kristus adalah sungguh-sungguh korban, ditujukan untuk menentang pandangan Socinius yg mengatakan bahwa kematian Kristus tidak menggenapi tuntutan korban-korban PL, dan yg gagal memenuhinya — pandangan yg menyangkal bahwa kematian Kristus menciptakan pendamaian. Tapi terlepas dari pembantaian (dan ini tidak dikerjakan dlm upacara PL oleh donor), segala sesuatu dalam korbanNya dirohanikan. Pengganti tubuh seekor hewan, kita peroleh tubuh Anak Allah (#/TB Ibr 10:5,10*). Pengganti korban tanpa cela, kita peroleh korban tanpa dosa (#/TB Ibr 9:14*; #/TB 1Pet 1:19*). Pengganti bau harem, kita peroleh penyerahan diri yg sesungguhnya (#/TB Ef 5:2*). Pengganti pemercikan tubuh kita dengan darah, kita peroleh pengampunan (#/TB Ibr 9:13,14,19-22*). Pengganti pendamaian yg simbolik, kita peroleh pendamaian sejati (#/TB Ibr 10:1-10*).

             d. Korban dan Perjamuan Tuhan

             Korban dan Perjamuan Tuhan terkait erat dan tak terpisahkan — bukan dengan cara orang Roma dan kaum Traktarian yg mengkaitkan keduanya dengan menjadikan perjamuan kudus tindakan persembahan. Tidak demikian, melainkan sebagai yg saling melengkapi. Untuk memberikan kepada ‘lakukanlah’ dan ‘ingatlah’ (#/TB Luk 22:19*; #/TB 1Kor 11:24,25*) suatu makna teknis pengorbanan, adalah semata-mata pemikiran yg timbul kemudian dari mereka yg sudah menerima korban perjamuan kudus atas dasar-dasar yg tidak alkitabiah. Hal yg sama terjadi dengan usaha untuk mengeluarkan arti ‘keakanan’ dari bentuk partisipel ‘diberikan’ dan ‘dicurahkan’ (#/TB Mat 26:28*; #/TB Mr 14:24*; #/TB Luk 22:19,20*). Dan untuk menghubungkan perjamuan kudus dengan korban kekal Kristus di sorga, akan merupakan hal yg tidak mungkin jika korban kekal itu disangkal. Namun menganggap perjamuan kudus sebagai pesta memakan korban Kristus adalah sesuai tuntutan #/TB 1Kor 10:14-22*, dimana hal itu disesuaikan dengan perjamuan korban orang Yahudi dan orang kafir; juga oleh singgungan terhadap #/TB Kel 24:8* dalam #/TB Mat 26:28* dan #/TB Mr 14:24*; dan oleh penafsiran tradisional atas #/TB Ibr 13:10*. Karena korban Kristus dalam banyak hal harus dirohanikan, maka bahasa tentang pesta memakan korban-Nya pasti juga harus dirohanikan, tapi tidak boleh segala artinya dirampas. Makna perjamuan korban bukanlah untuk menerima pendamaian, melainkan menikmati persekutuan dengan Tuhan, yg terjadi dengan cara bersama-sama makan korban itu. Apakah pada saat kita menikmati persekutuan itu kita juga memakan Kristus, tubuh dan darahNya, itulah titik persoalan mengenai Perjamuan Kudus. #/TB Yoh 6* berkata bahwa mereka yg percaya akan Kristus sesudah melihat-Nya atau mendengar firman-Nya, makan dari Dia, tubuh dan darah-Nya, dengan perantaraan Roh. Maka tak ada alasan untuk menyangkal, bahwa sesuatu yg terjadi melalui firman, terjadi juga melalui hal makan roti dan anggur, yg juga harus dirohanikan.

·       KEPUSTAKAAN.
  • Tafsiran Kitab Ibr: V Taylor, Jesus and His Sacrifice, 1943;
  • B. B Warfield, The Person and Work of Christ, 1950, hlm 391-426;
  • N Dimock, The Doctrine of the Death of Christ, 1903;
  • A Cave, The Scriptual Doctrine of Sacrifice and Atonement, 1890;
  • G Vos (diolah kembali oleh J. G Vos), The Teaching of the Epistle to the Hebrews, 1956;
  • T. S. L Vogan, The True Doctrine of the Eucharist, 1871;
  • H-G Link dll, NIDNTT 3, hlm 415-438. RTB/S

No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...