Dalam PL
a.
Istilah-istilah
PL tidak
memiliki kata umum untuk ‘korban’ kecuali qorban yg jarang digunakan; artinya
‘yg dibawa mendekat’ (qrh), dan secara praktis terbatas pada susastra keimaman.
‘Isysyeh mungkin secara umum berarti korban sesuai hukum Taurat, tapi diperdebatkan
apakah itu tidak harus dibatasi untuk ‘korban dengan api’ (’ esy) (namun lih
#/TB Im 24:9*). Kata-kata lain yg banyak digunakan melukiskan macam korban
tertentu, dan dijabarkan atau dari bentuk kata korban, seperti zevakh (korban),
‘yg disembelih’ (zavakh), dan ‘ola (korban bakaran), ‘yg membubung ke atas’,
atau dari maksudnya, seperti ‘asyam (korban penebus salah), ‘untuk kesalahan’
(’ asyam), dan khatta’t (korban penghapus dosa), ‘untuk dosa’ (khattat). Ini
sebagian boleh dibedakan dengan keadaan yg dikorbankan, apakah seluruhnya
dibakar (‘ola, #/TB Im 1*), atau dimakan oleh imam-imam bersama yg ikut
kebaktian (zevakh, #/TB Im 3*), atau dimakan oleh imam sendirian (khatta’t
dan’asyam, #/TB Im 4; 5*). Untuk pembedaan antara ‘ola dan zevakh, lih #/TB Ul
12:27* (bnd #/TB Yer 7:21*, dimana sang nabi secara ironis menganjurkan
penghapusan pembedaan itu).
Juga
termasuk ke dalam qorban ialah korban-korban bukan darah, korban sajian
(minkha, #/TB Im 2*), buah sulung (re, syit, bikkurim), berkas 16 Nisan, adonan
Pesta Minggu, dan zakat.
b. Teori
asal mula korban persembahan
Korban
persembahan tidak terbatas hanya pada Israel di antara bangsa-bangsa purba (lih
#/TB Hak 16:23*; #/TB 1Sam 6:4*; #/TB 2Raj 3:27; 5:17*). Banyak kesejajaran yg
berasal dari bangsa-bangsa sekitar dikemukakan untuk menjelaskan korban dalam
masyarakat Israel. W. R Smith (’ Sacrifice’, EBr9, 21, 1886, hlm 132-138; The
Religion of the Semites, 1894) berdasarkan sumber-sumber yg berasal dari orang
Arab pengembara pada zaman pra-Islam, mengemukakan bahwa daging korban
persembahan dalam bentuknya yg paling dini adalah berkaitan dengan orang
‘Semit’ purba, dan persekutuan antara penyembah dengan dewa merupakan gagasan
yg mengendalikannya. Gerakan Pan-Babilonia (H Winckler, A Jeremias, dari kr thn
1900 dst) menyoroti peradaban Mesopotamia yg lebih tinggi dan upacara korban
pendamaian yg dikembangkan dan dipraktikkan di sana.
R Dussaud
lebih suka memilih latar belakang Kanaan, dan menemukan kemiripan pertama-tama
dalam pajak-pajak korban (Kartago Le sacrifice en Israel et chez les
Pheniciens, 1914, Les origins cananeennes du sacrifice israelite, 1921), dan
kemudian dalam naskah-naskah Ras Syamra (Les decouvertes de Ras Shamra et
l’Ancien Testament, 1937). Di sini bahan-bahan dari Ugarit kuno (kr 1400 sM)
menunjukkan upacara korban yg telah berkembang dengan nama-nama yg serupa
dengan yg ada dalam PL. Syrp adalah korban bakaran, dhkh, korban sembelihan
untuk dimakan, sylm, mungkin korban pendamaian, dan ‘atm sama dengan ‘asyam
dalam bh Ibrani (ini semua bukan identifikasinya Dussaud). Aliran mite dan
ritual (S. H Hooke, The Origins of Early Semitic Ritual, 1938; I Engnell,
Studies in Divine Kingship in the Ancient Near East, 1943) menekankan latar
belakang pemukim tetap dan memberi bobot yg berat terhadap peranan pengganti
dari raja yg menderita dalam ibadah.
Hal itu
tidak meyakinkan bagi A Alt, yg sebelumnya sudah mengajukan pendapat sendiri (’
Der Gott der Vdter, 1929) bahwa awal kepercayaan Israel yg sebenarnya harus
dicari di kalangan nenek moyang pengembara yg sudah mempraktikkan suatu bentuk
agama yg memusat pada ilah kepala suku (’ Allah Abraham’, ‘Allah Ishak’, ‘Allah
Yakub’). V Maag (’ Der Hirte Israels’, Schweizerische Theologische Umschau 28,
1958, hlm 2-28) mengutip ini lebih lanjut dengan mencatat banyaknya kiasan
tentang gembala dalam lukisan-lukisan tentang Allah, dan berdasarkan latar
belakang kebudayaan gembala imigran dari padang-padang Asia, berpendapat bahwa korban
persembahan mereka adalah makan bersama yg di dalamnya sang dewa mengambil alih
tanggung jawab penumpahan darah, yg kalau tidak demikian berarti harus ada
pembalasan (lih A. E Jensen, ‘Uber das Toten als kulturgeschichtliche
Erscheinung’, Paideuma 4, 1950, hlm 23-38; H Baumann, ‘Nyama, die Rachemacht’,
hlm 191-230). Agama orang Israel, sebagaimana nyata dalam PL, dikatakan adalah
suatu sinkritisme dimana korban zevakh pengembara ada bersama korban
persembahan gaya ‘ola, yg masuk ke dalam dari pihak Kanaan, yaitu pemukim tetap
(V Maag, VT 6, 1956, hlm 10-18).
Pandangan
demikian memberi tempat baik pada kelompok penetap maupun pengembara, tapi
menjadi subyektif bila dikenakan pada cerita PL tertentu. PL melukiskan Israel
mula-mula lebih sebagai bangsa yg sedang dalam proses untuk menetap ketimbang
sebagai pengembara. Bapak-bapak leluhur sudah memiliki sejumlah besar ternak
dan bertani dan mungkin saja bahwa kesamaan yg dekat dengan korban persembahan
Ibrani ditemukan di lingkungan suku seperti suku Nuer di Afrika, yg korbannya,
sebagaimana dilukiskan oleh E Eans-Pritchard (Nuer Religion, 1956), termasuk
seekor lembu jantan untuk penghapus dosa. Aliran Wellhausen melacak evolusi
dari suatu upacara meriah penyerahan korban persembahan pada zaman dulu sampai
kepada korban dosa dan korban kesalahan pada zaman sesudah pembuangan (J
Wellhausen, Prolegomena to the History of Israel, 1885; W. R Smith). Karya
tersebut berpendapat bahwa hubungan korban dengan dosa merupakan unsur
terakhir. Tapi pendapat ini tidak diterima lagi (lih Beckwith, Penitence and
Sacrifice in Early Israel, Leiden, 1963), sebagaimana sketsa berikut akan
memperlihatkannya.
c.
Perkembangan dalam sejarah
1.
Zaman Bapak-bapak leluhur.
Adalah penting bahwa korban-korban yg
pertama sekali disebut dalam Kej bukanlah korban sembelihan zevakhim, melainkan
korban persembahan Kain dan Habel (minkha, #/TB Kej 4:3,4*) dan korban bakaran
Nuh (’ ola, #/TB Kej 8:20*; di sinilah pertama kali muncul sebutan mezbah).
Mezbah para Bapak leluhur sering dilukiskan (mis #/TB Kej 12:6-8*), tapi sayang
jenis korban secara rinci kurang digambarkan. Maag berpendapat korban itu
adalah makanan persekutuan zevakh, tapi T. C Vriezen (An Outline of Old Testament
Theology, 1958, hlm 26) menganggap pendapat ‘ola lebih mungkin. Kej mendukung
pendapat ini. Ishak tahu Abraham biasa mempersembahkan korban ‘ola dan biasanya
seekor domba yg dipersembahkan (ay #/TB Kej 12:7*). Tapi daging korban
persembahan memeteraikan perjanjian (#/TB Kej 31:54*; zevakh muncul pertama
kali), walaupun tidak semua janji sejenis ini. #/TB Kej 15:9-11* paling baik
dimengerti sebagai upacara penyucian seperti naskah Het yg diterjemahkan oleh O
Masson (RHR, 137, 1950, hlm 5-25; bnd O. R Gurney, The Hittites, 1952, hlm
151).
Motif-motif korban zaman itu, juga ihwal memuliakan Allah dan pengucapan
syukur atas kebaikan-Nya adalah nyata, tapi kemungkinan adanya pemikiran yg
lebih khidmat tak dapat ditiadakan. Korban persembahan Nuh harus dilihat tidak
melulu sebagai korban pengucapan syukur karena kelepasan, tapi juga sebagai
korban pertobatan atau penebusan dosa. Ketika Yakub pergi ke Mesir (#/TB Kej
46:1*) ia berhenti untuk bertanya kepada Allah, dan mempersembahkan korban
(zevakh) yg mungkin bersifat pertobatan (lih L Rost, VT Suppl, 7, 1960, hlm
354; ZDPV, 66, 1943, hlm 205-216). Di Mesir Israel dipanggil untuk
mempersembahkan korban khidmat di padang gurun (#/TB Kel 5:3*, zevakh), yg
menuntut persembahan berupa hewan (#/TB Kel 10:25,26*) dan dibedakan dari
korban persembahan orang Mesir yg manapun (#/TB Kel 8:26*).
2.
Suku.
Pembentukan Israel sebagai suatu organisasi kesukuan, yg menurut Noth
terjadi hanya di tanah Palestina pada zaman para Hakim (lih The History of
Israel, 1958), menurut tradisi Alkitab terjadi pada masa Musa.
Peristiwa-peristiwa utama yg terjadi dalam kehidupan suku — ialah tiga pesta
raya, pada saat mana korban harus dipersembahkan: ‘janganlah orang menghadap
kehadirat-Ku dengan tangan hampa’ (#/TB Kel 23:15*). Korban persembahan yg
paling kita kenal ialah korban Paskah dan korban perjanjian. Paskah
menggabungkan unsur-unsur korban persembahan sebagai ‘daya’ yg mampu mengatasi
yg jahat dan korban persembahan sebagai perjamuan bersama. Rasa aman karena
mengetahui bahwa darah sudah ditumpahkan untuk mengenyahkan yg jahat, maka
setiap anggota keluarga dapat duduk dalam persekutuan penuh kegembiraan (#/TB
Kel 12*; #/TB Yos 5:5-12*; *PASKAH). Unsur-unsur yg sama mungkin masuk ke dalam
korban perjanjian dan pengulangan perjanjian itu (#/TB Kel 24:1-8*; #/TB Ul
27:1* dab; #/TB Yos 8:30* dab; 24; #/TB Mazm 50:5*).Pemercikan darah menyucikan
perjanjian dan menyantap daging korban persembahan menandai penggenapannya.
Sebagai tambahan, beberapa korban lainnya secara nasional maupun lokal
dipersembahkan. Persembahan korban khas nasional adalah yg dipersembahkan bila
bencana timbul atau perang terjadi (#/TB Hak 20:26; 21:4*; #/TB 1Sam 7:9*), dan
bila penyesalan nasional menjadi tuntutan utama (bnd #/TB Hak 2:1-5*).
Penyerahan dan awal timbulnya yg baru ditandai dengan korban (#/TB Hak 6:28*;
#/TB Kel 32:6*; #/TB 1Sam 6:14; 11:15*; #/TB 2Sam 6:17*), sebagaimana juga
kegiatan-kegiatan perayaan pribadi (#/TB 1Sam 1:3*), syafaat (#/TB Bil 23:1*
dab) dan mungkin keramah-tamahan (#/TB Kel 18:12*).
3.
Zaman kerajaan.
Pembangunan Bait Allah oleh
Salomo menuntut upacara penahbisan dengan penyerahan korban persembahan (#/TB
1Raj 8:62* dab) dan korban-korban biasa (#/TB 1Raj 9:25*). Tapi karena sumber
informasi itu adalah beberapa kitab tentang ‘raja-raja’, maka kitab-kitab itu
lebih berbicara tentang peranan raja (bnd #/TB 2Raj 16:10* dab) ketimbang
peranan rakyat. Bahwa upacara harian keagamaan berjalan terus, dinyatakan oleh
ay seperti #/TB 2Raj 12:16*, dan oleh seringnya hal itu disebut dalam kitab nabi-nabi
dan mazmur-mazmur. Beberapa hunjukan dalam mazmur menyatakan bahwa
kutukan-kutukan dahulu janganlah diartikan mutlak, seolah-olah kelompok nabi
bertentangan dengan kelompok imam. Para nabi tidak seberapa keras menentang
upacara itu sendiri, tapi keras menentang ide-ide yg melibatkan peranan sihir
yg diambil dari upacara-upacara kesuburan (#/TB Am 4:4,5*; #/TB Yes 1:11-16*),
dan terhadap hal-hal yg baru seperti menyembah berhala dan mengorbankan
anak-anak yg diperkenalkan oleh penguasa yg murtad (#/TB Yer 19:4*; #/TB Yeh
16:21*).
Tokoh seperti Yesaya dapat memperoleh panggilannya di Bait Allah (#/TB
Yes 6*), dan tokoh Yeremia atau Yehezkiel dapat menemukan tempat bagi upacara
pemurnian di masa datang (#/TB Yer 17:26*; #/TB Yeh 40; 41; 42; 43; 44; 45; 46;
47; 48*). Hal ini juga merupakan perasaan yg dominan di kalangan pemazmur, yg
terus-menerus berbicara tentang korban persembahan pengucapan syukur mereka
guna memenuhi nazar sumpah mereka (mis #/TB Mazm 66:13-15*). Ungkapan tentang pertobatan
dan kesukacitaan berkat pengampunan juga ada (#/TB Mazm 32; 51*), dan meskipun korban tidak sering
disebut dalam konteks-konteks itu, toh dapat diandaikan ada sebab pengampunan
itu dialami di Bait Allah (#/TB Mazm 65:1-4*). Tidak perlu menganggap semua
acuan macam itu berasal dari zaman pasta pembuangan, walaupun keluhan para nabi
bahwa pertobatan acap kali tidak cukup menyertai korban dalam periode kerajaan
yg terakhir harus juga diingat.
4.
Zaman pasca pembuangan.
Musibah ‘pembuangan’ biasanya
dinalar sebagai mendampakkan pengakuan berdosa yg lebih mendalam. Bahwa hal itu
benar tidak perlu diragukan (lih #/TB 2Raj 17:7* dab; #/TB Neh 9*), tapi tidak
dalam pengertian seperti dikemukakan oleh Wellhausen, bahwa nada menebus dosa
barulah waktu itu memasuki agama Israel (#/TB Im 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 16*). Acuan-acuan terhadap korban persembahan
dalam tulisan-tulisan yg tidak berasal dari kelompok imam pra dan pasca pembuangan,
yg umumnya terlalu fragmentaris untuk menyoroti masalah itu, tidak menunjang
teori tersebut. Kesukacitaan maupun pertobatan tetap mencirikan korban (#/TB
Ezr 6:16-18*; #/TB Neh 8:8* dab). Bait Allah dan upacara dihargai (#/TB Hag 1;
2*; #/TB Yoel 2:14*, dan terutama Taw), namun hanya selama itu merupakan wahana
bagi ibadah yg sungguh (#/TB Mal 1:6* dab; #/TB Mal 3:3* dab). Kesusastraan
apokaliptik dan kebijaksanaan menganggap upacara sebagai sesuatu yg sudah ada
(#/TB Dan 9:21,27*; #/TB Pengkh 5:5; 9:2*) dan juga melanjutkan penekanan moral
khas nabi (#/TB Pengkh 5:2*; #/TB Ams 15:8*).
d.
Peraturan-peraturan hukum
Hukum
tentang korban persembahan berserakan dalam Kitab-kitab hukum (#/TB Kel 20:24*
dab, #/TB Kel 34:25* dab; #/TB Im 17; 19:5* dab; #/TB Bil 15*; #/TB Ul 12*,
dll), tapi ‘torat’ tentang korban itu terutama ialah #/TB Im 1; 2; 3; 4; 5; 6;
7*. Ps 1-5 secara berurutan menyangkut korban bakaran (’ ola), korban sajian
(minkha), korban pendamaian (zevakh), korban penghapus dosa (khatta’t), dan
korban penebus salah (’ asyam), sedangkan ps 6-7 memberikan tambahan peraturan
untuk kelima-limanya — #/TB Im 6:8-13* (bakaran), 7:11 dab (pendamaian) yg
dapat disimpulkan sbb.
==>
Image 00142
1.
Bahan-bahan.
Korban
yg akan dipersembahkan haruslah ternak atau burung yg halal (#/TB Kej 8:20*).
Jadi bisa lembu jantan, kambing, domba, merpati (bnd #/TB Kej 15:9*), tidak
onta atau tidak keledai (#/TB Kel 13:13*) (*TAHIR, PENTAHIRAN). Ketentuan macam
itu janganlah dilacak sampai pada gagasan bahwa korban itu untuk santapan
‘dewa-dewa’ (bahwa dewa memakan apa yg dimakan manusia) — seperti yg mungkin
terkesan oleh #/TB Im 3:11; 21:6*; #/TB Yeh 44:7* — karena ikan (#/TB Im 11:9*)
dan binatang-binatang liar (#/TB Ul 12:22*) boleh dimakan tapi tidak boleh
dijadikan korban. Nampaknya prinsipnya ialah, manusia wajib memberi kepada
Allah sesuatu yg adalah milik manusia itu sendiri (bnd #/TB 2Sam 24:24*);
binatang liar dianggap adalah kepunyaan Allah, bukan kepunyaan manusia (#/TB
Mazm 50:9* dab; #/TB Yes 40:16*), sedangkan binatang piaraan adalah milik
manusia oleh pekerjaannya (#/TB Kej 22:13* sebenarnya bukan pengecualian), dan
berada dalam semacam ‘kesesuaian biotik’ dengan dia. Hal ini lebih jelas dalam
hal korban tanpa darah, yg dihasilkan dengan ‘keringat di alisnya’
(biji-bijian, tepung, minyak, anggur, dll), dan yg senantiasa dimakan. Hal-hal
yg dimiliki tidak sesuai dengan hukum, tidak boleh dipersembahkan (#/TB Ul
23:18*).
Prinsip ‘yg terbaik bagi Tuhan’ senantiasa dilaksanakan; dalam hal jenis
kelamin, jantan lebih diutamakan ketimbang betina (#/TB Im 1:3*; tapi bnd #/TB
Im 3:1*; #/TB Kej 15:9*; #/TB 1Sam 6:14; 16:2*); dalam hal umur, kematangan
sangat dihargai (#/TB 1Sam 1:24*); dalam hal kesempurnaan fisik, ‘tanpa cacat’
senantiasa ditekankan (#/TB Im 1:3; 3:1*; #/TB Ul 15:21; 17:1; 22:17-25*; bnd
#/TB Mal 1:6* dab, tapi hendaknya dicatat perkecualian bagi korban persembahan
sukarela, #/TB Im 22:23*); dalam segi tertentu juga ihwal warna, dipilih warna
merah (#/TB Bil 19:2*), mungkin melambangkan darah (bnd lukisan-lukisan
binatang yg terdapat dlm gua-gua prasejarah).
Perbedaan antara Israel dengan tetangga-tetangganya nampak jelas dalam
penolakan terhadap perluasan prinsip ini sampai kepada puncaknya yg logis,
yakni: korban anak sulung manusia. Mengorbankan anak-anak yg terdapat pada masa
kerajaan yg terakhir (#/TB 2Raj 21:6*), bahkan mengorbankan manusia dewasa pada
waktu-waktu yg lebih dini (#/TB Hak 11:29* dab), berasal dari pengaruh-pengaruh
luar dan dikutuk oleh nabi-nabi (#/TB Yer 7:31* dab), perintah (#/TB Im 20:4*),
dan contoh (#/TB Kej 22*). #/TB Kel 22:29*b jelas harus ditafsirkan dengan #/TB
Kel 34:19,20* dan #/TB Kel 13:12-16*. Prinsip penggantian diberlakukan tidak hanya
dalam mengganti anak sulung manusia dengan binatang. tapi juga dalam ketentuan
yg diberikan bagi orang miskin untuk mempersembahkan korban berupa burung dara
yg lebih murah untuk korban penghapus dosa (#/TB Im 5:7*), dan jika ini masih
terlalu mahal, korban sajian (#/TB Im 5:11*). Kalimat ‘sekadar kemampuannya’
(#/TB Im 14:22* dab) penting artinya di sini.
Penuangan minyak (#/TB Kej 28:18*), anggur (#/TB Kej 35:14*), dan air (?
#/TB 1Sam 7:6*) nampaknya mendapat tempat dalam upacara, namun hanya
persembahan anggur yg diacu dalam hukum-hukum dasar (#/TB Bil 28:7* dll).
Larangan terhadap adonan beragi dan madu (dgn beberapa pengecualian), dan
mungkin juga susu yg boleh jadi karena cepat basi. Sebaliknya, garam tentu
ditambahkan ke dalam korban persembahan, karena daya pengawetannya (hanya
disebutkan dlm #/TB Im 2:13* dan #/TB Yeh 43:24*, bnd #/TB Mr 9:49*). Kemenyan
(levona, qetoret) digunakan baik sebagai korban persembahan yg berdiri sendiri
(#/TB Kel 30:7*, bnd cara pembuatannya dlm ay #/TB Kel 30:34-38*) maupun
sebagai salah satu dalam korban sajian (#/TB Im 2*). Ada ahli yg meragukan penggunaan
kemenyan pada zaman dulu itu, dengan alasan kemenyan tidak dapat dimakan dan
bukan milik yg tumbuh di halaman rumah (#/TB Yer 6:20*). Mereka menganggap
bahwa qetoret adalah pembakaran lemak (qtr) bukan kemenyan. Namun anggapan ini
belum pasti. (Lih N. H Snaith, IB, 3, 1954, hlm 40; J. A Montgomery, ICC,
Kings, 1952, hlm 104; juga VT 10, 1960, hlm 113-129; *KEMENYAN.)
2.
Waktu.
Peraturan yg ada meliputi baik korban persembahan nasional maupun
perseorangan, peristiwa sehari-hari dan hari-hari raya. Korban persembahan umum
paling utama ialah yg bersifat musiman seperti Hari Raya Roti Tidak Beragi,
Hari Raya Menuai, dan Hari Raya Pondok Daun (#/TB Kel 23:14-17; 34:18-23*; #/TB
Ul 16*). Dari sejak awal, hari raya pertama sudah dikaitkan dengan Paskah (#/TB
Yos 5:10-12*), dan yg terakhir sangat mungkin sekali dengan upacara membaharui
perjanjian (#/TB Kel 24*; #/TB Ul 31:10* dab; #/TB Yos 24*), tahun baru dan
penebusan dosa (bnd #/TB Im 23:27* dab) (*PENTAKOSTA; *PASKAH; *HARI RAYA
PONDOK DAUN). Daftar korban persembahan untuk upacara ini dan tambahannya
secara bulanan (bulan baru), mingguan (sabat), harian (pagi dan malam),
disajikan dalam #/TB Bil 28:29* dan dapat didaftarkan sbb: (dikutip dari A. R.
S Kennedy, Leviticus and Numbers, Century Bible, 1910, hlm 349).
Kapan dimulai korban bakaran yg dilakukan sehari dua kali itu masih
diteliti dan sulit untuk mendapatkan kepastiannya karena sifat minkha yg
bermakna ganda bagi korban sajian maupun bakaran. Acuan-acuan pokoknya ialah
‘Ola dan minkha yg juga tanpa catatan waktu dalam #/TB 1Sam 3:14*; #/TB Yer
14:12*, dan #/TB Mazm 20:2*, dan kesinambungan ‘olot dan minkhot dalam #/TB Ezr
3:3* dab dan #/TB Neh 10:33*.
==> Image 00143
Korban persembahan yg lebih bersifat pribadi adalah Paskah, yg dirayakan
di dan oleh keluarga (#/TB Kel 12*; bnd #/TB 1Sam 20:6*, tapi ini adalah bulan
baru, bukan purnama), dan korban perseorangan seperti untuk memenuhi sumpah
(#/TB 1Sam 1:3*, bnd ay #/TB 1Sam 1:21*; #/TB 2Sam 15:7* dab), atau pengukuhan
perjanjian (#/TB Kej 31:54*), penghormatan akan Tuhan (#/TB Hak 13:19*),
penyerahan pribadi (#/TB 1Raj 3:4*), urapan (#/TB 1Sam 16:3*), atau penebusan
(#/TB 2Sam 24:17* dab). Apakah memberi tumpangan kepada seseorang selalu
dipandang sebagai peristiwa korban tidaklah jelas (#/TB Kej 18*; #/TB Bil
22:40*; #/TB 1Sam 28:24* mungkin tidak mencakup upacara mezbah, tapi bnd #/TB
1Sam 9*). Peristiwa-peristiwa tambahan yg disebut dalam hukum adalah penyucian
penderita kusta (#/TB Im 14*), penyucian sesudah kelahiran bayi (#/TB Im 12*),
penahbisan imam (#/TB Im 8; 9*) atau seorang bani Lewi (#/TB Bil 8*), dan
pembebasan seorang nasir dari sumpahnya (#/TB Bil 6*). Korban persembahan yg
agak jarang ialah penahbisan tempat suci (#/TB 2Sam 6:13*; #/TB 1Raj 8:5* dab,
#/TB Yeh 43:18* dab; #/TB Ezr 3:2* dab), penobatan raja (#/TB 1Sam 11:15*; #/TB
1Raj 1:9*), dan hari pertobatan nasional (#/TB Hak 20:26*; #/TB 1Sam 7*) atau
persiapan untuk pertempuran (#/TB 1Sam 13:8* dab; #/TB Mazm 20*).
Di
antara korban persembahan musim yg diserahkan sebagai kewajiban tahunan, dalam
rangka mengakui kemurahan Tuhan memberikan hasil ialah anak sulung dan panen
pertama (#/TB Kel 13; 23:19*; #/TB Ul 15:19* dab; #/TB Ul 18:4*, 26; #/TB Bil
18*; bnd #/TB Kej 4:3,4*; #/TB 1Sam 10:3*; #/TB 2Raj 4:42*), persepuluhan,
seberkas tuaian pertama (#/TB Im 23:9* dab) dan tepung jelai yg pertama (#/TB
Bil 15:18-21*; #/TB Yeh 44:30*; bnd #/TB Im 23:15* dab). Mungkin tujuannya
bukan untuk menguduskan sisa dari hasil seluruhnya, melainkan untuk
melepaskannya dari kekhususannya. Semuanya adalah milik Tuhan sampai bagian
pertama dipersembahkan dan diterima mewakili seluruh panen. Setelah penyerahan
korban persembahan itu barulah ditiadakan pembatasan atas sisanya untuk
digunakan oleh manusia (#/TB Im 23:14*; bnd #/TB Im 19:23-25*). Bahkan bagian
yg dipersembahkan itu biasanya diserahkan di mezbah hanyalah sebagai bukti,
kemudian diambil untuk dimanfaatkan oleh imam atau untuk perjamuan korban.
Halnya juga sama atas roti hunjukan mingguan.
3.
Upacara.
Korban persembahan utama sesuai #/TB Im 1; 2; 3; 4; 5* dibahas dalam
kerangka penyelenggaraan enam upacara keagamaan yg kaku. Tiga di antaranya
dilakukan oleh penyembah dan yg tiga lagi oleh imam. Semuanya dapat digambarkan
dari ‘ola dan zevakh (lih R Rendtorff, Die Gesetze in der Priesterschrift,
1954).
==> Image 00144
Upacara penyerahan korban persembahan untuk pengampunan dosa, beberapa
kali diulangi untuk berbagai tingkatan (#/TB Im 4:1-12; 13:21; *; Im 27-31),
mengikuti skema yg sama, kecuali dalam hal-hal yg kecil. Korban bakaran berupa
unggas (#/TB Im 1:14-17*) dan korban sajian (#/TB Im 2*) menunjukkan
keanekaragaman, namun tidak seluruhnya berbeda. Rumus yg serupa untuk korban
penghapus salah tidak diberikan (kendati demikian bnd #/TB Im 7:1-7*), tapi itu
harus dimengerti termasuk dalam hukum korban penghapus dosa (#/TB Im 7:7*).
(i) Penyembah membawa
persembahannya mendekat (higriv) (juga hevi, ‘asah). Tempat penyerahan korban
adalah ruang depan Kemah Perjanjian, di sebelah utara mezbah (untuk korban
bakaran, penghapus dosa dan salah, tapi tidak untuk korban pendamaian yg lebih
banyak), walaupun pada masa yg lebih awal mungkin di pintu Kemah Suci (#/TB Im
17:4*), atau tempat suci setempat (#/TB 1Sam 2:12* dab) atau batu karang (#/TB
1Sam 6:14*) atau tugu (#/TB Kej 28:18*). Membunuh korban persembahan di mezbah,
walaupun tersirat di #/TB Kej 22:9* dan #/TB Kel 20:24*, tidak biasa.
(ii) Penyembah meletakkan kedua tangannya (samakh), atau pada zaman
Alkitab mungkin satu tangan (lih #/TB Bil 27:18*) pada korban, dan besar
kemungkinan sambil mengakui dosanya. Hal kedua disebut hanya dalam kaitan
mempersembahkan kambing jantan di mana darah tidak ditumpahkan (#/TB Im 21*),
dan dengan beberapa korban penghapus dosa (#/TB Im 5:5*) dan korban penghapus
salah (Bit #/TB Im 5:7*) (tapi bnd #/TB Ul 26:3*; #/TB Yos 7:19,20*), sehingga
semikha tidak pasti dapat diartikan pemindahan dosa. Pada sisi lain, belum
cukup menganggapnya melulu tanda kepemilikan oleh pemilik, karena pertanda
macam itu tidak berlaku atas korban tanpa darah kendati kedua perbuatan itu
adalah sama. Terwakili — kalau artinya memang bukan pemindahan dosa — jelas
tersirat dalamya; bnd penggunaan kata yg sama dalam penugasan Yosua (#/TB Bil
27:18*) dan orang Lewi (#/TB Bil 8:10*) dan perajaman penghujat (#/TB Im 24:13*
dab). Lih P Volz, ZAW 21, 1901, hlm 93-100, dan untuk pendapat yg berlawanan J.
C Matthes, ZAW 23, 1903, hlm 97-119.
(iii) Penyembelihan korban (syakhat) dilakukan sendiri oleh penyembah
kecuali korban persembahan nasional (#/TB Im 16:11*; #/TB 2Taw 29:24*). Dalam kesusastraan
PL di luar Im kata kerja zavakh (mempersembahkan korban) dipakai, tapi mungkin
mengacu kepada pemotongan daging korban sesudah penyembelihan, dan peletakan
bagian-bagiannya di atas mezbah (mizbeakh, bukan misykhat) (demikian K Galling,
Der Altar, 1925, hlm 56 dst). Untuk ini ntkh biasanya yg digunakan (#/TB 1Raj
18:23*; #/TB Im 1:6*), dan zavakh melukiskan korban-korban zevakhim, kecuali
untuk beberapa bagian (#/TB Kel 20:24*; #/TB 1Raj 3:4*; bnd #/TB 2Raj 10:18*
dab) dimana dihubungkan dengan ‘olot. Mungkin dalam hal ini penggunaan kata
kerja tersebut diperlunak, yg di dalam bahasa-bahasa serumpun bahkan dapat
digunakan untuk sayuran yg dipersembahkan, dan dalam bentuk Piel Ibrani
nampaknya umum digunakan bagi keseluruhan upacara (yg sering murtad). Jadi
penggunaan zevakh tidaklah pasti selalu terkait dengan korban, atau apakah
daging hanya dapat dimakan pada saat penyerahan korban, kendati memang sering
demikian pada zaman purba (bnd masalah daging persembahan berhala di Korintus).
(iv) Penggunaan (zaraq) darah adalah urusan imam, yg menampungnya di
dalam sebuah bejana dan menempatkannya di sudut timur laut dan barat daya dari
mezbah, sedemikian rupa, sehingga keempat sisi mezbah itu dapat kena
percikannya. Halnya sama dengan penyerahan korban bakaran binatang (#/TB Im
1*), korban pendamaian (#/TB Im 3*), dan korban penghapus salah (#/TB Im 7:2*),
tapi tidak dengan korban bakaran unggas (#/TB Im 1:15*), karena jumlah darah
tidak mencukupi, sehingga dipercikkan hanya pada sisi mezbah saja. Korban
penghapus dosa (#/TB Im 4*) menggunakan beberapa kata kerja yg berbeda, hizza
(’ memercik’) atau natan (’ menaruh’) tergantung apakah korban itu tergolong
tingkat pertama atau kedua (lih di bawah). Sisa darah kemudian dituangkan
(syafakh) pada dasar mezbah. Upacara yg berkaitan dengan darah dalam
Kitab-kitab sejarah hanya diacu di #/TB 2Raj 16:15* (namun bnd #/TB 1Sam
14:31-35*; #/TB Kel 24:6-8*). (Lih T. C Vriezen, OTS 7, 1950, hlm 201-235; D. J
McCarthy, JBL 88, 1969, hlm 166-176; 92, 1973, hlm 205-210; N. H Snaith, ExpT
82, 1970-1971, hlm 23 dst.)
(v)
Pembakaran (hiqtir) terjadi atas semua korban. Karena darah dan lemak adalah
milik Tuhan, maka kedua bagian itulah yg pertama dibakar (#/TB Kej 4:4*; #/TB 1Sam
2:16*). Lemak ini bukanlah lemak biasa, tapi lemak khusus seperti lemak ginjal,
hati, dan usus. Dari korban pendamaian, penghapus dosa, dan penghapus salah
hanya lemak jenis inilah yg dibakar. Dari korban sajian suatu bagian yg disebut
‘azkara dipisahkan untuk dibakar, tapi korban-korban seluruhnya dibakar kecuali
kulit, yg menjadi bagian imam (#/TB Im 7:8*). Pembakaran yg lain (saraf) yg
dilakukan jauh dari mezbah berkaitan dengan korban-korban dosa yg tergolong
tingkat pertama. Dalam pembakaran ini kulit korban persembahan juga turut
dibakar.
(vi) Bagian-bagian yg tersisa dari daging korban (’ akhal) dimakan dalam
perjamuan korban, baik oleh imam-imam bersama para penyembah (korban
pendamaian), atau oleh imam-imam dan keluarga mereka, atau hanya oleh para
imam. Makanan untuk imam digolongkan sebagai yg suci atau yg teramat suci.
Golongan pertama mencakup korban-korban pendamaian (#/TB Im 10:14; 22:10* dab),
panenan pertama dan persepuluhan (#/TB Bil 18:13*), dan dapat dimakan oleh keluarga
imam di tempat mana saja asal bersih. Golongan kedua mencakup korban penghapus
dosa (#/TB Im 6:16*), roti hunjukan (#/TB Im 24:9*), dan dapat dimakan hanya
oleh imam-imam dan di dalam Bait Allah. Pesta perjamuan massal yg jamuannya
berasal dari korban pendamaian digemari dalam ibadah lokal pada zaman dulu
(#/TB 1Sam 1:9*), tapi dengan pensentralisasian ibadah di Yerusalem (bnd #/TB
Ul 12*) maka kecenderungan itu lebih memberi tempat ke aspek-aspek formal
ibadah. Namun upacara serupa masih terus berlangsung sampai zaman Yeh 46:21-24.
4.
Jenis-jenis.
(i)
‘ola. Korban bakaran nampaknya mempunyai ciri-ciri yg cukup untuk dianggap
sebagai korban khan Ibrani ketimbang zevakh yg disukai oleh aliran Wellhausen.
Itu sudah demikian sejak semula (? #/TB Kej 4; 8:20; 22:2*; #/TB Kel 20:25;
18:12*; #/TB Hak 6:26; 13:16*), sejak dlm telah menjadi upacara yg teratur
(#/TB 1Raj 9:25*; bnd #/TB 1Raj 10:5*), tidak pernah alpa dalam
peristiwa-peristiwa besar (#/TB 1Raj 3:4*; #/TB Yos 8:31*), dan peranannya
bertahan dominan sampai masa-masa terakhir (#/TB Yeh 43:18*; #/TB Ezr 3:2-4*)
(lih R Rendtorff, Studien zur Geschichtle des Opfers im alien Israel,
Neukirchener Verlag, 1963). Apa pun yg dapat dikatakan terhadap pandangan Robertson
Smith tentang korban pendamaian yg utama, dan dari mana korban bakaran
dikembangkan kemudian, bagi PL adalah ‘ola asal dari minhka, ‘asyam, khatta’t
dan bahkan syelamim. Kalil yg diacu lima kali (#/TB 1Sam 7:9*; #/TB Mazm
51:17*; #/TB Ul 33:10*, bnd #/TB Ul 13:16* dan #/TB Im 6:22,23*) adalah juga
nama lain bagi ‘ola, meskipun agak berbeda sedikit dalam penilaian Kartago dan
Marseilles.
Sementara pandangan Rost ada benarnya, yaitu bahwa ola terbatas pada
Yunani dan daerah ‘yg dibatasi oleh Taurus di utara, Laut Tengah di barat, dan
padang gurun di timur dan selatan’ (’ Erwagungen zum israelitischen
Brandopfer’, Von Ugarit nach Qumran [Eissfeldt Festschrif], 1958, hlm 177-183),
namun itu tidak berarti bahwa penyembahan korban manusia berasal dari Israel
(#/TB 2Raj 3:27*) atau upacara kebencian gaya Yunani. Sifatnya yg pasti sebagai
pemberian nyata dari perubahan unsur-unsurnya ke dalam suatu bentuk dengan mana
semuanya dapat diserahkan kepada Tuhan (#/TB Hak 6:21; 13:20*; bnd #/TB Ul
33:10*). Tapi ini tidak menyatakan apapun tentang tujuan pemberian itu, yg
mungkin sekali berarti pemujaan dan pengucapan syukur, ataupun untuk membasuh
dosa. Tujuan yg terakhir dinyatakan dalam #/TB Ayub 1:5; 42:8* dan beberapa
bagian terdahulu, dan menjadi alasan bagi korban persembahan dalam #/TB Im 1:4*
(bnd Naskah Ugarit #/TB Im 9:7*, dimana korban bakaran (syrp) dihubungkan
kepada pengampunan jiwa (slh npsy)). Ketika korban penghapus dosa menjadi acara
pertama dari serentetan korban persembahan (Misynah, Zebahim #/TB Im 10:2*),
hal itu cenderung untuk mengambil alih fungsi ini, namun pada mulanya tidaklah
demikian (bnd #/TB Bil 28; 29* dan bnd #/TB Bil 6:14* dgn #/TB Bil 6:11*).
(ii) Minkha (’ korban makanan’). Agak membingungkan karena istilah ini
digunakan dengan tiga cara yg berbeda dalam PL. Melulu dengan arti ‘hadiah’
atau ‘upeti’ muncul 34 kali (bnd #/TB Hak 3:15*; #/TB 1Raj 4:21* — akar katanya
mungkin manakh, ‘memberi’, lih bentuk jamaknya yg istimewa dlm MT pada #/TB Mazm
20:2*), 97 kali muncul dalam kesusastraan imam untuk korban sajian (mis di #/TB
Im 2*), dan sekian kali juga muncul dengan arti yg sama (mis #/TB Yes 43:23;
66:20*). Tapi kemunculan terakhir menunjuk kepada korban pada umumnya (#/TB
1Sam 2:29; 26:19* dan mungkin Mal), dan untuk korban binatang khususnya (#/TB
1Sam 2:12-17*; #/TB Kej 4:3,4*; namun lih N. H Snaith, VT 7, 1957, hlm
314-316). S. R Driver dengan tepat menerangkan bahwa minkha tidak semata-mata
menyatakan pemikiran netral tentang pemberian, tapi juga sebagai ‘hadiah yg
diberikan untuk memastikan atau mempertahankan kemauan baik’ (HDB 3, 1900, hlm
587; bnd #/TB Kej 33:10*), dan makna pendamaian ini menonjol juga dalam
acuan-acuan korban seperti #/TB 1Sam 3:10-14; 26:19*.
Dalam acuan-acuan di atas minkha merupakan persembahan korban yg berdiri
sendiri, sedang dalam hukum menyertai korban pendamaian (#/TB Bil 15:1-16*),
kecuali dalam #/TB Bil 5:15,25*; #/TB Im 5:11-13; 6:19-23*. Menurut #/TB Im 2*,
persembahan itu harus terdiri dari tepung (#/TB Im 2:1-3*), kue bakar (#/TB Im
2:4-10*), atau gandum mentah (#/TB Im 2:14-16*), dengan minyak dan kemenyan
(levona). Dengan ini ‘minkha di latar depan’ dapat dibandingkan dengan apa yg
disebut oleh Kurtz ‘minkha dari tempat suci’ — mezbah kemenyan, roti hunjukan
di atas meja, dan minyak di dalam pelita (The Sacrificial Worship of the Old
Testament, 1865). Bumbu-bumbu lainnya mungkin berupa garam (#/TB Im 2:13*) dan
anggur (#/TB Im 23:13*). Semua persembahan ini tidak ada yg dimakan oleh penyembah
(tapi? #/TB Im 7:11-18*). Semuanya untuk imam-imam, tapi hanya setelah suatu
‘bagian ingat-ingatan’ (#/TB Im 2:2*) dibakar di atas mezbah. Terjemahan ini
menyangkut keturunan ‘azkara dari zakhar, tapi G. R Driver, menyarankan arti
‘tanda’, suatu bagian untuk keseluruhan (JSS 1, 1956, hlm 97-105), dan ini
merupakan contoh yg lain lagi dari prinsip penggantian di dalam korban.
(iii) Zevakh dan syelamin. Lagi-lagi terdapat variasi dalam
penggunaannya, dimana zavakh dan syelamin sering digunakan bergantian (#/TB Im
7:11-21*; #/TB 2Raj 16:13,15*), sering juga dibedakan (#/TB Yos 22:27*; bnd
#/TB Kel 24:5*; #/TB 1Sam 11:15*), sering berdiri sendiri-sendiri (#/TB 2Sam
6:17,18*; #/TB Kel 32:6*), dan sering digabung ke dalam rangkaian kata zevakh
syelamin atau zivekhe syelamin (biasanya dlm hukum keimaman). Diragukan apakah
semua penggunaan itu menunjuk kepada perjamuan korban zevakh saja. Syelamin,
bila dipakai sendirian, mungkin sama sekali bukan perjamuan (tapi bnd #/TB 2Sam
6:19*), melainkan korban penebus salah dengan khidmat, yg serupa dengan ‘ola
(demikian R Rendtorff, Studien zur Geschichte des Opfers), dan dalam kaitannya
dengan korban-korban yg lain mungkin masih mempertahankan arti ini. Suatu sylm
dari macam pendamaian agaknya sudah dikenal di Ugarit (D. M. L Urie, ‘Sacrifice
among the West Semites’, PEQ 81, 1949, hlm 75-77) dan dicerminkan dalam
bagian-bagian seperti #/TB Hak 20:26*; #/TB 1Sam 13:9*; #/TB 2Sam 24:25*.
Adalah cocok sekali bila perjamuan penuh sukacita menyusul, jika sukacita itu
merupakan kegembiraan pengampunan, karena perjamuan perjanjian zevakh itu
biasanya juga menandai pendamaian sesudah keterasingan (#/TB Kej 31:54*; bnd S.
I Curtiss, ‘The Semitic Sacrifice of Reconciliation’, The Expositor, serf
keenam, 6, 1902, hlm 454-462).
Keterangan mengenai penjabaran kata syelem — apakah itu dari kata
syalom, ‘damai’, membuat pendamaian’, ataupun dari kata syillem, ‘mengganti’,
‘melunasi’ — akan sesuai dan lebih baik, ketimbang pengurangan korban pendamaian
menjadi hanyalah segmen-segmen dari ‘korban sumpah’ ataupun ‘korban syukur’.
Kedua-duanya bersama korban sukarela, membentuk tiga kelas dalam korban
pendamaian, dan peraturan yg menata ketiganya (#/TB Im 7:11* dab) merupakan
tambahan pada #/TB Im 3*. Ketiga-tiganya adalah korban pengucapan syukur, tapi
korban sumpah yg meniadakan janji yg telah dibuat sebelumnya pada waktu
dilaksanakan, tidak bersifat sukarela lagi, sedangkan yg lain-lainnya tetap
bersifat sukarela.
Mungkin karena alasan inilah maka sumpah diatur dengan ketentuan yg
lebih ketat, yaitu binatang korban persembahannya tidak boieh cacat (#/TB Im
22:19*; bnd #/TB Mal 1:14*, dan ditambahkan harus jantan), sedang untuk korban
sukarela ketentuannya lebih longgar (#/TB Im 22:23*). #/TB Im 7* juga
menambahkan ketentuan mengenai makan korban persembahan, yg tidak terdapat
dalam #/TB Im 3*, yaitu korban syukur harus dimakan pada hari yg sama. Korban
sumpah dan korban sukarela tidak boleh lewat hari berikutnya. Bagian-bagian yg
khusus untuk imam ditentukan (#/TB Im 7:32* dab) seperti dada atau paha. G. R
Driver menyarankan arti ‘sumbangan’ untuk istilah-istilah tenufa dan teruma.
Arti itu lebih baik ketimbang saran dulu yg mengartikannya gerakan vertikal dan
horizontal di mezbah, yg kurang layak bila yg menjadi obyek dari kata kerja itu
adalah kambing, domba jantan dan orang Lewi (#/TB Bil 8:11*). (Lih W. B
Stevenson, ‘Hebrew ‘Olah and Zebach Sacrifices’, Festschrift A Bertholet, 1950,
hlm 488-497; bnd J Milgrom, ‘The Alleged Wave-offering in Israel and in the
Ancient Near East’, IEJ 22, 1972, hlm 33-38.)
(iv) ‘asyam dan khatta’t. Nama dari korban-korban ini, korban penghapus
salah (korban pelanggaran) dan korban penghapus dosa, merupakan nama dari
pelanggaran yg harus ditebus, yaitu ‘asyam (kesalahan) dan khatta’t (dosa).
Dalam konteks upacara istilah-istilah ini mengacu bukannya terutama kepada
pelanggaran-pelanggaran moral, melainkan kepada hal-hal yg menurut kaidah
upacara adalah ternoda, walaupun aspek moralnya sama sekali bukannya
ditiadakan. Upacara dari jenis pertama adalah penyerahan korban dosa sehubungan
dengan kusta (#/TB Im 14*; bnd #/TB Mr 1:44*) dan ibu sesudah melahirkan (#/TB
Im 12*; #/TB Luk 2:24*). Dan jenis kedua adalah dusta dan ketidaklayakan dalam
#/TB Im 6:1-7*, dan nafsu dalam #/TB Im 19:20-22*.
Contoh-contoh ini pastilah sekedar menggambarkan hukum, dan janganlah
dianggap memberikan keterangan tuntas tentang korban penghapus dosa sesuai
hukum tadi, bahkan dalam upacara ibadah Israel keseluruhannya. Dalam perjalanan
sejarah, misalnya, jenis upacara penyerahan korban ini jarang sekali disebut.
Tidak disebut dalam Ul (bnd #/TB Ul 12*), dan mungkin tidak dimengerti dalam
#/TB Hos 4:8*. Tapi terjadi demikian bukanlah karena asalnya pasca pembuangan
seperti dipertahankan oleh Wellhausen sebab korban-korban itu sudah dikenal
baik oleh Yehezkiel (#/TB Yeh 40:39; 42:13*) dan mungkin tersirat dalam #/TB
Mazm 40:6*; #/TB 2Raj 12:16*; #/TB 1Sam 6:3* (asal ini tidak hanya soal keuangan)
— tapi karena sifat individunya (ini dapat menjelaskan mengapa ‘asyam tidak
disebut-sebut, yg memang bukan upacara korban itu), dan karena ciri
fragmentaris dari catatan-catatan yg ada. Korban-korban itu juga sama-sama
tidak disebut dalam periode pasca pembuangan (’ asyam disebut hanya dlm #/TB
Ezr 10:19* dan khatta’t dlm #/TB Neh 10:33* dan dlm apa yg nampak sbg rumusan
Tawarikh pada #/TB Ezr 6:17; 8:35* dan #/TB 2Taw 29:21* dab).
Hubungan antara korban tebusan salah dengan korban tebusan dosa adalah
kabur (mis keduanya digunakan secara sinonim dlm #/TB Im 5:6*). Yg jelas dapat
dikatakan ialah, bahwa dosa terhadap sesama lebih mencolok pada ‘asyam dan dosa
terhadap Tuhan pada khatta’t. Karena itu ‘asyam menuntut ganti rugi berupa uang
sebagai tambahan korban persembahan. Jumlah sesuatu yg digelapkan ditambah
seperlimanya, harus dibayarkan kepada sesama yg menjadi korban penggelapan itu
(#/TB Im 6:5*), atau kepada imam jika ia atau wakilnya tidak ada (#/TB Bil
5:8*). Binatang korban yg dipersembahkan untuk penghapus salah, biasanya
kambing jantan, juga menjadi kepunyaan imam, dan sesudah upacara pemercikan
darah dan upacara pembakaran lemak seperti biasa dapat dimakan oleh imam
sebagai ‘yg maha kudus’ (#/TB Im 7:1-7*). Halnya sama (#/TB Im 6:24-29*) dengan
korban penghapus dosa penguasa (#/TB Im 4:22-26*) dan orang biasa (#/TB Im
4:27-31*), tapi dalam hal ini darah ditaruh pada tanduk-tanduk mezbah.
Korban penghapus dosa imam agung (#/TB Im 4:1-12*) dan seluruh masyarakat
(#/TB Im 4:13-21*) mengikuti upacara yg lebih khidmat, pada upacara mana darah
dipercikkan (hizza, bukan zaraq) di depan tirai tempat kudus, dan tubuh
binatang korban tidak dimakan melainkan dibakar (saraf, bukan higtir) di luar
kemah (#/TB Im 6:30*; bnd #/TB Ibr 13:11*). Sebagai tambahan terhadap keempat
macam ketentuan itu, dibuat ketentuan tambahan tentang korban pengganti bagi
masyarakat miskin (#/TB Im 5:7-13*). Demikianlah ps 4 dan 5 berisi skala
bertingkat dari binatang korban persembahan: lembu jantan (imam agung dan
jemaat, tapi bnd #/TB Bil 15:24*; #/TB Im 9:15; 16:5*), domba jantan
(penguasa), domba betina atau biri-biri (orang biasa), burung dara atau merpati
(orang miskin), tepung (miskin sekali). Prinsip-prinsip berikut dapat dicatat: setiap
orang harus mempersembahkan korban penghapus dosa, tidak seorang pun boleh
memakan korban penghapus dosanya sendiri, dan semakin upacara itu bersifat
menebus kesalahan maka darah korban harus semakin dekat menghampiri Tuhan. Pada
Hari Pendamaian tirai itu sendiri diterobos dan darah dipercikkan pada mezbah.
(Lih D Schbtz, Schuld-und Siindopfer im Alten Testament, 1930; L Morris, Asham,
EQ 30, 1958, hlm 196-210; J Milgrom, VT 21, 1971, hlm 237-239; D Kellerman,
TDOT 1, hlm 429-437.)
5.
Arti.
Maksud korban persembahan di dalam Im sering dinyatakan untuk ‘menebus’
(kipper, #/TB Im 1:4*, dst). Arti kata kerja ini dapat dijelaskan menurut salah
satu dari tiga cara berikut: ‘menutup’, dari kata Arab kafara; ‘menghapus’,
dari kata Akad kuppuru; ‘menebus dengan suatu pengganti’, dari kata Ibrani
kofer. Yg terakhir nampaknya paling sesuai artinya dengan teori tentang korban
yg diberikan dalam #/TB Im 17:11*, ‘Nyawa makhluk ada di dalam darahnya … karena
darah menandakan pendamaian bagi nyawa’ (bnd J Milgrom, JBL 90, 1971, hlm
149-156), dan dengan prinsip yg berlaku dalam banyak praktik yg disebut di
atas: pemilihan ‘makhluk hidup’ yg akan dipersembahkan ditandai dengan
peletakan tangan; pembakaran bukti persembahan seperti lemak atau ‘azkara;
persembahan, bagian pertama dan penebusan yg sulung (lih S. H Hooke, ‘The
Theory and Practice of Substitution’, VT 2, 1952, hlm 1-17, dan untuk pandangan
yg berlawan, artikel-artikel A Metzinger, Bib 21, 1940). Mungkin dapat
ditambahkan juga upacara korban lembu muda dalam #/TB Ul 21* dan domba jantan
dalam #/TB Im 16*, yg walaupun bukan korban darah, mencerminkan gagasan yg
lebih tepat pada korban darah. Dalam terang inilah #/TB Im 16* dimengerti
sesuai tradisi Yahudi (Misynah, Yoma, 6.4, pikullah dosa-dosa kami dan
pergilah’).
Bagian-bagian Alkitab tadi merupakan peringatan atas pembatasan
penebusan dosa hanya pada satu tindakan saja, seolah-olah hanya kematian, atau
hanya penyerahan darah, atau pembuangan daging binatang korban, yg menebus.
Kematian itu penting — kambing hidup itu hanyalah setengah dari upacara dalam
#/TB Im 16* (bnd ay #/TB Im 16:15* dgn #/TB Im 14:4-7; 5:7-11*). Penggunaan
darah juga penting — dalam #/TB 2Taw 29:24* nampaknya penebusan terjadi sesudah
korban persembahan dibunuh. Melemparkan binatang korban ke dalam api atau
dimakan mempunyai tempatnya — dalam #/TB Im 10:16-20* imam memakan daging
korban persembahan dosa adalah lebih dari sekedar pernyataan. Pandangan bahwa
kematian korban adalah demi membebaskan kehidupan yg ada dalam darah, dan bahwa
penebusan terdiri dari hanya bagian terakhir, adalah berat sebelah sama seperti
pandangan lain yg melihat kematian sebagai pelampiasan hukuman secara
kuantitatif. Terhadap pandangan kedua, telah ditolak pendapat yg mengatakan
bahwa dosa-dosa terhadap mana korban diserahkan bukannya dosa yg ganjarannya
kematian, dan bahwa korban penghapus dosa tidak selalu menuntut kematian (bnd
#/TB Im 5:11-13*), dan bahwa pembunuhan korban tidak mungkin menjadi pusatnya,
sebab bila demikian maka pembunuhan itu ada di tangan para imam, bukan di
tangan kaum awam. Penolakan-penolakan ini hanya melawan bentuk-bentuk teori
penggantian yg ekstrim, bukannya prinsip penggantian itu sendiri.
Teori penggantian menolong karena
mempertahankan kategori-kategori hubungan pribadi, sedang pandangan-pandangan
yg lain cenderung mengarah ke kategori-kategori magis, dimana darah dianggap
menimbulkan kesatuan mistik atau yg menyemangatkan melalui cara yg semi-magis (lih teori-teori dari H Hubert dan M Mauss,
‘Essai sur la nature et la fonction du sacrifice’, L’Annee Sociologiqme,
1897-1898, hlm 29-138; A Loisy, RHLR, NS 1, 1910, hlm 1-30, dan Essai
historique sur le sacrifice, 1920; S. G Gayford, Sacrifice and Priesthood,
1924; A Bertholet, JBL 49, 1930, hlm 218-233, dan Der Sinn des kultischen
Opfers, 1942; E. 0 James, The Origins of Sacrifice, 1933).
Keberatan paling berbobot terhadap teori penggantian, ialah kesulitan
menerima sebutan ‘yg maha kudus’ bagi korban penghapus dosa sesuai upacara,
sehingga dapat dimakan oleh imam. Bila dosa telah dipindahkan ke daging korban
persembahan itu, bukankah itu berarti bahwa daging tersebut menjadi tidak suci,
dan hanya layak dibinasakan dengan membakarnya (saraf)? Hal ini sebenarnya
memang terjadi atas korban penghapus dosa tingkat pertama. Dalam kasus lain,
ihwal imam memakan persembahan mungkin harus ditafsirkan serupa, seakan-akan
keperkasaan daya dari ‘kesucian’ yg begitu unggul yg ada pada imam oleh
pengurapan, menyirnakan ketidaksucian korban (bnd #/TB Im 10:16-20* dan artikel
‘Sin-Eating’, ERE, 11, 1920, hlm 572-576 [Hartland]). Di sini kita menghadapi
kategori ‘kesucian’, yg bukan kategori kita, jelas dari perintah untuk
memecahkan belanga tanah tempat korban penghapus dosa dimasak (#/TB Im 6:28*;
*TAHIR, PENTAHIRAN). Kemungkinan lain, matinya korban dapat dimengerti sebagai
yg menetralkan infeksi dosa, sehingga lemak dan darah tidak terhalangi untuk
menghampiri mezbah sebagai persembahan bagi Allah.
Apakah pandangan lain tentang korban seperti ‘penghormatan’ dan
‘persekutuan’, mungkin sejalan dengan apa yg diutarakan di atas, seperti yg
disetujui oleh kebanyakan sarjana akhir-akhir ini (A Wendel, Das Opfer in der
altisraelitischen Religion, 1927; W. O. E Oesterley, Sacrifices in Ancient
Israel, 1957; H. H Rowley, The Meaning of Sacrifice, 1950), atau apakah jenis
jenis korban tertentu menyatakan salah satu dari aspek-aspek tsb lebih nyata
dari yg lainnya (mis korban bakaran, penghormatan, dan korban pendamaian,
persekutuan) sebaiknya dibiarkan ‘terbuka’. Tapi dalam hukum Taurat paling
tidak korban bakaran, korban sajian, dan bahkan korban pendamaian (hanya jarang
sekali; lih #/TB Kel 29:33*; #/TB Yeh 45:15*), demikian juga korban penghapus
dosa dan korban penghapus salah, disebut akan menebus. Dan apa yg benar bagi
Hukum nampaknya benar pula bagi sejarah.
Pertanyaan apakah korban persembahan meliputi sekaligus peniadaan (yaitu
dosa) dan pendamaian (yaitu dari murka) atau hanya peniadaan saja sulit
dijawab. Kipper tanpa diragukan berarti pendamaian dalam beberapa hal (#/TB Bil
16:41-50*; #/TB Kel 32:30*), dan ini didukung oleh penggunaan ungkapan reakh
nikhoakh, ‘bumbu yg berbau harum’ sepanjang Hukum itu (lih juga #/TB Kej 8:21*;
dan LXX untuk #/TB Ul 33:10*). Tapi arti reakh nikhoakh bisa lemah (G. B Gray,
Sacrifice in the Old Testament, 1925, hlm 77-8 1, menunjuk bahwa itu digunakan
dimana kita hampir tidak akan menduganya, yaitu sajian dan korban zevakh, namun
tidak pada korban perghapus dosa dan korban penghapus salah dimana justru kita
mengharapkannya) dan hal ini bahkan lebih nyata lagi dengan kipper jika
digunakan terkait dengan material seperti perabot Kemah Suci (#/TB Kel 29:37*;
#/TB Yeh 43:20; 45:19*), di mana harus diartikan semata-mata ‘menyucikan’.
Penting bagi pembahasan di sini ialah pengakuan, bahwa Allah sendiri yg
memberikan upacara itu kepada orang berdosa (#/TB Im 17:11*, ’…Aku telah
memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi
nyawamu’). Korban-korban itu harus dipandang beroperasi dalam suasana
perjanjian dan rahmat. Dan bukan ‘sesuatu yg disajikan manusia sendiri untuk
keselamatannya’ seperti dikemukakan oleh Kohler (Old Testament Theology, 1957),
tapi merupakan ‘buah dari rahmat, bukan akamya’ (A. C Knudson, The Religious
Teaching of the Old Testament, 1918, hlm 295). Pertanyaan apakah dalam konteks
ini pendamaian mempunyai tempatnya, adalah serupa dengan pertanyaan yg sama di PB,
dan jawabnya tergantung kepada pandangan yg diambil terhadap dosa, hukum dan
hakikat Allah (*DAMAI, PENDAMAIAN; lih
juga L Morris, The Apostolic Preaching of the Cross, 1955).
Masih harus dikatakan bahwa dalam PL sendiri ada bukti bahwa sistemnya
bukanlah yg final. Tidak ada korban yg diberlakukan, misalnya, bagi pelanggaran
terhadap perjanjian (bnd #/TB Kel 32:30* dab) — dalam terang inilah maka
penolakan nabi atas korban harus dimengerti — atau untuk dosa-dosa dari suatu
‘tangan yg tinggi’ yg menempatkan orang di luar perjanjian (#/TB Bil 15:30*),
meskipun di sini kasusnya mungkin adalah penyembahan berhala dan penghujatan.
Kita tidak menerima pandangan satu pihak yg mengatakan, bahwa kekuatan korban
persembahan dibatasi bagi dosa-dosa yg tidak disengaja, yg bukan dosa yg
sungguh-sungguh sama sekali, atau, pendapat pihak lain yg mengatakan bahwa
nabi-nabi dan para pemazmur yg saleh tidak melihat adanya nilai apapun dalam
korban. Namun demikian, benar bahwa upacara itu dapat diselewengkan dan
disalahgunakan, bilamana ikatan batiniah antara penyembah dan peranti kebaktian
diputuskan, sehingga agama nabiah perlu menekankan prioritas hubungan pribadi
dengan Allah. Dan bukannya kebetulan, ketika agama keimaman dan kenabian
bertemu pada tokoh Hamba Tuhan di #/TB Yes 53* maka titik tertinggi dari agama
PL telah dicapai, karena semua yg berharga dalam upacara dipadukan dalam diri
seorang pribadi, yg telah melakukan baik korban pendamaian (hizza, ‘domba’,
‘korban kesalahan’) dan menghimbau kasih dan kesetiaan pribadi dari hati
manusia.
KEPUSTAKAAN.
- Artikel mengenai korban dalam EB, HDB, ERE, ISBE, ZPEB;
- S. I Curtiss, Primitive Semitic Religion Today, 1902; artikel-artikel dalam The Expositor, serf 6, 1902-1905; F. C. N Hicks, The Fullness of Sacrifices3, 1946;
- F. D Kidner, Sacrifice in the Old Testament, 1952;
- R. K Yerkes, Sacrifice in Greek and Roman Religions and Early Judaisme, 1952;
- H Ringgren, Sacrifice in the Bible, 1962, dan Israelite Religion, 1965;
- R de Vaux, Studies in Old Testament Sacrifice, 1964, dan Ancient Israel, 1965; G Fohrer, History of Israelite Religion, 1973;
- B. A Levine, In the Presence of the Lord, 1974;
- F. M Young, Sacrifice and the Death of Christ, 1975.
II. Dalam PB
Kata-kata Yunani
yg digunakan ialah thusia, doron, prosfora dan yg seasal dengan itu, dan
anaferb, yg diterjemahkan ‘korban, pemberian, persembahan’ (thusia dlm #/TB Mr
12:33* mungkin berarti ‘korban makanan’); holokautoma, Urban bakaran’;
thumiama, ‘kemenyan’; spendo, ‘dituangkan seperti korban minuman’. Semua itu
diterima, dengan istilah-istilah lain yg diberikan di bawah ini, dari LXX.
a.
Korban-korban PL di dalam PB
Korban-korban PL (lih di atas) masih dipersembahkan selama periode penyusunan
PB, dan karenanya tak mengherankan bahwa maknanya mendapat beberapa komentar yg
justru memperjelas. Beberapa ucapan penting terdapat di #/TB Mat 5:23,24;
12:3-5* dan ay-ay sejajar #/TB Mat 17:24-27; 23:16-20*; #/TB 1Kor 9:13,14*.
Penting dicatat bahwa ada korban yg dipersembahkan bagi Yesus pada waktu
pertama kalinya Ia diserahkan kepada Allah di Bait Suci atau Ia sendiri yg
mempersembahkan korban pada Paskah yg terakhir, dan mungkin sekali dalam
peristiwa-peristiwa lain ketika Ia naik ke Yerusalem untuk merayakan hari-hari
besar. Praktik para rasul dalam Kis meniadakan pendapat bahwa sesudah korban
Kristus, kebaktian Bait Allah Yahudi harus dipandang menjijikkan bagi Allah.
Rasul-rasul sering dan teratur hadir di Bait Suci. Paulus sendiri pergi ke Yerusalem
untuk merayakan Pentakosta, dan dalam peristiwa itu mempersembahkan
korban-korban (termasuk korban penghapus dosa) untuk gangguan sumpah (#/TB Kis
21*; lih #/TB Bil 6:10-12*). Namun, pada prinsipnya korban-korban tersebut
sekarang tidak perlu lagi, karena perjanjian yg lama sudah menjadi ‘lama’ dan
‘siap untuk lenyap’ (#/TB Ibr 8:13*), sehingga ketika orang Roma menghancurkan
Bait Suci maka bahkan orang Yahudi yg bukan Kristen pun juga berhenti
mempersembahkan korban.
Surat Ibr
menguraikan jelas korban-korban PL. Ajaran penulis surat ini mengandung segi yg
positif (#/TB Ibr 11:4*), namun perhatiannya yg terbesar ialah menunjukkan
ketidakcukupannya kecuali sebagai lambang. Kenyataan bahwa semua korban PL tidak
dapat menjadikan manusia masuk ke dalam tempat Yang Mahasuci, membuktikan bahwa
semua korban itu tidak dapat membebaskan hati nurani dari kesalahan. Semua
korban itu hanyalah peraturan jasmaniah belaka, yg diberlakukan sampai
datangnya masa pembaharuan (#/TB Ibr 9:6-10*). Ketidakmampuannya menebus nyata
dari fakta bahwa hanya hewan saja yg dikorbankan (#/TB Ibr 10:4*), dan oleh
fakta harus diulang-ulangi (#/TB Ibr 10:1,2*). Korban-korban itu bukanlah
penawar dosa, melainkan yg mengingatkan pada dosa (#/TB Ibr 10:3*).
b.
‘Korban-korban rohani’
‘Korban-korban rohani’ (#/TB 1Pet 2:5*; bnd #/TB Yoh 4:23,24*; #/TB Rom
12:1*; #/TB Fili 3:3*) dalam PB adalah pengganti peraturan-peraturan jasmaniah,
dan sering muncul (#/TB Rom 12:1; 15:16,17*; #/TB Fili 2:17; 4:18*; #/TB 2Tim
4:6*; #/TB Ibr 13:15,16*; #/TB Wahy 5:8; 6:9; 8:3,4*). Tapi bahkan dalam PL
para pemazmur dan nabi-nabi sering menggunakan bahasa korban secara kiasan (mis
#/TB Mazm 50:13,14; 51:14,15*; #/TB Yes 66:20*), dan penggunaan demikian
diteruskan dalam kesusastraan intertestamental (Ecclus #/TB Yes 35:1-3*;
Testament of Levi, #/TB Yes 3:6*; Manual of Discipline, 8-9; Philo, De Somniis
2.183). Usaha F. C. N Hicks (The Fulness of Sacrifice, 1946) untuk menunjukkan
bagian-bagian macam itu kepada korban harfiah, harus dianggap seluruhnya gagal.
Korban-korban yg disebut di sini tidak selalu harus immaterial, dan
kadang-kadang melibatkan kematian: makna ‘rohaninya’ ialah bahwa korban
persembahan itu menjadi milik zaman Roh Kudus (#/TB Yoh 4:23,24*; #/TB Rom
15:16*). Tapi kadang-kadang korban itu immaterial, dan tidak pernah mempunyai
upacara yg dijadwalkan. Dan ternyata bahwa setiap tindakan dari orang yg
dipenuhi oleh Roh dapat dianggap sebagai korban persembahan rohani, dalam arti
dikhususkan bagi Allah dan dapat diterima oleh Allah, tentu tidak mengandung
penebusan. Korban pendamaian sejati harus dicari bukannya di sini melainkan
dalam korban Kristus, tanpa mana korban rohani tidak akan diterima (#/TB Ibr
13:15*; #/TB 1Pet 2:5*).
c. Korban
Kristus
Korban
Kristus adalah tema utama PB. Karya penyelamatan-Nya sering dibicarakan dalam
pengertian etis, kadang-kadang pidana maupun korban persembahan. Kristus
dikatakan Domba Allah yg disembelih, darah-Nya yg suci meniadakan dosa dunia
(#/TB Yoh 1:29,36*; #/TB 1Pet 1:18*; #/TB Wahy 5:6-10; 13:8*) — seekor domba
yaitu binatang yg digunakan untuk bermacam-macam korban. Lebih khusus lagi, Ia
diatakan domba Paskah yg sesungguhnya (paskha, #/TB 1Kor 5:5-8*), persembahan
bagi dosa (peri hamartias, #/TB Rom 8:3*; bnd LXX #/TB Im 5:6,7,11; 9:2,3*;
#/TB Mazm 40:5*, dst), dan di #/TB Ibr 9; 10*. Ia Jisebut penggenapan korban
perjanjian dari #/TB Kel 24*, lembu antan muda berwarna merah yg disebut di
#/TB Bil 19* dan kor, an-korban pada Hari Pendamaian. PB terus-menerus
nenyamakan Tuhan Yesus dengan Hamba yg menderita di #/TB Yes 52:1-53:12 yg
adalah korban penghapus salah (#/TB Yes 53:10*), tan dengan Mesias (Kristus)
dan #/TB Dan 9*, yg menghapuskan kesalahan (#/TB Dan 9:24*). PB menggunakan
istilah ‘mendamaian’ dan ‘tebusan’ tentang Kristus dalam pengertian korban, dan
pemikiran mengenai hal disucikan oleh darah-Nya (#/TB 1Yoh 1:7*; Ibr,
nama-nama) itu adalah korbaniah (*DAMAI, PENDAMAIAN).
Doktrin
tentang itu dikembangkan paling terpadu dalam urat Ibr. Penulis menekankan
pentingnya kematian dalam korban Kristus, yakni kematian-Nya sendiri (#/TB Ibr
2:9,14; 9:15-17,22,25-28; 13:12,20*), dan kenyataan bahwa kematian-Nya sebagai
korban adalah genap dan tuntas (#/TB Ibr 1:3; 7:21; 9:12,25-28;
10:10,12-14,18*). Tapi pernyataan lain dari penulis membuat suatu golongan (S.
C Gayford, Sacrifice and Priesthood, 1924; dan W Milligan, The Ascension and
Heavenly Priesthood of our Lord, 1892) berkesimpulan sebaliknya, bahwa kematian
bukan unsur penting dalam korban Kristus, dan bahwa pengorbanan-Nya berlangsung
terus selama-lamanya. Memang benar Surat Ibr membatasi keimaman dan kesucian
Kristus pada kawasan sorga (#/TB Ibr 8:1-5; 9:11*), tapi tegas tidak membatasi
korban-Nya hanya di sana. Memang dinyatakan bahwa Ia mempersembahkannya di sana
(#/TB Ibr 8:3*), tapi ‘mempersembahkan’ adalah kata yg digunakan dengan arti yg
sama bagi donor yg membawa dan membunuh korban di luar Bait Suci dan bagi imam
yg mempersembahkannya, apakah di sana di atas mezbah atau di dalam Bait Suci.
Acuan di sini pasti kepada pemercikan atau ‘persembahan’ darah di tempat maha
kudus pada hari Pendamaian oleh imam agung (#/TB Ibr 9:7,21-24*), suatu
tindakan khas yg telah digenapi oleh Kristus.
Segala
sesuatu yg teramat penting dalam korban persembahan peranan donor dan korban
itu sendiri — telah dipenuhi di salib: kecuali peranan keimaman — yaitu
penyerahan kepada Tuhan oleh pengantara yg laik diterima — dan inilah yg
dilakukan oleh Kristus dengan memasuki hadirat BapakNya pada waktu kenaikan.
Sejak itu darahNya yg terpercik ada di sana (#/TB Ibr 12:24*). Tidak perlu
berpikir bahwa penampilan Kristus atau darah-Nya terjadi pada Hari Kenaikan
dalam arti harfiah: cukup bahwa Ia masuk sebagai Imam yg menjadi korban yg
dibunuh di kayu salib, serta-merta disambut, duduk dalam kemuliaan, dan karya
penyelamatan-Nya genap seutuhnya. Doa syafaat-Nya yg kekal (#/TB Ibr 7:24* dab,
bnd #/TB Mazm 99:6*; #/TB Yoel 2:17*) bukanlah baru, tapi merupakan bagian dari
hal ‘la masuk ke dalam sorga menghadap hadirat Allah untuk kepentingan kita’
(#/TB Ibr 9:24*). Atas dasar karya-Nya di salib yg sudah selesai, dan karena
semua penderitaan-Nya sudah berlalu, maka kehadiran-Nya di depan Allah untuk
kepentingan kita merupakan baik syafaat maupun pendamaian yg terus-menerus
(#/TB Ibr 2:10,17* dab).
Adalah
salah memandang korban Kristus lebih bersifat harfiah ketimbang korban-korban
rohaniah. Keduanya melampaui korban-korban PL, dan tidak satu pun yg bersifat
ritual. Pernyataan Owen dan yg lain-lain bahwa korban Kristus adalah
sungguh-sungguh korban, ditujukan untuk menentang pandangan Socinius yg
mengatakan bahwa kematian Kristus tidak menggenapi tuntutan korban-korban PL,
dan yg gagal memenuhinya — pandangan yg menyangkal bahwa kematian Kristus
menciptakan pendamaian. Tapi terlepas dari pembantaian (dan ini tidak
dikerjakan dlm upacara PL oleh donor), segala sesuatu dalam korbanNya
dirohanikan. Pengganti tubuh seekor hewan, kita peroleh tubuh Anak Allah (#/TB
Ibr 10:5,10*). Pengganti korban tanpa cela, kita peroleh korban tanpa dosa
(#/TB Ibr 9:14*; #/TB 1Pet 1:19*). Pengganti bau harem, kita peroleh penyerahan
diri yg sesungguhnya (#/TB Ef 5:2*). Pengganti pemercikan tubuh kita dengan
darah, kita peroleh pengampunan (#/TB Ibr 9:13,14,19-22*). Pengganti pendamaian
yg simbolik, kita peroleh pendamaian sejati (#/TB Ibr 10:1-10*).
d. Korban
dan Perjamuan Tuhan
Korban
dan Perjamuan Tuhan terkait erat dan tak terpisahkan — bukan dengan cara orang
Roma dan kaum Traktarian yg mengkaitkan keduanya dengan menjadikan perjamuan
kudus tindakan persembahan. Tidak demikian, melainkan sebagai yg saling
melengkapi. Untuk memberikan kepada ‘lakukanlah’ dan ‘ingatlah’ (#/TB Luk
22:19*; #/TB 1Kor 11:24,25*) suatu makna teknis pengorbanan, adalah semata-mata
pemikiran yg timbul kemudian dari mereka yg sudah menerima korban perjamuan
kudus atas dasar-dasar yg tidak alkitabiah. Hal yg sama terjadi dengan usaha
untuk mengeluarkan arti ‘keakanan’ dari bentuk partisipel ‘diberikan’ dan
‘dicurahkan’ (#/TB Mat 26:28*; #/TB Mr 14:24*; #/TB Luk 22:19,20*). Dan untuk
menghubungkan perjamuan kudus dengan korban kekal Kristus di sorga, akan
merupakan hal yg tidak mungkin jika korban kekal itu disangkal. Namun
menganggap perjamuan kudus sebagai pesta memakan korban Kristus adalah sesuai
tuntutan #/TB 1Kor 10:14-22*, dimana hal itu disesuaikan dengan perjamuan
korban orang Yahudi dan orang kafir; juga oleh singgungan terhadap #/TB Kel
24:8* dalam #/TB Mat 26:28* dan #/TB Mr 14:24*; dan oleh penafsiran tradisional
atas #/TB Ibr 13:10*. Karena korban Kristus dalam banyak hal harus dirohanikan,
maka bahasa tentang pesta memakan korban-Nya pasti juga harus dirohanikan, tapi
tidak boleh segala artinya dirampas. Makna perjamuan korban bukanlah untuk
menerima pendamaian, melainkan menikmati persekutuan dengan Tuhan, yg terjadi
dengan cara bersama-sama makan korban itu. Apakah pada saat kita menikmati
persekutuan itu kita juga memakan Kristus, tubuh dan darahNya, itulah titik
persoalan mengenai Perjamuan Kudus. #/TB Yoh 6* berkata bahwa mereka yg percaya
akan Kristus sesudah melihat-Nya atau mendengar firman-Nya, makan dari Dia,
tubuh dan darah-Nya, dengan perantaraan Roh. Maka tak ada alasan untuk
menyangkal, bahwa sesuatu yg terjadi melalui firman, terjadi juga melalui hal
makan roti dan anggur, yg juga harus dirohanikan.
·
KEPUSTAKAAN.
- Tafsiran Kitab Ibr: V Taylor, Jesus and His Sacrifice, 1943;
- B. B Warfield, The Person and Work of Christ, 1950, hlm 391-426;
- N Dimock, The Doctrine of the Death of Christ, 1903;
- A Cave, The Scriptual Doctrine of Sacrifice and Atonement, 1890;
- G Vos (diolah kembali oleh J. G Vos), The Teaching of the Epistle to the Hebrews, 1956;
- T. S. L Vogan, The True Doctrine of the Eucharist, 1871;
- H-G Link dll, NIDNTT 3, hlm 415-438. RTB/S
No comments:
Post a Comment