Monday, May 14, 2018

AGAMA, YUDAISME


AGAMA, YUDAISME
       Yunani threskia, berarti ungkapan lahiriah dari kepercayaan; dalam Kis 26:5 kata itu diterjemahkan ‘agama’, yg berarti Yudaisme (bnd Gal 1:13, di situ tidak dipakai kata tersendiri untuk ‘agama’ seperti bh Yunaninya). Dalam Kol 2:18 dan Yak 1:26,27 kata itu diterjemahkan ‘ibadah’. Barangkali Yakobus berbicara ironis, sebab hal-hal yg ia katakan ‘ibadah yg murni’, sama sekali tidak dipikirkan sebagai bagian dari agama oleh orang Yahudi yg ritualistik. Dalam Mat 6:1 ‘kewajiban agama’ adalah merupakan tafsiran kata Yunani dikaiosyne, ‘kebenaran’; barangkali ada pertentangan yg disengaja antara semangat batiniah agama dan penampakan lahiriahnya semata-mata.

YUDAISME
          I. Definisi

          Yudaisme adalah agama Yahudi yg bertentangan dengan agama PL. Penelitian menyeluruh mengenai pokok ini haruslah dimulai pada panggilan Abraham, namun praktisnya Yudaisme hares dianggap mulai pada Pembuangan di Babel. Tapi pada kurun waktu hingga thn 70 M istilah ini dipakai hanyalah untuk unsur-unsur baik yg berupa modifikasi maupun perluasan konsep-konsep PL. Dalam karya penulis-penulis Jerman berulang kali muncul ungkapan menyesatkan ‘Yudaisme yg kemudian’, yg dipakai untuk agama Yahudi pada zaman Tuhan Yesus. Ungkapan ini didasarkan pada teori yg mengatakan bahwa naskah P (mengenai imamat) dan sejarah dalam Heksateuk, berasal dari zaman Pembuangan atau sesudahnya, dan itulah yg dianggap benar awal Yudaisme.

          Adalah lebih baik menganggap Yudaisme mencapai kedewasaannya sesudah keruntuhan Bait Suci thn 70 M, dan memakai istilah ‘Agama Antar Perjanjian’ untuk kurun waktu antara Ezra dan Tuhan Yesus, kecuali jika yg dibicarakan adalah gejala-gejala yg menyusul sesudah keruntuhan Bait Suci. Satu alasan utama untuk ini ialah, kendati agama Kristen paling awal tidak menolak atau tidak mengabaikan seluruh perkembangan sejarah dalam keempat abad pasca Ezra, tapi gereja perdana tegas menolak unsur itu dalam Yudaisme, yaitu sikapnya terhadap hukum Taurat dan penafsirannya, yg memisahkan Yudaisme dari agama Kristen dan PL.

          Yudaisme mencapai puncak perkembangannya sekitar thn 500 M, agak bersamaan dengan agama Katolik. Kedua-duanya sejak saat itu terus bertumbuh dan berbenah diri. Namun artikel ini tidaklah membicarakan masa pasca thn 200 M, tatkala Misyna sudah lengkap dan konsep-konsep utama Yudaisme sudah jelas. Mengenai kurun waktu yg kemudian, silahkan membaca tulisan-tulisan tentang Yudaisme dalam ERE, JewE, EJ, dst.’

          II. Timbulnya Yudaisme
          Yudaisme tak terelakkan akibat reformasi raja Yosia, yg mencapai puncaknya thn 621 sM. Ketentuan bahwa korban yg sah hanyalah yg dipersembahkan di Bait Suci Yerusalem, mendampakkan arti bahwa hidup keagamaan banyak orang makin jauh dari tempat kudus dan sepi korban sembelihan. Kecenderungan demikian makin diperkuat oleh Pembuangan ke Babel. Penelitian modem mengisyaratkan bahwa pukulan akibat tertimpa hukuman dari Allah, adalah terlalu membingungkan bagi suatu ibadah resmi tanpa korban sembelihan, untuk dikembangkan di Pembuangan.

          Masa Pembuangan adalah kurun waktu menantikan pemulihan. Dan penolakan untuk kembali ke Palestina pada thn 538 sM oleh mayoritas Yahudi, mengharuskan adanya perubahan dalam hidup keagamaan mereka, jika mereka ingin tetap hidup sebagai Yahudi. Tidak cukup hanya mengembangkan ibadah tanpa korban sembelihan (hal ini secara resmi dgn bentuk-bentuknya yg tertentu nampaknya timbul kemudian); pandangan baru atas hidup yg sama sekali dapat dipisahkan dari tempat kudus sangat dibutuhkan. Pandangan baru itu ditemukan dalam Taurat Musa. Ini tidak ketat diartikan sebagai peraturan undang-undang, tapi agak lebih sebagai seperangkat prinsip yg dapat dan harus diterapkan pada setiap segi kehidupan, dan yg mengikat semua orang yg ingin disebut Yahudi (Taurat lebih berarti ‘pengajaran’ daripada ‘hukum’). Sebenarnya Ezra adalah ‘Bapak Pencipta Yudaisme’, sebab ia kembali dari Babel bukan untuk memperkenalkan dan memberlakukan hukum yg baru, melainkan cara baru untuk memberlakukan hukum yg lama.

          Pada abad-abad berikutnya kebijaksanaan Ezra ini menghadapi perlawanan keras dari imam-imam kaya dan yg lain-lain, yg pada pemerintahan Antiokhus Epifanes (175-163 sM) menjadi pemimpin golongan Helenis. Mayoritas masyarakat umum (’ am ha-’arets) berusaha menyingkirkan segala-galanya, kecuali arti yg jelas dari Taurat. Pada masyarakat yg berdiaspora di barat terjadi pembauran yg makin meningkat dengan pola pikir Yunani, yg dipertajam oleh tafsir Kitab Suci secara alegoris yg merajalela pada waktu itu.

          Tingkat berikut dalam perkembangan Yudaisme ialah penghelenisasian para pemuka imam di Yerusalem dan kemerosotan moral para raja imam Hasmonean yg menyusul kemudian (khususnya Aleksander Yanneus). Beribadah di Bait Suci bagi orang saleh menjadi lebih merupakan kewajiban daripada sukacita. Sementara itu anggota Perjanjian Qumran kelihatannya membelakangi Bait Suci, sampai Allah sendiri akan membersihkannya dari imam-imam jahat, para Farisi yg mengagungkan sinagoge sebagai sarana utama untuk melakukan ibadah kepada Allah dan untuk mengenal kehendak-Nya melalui penyelidikan Taurat. Akibatnya, menjelang zaman Tuhan Yesus ada ratusan sinagoge di Yerusalem sendiri.

          Walaupun kehancuran Bait Suci thn 70 M adalah pukulan berat bagi Farisi dan pengagum mereka, toh mereka sudah dipersiapkan untuk itu oleh beberapa kali Bait Suci dinodai dengan berbagai cara sejak zaman Antiokhus Epifanes. Hidup keagamaan mereka yg berpusat di sinagoge, dengan cepat dapat menyesuaikan diri pada keadaan yg baru itu, apalagi mengingat kelompok agama-agama lain sudah dimusnahkan atau dijadikan tak berdaya. Menjelang thn 90 M para pemimpin Farisi, yaitu para rabi, merasa cukup kuat untuk mengucilkan dari sinagoge orang-orang yg dianggapnya guru-guru bidat (minim), termasuk orang-orang Kristen Ibrani. Menjelang thn 200, sesudah bertempur mati-matian, mereka paksa ‘am ha-’arets supaya menyesuaikan diri dengan para rabi, jika mereka ingin dianggap Yahudi. Sejak saat itu dan seterusnya Yudaisme dipengaruhi oleh pemikiran modern. Istilah-istilah Yahudi dengan Yudaisme seperti rabi, Yudaisme ortodoks atau Yudaisme keturunan pada dasarnya adalah searti.

          Perlu diperhatikan, kendati kelompok Farisi selalu merupakan kelompok kecil, keberjayaan pandangan mereka adalah wajar. Memang mereka sering tidak disenangi oleh masyarakat umum, tapi pandangan merekalah yg paling logis menyesuaikan PL pada keadaan sesudah Pembuangan. Dan pandangan mereka menjadi milik umum melalui kesanggupan mereka menggunakan sinagoge.

          III. Doktrin Yudaisme

          Seyogianyalah jelas bagi pembaca Ps, betapa tajamnya pun pertentangan Kristus dan Paulus di satu pihak, dengan lawan-lawan utama mereka pada pihak lain, medan pertentangan itu jelas terbatas. Kedua pihak sama-sama mengakui Kitab Suci yg sama — berbeda dari orang Saduki — dan, setidak-tidaknya tafsir kedua pihak adalah hampir sama. Kemiripan yg begitu dekat antara ajaran Kristus dengan ajaran para rabi terdahulu telah lama dikenal, dan ditemukannya naskah-naskah Qumran meningkatkan pengakuan, bahwa pengaruh Helenisme terhadap Ps hanyalah bersifat sampingan. Maka dapat dikatakan bahwa umumnya ajaran Yudaisme tidak begitu berbeda dari ajaran PL maupun ajaran Kristen. Jadi dapat dianggap bahwa dalam hal-hal yg tidak disebut di sini, tak ada perbedaan mendasar sampai thn 500 M. Tapi harus diingat, bahwa perjuangan Yudaisme yg begitu lama untuk mempertahankan keberadaannya menghadapi agama Kristen yg makin berjaya, sering mendampakkan pergeseran penekanan yg berarti, sehingga mempersempit hal-hal yg nampaknya sama-sama disetujui.

             a. Israel

             Dasar Yudaisme ialah keberadaan dan panggilan Israel serta keanggotaan berdasarkan kelahiran, kendati pintu terbuka juga bagi proselit. Tidak ada bukti bahwa Yudaisme mengerti ajaran PL mengenai adanya ‘sisa’. Semboyan bahwa ‘Seluruh Israel akan mendapat bagian dalam dunia yg akan datang’ umumnya diterima. Hanya kemurtadan (istilah yg artinya tidak mantap) biasanya dianggap satu-satunya penghalang untuk menikmatinya.

             Dalam lingkungan Israel semua orang dianggap saudara. Kendati perbedaan tingkat sosial yg lazim dalam masyarakat tak pernah disangkal, di hadapan Allah tingkat seseorang bergantung pada pengetahuan akan Taurat dan penggenapannya. Jadi dalam kebaktian-kebaktian di sinagoge kualifikasi pemimpin ialah kesalehan, pengetahuan dan kesanggupan. Para rabi bukanlah imam ataupun pendeta. ‘Penahbisan’ rabi melulu berdasarkan pengakuan jemaat, bahwa rabi itu pakar Taurat, dan berdasarkan itu ia boleh berperan sebagai hakim. Jadi rabi adalah orang yg mengetahui Taurat dan yg tahu mengajarkannya dengan baik, dan ia diakui oleh beberapa rabi yg sudah mendapat pengakuan, atau dalam hal-hal yg luar biasa diakui oleh jemaat. Semua hal itu cukup untuk membuat seseorang sah menjadi rabi.

             Wanita dipandang di bawah kedudukan lelaki, karena wanita di bawah kuasa suaminya. Juga dianggap tidak sanggup melaksanakan perintah-perintah tertentu dari Taurat. Tapi pada dasarnya Yudaisme selalu mempertahankan makna #/TB Kej 2:18* dan mempertahankan martabat wanita.

             b. Kebangkitan dari antara orang mati

             Kendati berlawanan dengan kehendaknya, di kemudian hari, karena pengaruh filsafat Kristen dan Yunani, Yudaisme agak menyetujui ajaran bahwa roh manusia tak dapat mati. Namun demikian Yudaisme tetap setia kepada jiwa PL yg menganggap kebangkitan tubuh harus terjadi demi hidup yg sebenarnya sesudah kematian. #/TB 2Tim 1:10* bukanlah menyangkal pengharapan Yudaisme akan kebangkitan dari antara orang mati, sebab hal itu — berbeda dari iman Kristen yg didasarkan kepada kebangkitan Kristus — disimpulkan berdasarkan sekelumit petunjuk dalam PL dan ditempa dalam kepedihan rohani yg menimpa orang saleh sejak zaman Antiokhus Epifanes.

             ‘olam ha-zeh (’ dunia ini’) tegas dibedakan dari ‘olam ha-ba’ (’ dunia yg akan datang’). Yg terakhir selalu dipandang (kecuali anggota yg berdiaspora di bg barat karena sudah lebih helenistis) berhubungan dengan bumi ini. Keduanya —‘ dunia ini’ dan ‘dunia yg akan datang’ — dihubungkan oleh ‘Zaman Mesias’ yg selalu dipandang sebagai masa yg terbatas.

             c. Taurat

             Agaknya golongan Farisi berada pada posisi tengah antara golongan Saduki yg menolak otoritas Kitab-kitab Nabi (kendati tidak menolak nilainya), dengan kelompok Perjanjian Qumran yg sangat menghormati otoritas Kitab-kitab Nabi, asal Kitab-kitab Nabi itu di tangan penafsir yg laik menafsirkannya.

             Golongan Farisi memandang Kitab-kitab Nabi sebagai ulasan yg diilhamkan Allah tentang Taurat, Pentateukh, yg bagi mereka merupakan pernyataan kehendak Allah yg sempurna dan terakhir. Alasan utama mereka menolak Kristus, dan mengapa mereka menuntut tanda dari Kristus, ialah karena Dia mengandalkan otoritas yg ada pada-Nya, bukan yg ada pada Musa.

             Para rabi menjunjung tinggi peranan dan nilai Taurat, sehingga meyakininya merupakan pengungkapan dan pembenaran keberadaan Israel. Barulah di kemudian hari, sesudah Yudaisme menghadapi gereja yg makin berjaya, kepada Taurat diberikan kedudukan kosmis dan pengakuan akan keberadaannya sebelum penciptaan dunia, sehingga peranan Taurat bagi Yudaisme sama dengan peranan Kristus bagi agama Kristen. Jadi mudah dimengerti mengapa Yahudi ortodoks sangat terpukul karena doktrin tambahan rasul Paulus mengenai Taurat (#/TB Gal 3:19*) yg membuat mencolok pelanggaran sebagai dosa (#/TB Rom 7:13*).

             Tapi, di kalangan Yudaisme pra thn 500 M Pentateukh hanyalah tora sye-bikhetav (Taurat tertulis). Jika ‘pengyakinan’ atas Taurat harus menjadi urusan pribadi dari setiap orang Yahudi yg saleh, dan penerapannya harus dipprluas sehingga mencakup seluruh bidang kehidupan guna menciptakan kesatuan yg menjadi inti kehidupan Israel, maka haruslah ada kesepakatan mengenai dasar-dasar pendekatan dan penafsiran. Unsur-unsur yg mendasari kesepakatan itu mungkin sudah ditetapkan dalam garis-garis besarnya pada zaman Ezra. Bersama dengan beberapa kebiasaan zaman dulu, ump pembasuhan tangan, maka semua hal itu dianggap adalah tradisi bahkan dari sejak Musa di G Sinai. Prinsip-prinsip ini dan penerapannya dalam hidup keseharian merupakan tora sye-be ‘al-peh (Taurat atau hukum Taurat lisan). Otoritasnya sama dengan Taurat tertulis, sebab Taurat tertulis tak dapat dipahami dengan tepat tanpa Taurat lisan.

             Perkembangan Taurat lisan mungkin adalah sbb. Taurat tertulis diselidiki untuk menemukan perintah-perintah yg ada di dalamnya; semuanya berjumlah 613 terdiri dari 248 yg positif dan 365 yg negatif. Semua perintah itu dilindungi lagi dengan menciptakan hukum-hukum baru, dan mematuhinya dianggap adalah jaminan mematuhi perintah-perintah dasar tadi. Hal ini terkenal dengan ungkapan ‘membuat pagar sekeliling Taurat’. Akhirnya, hukum-hukum yg diperbanyak ini diterapkan sebagai analogi kepada semua lingkungan dan bidang kehidupan.

             Kendati dalam pengertian tertentu Taurat lisan tidak pernah dianggap lengkap, karena perubahan dalam peradaban selalu mendampakkan keadaan-keadaan baru yg terhadapnya Taurat harus diterapkan, tapi pada umumnya Taurat lisan dianggap sudah mendapat bentuknya yg definitif dalam Talmud, bahkan dalam arti yg lebih sempit dalam Midrasim (tunggal Midras), yaitu uraian-uraian (’ aggada) yg resmi, terutama yg bersifat ibadah mengenai Kitab-kitab PL.

             Talmud dibagi menjadi dua bagian. Misyna, yakni himpunan Taurat lisan yg dibukukan yg menjadi tanggung jawab utama Rabi Yehuda ha-Nasi (kr 200 M). Berlawanan dengan kebanyakan Midrasim, Misyna merupakan halakha, yaitu hukum-hukum yg mengatur hidup, dan yg sebenarnya merupakan ulasan mengenai segi hukum Pentateukh. Gemara, yakni ulasan panjang lebar tentang Misyna. Gemara tidak hanya memberikan keterangan yg tepat mengenai hal-hal yg belum jelas, tapi juga memberi berlimpah keterangan mengenai segala segi Yudaisme terdahulu. Naskah Babel yg lebih panjang nyatanya baru thn 500 M lengkap seutuhnya, tapi naskah Palestina yg tak kunjung selesai, data-data historisnya terhenti atau alpa kr satu abad mundur. Jauh lebih adil mengaitkan Talmud dengan Bapak-bapak gereja ketimbang dengan PB. *TALMUD DAN MIDRASY.

             d. Manusia dengan penggenapan Taurat

             Sama sekali tidak adil menolak Yudaisme dengan tuduhan bahwa itu melulu hanyalah praktik hukum (legalisme), kendati dalam praktiknya memang praktik hukum itu dominan. Bagian-bagian Talmud yg sering dikutip untuk membuktikan legalisme itu, sama saja dengan setiap buku pegangan yg berusaha memberlakukan atas hidup suatu hukum sampai hal tetek bengeknya. Kecenderungan kepada legalisme itu agak dikurangi melalui usaha pihak rabi, yg menekankan bahwa penerapan Taurat harus timbul dari niat yg benar (kawwana), dan harus dilakukan demi Taurat itu sendiri (lisyma), bukan karena pahala yg mungkin didatangkannya. Bagi mereka pemberian Taurat oleh Allah adalah tindakan kasih karunia yg sangat luhur, dan penerapan Taurat seharusnya adalah tanggapan kasih manusia.

             Sistem demikian menekankan bobot kemampuan manusia melakukan Taurat, bukan kegagalan manusia melakukannya. Karena itu kengerian dosa yg ‘sopan’ dan ketidaksanggupan manusia melakukan kehendak Allah secara sempurna diperkecil, dan kecenderungan ini diperkuat oleh lenyapnya korban sembelihan thn 70 M. Pada Yudaisme sama sekali tidak ada sesuatu yg dapat dibandingkan dengan ajaran Kristen mengenai dosa asali. Memang benar manusia dikandung dan dilahirkan dengan keinginan jahat (yetser ha-ra’), tapi hal ini diimbangi oleh keinginan batin yg baik yg bobotnya sama (yetser ha-tov), yg jika ditopang oleh penelitian Taurat, akan lebih unggul. Pandangan yg agak meremehkan dosa dan kodrat manusia ini terdapat dalam seluruh Yudaisme.

             Yg lebih gawat lagi ialah pernyataan yg tersirat dalam Yudaisme akan keotonomian ahli Taurat. Kendati Taurat menuntut otoritas mutlak atas manusia yg otonom itu, Allah membiarkan sang ahli Taurat menemukan apa tuntutan Taurat. Pemikiran ini begitu ngawur, sehingga dalam Talmud (Menakhot 29b) Musa digambarkan tidak sanggup memahami uraian Rabi Akiba, yg menguraikan penemuan hal-hal yg tak pernah terpikirkan oleh Musa tercantum dalam hukum Musa. Pada pihak lain, kadang-kadang perintah-perintah langsung sengaja diputarbalikkan, karena hal itu dianggap demi kepentingan umum. Contoh paling terkenal ialah #/TB Ul 15:1-3* — tapi contoh #/TB Mr 7:9-13* tidak dibicarakan dalam Misyna, barangkali karena tempelakan Kristus itu diakui benar. Selanjutnya ada kecenderungan yg mantap untuk memperingan muatan setiap peraturan, yg kelihatan terlalu berat menekan orang banyak (ini tidak bertentangan dgn #/TB Mat 23:4*; memang adalah hak istimewa setiap pakar memanfaatkan pengetahuannya untuk memperingan bebannya!). Mungkin sikap percaya Farisi pada diri sendiri sebagai orang-orang yg mengawasi dan merumuskan penyataan kehendak Allah, adalah yg terutama melatarbelakangi tuduhan Kristus bahwa Farisi munafik (*MUNAFIK dan H. L Ellison, ‘Jesus and the Pharisees’, JTVI 85, 1953). Kendati para rabi terus menasihati supaya orang tetap rendah hati, catatan dalam #/TB Yoh 7:49* terlalu sering muncul dalam sastra Yudaisme.

             Karena ajaran utama Yudaisme ialah mengabdi kepada Allah dengan menaati Taurat, dan segenap kemampuan akal budi digunakan untuk mencari selengkapnya kerangka perintah-perintah Allah, maka Yudaisme sangat sedikit sekali diganggu oleh perdebatan teologi, yg meracuni kekristenan. Apabila seseorang mengakui kesatuan yg sempurna dan keunikan Allah, juga mengakui otoritas mutlak dan finalitas Taurat serta pemilihan Israel, maka orang itu dapat — asal ia menaati hukum Taurat — menganut teori filsafat dan mistik mana pun yg dia pilih. Betapa salahnya ucapan itu sehingga benar mengatakan bahwa kata ortopraksis — kelainan, penyimpangan — lebih tepat digunakan untuk Yudaisme daripada ortodoksi. Satu-satunya perpecahan serius di kalangan Yahudi antara masa jaya pandangan Farisi dan zaman modern, ialah perpecahan golongan Karait (abad 8) berkaitan dengan prinsip-prinsip penafsiran Taurat.

             Perkembangan bagian terbesar sejarah Yudaisme terlindung dari pengaruh Yunani pada tahapannya yg paling berbahaya. Sebagai hasilnya dapat dipertahankan keseimbangan antara perseorangan dan masyarakat, yg kenyataannya timpang dalam praktik kehidupan Kristen.

             e. Mesias yg dijanjikan

             Kendati ada beragam pandangan, tapi tak ada tanda-tanda pada Yudaisme hingga thn 200 M yg menunjukkan, bahwa pada diri Mesias ada unsur-unsur adikodrati. Mesias pertama-tama dianggap adalah pembebas akbar dari penindasan orang asing, barulah kemudian sebagai pelaksana penerapan Taurat secara benar. Zaman Mesias adalah jembatan penghubung dengan dunia yg akan datang, tapi lamanya zaman itu terbatas. Mengenai ringkasannya, lih J. K Klausner, The Mesianic Idea in Israel, bg 3. *MESIAS.

             f. Doktrin tentang Allah

             Mengamati antologi para rabi mengenai Allah, segera nampak bahwa bagian terbesar antologi itu setia kepada penyataan PL. Perbedaannya dari pandangan Kristen terutama terdapat dalam pokok-pokok berikut. Karena kontak dunia yg akan datang di bumi ini tidaklah seerat kontak dunia sorgawi dengan Allah yg kekal, maka Yudaisme kurang mengindahkan mutlaknya kekudusan Allah. Dan karena pengabdian kepada Allah lebih ditekankan daripada persekutuan dengan Allah, kecuali di kalangan kebatinan yg kadang-kadang muncul, maka perihal ‘pendamaian’ jarang muncul dalam Yudaisme. Bagaimanapun tak ada suatu pengertian bahwa Israel perlu diperdamaikan dengan Allah. Secara apriori konsep inkarnasi dikucilkan; jurang antara Pencipta dengan ciptaan-Nya terlalu lebar dan dalam.

             Silang nalar antara Yudaisme dan gereja yg makin berjaya, membuat Yudaisme makin kuat menekankan transendensi Allah, sehingga hampir tak mungkin lagi ada tempat bagi imanen riil. Keimanenan yg terus-menerus ditekankan dalam ibadah penyerahan diri orang Yahudi selalu bersifat semi panteistik — menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta. Doktrin kemanunggalan Allah dibatasi dengan istilah-istilah yg membuat doktrin Tritunggal suatu kekejian. Perihal Allah luas diinformasikan tapi dalam rangka menyangkali atau mengebiri citra-Nya, sehingga Dia makin tak dapat dikenal, kecuali melalui pekerjaan-pekerjaan-Nya. Kendati demikian asas PL yg ada pada Yudaisme sudah dalam berakar di hati orang Yahudi yg saleh, sehingga tak bisa menerima ajaran demikian dan berulang-ulang berusaha menempuh jalan mistisisme.

       KEPUSTAKAAN.
  • H Danby (terj.), The Mishnah, 1933; I Epstein (red.), The Talmud, terjemahan Inggris 35 jilid, 1935-1952; H. L Strack, Introduction to the Talmud and Midrash, 1931;
  • G. F Moore, Judaisme in the First Centuries of the Christian Era, 3 jilid, 1927, 1930;
  • E Schurer, HJP, 1, 1973; H. L Strack dan P Billerbeck. Kommentar zum Neuen Testament aus Talmud and Midrash, 4 jilid, 1922-1928;
  • C. G Montefiore dan H Loewe, A Rabbinic Anthology, 1938;
  • J Parkes, The Principles of the Jewish Faith, 1964;
  • RA Stewart, Rabbinic Theology, 1961; S Safrai dan M Stern (red.), The Jewish People in the First Century, 2 jilid, 1974, 1976.



No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...