Dalam Yudaisme
kedudukan anak dipandang tinggi sekali, seperti terang terbukti dalam beberapa
bagian Misyna dan Talmud. Mengenai hal ini, Yesus mengajarkan tingginya nilai
anak-anak, baik melalui perlakuan-Nya yg lembut terhadap mereka, maupun dalam
ajaran-Nya mengenai mereka. Justru dalam PL, Apokrifa dan Misyna, ada beberapa
kitab sumber untuk mempelajari pendidikan, yaitu: Ams, Yesus bin Sirakh,
Kebijaksanaan Salomo dan Pirqe Abot, terpisah dari singgungan-singgungan dalam
kitab-kitab lainnya. Pada pihak lain, keterangan rinci mengenai pengajaran
resmi hanya sedikit. Memang agak ganjil, bahwa kata Yunani ‘skhole (= sekolah)
hanya terdapat satu kali dalam Kitab Suci, dan itu pun hanya memaksudkan ruang
kuliah saja, yg dipinjam oleh Paulus (#/TB Kis 19:9*), bukan memaksudkan suatu
sekolah Yahudi atau Kristen.
I. Hubungan sekolah pertama dengan agama
Ada tiga
peristiwa mencolok dalam sejarah pendidikan Yahudi. Dan peristiwa-peristiwa ini
berpusat pada tiga pribadi, yaitu Ezra, Simon bin Syetah dan Yosua bin Gamala.
Adalah Ezra yg menetapkan Kitab Suci (seperti yg ada pada waktu itu) sebagai
dasar untuk pengajaran resmi; dan para penerusnya melanjutkannya dengan
menjadikan sinagoge tempat mengajar maupun tempat ibadah. Simon bin Syetah
mengundangkan kr thn 75 sM, bahwa pendidikan dasar diwajibkan. Yosua bin Gamala
meningkatkan organisasi yg sudah ada, dengan mengangkat guru di tiap propinsi
dan kota, satu abad kemudian. Tapi di luar itu tidaklah mudah menentukan
tanggal setiap upaya pembaruan. Asal mula sinagoge sekalipun masih gelap,
walaupun itu dianggap mungkin timbul pada zaman Pembuangan. Schurer meragukan
kebenaran sifat kesejarahan dari pemberlakuan undang-undang Simon bin Syetah,
walaupun kebanyakan ahli menerimanya. Bagaimanapun juga, bukan Simon yg
menetapkan kewajiban berpendidikan sekolah dasar itu. Ia hanya memperluas
penerapannya saja. Simon dan Yosua sama sekali tidak mencampuri
kebiasaan-kebiasaan dan metode yg berlaku, dan memang Ezra pun hanya
memantapkan hubungan agama yg semula dengan hidup sehari-hari. Justru lebih
baik membagi uraian ini menurut pokok-pokok daripada menurut tanggal, karena
tidak seorang pun dari ketiga tokoh itu mengadakan perubahan-perubahan
mendasar.
II. Perkembangannya
Tempat
belajar pada mulanya adalah rumah, dan para pengajar ialah orangtua; dan
pengajaran di rumah ini tetap merupakan bagian penting sepanjang zaman Alkitab.
Dalam perkembangan pendidikan ini, di kemudian hari sinagoge menjadi tempat
mengajar. Memang PB dan Filo menopang pandangan Schurer, bahwa tujuan utama
dari sinagoge ialah bersifat pengajaran, dan kemudian hanya bersifat ibadah;
pelayanan Yesus di sinagoge ialah ‘mengajar’ (bnd #/TB Mat 4:23*). Muda-mudi
diajar di gedung sinagoge atau di rumah yg berdekatan. Di kemudian hari guru
mengajar di rumahnya sendiri, seperti terbukti dari ungkapan Aram
untuk’sekolah’, yaitu bet safera, harfiah ‘rumah guru’ atau ‘rumah pengajar’.
Serambi-serambi Bait Suci ternyata sangat berguna bagi para rabi, dan Yesus melaksanakan
banyak pengajaran-Nya di sana (bnd #/TB Mat 26:55*). Pada zaman Misynah, para
rabi utama memiliki sekolah-sekolah mereka sendiri untuk perguruan tinggi.
Corak ini mungkin bermula pada zaman Hilel dan Syamai dua orang rabi termasyhur
pada abad 1 sM. Suatu sekolah dasar disebut bet has-sefer, ‘rumah kitab’,
sedang sekolah untuk pendidikan tinggi disebut bet midrasy ‘rumah penelitian.’
Image 00053
III. Mengajar sebagai tugas tetap
Pengajar-pengajar pertama ialah orangtua seperti sudah kita lihat,
kecuali dalam hal pendidikan anak-anak raja (#/TB 2Raj 10:1*). Pentingnya tugas
ini ditekankan di sana sini dalam Pentateukh (ump #/TB Ul 4:9*). Bahkan sampai
pada zaman Talmud pun masih termasuk tanggung jawab orangtua untuk mengajarkan
Taurat, mengajarkan keterampilan kerja dan mengawinkan anaknya. Sesudah zaman
Ezra timbul suatu pekerjaan baru, yaitu pekerjaan para ahli Taurat (sofer),
yaitu pengajar di sinagoge. Tapi pada zaman PB sifat para ahli Taurat berubah.
‘Orang berhikmat’ agaknya sudah menjadi serikat sekerja yg berbeda dari
kelompok ahli Taurat, tapi sifat dan tugas mereka yg pasti masih belum jelas.
Sudah pasti bahwa ‘orang berhikmat’ berulang kali disebut dalam Kitab Ams dan
sastra hikmat yg kemudian.
Pada zaman PB ada tiga golongan guru,
yaitu khakham, sofer dan khazzan (’ petugas’), dalam urutan menurun. Diduga
Nikodemus termasuk golongan tertinggi, ‘para ahli Taurat’ (#/TB Luk 5:17*, di
sini kata Yunaninya ialah nomodidaskalos) termasuk golongan terendah. Istilah
umum ‘guru’ (Ibrani melammed; Aram safera) biasanya dipakai untuk golongan
paling rendah. Tapi gelar-gelar kehormatan yg diberikan kepada para guru (yaitu
rabi dst) mengisyaratkan tanda hormat terhadap kedudukan mereka. Idealisnya
mereka seharusnya tidak digaji untuk mengajar, tapi kerapkali dengan khayalan
hormat mereka diberi suatu upah untuk ‘waktu yg mereka luangkan’, bukan untuk
pekerjaan. Kitab Eklesiastikus 38:24 dab menganggap pekerjaan kasar dengan
tangan di bawah martabat guru; disamping itu, waktu luang merupakan penopang yg
harus ada, demi tugasnya. Tapi kemudian ada banyak rabi yg mempelajari suatu
kejuruan. Pandangan Paulus dapat dilihat dalam #/TB 1Kor 9:3* dab. Talmud
memberikan ketentuan keras tentang syarat-syarat guru. Sangat menarik
perhatian, bahwa tidak satu pun dari syarat itu yg menuntut pendidikan
akademis, semuanya bersifat susila, kecuali peraturan-peraturan yg menentukan
bahwa guru ‘harus laki-laki dan harus kawin.
IV. Wawasan
pendidikan
Wawasan ini
tidak begitu luas pada zaman kuno. Si anak biasanya belajar petunjuk susila
dari ibunya, dan suatu kejujuran — umumnya mengenai pertanian, ditambah sedikit
pengetahuan tentang agama dan tata ibadah, dari ayahnya. Saling mempengaruhi
antar keagamaan dengan hidup pertanian akan terbukti sendiri pada tiap pesta
(bnd #/TB Im 23*, passim). Pesta-pesta itu mengajarkan juga sejarah keagamaan
(bnd #/TB Kel 13:8*). Jadi pada saat permulaan sekalipun, hidup sehari-hari
bersama kepercayaan dan praktik keagamaan tidak dapat dipisahkan. Hal ini lebih
mencolok berlaku dalam sinagoge, karena di sana satu-satunya kekuasaan ialah
Kitab Suci, baik untuk kepercayaan maupun perilaku sehari-hari. Memang, hidup
itu sendiri dianggap sebagai suatu ‘didikan’ (Ibrani musar, suatu kata yg
sering muncul dlm Ams ump #/TB Kel 1:2,7; 4:13* dab). Maka pendidikan bersifat
dan tetap bersifat keagamaan dan susila, dengan #/TB Ams 1:7* sebagai mottonya.
Kemampuan membaca termasuk syarat dasar untuk meneliti Kitab Suci; kemampuan menulis
nampaknya kurang pentingnya walaupun hal itu sudah merupakan kebutuhan pada
zaman #/TB Hak 8:14*. Ilmu hitung dasar diajarkan juga. Bahasa tidak diajarkan
secara khusus, tapi baiklah diingat bahwa karena bh Aram menjadi bahasa
sehari-hari, maka penelitian Kitab Suci Ibrani menjadi latihan (ilmu) bahasa.
Pendidikan
anak-anak perempuan Israel seluruhnya di tangan ibu mereka. Mereka mempelajari
keterampilan rumah tangga, petunjuk susila sederhana, dan mereka diajar membaca
supaya bisa membaca Taurat. Tapi pendidikan mereka dianggap penting, dan
malahan mereka didorong untuk mempelajari suatu bahasa asing. Ibu raja Lemuel
kelihatannya terbukti menjadi guru yg cakap bagi Lemuel sendiri (#/TB Ams
31:1*); ps ini menunjukkan juga sifat dari ibu yg ideal.
V. Metode dan tujuan
Metode
pengajaran sebagian besar ialah mengulangi; kata kerja Ibrani syana yg artinya
‘mengulangi’, kemudian mendapat arti ‘belajar’ dan ‘mengajar’ juga. Maka
digunakanlah muslihat-muslihat tahan ingat seperti akrostik. Kitab Suci menjadi
buku pegangan, tapi bahwa kitab-kitab lainnya juga dikenal dibuktikan oleh #/TB
Pengkh 12:12*. Makna tempelak dikenal (#/TB Ams 17:10*, hardikan), tapi tekanan
yg diberikan pada penghajaran badani terdapat dalam Kitab Ams dan Yesus bin
Sirakh. Pada zaman Misyna didikan menjadi jauh lebih halus lembut.
Hingga ke
suatu kurun waktu yg cukup lama, kebiasaan bagi murid ialah duduk di tanah
dekat kaki gurunya, seperti (yg dilakukan) Paulus dekat kaki Gamaliel (#/TB Kis
22:3*). Bangku (safsal) adalah ciptaan di kemudian hari.
Seluruh
tujuan pendidikan Yahudi ialah menjadikan orang Yahudi (hidup) kudus, terpisah
dari tetangganya dan menerapkan ajaran agama dalam kehidupan praktis. Namun tak
dapat diragukan adanya sekolah-sekolah menurut pola Yunani, terutama dalam
abad-abad terakhir sM, dan memang Yesus bin Sirakh mungkin ditulis untuk
memerangi kekurangan-kekurangan dalam pengajaran non-Yahudi seperti itu.
Sekolah-sekolah yg bersifat Helenis bahkan di Palestina pun ada, tapi tentu
lebih banyak di tengah-tengah masyarakat Yahudi di tempat-tempat lain, terutama
di Aleksandiia
Dalam gereja
pertama sang anak dan orangtua dinasihati bagaimana berkelakuan sepatutnya yg
satu terhadap yg lain (#/TB Ef 6:1,4*). Pejabat-pejabat gereja harus tahu mengendalikan
anak-anaknya sendiri. Pada zaman dahulu tak ada sekolah Kristen, karena (antara
lain) gereja terlalu miskin untuk membiayainya. Tapi anak-anak turut dalam
persekutuan jemaat, dan mereka pasti mendapat pengajaran-pengajaran di sana
disamping di rumah.
Pembentukan Karakter Hamba Tuhan
Dalam segala kegiatan
pelayanan baik organisasi rohani maupun sekuler. Setiap orang pasti mempunyai
alasan tersendiri mengapa seseorang bersedia melakukan pekerjaan tertentu atau
mengapa orang yang satu bekerja lebih giat sedangkan yang lainnya bekerja biasa
saja. Tentulah semua ini memiliki dasar
alasan tersendiri yang menyebabkan
seseorang bersedia bekerja seperti itu atau dengan kata lain pasti ada hal yang
mendorongnya. Motivasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak di dalam
diri setiap individu yang menimbulkan kegiatan untuk melakukan sesuatu yang
lebih dan menjamin kelangsungan dari tindakan apa yang akan dilakukannya.
Sehingga tujuan yang dikehendaki itu dapat tercapai. Motivasi Melayani
merupakan faktor yang paling menentukan dalam memenuhi segala hal yang ingin
dilakukukan.
Di zaman yang serba
maju ini, banyak hamba Tuhan yang tidak dapat menggunakan waktu dengan efektif.
Banyak pelayanan
dilalaikan karena sibuk dengan kepentingan pribadi, waktu yang
dipergunakan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Merupakan catatan dari segala
sesuatu menjadi bagian dalam hidupnya,
yang dilakukan di pikirkan, serta harus bertanggung jawab untuk melaksanakan
tugas dengan baik demi kemuliaan nama Tuhan. Pada
masa sekarang ini
orang lebih banyak melayani hanya untuk mendapatkan kehormatan dan ingin
di puji oleh orang lain, mencari keuntungan, serta
jabatan dan lain-lain.Bahkan
hanya bisa berkata-kata
menyampaikan Firman Tuhan, sementara tidak pernah mempraktikan apa yang telah
disampaikan. Semuanya hanya sebatas mengucapkan di bibir, sementara praktiknya
tidak ada sama sekali, lebih mementingkan diri,kurang ada kesatuan, sikap saling
mengasihi, dan kurang ada sifat
tolong-menolong. Bersungut-sungut dalam menjalankan pelayanan, menganggap
sepele atas tugas yang diberikan serta
melalaikan tanggung
jawab yang telah Tuhan percayakan kepada mereka.
“Jadilah teladan, sebagai pemberita injil, kita
harus menjadi teladan kepada orang-orang yang ditempatkanAllah dibawah
pengawasan kita. Itulah yang saya coba lakukan dalam segala sesutau yang saya
tangani”[1] Tolok ukur kualitas
kehidupan suatu komunitas adalah karakter yang
baik. Karakter yang baik diperoleh dari pendidikannya.Pendidikan kepribadian
merupakan salah satu pendidikan karakter agar orang yang didik memiliki watak
yang baik. Karakter yang berhasil diharapkan akan membentuk seseorang yang
jujur, sopan, disiplin, tanggungjawab, rajin, mencintai dan mengasihi orang
lain.Tanggung jawabhamba Tuhan tidaklah hanya membangun spiritualitas
jemaatnya, namun juga bagaimana hamba Tuhan mempengaruhi dan
membangun karakter komunitasnya.
Sering kali orang-orang banyak bercerita tentang hal rohani namun
sering kali juga lupa untuk menyinggung
hal-hal duniawi. Masih hidup dalam dunia, jelas pula mereka
mempunyai keinginan untuk menjadi pribadi-pribadi yang sukses. Dalam menemukan
tujuan hidup tersebut harus diawali dengan penemuan jatidiri, seperti dikatakan
oleh Guana Tandjung bahwa: “Penemuan jatidiri akan menjadi titik awal seseorang
melangkah untuk menemukan tujuan dan makna hidupnya. Selanjutnya, tujuan hidup
akan diwujudkan dalam sebuah visi kehidupan yang lahir melalui keintiman dengan
Tuhan.”[2]Banyak pengajaran Yesus yang
menekankan perubahan
karakter pada orang yang menerima-Nya sebagai Juru Selamat. Cerminan lain dari
Kelahiran Kembali adalah karakter lama telah mati bersama dosa dan bangkit
dengan karakter baru yang dipulihkan oleh karya keselamatan Yesus.Pertumbuhan
rohani pun akan berdampak pada pembangunan karakter. Saat spiritual bertumbuh,
karakter terus dibangun menjadi sama dengan karakter Yesus yang diteladani oleh
Rasul Paulus.
Hamba Tuhan bukanlah orang yang telah
sempurnanamun,ia dapat menjadi
teladan bagi jemaatnya. Jangan seorang pun
menganggap engkau rendah karena engkau muda.” Jadilah teladan bagi
orang-orang percaya, dalam perkataan mu, dalam tingkah laku mu, dalam
kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” ( 1 Tim 4:12). Menurut
ayat di atas keteladanan itu dalam perkataan, tingkah laku (dalam arti luas),
kasih, kesetiaan, kesucian, integritas hati, serta
tingkah laku. Prinsip keteladanan ini sangat ditekankan Paulus (I Kor. II:1;
Fil. 3:17). Ini merupakan prinsip dasar kehidupan dalam kekristenan. Dengan
demikian pengajaran
paulus tentang keteladanan masih relevan sampai masa kini. Sebagai
hamba Tuhan harus menunjukan kehidupan yang selaras dengan ajarannya artinya
perlu ada pengawasan diri maka, akan berdampak terhadap orang lain dan berharga
di mata Tuhan(I
Tim. 4:16).“Menjadi manusia yang
berharga di mata Tuhan dan sesama merupakan impian setiap insan Kristiani.”[3]
Gaya hidup yang berpengaruh positif merupakan,
suatu teladan yang bermanfaat sehingga banyak orang mengikutinya.
Seorang pemimpin haruslah orang yang berpengaruh. Jika tidak, tidak
seorang pun meneladanidan
mengikutinya. Ketika pemimpin tidak diikuti oleh orang yang ia pimpin, ia sama
dengan orang yang berjalan di tempat. Apa yang ia lakukan tidak bermanfaat dan
tidak berpengaruh. John C. Maxwel, pakar kepemimpinan , berkata, “ukuran sejati
kepemimpinan adalah pengaruh-tidak lebih tidak kurang. Jika anda tidak memiliki
pengaruh, anda tidak pernah dapat memimpin orang lain”[4]
Menjadi
orang yang berpengaruh merupakan
keinginan setiap orang yang bekerja baik di dunia sekuler
maupun rohani, oleh sebab itu yang diinginkan Paulus dalam surat Filipi pasal 3 ialah menjadi teladan dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan pengajaran yang
benar tentang Kristus sehingga memiliki fokus dan tujuan yang jelas dalam memimpin orang
lain serta mengarahkan
pandangan kepada panggilan sorgawi.Keteladanan Rasul Paulus dalam pelayananmembuktikan bahwa dalam setiap pelayanan ia menaruh
seluruh hidup kepada Tuhan sehingga semua dapat dilalui dengan sukacita walaupun banyak masalah-masalah dan persolan yang terjadi dan dialaminya.
Latar
Belakang
Tantangan moral dan
dokrinal inilah yang sering menjadi ‘mesin penghancur’ hamba
Tuhandalam pelayananya.
Moralitashamba Tuhan makin menurun,
penyesatan makin marak
dalam berbagai macam wujudnya.Benteng moralitas para hamba
Tuhan telah diruntuhkan sehinggah mereka kembali lagi pada dunia lamanya.
Kembali mencari popularitas semu, dan keserakahan, materialistis. Bukan
rahasia lagi bahwa banyak hamba Tuhan telah tersandung skandal seksual.
Akibatnya, dirinya dipermalukan, rumah tangganya kacau, pelayanannya hancur
berantakan. Sementara sebagian yang lain, membangun pelayanan guna meraih
popularitas diri. Mimbar pelayanan berubah menjadi pentas entertainment. Para
hamba Tuhan berubah menjadi idola yang membius massa
dengan kepuasan perasaan sesaat.
Pertama, karena adanya ajaran-ajaran sesat, guru-guru palsu
yang menentang ajaran-ajaran Paulus
dalam surat Filipi pasal 3. J.Wessley Brill, menjelaskan bahwa:
Rasul Paulus menentang pengajaran mereka yang sesat. Mereka yang
berpegang pada pengajaran itu mengaku dirinya sahabat dan pengikut Injil,
tetapi sebenarnya mereka adalah musuh-musuh Injil. Separuh daripada mereka
berkata bahwa tubuh semata-mata jahat dan tidak dapat diperbaiki lagi dan oleh
sebab itu kita tidak usah menahan diri. Yang lainnya berkata, “Baiklah kita bertekun dalam dosa supaya semakin bertambah kasih
karunia itu.” Mereka hidup dalam kenajisan dan menurut hawa nafsu saja. Pengajaran
tentang Taurat dan juga pengajaran salah tentang kebebasan dalam Injil, sukar
dihilangkan. Kesudahan mereka tidak lain daripada kebinasaan, dan perut menjadi
Tuhan mereka, yang berarti mereka suka menurut segala hawa nafsu yang umum
kepada manusia. Orang itu suka membuat suatu allah bagi dirinya yang berdasar
atas pengetahuan dan perasaan pancaindera saja, Itu sama saja dengan membuat
suatu berhala, lalu menyembahnya. Mereka. menyombongkan diri mengenai hal-hal
memalukan yang mereka sendiri anggap mulia. Mereka juga suka campur dalam
perkara dosa. Mereka itu tidak dapat memikirkan hal-hal yang lebih tinggi
daripada perkara-perkara duniawi yang mereka nikmati. Mereka menyebut diri
orang Kristen, tetapi mereka menyangkal pengajaran Kristen yang sebenarnya.[5]
Dengan demikian Rasul Paulus tetap menasehati dan mengajarkan tentang kebenaran sejati di dalam Yesus Kristus yang adalah Juruselamat:
Ajaran Paulus yaitu bahwa
kita diselamatkan hanya oleh karena anugerah, bahwa keselamatan adalah
pemberian Allah dengan cuma-cuma, dan bahwa kita tidak dapat memilikinya
kecuali menerima dengan rendah hati dan rasa hormat yang dalam terhadap apa
yang ditawarkan Allah kepada kita; dan lebih lanjut, bahwa tawaran Allah itu di tunjukan kepada segala bangsa dan tak seorang pun yang dikecualikan.[6]
Kedua, karena adanya gereja
atau orang percaya ketika dalam pelayanan lebih menekankan berkat dari pada
Kristus artinya lebih fokus kepada materi. Ranto Sari Siahaan mengatakan bahwa:
Pada saat ini banyak
gereja tidak berfokus pada Kristus dalam pelayanan dan pembertitaannya. Mereka
lebih menekankan pada berkat. Gereja tanpa sadar sedang menciptakan suatu
generasi umat Tuhan yang materialistis. Banyak orang percaya pergi ke gereja
supaya mendapat berkat, keluarganya baik, usahanya lancar, sehat atau hal lain.
Untuk menarik orang supaya datang, gereja menawarkan berkat-berkat yang akan
mereka terima jika mereka datang ke gereja. Mereka tidak menawarkan Tuhan Yesus.
Gereja dan orang percaya lebih fokus pada berkat daripada sumber berkat.[7]
Oleh karena itu fokus kepada Kristus sangat penting.
Orang yang berfokus pada Kristus akan mampu mencapai sasaran ilahi dalam
hidupnya, menjadi seperti Kristus, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh
pengajaran-pengajaran palsu.
Ketiga, Keruntuhan moralitas disebabkan oleh
minimnya besic teologi dan rapuhnya dasar bangunan rohaninya, karena hamba
Tuhan tersebut tidak berpendidikan teologi yang
resmi. Akibatnya karakter dari hamba
Tuhan tersebut tidak
mencerminkan seorang hamba Tuhan yang seharusnya
sehingga lebih mudah jatuh dan kembali ke dunia lamanya. Sebaliknya ada yang
sudah memiliki dasar rohani yang kokoh, jelas danbenar namun dalam
pelaksanaannya kehilangan keseimbangan sehingga mulai menyesatkan
jemaat. Seperti apa yang dikatakan oleh Pdt. Dr. Wagiyono Sumarto
bahwa:
Bahwa peran pendidikan teologi dan …sangat
besar dalam dan ikut membentuk karakter para hamba Tuhan tanpa mengesampingkan
peran orang tua dalam mentranformasikan karakter dasar dan perkembangan
kepribadian. Penulis mengamati banyak para hamba Tuhan gagal di tengah jalan
bukan karena kurang memenuhi abilitas tuntutan akedemis, tetapi karena karakternya yang lama kumat lagi.[8]
Selain
itu, ada juga yang mendapat gelar kesarjanaan melalui jalan pintas sangat tidak
pantas itu merupakan tindakan penipuan terhadap semua kalangan orang Kristen,
seperti dikatakan oleh Chris Marantika, ThD., D.D bahwa:
Gelar-gelar jalan pintas bukan saja memalukan
Tuhan dan menghina martabat teologi, tetapi juga menipu umat dan membuka
gerbang bagi teologi-teologi kekinian yang melecehkan Allah, Alkitab, Kristus
dan Rohul kudus. Kita tetap saling mengasihi, namun kita harus paham bahawa
SCHOLARSHIP IS A STEWARDSHIP. Atau KESARJANAAN ADALAH PENGABDIAN. PROSES MEMPEROLEH DAN MEMAKAI
KESARJANAAN ADALAH PENGABDIAN KEPADA ALLLAH. Jalan pintas menuju kesarjanaan,
S1, S2, dan S3 adalah penghinaan kepada Tuhan Yesus Krisrus.[9]
Masalah-masalah
demikian akan melahirkan hamba-hamba Tuhan yang tidak
berkompeten di bidangnya. Hal seperti ini menyebabkan gereja yang mereka bangun
tidak mengalami pertumbuhan yang baik, dalam hal ini
pertumbuhan iman pengikutnya.
Keempat, karena adanya hamba Tuhan maupun umat Kristen yang jatuh dalam hal keduniawian; keinginan-keinginan diri
sendiri, kesombongan, materialisme, individualisme, dan pengagungan
diri. Tidak
mengherankan bila banyak media memberitakan tidak hanya mengenai para politikus
yang berjatuhan, tetapi juga para pendeta yang menggelapkan dana gereja atau
yang melakukan perzinahan-perzinahan terselubung. Pdt. Yakobus Handjojo Wijaya
dalam bukunya yang berjudul Ikabot Kemulian Yang Lenyap menyatakan bahwa:
Sangat menyedihkan memang kejatuhan dari
pada hamba-hamba Tuhan atau pemimpin rohani yang sudah pernah dipakai oleh
Tuhan ini. Iblis memakai sex dalam bentuk perzinahan, perselingkuhan (bagi yang
sudah berkeluarga) pergaulan bebas (free sex, free love, khususnya kaum muda)
ada juga hamba Tuhan yang menjadi homo secara tersamar maupun lesbi.[10]
Kisah-kisah seperti ini
sangat laris terjual karena merupakan contoh kemunafikan yang terang-terangan.
Memang ada sedikit sensasi, tetapi bagaimana reaksi orang awam yang
menyadari kemunafikan para pemimpin tersebut, khususnya yang berasal dari
kalangan gereja yang merasa berhak menuntut orang lain bagaimana seharusnya
berperilaku namun, tidak dapat menunjukkan keteladan yang
baik. Jika hamba Tuhan seperti ini akan menjadi batu sandungan dan
buah bibir bagi orang-orang yang dilayaninya.A. B.
Sutanto, mengatakan masalah-masalah yang terjadi saat-saat ini, bahwa:
Yang menjadi masalah di sini adalah kita masih berada dalam dunia
ini, masih harus berhadapan dengan hal-hal keduniawian , materialisme,
individualisme, dan berbagai hal yang acap kali menghambat kita hidup dalam
damai dan kasih Tuhan, menurunkan derajat kita sebagai manusia. Kita semua kini
sedang berhadapan dengan perjuangan menuju pemenuhan diri untuk melawan segala
hawan nafsu, ketidakadilan yang eksis dalam dunia ini. Sesungguhnya sangat
jelas, berapa banyak kasus dimana individualisme dan pengagungan diri menjadi
dasar tujuan diambilnya keputusan yang menyangkut hayat hidup orang banyak,
berapa banyak karunia-karunia yang diberikan Allah dimanfaatkan untuk
kemakmuran pribadi (pengekspoloitasian alam dan pencemaran lingkungan), kasus
korupsi dan kolusi dan sebagainya, mengapa semua itu tetap berlangsung di dunia
ini, seakan-akan keadilan Tuhan tidak berperan apa-apa?. Keprihatian tersebut
janganlah membuat kita takut dan berputus asa, karena Yesus telah memberikan
sesuatu tuntutan cemerlang menyangkut bagaimana sebaiknya kita memahami situasi
dan kondisi dunia ini serta bagaimana menempatkan diri kita ditengah-tengah
hiruk-pikuk kehidupan.[11]
Kehidupan kekristen yang harus diperhatikan ialah gaya hidup yang
mencerminkan Kristus, berdampak posistif dan menjadi teladan untuk semua,supaya
orang bisa melihat kasih dan damai sejahtera dari Yesus Kristus, yang di
teladani oleh Rasul Paulus itu sendiri kepada hamba-hamba Tuhan masa kini. George
Bloomer, menjelaskan tentang hal-hal yang sementara
terjadi dikalangan hamba Tuhan atau para pemimpin gereja bahwa:
Seringkali
gereja yang suka melecehkan jemaat adalah gereja yang telah pecah atau terusir
dari satu gereja yang kokoh, sebab pemimpinnya
tidak memiliki toleransi untuk berada di bawa otoritas. Ia begitu menginginkan
kekuasaan penuh. Keinginginannya untuk berpengaruh menuntut ia merebut posisi
kepemimpinan. Kadang-kadang ia merasa bahwa pengalaman-pengalamannya memberikan
semacam prespektif khusus, seolah-olah ia telah “membayar kewajibannya”;
kadang-kadang ia hanya ingin menunjukan bahwa dirinya begitu penting. Tanpa
memandang alasannya, ia merasa memerlukan posisi pemegang otoritas untuk
menarik dan mengendalikan orang-orang berbakat besar. Ia kemudian menggunakan
orang-orang ini sebagai fasilitataor untuk mengokohkan dan mengembangkan
posisinya sebab ia tidak percaya satu pun karunia atau kemampuan yang ia
miliki.Fasilitator-fasilitator seperti ini akan membantu si penyalah guna
otoritas ini menciptakan suasana penuh kendali.[12]
Rasul
Paulus menjelaskan dalam Surat Filipi 2:3 “hendaklah kamu....tidak mencari kepentingan sendiri atau
puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah
dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari
pada dirinya sendiri.” Ketika seorang pelayan atau hamba Tuhan sudah tidak
mempercayai karunia yang dianugerahkan Allah kepadannya lebih cenderung kepada
keinginan pribadi, maka terjadilah pengandalan diri berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang membawa kepada keangkuhan diri. Bersambung
[1]Dr. Frederick K. C. Price, Saran-saran Parktis untuk Pelayanan yang Berhasil,
Jakarta: Yayasan Pekabaran Injill Immanuel, 1993), 35.
[2]Guana
Tandjung, Pemenang Kehidupan,
(Yogyakarta: ANDI, 2005), 4.
[3]A. B. Sutanto, Meneladani Yesus sebagai pemimpin,
Yogyakarta: Andi Offset, 2006), 176.
[4]Jonar T.H. Situmorang, Kekristenan yang Radikal, (Yogyakarta:
Andi offset, 2012), 1.
[5]J.Wessley
Brill. Tafsiran Surat Filipi. (Bandung:Yayasan Kalam Hidup, 2006),
107-108.
[6]Ibid,108.
[7]Ranto
Sari Siahaan,Berubah Untuk Berbuah,
(Yogyakarta: ANDI, 2010), 66.
[8]Pdt. Dr. Petrus Octavianus,70 Tahun Dipanggil untuk Melayani. (Malang:
Departemen Literatur YPPII, 1998), 261.
[9]Pdt. Dr. Petrus Octavianus, 70 Tahun Dipanggil untuk Melayani, (Malang: Departemen Literatur YPPII, 1998), 76.
KEPUSTAKAAN
W Barclay, Educational Ideals in the Ancient World, 1959, ps
1,6;
F. H Swift, Education in Ancient Israel, 1919; E.13 Castle,
Ancient Education and Today, 1961, ps 5; TDNT 5, hlm 596-625; IDB; EJ.
No comments:
Post a Comment