Thursday, January 4, 2018

PENDIDIKAN vs Pembentukan Karakter Hamba Tuhan



PENDIDIKAN vs Pembentukan Karakter Hamba Tuhan
       Dalam Yudaisme kedudukan anak dipandang tinggi sekali, seperti terang terbukti dalam beberapa bagian Misyna dan Talmud. Mengenai hal ini, Yesus mengajarkan tingginya nilai anak-anak, baik melalui perlakuan-Nya yg lembut terhadap mereka, maupun dalam ajaran-Nya mengenai mereka. Justru dalam PL, Apokrifa dan Misyna, ada beberapa kitab sumber untuk mempelajari pendidikan, yaitu: Ams, Yesus bin Sirakh, Kebijaksanaan Salomo dan Pirqe Abot, terpisah dari singgungan-singgungan dalam kitab-kitab lainnya. Pada pihak lain, keterangan rinci mengenai pengajaran resmi hanya sedikit. Memang agak ganjil, bahwa kata Yunani ‘skhole (= sekolah) hanya terdapat satu kali dalam Kitab Suci, dan itu pun hanya memaksudkan ruang kuliah saja, yg dipinjam oleh Paulus (#/TB Kis 19:9*), bukan memaksudkan suatu sekolah Yahudi atau Kristen.
I. Hubungan sekolah pertama dengan agama
          Ada tiga peristiwa mencolok dalam sejarah pendidikan Yahudi. Dan peristiwa-peristiwa ini berpusat pada tiga pribadi, yaitu Ezra, Simon bin Syetah dan Yosua bin Gamala. Adalah Ezra yg menetapkan Kitab Suci (seperti yg ada pada waktu itu) sebagai dasar untuk pengajaran resmi; dan para penerusnya melanjutkannya dengan menjadikan sinagoge tempat mengajar maupun tempat ibadah. Simon bin Syetah mengundangkan kr thn 75 sM, bahwa pendidikan dasar diwajibkan. Yosua bin Gamala meningkatkan organisasi yg sudah ada, dengan mengangkat guru di tiap propinsi dan kota, satu abad kemudian. Tapi di luar itu tidaklah mudah menentukan tanggal setiap upaya pembaruan. Asal mula sinagoge sekalipun masih gelap, walaupun itu dianggap mungkin timbul pada zaman Pembuangan. Schurer meragukan kebenaran sifat kesejarahan dari pemberlakuan undang-undang Simon bin Syetah, walaupun kebanyakan ahli menerimanya. Bagaimanapun juga, bukan Simon yg menetapkan kewajiban berpendidikan sekolah dasar itu. Ia hanya memperluas penerapannya saja. Simon dan Yosua sama sekali tidak mencampuri kebiasaan-kebiasaan dan metode yg berlaku, dan memang Ezra pun hanya memantapkan hubungan agama yg semula dengan hidup sehari-hari. Justru lebih baik membagi uraian ini menurut pokok-pokok daripada menurut tanggal, karena tidak seorang pun dari ketiga tokoh itu mengadakan perubahan-perubahan mendasar.
II. Perkembangannya
          Tempat belajar pada mulanya adalah rumah, dan para pengajar ialah orangtua; dan pengajaran di rumah ini tetap merupakan bagian penting sepanjang zaman Alkitab. Dalam perkembangan pendidikan ini, di kemudian hari sinagoge menjadi tempat mengajar. Memang PB dan Filo menopang pandangan Schurer, bahwa tujuan utama dari sinagoge ialah bersifat pengajaran, dan kemudian hanya bersifat ibadah; pelayanan Yesus di sinagoge ialah ‘mengajar’ (bnd #/TB Mat 4:23*). Muda-mudi diajar di gedung sinagoge atau di rumah yg berdekatan. Di kemudian hari guru mengajar di rumahnya sendiri, seperti terbukti dari ungkapan Aram untuk’sekolah’, yaitu bet safera, harfiah ‘rumah guru’ atau ‘rumah pengajar’. Serambi-serambi Bait Suci ternyata sangat berguna bagi para rabi, dan Yesus melaksanakan banyak pengajaran-Nya di sana (bnd #/TB Mat 26:55*). Pada zaman Misynah, para rabi utama memiliki sekolah-sekolah mereka sendiri untuk perguruan tinggi. Corak ini mungkin bermula pada zaman Hilel dan Syamai dua orang rabi termasyhur pada abad 1 sM. Suatu sekolah dasar disebut bet has-sefer, ‘rumah kitab’, sedang sekolah untuk pendidikan tinggi disebut bet midrasy ‘rumah penelitian.’

Image 00053

III. Mengajar sebagai tugas tetap
          Pengajar-pengajar pertama ialah orangtua seperti sudah kita lihat, kecuali dalam hal pendidikan anak-anak raja (#/TB 2Raj 10:1*). Pentingnya tugas ini ditekankan di sana sini dalam Pentateukh (ump #/TB Ul 4:9*). Bahkan sampai pada zaman Talmud pun masih termasuk tanggung jawab orangtua untuk mengajarkan Taurat, mengajarkan keterampilan kerja dan mengawinkan anaknya. Sesudah zaman Ezra timbul suatu pekerjaan baru, yaitu pekerjaan para ahli Taurat (sofer), yaitu pengajar di sinagoge. Tapi pada zaman PB sifat para ahli Taurat berubah. ‘Orang berhikmat’ agaknya sudah menjadi serikat sekerja yg berbeda dari kelompok ahli Taurat, tapi sifat dan tugas mereka yg pasti masih belum jelas. Sudah pasti bahwa ‘orang berhikmat’ berulang kali disebut dalam Kitab Ams dan sastra hikmat yg kemudian.
          Pada zaman PB ada tiga golongan guru, yaitu khakham, sofer dan khazzan (’ petugas’), dalam urutan menurun. Diduga Nikodemus termasuk golongan tertinggi, ‘para ahli Taurat’ (#/TB Luk 5:17*, di sini kata Yunaninya ialah nomodidaskalos) termasuk golongan terendah. Istilah umum ‘guru’ (Ibrani melammed; Aram safera) biasanya dipakai untuk golongan paling rendah. Tapi gelar-gelar kehormatan yg diberikan kepada para guru (yaitu rabi dst) mengisyaratkan tanda hormat terhadap kedudukan mereka. Idealisnya mereka seharusnya tidak digaji untuk mengajar, tapi kerapkali dengan khayalan hormat mereka diberi suatu upah untuk ‘waktu yg mereka luangkan’, bukan untuk pekerjaan. Kitab Eklesiastikus 38:24 dab menganggap pekerjaan kasar dengan tangan di bawah martabat guru; disamping itu, waktu luang merupakan penopang yg harus ada, demi tugasnya. Tapi kemudian ada banyak rabi yg mempelajari suatu kejuruan. Pandangan Paulus dapat dilihat dalam #/TB 1Kor 9:3* dab. Talmud memberikan ketentuan keras tentang syarat-syarat guru. Sangat menarik perhatian, bahwa tidak satu pun dari syarat itu yg menuntut pendidikan akademis, semuanya bersifat susila, kecuali peraturan-peraturan yg menentukan bahwa guru ‘harus laki-laki dan harus kawin.
IV. Wawasan pendidikan
          Wawasan ini tidak begitu luas pada zaman kuno. Si anak biasanya belajar petunjuk susila dari ibunya, dan suatu kejujuran — umumnya mengenai pertanian, ditambah sedikit pengetahuan tentang agama dan tata ibadah, dari ayahnya. Saling mempengaruhi antar keagamaan dengan hidup pertanian akan terbukti sendiri pada tiap pesta (bnd #/TB Im 23*, passim). Pesta-pesta itu mengajarkan juga sejarah keagamaan (bnd #/TB Kel 13:8*). Jadi pada saat permulaan sekalipun, hidup sehari-hari bersama kepercayaan dan praktik keagamaan tidak dapat dipisahkan. Hal ini lebih mencolok berlaku dalam sinagoge, karena di sana satu-satunya kekuasaan ialah Kitab Suci, baik untuk kepercayaan maupun perilaku sehari-hari. Memang, hidup itu sendiri dianggap sebagai suatu ‘didikan’ (Ibrani musar, suatu kata yg sering muncul dlm Ams ump #/TB Kel 1:2,7; 4:13* dab). Maka pendidikan bersifat dan tetap bersifat keagamaan dan susila, dengan #/TB Ams 1:7* sebagai mottonya. Kemampuan membaca termasuk syarat dasar untuk meneliti Kitab Suci; kemampuan menulis nampaknya kurang pentingnya walaupun hal itu sudah merupakan kebutuhan pada zaman #/TB Hak 8:14*. Ilmu hitung dasar diajarkan juga. Bahasa tidak diajarkan secara khusus, tapi baiklah diingat bahwa karena bh Aram menjadi bahasa sehari-hari, maka penelitian Kitab Suci Ibrani menjadi latihan (ilmu) bahasa.
          Pendidikan anak-anak perempuan Israel seluruhnya di tangan ibu mereka. Mereka mempelajari keterampilan rumah tangga, petunjuk susila sederhana, dan mereka diajar membaca supaya bisa membaca Taurat. Tapi pendidikan mereka dianggap penting, dan malahan mereka didorong untuk mempelajari suatu bahasa asing. Ibu raja Lemuel kelihatannya terbukti menjadi guru yg cakap bagi Lemuel sendiri (#/TB Ams 31:1*); ps ini menunjukkan juga sifat dari ibu yg ideal.
V. Metode dan tujuan
          Metode pengajaran sebagian besar ialah mengulangi; kata kerja Ibrani syana yg artinya ‘mengulangi’, kemudian mendapat arti ‘belajar’ dan ‘mengajar’ juga. Maka digunakanlah muslihat-muslihat tahan ingat seperti akrostik. Kitab Suci menjadi buku pegangan, tapi bahwa kitab-kitab lainnya juga dikenal dibuktikan oleh #/TB Pengkh 12:12*. Makna tempelak dikenal (#/TB Ams 17:10*, hardikan), tapi tekanan yg diberikan pada penghajaran badani terdapat dalam Kitab Ams dan Yesus bin Sirakh. Pada zaman Misyna didikan menjadi jauh lebih halus lembut.
          Hingga ke suatu kurun waktu yg cukup lama, kebiasaan bagi murid ialah duduk di tanah dekat kaki gurunya, seperti (yg dilakukan) Paulus dekat kaki Gamaliel (#/TB Kis 22:3*). Bangku (safsal) adalah ciptaan di kemudian hari.
          Seluruh tujuan pendidikan Yahudi ialah menjadikan orang Yahudi (hidup) kudus, terpisah dari tetangganya dan menerapkan ajaran agama dalam kehidupan praktis. Namun tak dapat diragukan adanya sekolah-sekolah menurut pola Yunani, terutama dalam abad-abad terakhir sM, dan memang Yesus bin Sirakh mungkin ditulis untuk memerangi kekurangan-kekurangan dalam pengajaran non-Yahudi seperti itu. Sekolah-sekolah yg bersifat Helenis bahkan di Palestina pun ada, tapi tentu lebih banyak di tengah-tengah masyarakat Yahudi di tempat-tempat lain, terutama di Aleksandiia
          Dalam gereja pertama sang anak dan orangtua dinasihati bagaimana berkelakuan sepatutnya yg satu terhadap yg lain (#/TB Ef 6:1,4*). Pejabat-pejabat gereja harus tahu mengendalikan anak-anaknya sendiri. Pada zaman dahulu tak ada sekolah Kristen, karena (antara lain) gereja terlalu miskin untuk membiayainya. Tapi anak-anak turut dalam persekutuan jemaat, dan mereka pasti mendapat pengajaran-pengajaran di sana disamping di rumah.

Pembentukan Karakter Hamba Tuhan


Dalam segala kegiatan pelayanan baik organisasi rohani maupun sekuler. Setiap orang pasti mempunyai alasan tersendiri mengapa seseorang bersedia melakukan pekerjaan tertentu atau mengapa orang yang satu bekerja lebih giat sedangkan yang lainnya bekerja biasa saja. Tentulah semua ini memiliki dasar alasan  tersendiri yang menyebabkan seseorang bersedia bekerja seperti itu atau dengan kata lain pasti ada hal yang mendorongnya. Motivasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak di dalam diri setiap individu yang menimbulkan kegiatan untuk melakukan sesuatu yang lebih dan menjamin kelangsungan dari tindakan apa yang akan dilakukannya. Sehingga tujuan yang dikehendaki itu dapat tercapai. Motivasi Melayani merupakan faktor yang paling menentukan dalam memenuhi segala hal yang ingin dilakukukan.
Di zaman yang serba maju ini, banyak hamba Tuhan yang tidak dapat menggunakan waktu dengan efektif. Banyak pelayanan dilalaikan karena sibuk dengan kepentingan pribadi, waktu  yang dipergunakan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Merupakan catatan dari segala sesuatu menjadi bagian dalam hidupnya, yang dilakukan di pikirkan, serta harus bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas dengan baik demi kemuliaan nama Tuhan. Pada masa sekarang ini orang lebih banyak melayani hanya untuk mendapatkan kehormatan dan ingin di puji oleh orang lain, mencari keuntungan, serta jabatan dan lain-lain.Bahkan hanya bisa berkata-kata menyampaikan Firman Tuhan, sementara tidak pernah mempraktikan apa yang telah disampaikan. Semuanya hanya sebatas mengucapkan di bibir, sementara praktiknya tidak ada sama sekali, lebih mementingkan diri,kurang ada kesatuan, sikap saling mengasihi, dan kurang ada sifat tolong-menolong. Bersungut-sungut dalam menjalankan pelayanan, menganggap sepele atas tugas yang diberikan serta melalaikan tanggung jawab yang telah Tuhan percayakan kepada mereka.
“Jadilah teladan, sebagai pemberita injil, kita harus menjadi teladan kepada orang-orang yang ditempatkanAllah dibawah pengawasan kita. Itulah yang saya coba lakukan dalam segala sesutau yang saya tangani”[1] Tolok ukur kualitas kehidupan suatu komunitas adalah karakter yang baik. Karakter yang baik diperoleh dari pendidikannya.Pendidikan kepribadian merupakan salah satu pendidikan karakter agar orang yang didik memiliki watak yang baik. Karakter yang berhasil diharapkan akan membentuk seseorang yang jujur, sopan, disiplin, tanggungjawab, rajin, mencintai dan mengasihi orang lain.Tanggung jawabhamba Tuhan  tidaklah hanya membangun spiritualitas jemaatnya, namun juga bagaimana hamba Tuhan mempengaruhi dan membangun karakter komunitasnya. 
Sering kali orang-orang banyak bercerita tentang hal rohani namun sering kali juga lupa untuk menyinggung hal-hal duniawi. Masih hidup dalam dunia, jelas pula mereka mempunyai keinginan untuk menjadi pribadi-pribadi yang sukses. Dalam menemukan tujuan hidup tersebut harus diawali dengan penemuan jatidiri, seperti dikatakan oleh Guana Tandjung bahwa: “Penemuan jatidiri akan menjadi titik awal seseorang melangkah untuk menemukan tujuan dan makna hidupnya. Selanjutnya, tujuan hidup akan diwujudkan dalam sebuah visi kehidupan yang lahir melalui keintiman dengan Tuhan.”[2]Banyak pengajaran Yesus yang menekankan perubahan karakter pada orang yang menerima-Nya sebagai Juru Selamat. Cerminan lain dari Kelahiran Kembali adalah karakter lama telah mati bersama dosa dan bangkit dengan karakter baru yang dipulihkan oleh karya keselamatan Yesus.Pertumbuhan rohani pun akan berdampak pada pembangunan karakter. Saat spiritual bertumbuh, karakter terus dibangun menjadi sama dengan karakter Yesus yang diteladani oleh Rasul Paulus.
Hamba Tuhan bukanlah orang yang telah sempurnanamun,ia dapat menjadi teladan bagi jemaatnya. Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataan mu, dalam tingkah laku mu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu ( 1 Tim 4:12). Menurut ayat di atas keteladanan itu dalam perkataan, tingkah laku (dalam arti luas), kasih, kesetiaan, kesucian, integritas hati, serta tingkah laku. Prinsip keteladanan ini sangat ditekankan Paulus (I Kor. II:1; Fil. 3:17). Ini merupakan prinsip dasar kehidupan dalam kekristenan. Dengan demikian pengajaran paulus tentang keteladanan masih relevan sampai masa kini.  Sebagai hamba Tuhan harus menunjukan kehidupan yang selaras dengan ajarannya artinya perlu ada pengawasan diri maka, akan berdampak terhadap orang lain dan berharga di mata Tuhan(I Tim. 4:16).“Menjadi manusia yang berharga di mata Tuhan dan sesama merupakan impian setiap insan Kristiani.”[3]
Gaya hidup yang berpengaruh positif merupakan, suatu teladan yang bermanfaat sehingga banyak orang mengikutinya.
Seorang pemimpin haruslah orang yang berpengaruh. Jika tidak, tidak seorang pun meneladanidan mengikutinya. Ketika pemimpin tidak diikuti oleh orang yang ia pimpin, ia sama dengan orang yang berjalan di tempat. Apa yang ia lakukan tidak bermanfaat dan tidak berpengaruh. John C. Maxwel, pakar kepemimpinan , berkata, “ukuran sejati kepemimpinan adalah pengaruh-tidak lebih tidak kurang. Jika anda tidak memiliki pengaruh, anda tidak pernah dapat memimpin orang lain”[4]

Menjadi orang yang berpengaruh merupakan keinginan setiap orang yang bekerja baik di dunia sekuler maupun rohani, oleh sebab itu yang diinginkan Paulus dalam surat Filipi pasal 3 ialah menjadi teladan dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan pengajaran yang benar tentang Kristus sehingga memiliki fokus dan tujuan yang jelas dalam memimpin orang lain serta mengarahkan pandangan kepada panggilan sorgawi.Keteladanan Rasul Paulus dalam pelayananmembuktikan bahwa dalam setiap pelayanan ia menaruh seluruh hidup kepada Tuhan sehingga semua dapat dilalui dengan sukacita walaupun banyak masalah-masalah dan persolan yang terjadi dan dialaminya.

Latar Belakang
Tantangan moral dan dokrinal inilah yang sering menjadi ‘mesin penghancur’ hamba Tuhandalam pelayananya. Moralitashamba Tuhan makin menurun, penyesatan makin marak dalam berbagai macam wujudnya.Benteng moralitas para hamba Tuhan telah diruntuhkan sehinggah mereka kembali lagi pada dunia lamanya. Kembali mencari popularitas semu, dan keserakahan, materialistis. Bukan rahasia lagi bahwa banyak hamba Tuhan telah tersandung skandal seksual. Akibatnya, dirinya dipermalukan, rumah tangganya kacau, pelayanannya hancur berantakan. Sementara sebagian yang lain, membangun pelayanan guna meraih popularitas diri. Mimbar pelayanan berubah menjadi pentas entertainment. Para hamba Tuhan berubah menjadi idola yang membius massa dengan kepuasan perasaan sesaat.
Pertama, karena adanya ajaran-ajaran sesat, guru-guru palsu yang menentang ajaran-ajaran Paulus  dalam surat Filipi pasal 3. J.Wessley Brill, menjelaskan bahwa:
Rasul Paulus menentang pengajaran mereka yang sesat. Mereka yang berpegang pada pengajaran itu mengaku dirinya sahabat dan pengikut Injil, tetapi sebenarnya mereka adalah musuh-musuh Injil. Separuh daripada mereka berkata bahwa tubuh semata-mata jahat dan tidak dapat diperbaiki lagi dan oleh sebab itu kita tidak usah menahan diri. Yang lainnya berkata, Baiklah kita bertekun dalam dosa supaya semakin bertambah kasih karunia itu. Mereka hidup dalam kenajisan dan menurut hawa nafsu saja. Pengajaran tentang Taurat dan juga pengajaran salah tentang kebebasan dalam Injil, sukar dihilangkan. Kesudahan mereka tidak lain daripada kebinasaan, dan perut menjadi Tuhan mereka, yang berarti mereka suka menurut segala hawa nafsu yang umum kepada manusia. Orang itu suka membuat suatu allah bagi dirinya yang berdasar atas pengetahuan dan perasaan pancaindera saja, Itu sama saja dengan membuat suatu berhala, lalu menyembahnya. Mereka. menyombongkan diri mengenai hal-hal memalukan yang mereka sendiri anggap mulia. Mereka juga suka campur dalam perkara dosa. Mereka itu tidak dapat memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada perkara-perkara duniawi yang mereka nikmati. Mereka menyebut diri orang Kristen, tetapi mereka menyangkal pengajaran Kristen yang sebenarnya.[5]

Dengan demikian Rasul Paulus tetap menasehati dan mengajarkan tentang kebenaran sejati di dalam Yesus Kristus yang adalah Juruselamat:
Ajaran Paulus yaitu bahwa kita diselamatkan hanya oleh karena anugerah, bahwa keselamatan adalah pemberian Allah dengan cuma-cuma, dan bahwa kita tidak dapat memilikinya kecuali menerima dengan rendah hati dan rasa hormat yang dalam terhadap apa yang ditawarkan Allah kepada kita; dan lebih lanjut, bahwa tawaran Allah  itu di tunjukan kepada segala bangsa dan  tak seorang pun yang dikecualikan.[6]

Kedua, karena adanya gereja atau orang percaya ketika dalam pelayanan lebih menekankan berkat dari pada Kristus artinya lebih fokus kepada materi. Ranto Sari Siahaan mengatakan bahwa:
Pada saat ini banyak gereja tidak berfokus pada Kristus dalam pelayanan dan pembertitaannya. Mereka lebih menekankan pada berkat. Gereja tanpa sadar sedang menciptakan suatu generasi umat Tuhan yang materialistis. Banyak orang percaya pergi ke gereja supaya mendapat berkat, keluarganya baik, usahanya lancar, sehat atau hal lain. Untuk menarik orang supaya datang, gereja menawarkan berkat-berkat yang akan mereka terima jika mereka datang ke gereja. Mereka tidak menawarkan Tuhan Yesus. Gereja dan orang percaya lebih fokus pada berkat daripada sumber berkat.[7]

Oleh karena itu fokus kepada Kristus sangat penting. Orang yang berfokus pada Kristus akan mampu mencapai sasaran ilahi dalam hidupnya, menjadi seperti Kristus, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran palsu.
Ketiga, Keruntuhan moralitas disebabkan oleh minimnya besic teologi dan rapuhnya dasar bangunan rohaninya, karena hamba Tuhan tersebut tidak berpendidikan teologi yang resmi. Akibatnya karakter dari hamba Tuhan tersebut tidak mencerminkan seorang hamba Tuhan yang seharusnya sehingga lebih mudah jatuh dan kembali ke dunia lamanya. Sebaliknya ada yang sudah memiliki dasar rohani yang kokoh, jelas danbenar namun dalam pelaksanaannya kehilangan keseimbangan sehingga mulai menyesatkan jemaat. Seperti apa yang dikatakan oleh Pdt. Dr. Wagiyono Sumarto bahwa:
Bahwa peran pendidikan teologi dan …sangat besar dalam dan ikut membentuk karakter para hamba Tuhan tanpa mengesampingkan peran orang tua dalam mentranformasikan karakter dasar dan perkembangan kepribadian. Penulis mengamati banyak para hamba Tuhan gagal di tengah jalan bukan karena kurang memenuhi abilitas tuntutan akedemis, tetapi karena karakternya yang lama kumat lagi.[8]

 Selain itu, ada juga yang mendapat gelar kesarjanaan melalui jalan pintas sangat tidak pantas itu merupakan tindakan penipuan terhadap semua kalangan orang Kristen, seperti dikatakan oleh Chris Marantika, ThD., D.D bahwa:

Gelar-gelar jalan pintas bukan saja memalukan Tuhan dan menghina martabat teologi, tetapi juga menipu umat dan membuka gerbang bagi teologi-teologi kekinian yang melecehkan Allah, Alkitab, Kristus dan Rohul kudus. Kita tetap saling mengasihi, namun kita harus paham bahawa SCHOLARSHIP IS A STEWARDSHIP. Atau KESARJANAAN ADALAH PENGABDIAN. PROSES MEMPEROLEH DAN MEMAKAI KESARJANAAN ADALAH PENGABDIAN KEPADA ALLLAH. Jalan pintas menuju kesarjanaan, S1, S2, dan S3 adalah penghinaan kepada Tuhan Yesus Krisrus.[9]

Masalah-masalah demikian akan melahirkan hamba-hamba Tuhan yang tidak berkompeten di bidangnya. Hal seperti ini menyebabkan gereja yang mereka bangun tidak mengalami pertumbuhan yang baik, dalam hal ini pertumbuhan iman pengikutnya.
Keempat, karena adanya hamba Tuhan maupun umat Kristen yang jatuh dalam hal keduniawian; keinginan-keinginan diri sendiri, kesombongan,  materialisme, individualisme, dan pengagungan diri. Tidak mengherankan bila banyak media memberitakan tidak hanya mengenai para politikus yang berjatuhan, tetapi juga para pendeta yang menggelapkan dana gereja atau yang melakukan perzinahan-perzinahan terselubung. Pdt. Yakobus Handjojo Wijaya dalam bukunya yang berjudul Ikabot Kemulian Yang Lenyap menyatakan bahwa:

Sangat menyedihkan memang kejatuhan dari pada hamba-hamba Tuhan atau pemimpin rohani yang sudah pernah dipakai oleh Tuhan ini. Iblis memakai sex dalam bentuk perzinahan, perselingkuhan (bagi yang sudah berkeluarga) pergaulan bebas (free sex, free love, khususnya kaum muda) ada juga hamba Tuhan yang menjadi homo secara tersamar maupun lesbi.[10]

Kisah-kisah seperti ini sangat laris terjual karena merupakan contoh kemunafikan yang terang-terangan. Memang ada sedikit sensasi, tetapi bagaimana reaksi orang awam yang menyadari kemunafikan para pemimpin tersebut, khususnya yang berasal dari kalangan gereja yang merasa berhak menuntut orang lain bagaimana seharusnya berperilaku namun, tidak dapat menunjukkan keteladan yang baik. Jika hamba Tuhan seperti ini akan menjadi batu sandungan dan buah bibir bagi  orang-orang yang dilayaninya.A. B. Sutanto, mengatakan masalah-masalah yang terjadi saat-saat ini, bahwa:
Yang menjadi masalah di sini adalah kita masih berada dalam dunia ini, masih harus berhadapan dengan hal-hal keduniawian , materialisme, individualisme, dan berbagai hal yang acap kali menghambat kita hidup dalam damai dan kasih Tuhan, menurunkan derajat kita sebagai manusia. Kita semua kini sedang berhadapan dengan perjuangan menuju pemenuhan diri untuk melawan segala hawan nafsu, ketidakadilan yang eksis dalam dunia ini. Sesungguhnya sangat jelas, berapa banyak kasus dimana individualisme dan pengagungan diri menjadi dasar tujuan diambilnya keputusan yang menyangkut hayat hidup orang banyak, berapa banyak karunia-karunia yang diberikan Allah dimanfaatkan untuk kemakmuran pribadi (pengekspoloitasian alam dan pencemaran lingkungan), kasus korupsi dan kolusi dan sebagainya, mengapa semua itu tetap berlangsung di dunia ini, seakan-akan keadilan Tuhan tidak berperan apa-apa?. Keprihatian tersebut janganlah membuat kita takut dan berputus asa, karena Yesus telah memberikan sesuatu tuntutan cemerlang menyangkut bagaimana sebaiknya kita memahami situasi dan kondisi dunia ini serta bagaimana menempatkan diri kita ditengah-tengah hiruk-pikuk kehidupan.[11]

Kehidupan kekristen yang harus diperhatikan ialah gaya hidup yang mencerminkan Kristus, berdampak posistif dan menjadi teladan untuk semua,supaya orang bisa melihat kasih dan damai sejahtera dari Yesus Kristus, yang di teladani oleh Rasul Paulus itu sendiri kepada hamba-hamba Tuhan masa kini. George Bloomer, menjelaskan tentang hal-hal yang sementara terjadi dikalangan hamba Tuhan atau para pemimpin gereja bahwa:
Seringkali gereja yang suka melecehkan jemaat adalah gereja yang telah pecah atau terusir dari satu gereja yang kokoh, sebab pemimpinnya tidak memiliki toleransi untuk berada di bawa otoritas. Ia begitu menginginkan kekuasaan penuh. Keinginginannya untuk berpengaruh menuntut ia merebut posisi kepemimpinan. Kadang-kadang ia merasa bahwa pengalaman-pengalamannya memberikan semacam prespektif khusus, seolah-olah ia telah “membayar kewajibannya”; kadang-kadang ia hanya ingin menunjukan bahwa dirinya begitu penting. Tanpa memandang alasannya, ia merasa memerlukan posisi pemegang otoritas untuk menarik dan mengendalikan orang-orang berbakat besar. Ia kemudian menggunakan orang-orang ini sebagai fasilitataor untuk mengokohkan dan mengembangkan posisinya sebab ia tidak percaya satu pun karunia atau kemampuan yang ia miliki.Fasilitator-fasilitator seperti ini akan membantu si penyalah guna otoritas ini menciptakan suasana penuh kendali.[12]

Rasul Paulus menjelaskan dalam Surat Filipi 2:3 “hendaklah kamu....tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.” Ketika seorang pelayan atau hamba Tuhan sudah tidak mempercayai karunia yang dianugerahkan Allah kepadannya lebih cenderung kepada keinginan pribadi, maka terjadilah pengandalan diri berdasarkan pengalaman-pengalaman yang membawa kepada keangkuhan diri. Bersambung


[1]Dr. Frederick K. C. Price, Saran-saran Parktis untuk Pelayanan yang Berhasil, Jakarta: Yayasan Pekabaran Injill Immanuel, 1993), 35.

[2]Guana Tandjung, Pemenang Kehidupan, (Yogyakarta: ANDI, 2005), 4.
[3]A. B. Sutanto, Meneladani Yesus sebagai pemimpin, Yogyakarta: Andi Offset, 2006), 176.
[4]Jonar T.H. Situmorang, Kekristenan yang Radikal, (Yogyakarta: Andi offset, 2012), 1.
[5]J.Wessley Brill. Tafsiran Surat Filipi. (Bandung:Yayasan Kalam Hidup, 2006), 107-108.
[6]Ibid,108.
[7]Ranto Sari Siahaan,Berubah Untuk Berbuah, (Yogyakarta: ANDI, 2010), 66.

[8]Pdt. Dr. Petrus Octavianus,70 Tahun Dipanggil untuk Melayani. (Malang: Departemen Literatur YPPII, 1998), 261.
[9]Pdt. Dr. Petrus Octavianus, 70 Tahun Dipanggil untuk Melayani, (Malang: Departemen Literatur YPPII, 1998), 76.

[10]Yakobus Handjojo Wijaya,  Ikabot Kemulian Allah Yang Lenyap, (Jakarta: 2005),6.
[11]A. B. Sutanto, Meneladani Yesus Sebagai Pemimpin, (Yogyakarta: Andi Offset, 2006), 132.
[12]George Bloomer, Penyalahgunaan Otoritas Rohani, (Jakarta: Metanoia,2004), 34.


KEPUSTAKAAN
W Barclay, Educational Ideals in the Ancient World, 1959, ps 1,6;
F. H Swift, Education in Ancient Israel, 1919; E.13 Castle, Ancient Education and Today, 1961, ps 5; TDNT 5, hlm 596-625; IDB; EJ.

No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...