Sunday, January 7, 2018

ETIKA, ALKITABIAH



ETIKA, ALKITABIAH
       Kata ‘etika’ berasal dari kata Yunani ethos, ‘susila’; istilah itu terdapat dalam #/TB 1Kor 15:33*, diterjemahkan ‘kebiasaan yg baik’, tapi dalam PB kata yg lebih banyak dipakai untuk mengartikan cara hidup ialah anastrofe dan kata kerja yg berpadanan (lih #/TB 2Pet 3:11*). Etika atau susila alkitabiah berbicara tentang cara hidup, yg diatur dan disetujui Alkitab. Menurut Alkitab, susila dalam arti ‘kebiasaan yg baik’ tidak dapat dilepaskan dari pembawaan batiniah (motif-motif) yg terungkap dalam tingkah laku yg dapat diamati. Susila yg dituntut oleh Alkitab terkait dengan hati manusia, sebab ‘dari situlah terpancar kehidupan’ dan ‘Allah mengetahui hatimu’ (bnd #/TB Ams 4:23; 23:7*; #/TB Mr 7:18-21*; #/TB Luk 16:15*; #/TB Ibr 4:12*). Perintah-perintah Allah sering dalam rangka tuntutan akan tindakan nyata atau terlarang, tapi janganlah menganggap bahwa perintah-perintah itu hanya memperhatikan tindakan lahiriah saja (bnd #/TB Mat 5:28*; #/TB Rom 13:9-10*).
I. Kesatuan
          Mudah mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kesatuan pada etika yg diaturkan Alkitab, yg contoh-contohnya dalam berbagai kurun sejarah adalah tergambar di dalamnya. Menghadapi pandangan ini harus dilakukan beberapa pengamatan dan pembedaan.
          a. Kita harus mengingat kenyataan dan makna dari penyataan yg bertangga-tangga’ (progresif). Langkah demi langkah Allah menyatakan kehendak-Nya kepada umat manusia. Justru pada masa-masa permulaan sejarah penyataan, penyataan aturan tentang tingkah laku manusia tidaklah selengkap penyataan yg diberikan pada masa-masa kemudian. Penyataan, seperti yg terpaut dengan sejarah dunia, mencapai puncaknya dalam PB, secara khusus berpusat pada kedatangan dan pekerjaan Yesus Kristus. Pada kurun waktu yg terakhir ini diberikan penyataan kehendak Allah selengkapnya mengenai etika, juga kepenuhan kasih karunia untuk mewujudkan penyataan itu menghasilkan buah yg selebat-lebatnya. Kepada siapa banyak diberi, dari dia dituntut banyak (#/TB Luk 12:48*). Ini menerangkan, mengapa beberapa praktik tertentu dari beberapa tokoh PL, yg jelas tidak taat asas dengan etika PB, dibiarkan dan tidak ditindak dengan hukum agama atau hukum sipil pada zaman PL.

          b. Praktik nyata dari tokoh-tokoh Alkitab janganlah disamakan dengan etika alkitabiah; yg terakhir membicarakan apa yg dituntut Allah, bukan kekurangan-kekurangan atau hal-hal yg dicapai manusia.
          c. Kejatuhan manusia ke dalam dosa sangat mempengaruhi isi etika itu dalam mengarahkan kelakuan manusia. Ketentuan-ketentuan baru harus ada untuk menghadapi keadaan baru yg radikal diciptakan oleh dosa. Misalnya, karena dosa dan rasa malu akibat dosa, pakaian menjadi suatu keharusan, yg tidak perlu ada dalam keadaan tanpa dosa (bnd #/TB Kej 2:25; 3:21*). Dan berbagai hukuman timbul karena dosa. Kesatuan etika alkitabiah memperhitungkan segenap kebutuhan yg tercipta karena dosa dan kesalahan.
          d. Kita harus membedakan antara dibiarkan dari disetujui, antara mentoleransi dari mengizinkan, jika kita menghadapi praktik-praktik yg terdapat dalam PL. Tuhan Yesus membicarakan pembedaan ini dengan gamblang sehubungan dengan perceraian yg dibiarkan oleh Musa (#/TB Ul 24:1-4*). Kata-Nya, Musa memperbolehkan perceraian, ‘tetapi dari semula tidaklah demikian’ (#/TB Mat 19:8*). Peraturan mula-mula dan asli dalam #/TB Kej 2:24*, yg menjadi acuan Yesus (#/TB Mat 19:5*) tidak memberi peluang bagi perceraian, justru sekali-kali tidak boleh menyimpulkan bahwa jiwa institusi dalam #/TB Kej 2:24* sudah dicabut atau dihapus. Bagian ini terkait juga dengan masalah poligami dan pembedaan yg sama harus diterapkan.
          e. Penebusan mempengaruhi sejarah umat manusia. Karena keadaan yg diciptakan oleh dosa menuntut ketentuan-ketentuan baru yg bersifat mengatur, maka penebusan pun menciptakan seperangkat institusi yg mendalam mempengaruhi kelakuan manusia, yg tidak relevan dalam keadaan tanpa dosa.
          Tapi sepanjang kurun sejarah ada suatu kesatuan yg merupakan ciri khas etika alkitabiah. Seperangkat peraturan asal penciptaan jelas diuraikan dalam #/TB Kej 1;  2*, yakni perintah untuk beranak cucu, memenuhi bumi, menaklukkan bumi dan berkuasa atasnya (#/TB Kej 1:28*), perintah mengenai hari ketujuh (#/TB Kej 2:2-3*), kerja, perkawinan (#/TB Kej 2:15*) dan monogami (#/TB Kej 2:23-24*). Dan adalah jelas bahwa larangan untuk memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yg baik dan yg jahat, entah betapa pun pentingnya bagi Adam dan Hawa dan bagi seluruh umat manusia, namun termasuk golongan lain; larangan itu hanya relevan pada keadaan semula sebelum dosa masuk dan bisa ditonjolkan sebagai peraturan pengujian’.
          Jika kita teliti semua peraturan asal penciptaan itu, akan kita lihat betapa relevan semua peraturan itu kepada naluri-naluri dasar dan kepada kepentingan-kepentingan paling bergelora di dasar hatinya, betapa peraturan-peraturan itu meliputi pekerjaan atau kesibukan, yg akan mempengaruhi pikiran dan tindakan manusia, dan betapa yg satu melengkapi dan menentukan yg lain. Peraturan-peraturan asal penciptaan itu menyentuh setiap segi kehidupan dam kelakuan manusia.

          Mungkin kita berpikir bahwa perubahan yg diakibatkan oleh datangnya dosa beserta kesengsaraan yg ditimbulkannya, menuntut penghapusan, atau paling sedikit, perubahan alas peraturan-peraturan itu. Tapi tidak demikian halnya. Peraturan-peraturan itu tetap dipelihara dan diberlakukan dan bahwa itu tetap perlu ada dengan segala kegunaannya, jelas terbukti dalam penyataan berikutnya (bnd #/TB Kej 3:16,19; 4:1-2,17,25; 5:1-3; 9:7; 11:1-8*). Kesepuluh Firman (Dasa Titah) merupakan inti pati dari etika alkitabiah. Tapi dengan mudah dapat dilihat hubungan Kesepuluh Firman dengan peraturan-peraturan asal penciptaan. Walaupun keadaan dan suasana manusia telah dijungkirbalikkan oleh dosa, namun tata dasar dari dunia ini dan hidup manusia di dalamnya, tidaklah dimusnahkan.
          Kesatuan yg demikian utuh dapat kita temukan bahkan atas dasar prinsip-prinsip umum. Manusia diciptakan menurut gambar Allah. Justru norma atau ukuran dasar bagi manusia, tak dapat tidak, haruslah keserupaan dengan Allah sejauh hal itu cocok dengan keadaan manusia sebagai makhluk. Tuntutan Allah atas manusia ialah kesempurnaan Allah sendiri yg diungkapkan dalam peraturan yg mengatur pikiran dan kelakuan manusia seirama dengan kesempurnaan itu. Karena Allah tidak berubah, dan karena kewajiban manusia terhadap Allah tidak dapat dihapuskan, maka suatu perubahan radikal dalam ukuran etika manusia, tak dapat dibayangkan.

II. Isi
          Isi etika alkitabiah ialah jumlah seluruh bahan nyata yg berhubungan dengan perilaku manusia, seperti tertera dalam Alkitab. Jumlah total ini melingkupi keberbagaian yg luas. Di dalamnya termasuk catatan mengenai kelakuan buruk dan penolakan Allah atasnya, maupun perintah-perintah Allah beserta catatan mengenai kelakuan baik dan perkenan Allah atasnya. Maka jelaslah kelihatan kesaksian Alkitab berlipat ganda, yg tentangnya, sekalipun hanya uraian sepintas lalu saja akan menjadi beberapa jilid buku. Kompleksitas segi ini timbul dari kompleksitas hidup manusia dan keberbagaian keadaan yg tak terkira banyaknya mengenai manusia. Kebesaran penyataan Alkitab ialah, bahwa oleh kekayaannya dan kelengkapannya maka penyataan itu cocok dengan setiap keadaan, kapan dan di mana pun kita berada. Alkitab dimaksudkan untuk ‘mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik’ (#/TB 2Tim 3:16* dab).
          Tapi kendati keberagaman yg berlipat ganda ini, sama jelasnya bahwa Alkitab memberi kita ringkasan tolak ukur bagi pikiran, hidup dan kelakuan kita. Etika alkitabiah, dengan mengingat kompleksitas hidup dan rangkaian luas dari tuntutan Allah, sudah diatur di sekitar inti prinsip-prinsip dasar etika. Inti itu ialah Kesepuluh Firman. Walaupun Kesepuluh Firman diumumkan di G Sinai, tapi itu melulu bentuk nyata dan praktis dari dasar-dasar hidup yg relevan dan sudah sejak lama diketahui. Ada bukti khusus mengenai keberlakuan perintah-perintah ini — tuntutan dan sanksinya — sebelum Sinai (bnd #/TB Kej 2:2-3*; #/TB Kel 16:22-23*; #/TB Kej 4:10-12,23-24; 6:11; 9:5-6; 24:9-10; 39:9*). Perintah-perintah itu berlaku sebelum Sinai, dan terus berlaku juga sesudah zaman Musa berlalu. Tuhan Yesus pada saat mengumumkan hukum kerajaan-Nya, berkata, ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi’ (#/TB Mat 5:17*). Dalam percakapan berikutnya Ia menunjukkan bahwa pernyataan-Nya ini berhubungan dengan Kesepuluh Firman. Dia terus menerangkan dan menerapkan beberapa dari perintah itu dan berkata bahwa perintah itu masih berlaku dalam Kerajaan yg hendak didirikan-Nya (#/TB Mat 5:21-28,33-37*).
          Begitu pula Paulus waktu membicarakan kewajiban orang percaya, melukiskan Taurat digenapi oleh kasih dengan mengutip 5 dari Kesepuluh Perintah (#/TB Rom 13:9*). Yakobus secara khas menekankan perlunya perbuatan-perbuatan baik sebagai dampak atau buah atau bukti dari iman, dan terus menerus menekankan bahwa Taurat Allah harus dihormati secara keseluruhan. Ia berkata, ‘Barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian daripadanya, ia bersalah terhadap seluruhnya. Sebab Ia yg mengatakan Jangan berzinah, Ia mengatakan juga Jangan membunuh. Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga’ (#/TB Yak 2:10-11*). Dalam perintah-perintah itu kita dapati suatu petunjuk kepada apa yg dimaksud Yakobus, tatkala ia menyebut ‘hukum yg memerdekakan orang’ sebagai ukuran mengenai yg baik dan untuk menghakimi.

          Kesepuluh Firman mempedulikan hubungan-hubungan utama manusia. Pertama, dengan Allah, kedua dengan sesamanya. Tak ada ringkasan yg lebih luas cakupannya. Kesepuluh Firman membicarakan dasar-dasar yg kudus yg mendominasi iman, ibadah dan hidup. Diri Allah, ibadah kepada-Nya, kekudusan Nama-Nya, kekudusan hari-Nya sebagai hari istirahat dan ibadah, hormat kepada orang tua, nilai suci dari kehidupan, pernikahan, harta milik, kebenaran dan kepuasan hati dengan keadaan kita. Bahwa firman-firman ini mengatur kelakuan manusia yg ditebus telah ditekankan pada saat pengumumannya di G Sinai. Pengukuhannya dituntut dengan kata pendahuluan, ‘Aku-lah Tuhan Allah-mu, yg membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan’ (#/TB Kel 20:2*). Betapa jauh lebih besar tuntutan yg memadani penebusan Kristen dibandingkan tuntutan Keluaran Israel dari Mesir yg pada dirinya merupakan lambang raja!

III. Motivasi
          Sering timbul kekacauan sehubungan dengan kata-kata Yesus, ‘kepada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi’ (#/TB Mat 22:37-40*: #/TB Mr 12:30-31*: #/TB Luk 10:27*; bnd #/TB Ul 6:5*). Ucapan Paulus, ‘kasih ialah kegenapan Taurat’ (#/TB Rom 13:10*) juga menimbulkan kekacauan yg sama. Ay-ay seperti itu pernah ditafsirkan mengartikan bahwa dalam etika Kristen kasih sudah mengambil tempat Taurat. Tidak boleh ada penolakan terhadap kata-kata Yesus atau pernyataan Paulus, tempat kasih harus sepenuhnya dihormati. Sekalipun demikian, janganlah kasih disamakan dengan Taurat atau pun ditafsirkan membatalkan Taurat.
          Dalam kata-kata Yesus dan Paulus jelas ada perbedaan antara kasih dan Taurat yg bergantung pada kasih itu, juga antara kasih dan Taurat yg digenapi oleh kasih itu. Kasih bukanlah Taurat itu sendiri. Justru ada isi Taurat yg tidak ditentukan oleh kasih itu. Dan Paulus menerangkan apa yg dimaksudkannya dengan Taurat yg berbeda dari kasih, dengan mengutip — dalam kerangka ini beberapa aturan dari Kesepuluh Perintah (#/TB Rom 13:9*). Dengan demikian jika kita berbicara tentang ‘hukum kasih’, tidaklah berarti bahwa kasih itu pada dirinya sendiri merupakan suatu hukum.
          Kasih adalah penggenapan Taurat, karena kasih mewajibkan orang bertindak selaras dengan yg diaturkan oleh Taurat. Kasih mempunyai dua unsur, yaitu emotif (pacu emosi) dan motif. Karena kasih mempunyai unsur emotif, maka diciptakannya kerinduan dan kasih sayang pada obyeknya itu Maka penggenapan Taurat yg dipacu dan diwajibkannya itu bukanlah keselarasan yg dipaksakan atau yg tidak disukai tapi ketaatan sukarela disertai sukacita. Di luar kasih yg mewajibkan dan memacu ini tak ada penggenapan Taurat Penggenapan Taurat sama dengan ketaatan terhadapnya, dan ketaatan selalu menggenggam sifat bahwa hati dan kehendak setuju tanpa pamrih. Jika kasih sudah merasuki seluruh hidup, maka penggenapan Taurat sudah lengkap. Inilah kesaksian seluruh Alkitab. Teladan paling unggul ialah Tuhan Yesus (bnd #/TB Mazm 40:7*; #/TB Yoh 4:34*). Pemazmur dan Paulus memberi kesaksian yg sama (#/TB Mazm 119:7*; #/TB Rom 7:22*).
          Dosa ialah permusuhan terhadap Allah, dan permusuhan adalah lawan kasih. Karena manusia sudah berdosa, maka kasih terhadap Allah hanya dapat ditumbuhkan kembali dalam hati manusia melalui kuasa penebusan. Hanya api cinta kasih Allah yg diwujudkan dalam penyerahan AnakNya, yg dapat menyalakan kasih dalam hati kita. Inilah maksud #/TB 1Yoh 4:19*, ‘Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita’, dan ay-ay yg mendahului ay ini memaparkan urutan itu. Di sini terletak kuasa pendorong dari kasih. Bilamana kasih Allah terhadap kita sudah dicurahkan di seantero hati kita (bnd #/TB Rom 5:5*), maka kasih terhadap-Nya akan mengisi hati kita dan mendorong kita untuk hidup saleh. Pacuan daya kasih dan rahmat dikenal hanya oleh orang yg sudah diampuni.

IV. Prinsip
          Dasar utama etika dapat diungkapkan dalam berbagai cara.
          a. Keserupaan dengan Allah. Tujuan akhir proses etika ialah supaya serupa dengan gambar Anak Allah (#/TB Rom 8:29*; #/TB 2Kor 3:18*; #/TB Fili 3:21*). Karena inilah tujuannya, maka gambar Anak Allah harus terus-menerus mengatur seluruh kelakuan manusia. Berdasarkan alasan ini maupun alasan-alasan lainnya, maka Tuhan Yesus sebagai teladan mutlak menjadi tolok ukur. Yesus murni kudus, tidak menyusahkan, tanpa cacat, tidak berbuat dosa: melalui teladan hidup-Nya kita dengan cara yg tak ada taranya diperhadapkan kepada tuntutan kekudusan dan kebenaran. Bahkan apa yang dikerjakanNya secara khas dikemukakan sebagai teladan bagi kita, bahwa kita patut mengikuti jejak-Nya (bnd #/TB Mat 20:25-28*; #/TB Mr 10:42-45*; #/TB Fili 2:6-8*; #/TB 1Pet 2:21-24*); bukan dalam arti bahwa kita harus mengikuti Dia melakukan pekerjaan yg sangat khusus dan khas itu, melainkan dalam arti bahwa kita tanpa pamrih harus mengikuti Dia taat dalam ketaatan-Nya yg tanpa reserve kepada kehendak BapakNya, dalam panggilan yg diserukan kepada kita.
          Karena Yesus ialah gambar Allah, maka kecocokan atau keserupaan dengan Yesus sekaligus adalah keserupaan dengan gambar Allah. Itulah sebabnya mengapa keserupaan dengan Bapak dijadikan ukuran kelakuan orang percaya. Yesus meringkaskannya sebagai peraturan dalam KerajaanNya, ‘haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapak-mu yg di sorga adalah sempurna’ (#/TB Mat 5:48*). Sebagai makhluk yg diciptakan Allah menurut gambar-Nya, tugas kita tidak kurang sekelumit pun untuk berupaya mencapai kesempurnaan yg selaras dengan kesempurnaan Allah Bapak, yaitu ukuran dan tujuan dari tuntutan etika. Keserupaan dengan Bapak itulah yg dimaksud oleh Yohanes tatkala ia berkata, ‘Setiap orang yg menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yg adalah suci’ (#/TB 1Yoh 3:3*).
          b. Ketaatan kepada perintah-perintah Allah. Prinsip dasar ini tertera dalam hubungan manusia dengan Allah sejak permulaan. Larangan di Eden (#/TB Kej 2:17*) meringkaskannya; pemeriksaan terhadap Adam sesudah kejatuhannya ke dalam dosa menyoroti dia dengan tajam sekali (#/TB Kej 3:11*); kutuk kepada Adam mendaftarkan hukumannya (#/TB Kej 3:17*). Penyataan penebusan mengambil bentuk pemerintahan berdasarkan perjanjian, dan menaati suara Allah dan ajaran-ajaran-Nya adalah jawaban Israel kepada janji-janji-Nya (bnd #/TB Kej 17:10*; #/TB Kel 19:5; 20:1-17; 24:7*). Yesus sendiri mengukuhkan prinsip dasar ini waktu Dia berkata, ‘Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu’ (#/TB Yoh 14:15*). Dan Yohanes, yg mengetahui kehendak Tuhan-nya, mengulangi hal yg sama, ‘Inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya’ (#/TB 1Yoh 2:3*; bnd #/TB Rom 6:16-17*; #/TB 2Kor 10:5*; #/TB Ibr 5:9*).
          c. Menyenangkan hati Allah. Tak ada pertimbangan yg lebih tinggi bagi pikiran orang saleh daripada kerinduan ‘menjadi’ dan ‘berbuat’ sehingga menyenangkan hati Allah. Henokh hidup bergaul dengan Allah (#/TB Kej 5:22*) dan penghormatan yg diberikan kepadanya ialah ia ‘berkenan kepada Allah’ (#/TB Ibr 11:5*). Paulus dalam #/TB Rom 12:2* memulai penerapan ajaran yg diuraikannya sebelumnya dengan menekankan prinsip dasar ini. Ia membela perilakunya sendiri dengan mengatakan bahwa prinsip ini merupakan dasar yg menentukan arah hidupnya (#/TB 1Tes 2:4*; bnd #/TB Gal 1:10*; #/TB 1Tes 4:1*). Kedudukan Yesus sekaligus Tuan dan Tuhan terjalin padu dengan prinsip dasar ini. Yesus mati, hidup dan bangkit kembali ‘supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup’ (#/TB Rom 14:9*; bnd #/TB Fili 2:9-11*). Pelayanan kita terhadap Yesus sebagai Tuhan adalah jaminan bahwa kita sudah berkenan kepada Allah (#/TB Rom 14:18*). Dalam memohon berkat penulis Ibr tak mungkin memohonkan sesuatu yg lebih besar daripada ‘kiranya [Allah] memperlengkapi kamu dengan segala yg baik untuk melakukan kehendak-Nya, dan mengerjakan di dalam kita apa yg berkenan kepada-Nya oleh Yesus Kristus’ (#/TB Ibr 13:21*).
          Dari sudut mana pun soal ini dipandang, selalu dapat disimpulkan bahwa kegairahan supaya kita selaras dan sesuai dengan kehendak Allah yg sudah dinyatakan itu, adalah prinsip utama dasar hidup menurut Alkitab.

V. Dinamika etika
          Berulang kali Alkitab menekankan bahwa keadaan kodrat manusia yg sudah jatuh dalam dosa total mustahil mampu melakukan kehendak Allah. ‘Mereka yg hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah’ (#/TB Rom 8:8*). Satu-satunya harapan untuk dapat merealisasikan etika alkitabiah terletak pada kuasa yg disediakan dalam penebusan, dan hanya orang-orang yg terhisab dalam lingkungan penebusan ini yg mendapat bagian dari kuasa itu. Banyak unsur tercakup dalam persediaan kuasa itu. Di sini diminta sedikit perhatian khusus.
          a. Hubungan yg menopang dan dipegang orang percaya dengan kematian dan kebangkitan Yesus, itulah yg menjamin kebaharuan hidup itu yg dituntut etika alkitabiah. Orang percaya mati bersama Yesus dan bangkit bersama Dia ke kehidupan yg baru (bnd #/TB Rom 6:1-10*; #/TB 2Kor 5:14-15*; #/TB Ef 2:1-7*; #/TB Kol 3:1-4*; #/TB 1Pet 4:1-4*). Dalam kesatuan bersama Yesus yg demikian, tercakup pemutusan total dengan dosa yg menajiskan dan kuasa dosa itu, dan tercakup penyerahan mutlak kepada kebenaran, keadilan dan kekudusan (bnd #/TB Rom 8:14-18*). Tapi kebajikan yg bersumber dari kematian Yesus dan kebangkitan-Nya itu mantap terus ada dalam Yesus, tersedia dalam Dia bagi orang-orang percaya sudah dipersatukan dengan Dia. Justru kebajikan inilah, yg memancar dari Yesus sebagai Tuhan yg sudah bangkit dan naik ke sorga, adalah kuasa yg terus-menerus mengakibatkan tuntutan etika itu berbuah lebat. Persekutuan lestari dengan Yesus dan kuasa dari Dia menjadi jaminan bahwa orang percaya akan ingin melakukan apa yg menyenangkan hati Allah.

          b. Kebangkitan Yesus sangat erat terkait dengan pekerjaan Roh Kudus (bnd #/TB Yoh 14:16-17,26; 15:26; 16:7*; #/TB Kis 2:32-33*). Oleh kebangkitan-Nya Yesus menjadi Roh yg menghidupkan (#/TB 1Kor 15:45*) dan Dia-lah ‘Tuhan yg adalah Roh’ (#/TB 2Kor 3:18*). Maka kuasa etika Alkitab ialah Roh Kudus sebagai Roh Yesus. Kebaharuan hidup yg selaras dengan pola kebangkitan Yesus ialah ‘keadaan baru menurut Roh’ (#/TB Rom 7:6*). Anak-anak Allah dipimpin oleh Roh Allah (#/TB Rom 8:14*), mereka hidup oleh Roh (#/TB Gal 5:16,25*), kebajikan mereka ialah buah Roh (#/TB Gal 5:22-24*), kasih sebagai penggenapan Taurat ialah kasih Roh (#/TB Rom 15:30*). Orang percaya tetap didiami dan dirajai oleh Roh Kudus (bnd #/TB 1Kor 2:12*) dan, karena Roh Kudus adalah sumber kebenaran (#/TB Yoh 14:17*; #/TB 1Yoh 5:8*) dan kasih, kehadiran-Nya yg lestari mengakibatkan kebenaran menjadi nyata dan membuat kasih berbuah dalam praktik.
          c. Apabila penerangan, pimpinan dan kuasa Roh Kudus membuat kesadaran orang percaya lebih peka dan tanggap, maka pengaruhnya yang paling dalam atas perilaku etika ialah takut dalam semangat hormat kepada Allah. Perintah supaya mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan jiwa dan akal budi adalah perintah pertama dan yg terutama (#/TB Mat 22:37-38*). Sebab Allah ialah yg pertama dan yg terutama. Dan keunggulan Allah adalah kemuliaan-Nya, yg dipantulkan oleh kesadaran manusia dalam semangat takut dan hormat. Rasa takut dalam hormat kepada Allah inilah jiwa dari kesalehan, terdiri dari pengertian yg mendalam mengenai kemuliaan-Nya, kesadaran akan kehadiran-Nya yg menerusi seluruh hidup, dan kesadaran yg mantap bahwa dalam setiap segi kehidupan yg paling kita utamakan ialah melakukan hal-hal yang berkenan kepada Dia. Kuasa yg mendorong, dan kasih yg ditentukan oleh kesadaran akan kebesaran Allah yg demikian, tidaklah melulu perasaan. Cinta kasih harus dipupuk dengan kebenaran, dan takut dalam hormat kepada Allah adalah permulaan pengetahuan dan hikmat (#/TB Mazm 111:10*; #/TB Ams 1:7; 9:10*).
          Etika yg dituntut dan dibenarkan Alkitab, sumbernya ialah iman kepada Allah, pacunya ialah kasih, asas yg menentukan arahnya ialah Taurat Allah, dan tujuan yg merajainya ialah kemuliaan Allah. Inilah ukurannya secara ringkas dan semuanya padu yg satu merasuki lain.

  • KEPUSTAKAAN.
  • B Bruce, The Ethics of the Old Testament, 1909;
  • C. H Dodd, Gospel and Law, 1951;
  • W Eichrodt, The Theology of the Old Testament 2,1967;
  • D. H Field, Free to Do Right, 1973; N. L Geisler, Ethics, 1971;
  • C. F. H Henry, Christian Personal Ethics, 1957;
  • W Lillie, Studies in New Testament Ethics, 1961;
  • T. W Manson, Ethics and the Gospel, 1960;
  • L. H Marshall, The Challenge of New Testament Ethics, 1966;
  • J Murray, Principles of Conduct, 1957;
  • A Nygren, Agape and Eros, 1953;
  • R Schnackenburg, The Moral Teaching of the New Testament, 1965;
  • G. F Thomas, Christian Ethics and Moral Philosophy, 1955;
  • R V idler, Christ’s Strange Work, 1963;
  • J. W Wenham, The Goodness of God, 1974;
  • J. H Yoder, The Politics of Jesus, 1972.

No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...