ETIKA, ALKITABIAH
Kata ‘etika’
berasal dari kata Yunani ethos,
‘susila’; istilah itu terdapat dalam #/TB 1Kor 15:33*, diterjemahkan
‘kebiasaan yg baik’, tapi dalam PB kata yg lebih banyak dipakai untuk
mengartikan cara hidup ialah anastrofe dan kata kerja yg berpadanan (lih #/TB
2Pet 3:11*). Etika atau susila alkitabiah berbicara tentang cara hidup, yg
diatur dan disetujui Alkitab. Menurut Alkitab, susila dalam arti ‘kebiasaan yg
baik’ tidak dapat dilepaskan dari pembawaan batiniah (motif-motif) yg terungkap
dalam tingkah laku yg dapat diamati. Susila yg dituntut oleh Alkitab terkait
dengan hati manusia, sebab ‘dari situlah terpancar kehidupan’ dan ‘Allah
mengetahui hatimu’ (bnd #/TB Ams 4:23; 23:7*; #/TB Mr 7:18-21*; #/TB Luk
16:15*; #/TB Ibr 4:12*). Perintah-perintah Allah sering dalam rangka tuntutan
akan tindakan nyata atau terlarang, tapi janganlah menganggap bahwa
perintah-perintah itu hanya memperhatikan tindakan lahiriah saja (bnd #/TB Mat
5:28*; #/TB Rom 13:9-10*).
I. Kesatuan
Mudah
mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kesatuan pada etika yg diaturkan
Alkitab, yg contoh-contohnya dalam berbagai kurun sejarah adalah tergambar di
dalamnya. Menghadapi pandangan ini harus dilakukan beberapa pengamatan dan
pembedaan.
a. Kita harus mengingat kenyataan dan
makna dari penyataan yg bertangga-tangga’ (progresif). Langkah demi langkah
Allah menyatakan kehendak-Nya kepada umat manusia. Justru pada masa-masa
permulaan sejarah penyataan, penyataan aturan tentang tingkah laku manusia
tidaklah selengkap penyataan yg diberikan pada masa-masa kemudian. Penyataan,
seperti yg terpaut dengan sejarah dunia, mencapai puncaknya dalam PB, secara
khusus berpusat pada kedatangan dan pekerjaan Yesus Kristus. Pada kurun waktu
yg terakhir ini diberikan penyataan kehendak Allah selengkapnya mengenai etika,
juga kepenuhan kasih karunia untuk mewujudkan penyataan itu menghasilkan buah
yg selebat-lebatnya. Kepada siapa banyak diberi, dari dia dituntut banyak (#/TB
Luk 12:48*). Ini menerangkan, mengapa beberapa praktik tertentu dari beberapa
tokoh PL, yg jelas tidak taat asas dengan etika PB, dibiarkan dan tidak
ditindak dengan hukum agama atau hukum sipil pada zaman PL.
b.
Praktik nyata dari tokoh-tokoh Alkitab janganlah disamakan dengan etika
alkitabiah; yg terakhir membicarakan apa yg dituntut Allah, bukan
kekurangan-kekurangan atau hal-hal yg dicapai manusia.
c.
Kejatuhan manusia ke dalam dosa sangat mempengaruhi isi etika itu dalam
mengarahkan kelakuan manusia. Ketentuan-ketentuan baru harus ada untuk
menghadapi keadaan baru yg radikal diciptakan oleh dosa. Misalnya, karena dosa
dan rasa malu akibat dosa, pakaian menjadi suatu keharusan, yg tidak perlu ada
dalam keadaan tanpa dosa (bnd #/TB Kej 2:25; 3:21*). Dan berbagai hukuman
timbul karena dosa. Kesatuan etika alkitabiah memperhitungkan segenap kebutuhan
yg tercipta karena dosa dan kesalahan.
d.
Kita harus membedakan antara dibiarkan dari disetujui, antara mentoleransi dari
mengizinkan, jika kita menghadapi praktik-praktik yg terdapat dalam PL. Tuhan
Yesus membicarakan pembedaan ini dengan gamblang sehubungan dengan perceraian
yg dibiarkan oleh Musa (#/TB Ul 24:1-4*). Kata-Nya, Musa memperbolehkan
perceraian, ‘tetapi dari semula tidaklah demikian’ (#/TB Mat 19:8*). Peraturan
mula-mula dan asli dalam #/TB Kej 2:24*, yg menjadi acuan Yesus (#/TB Mat
19:5*) tidak memberi peluang bagi perceraian, justru sekali-kali tidak boleh
menyimpulkan bahwa jiwa institusi dalam #/TB Kej 2:24* sudah dicabut atau
dihapus. Bagian ini terkait juga dengan masalah poligami dan pembedaan yg sama
harus diterapkan.
e. Penebusan mempengaruhi sejarah
umat manusia. Karena keadaan yg diciptakan oleh dosa menuntut
ketentuan-ketentuan baru yg bersifat mengatur, maka penebusan pun menciptakan
seperangkat institusi yg mendalam mempengaruhi kelakuan manusia, yg tidak
relevan dalam keadaan tanpa dosa.
Tapi
sepanjang kurun sejarah ada suatu kesatuan yg merupakan ciri khas etika
alkitabiah. Seperangkat peraturan asal penciptaan jelas diuraikan dalam #/TB
Kej 1; 2*, yakni perintah untuk beranak
cucu, memenuhi bumi, menaklukkan bumi dan berkuasa atasnya (#/TB Kej 1:28*),
perintah mengenai hari ketujuh (#/TB Kej 2:2-3*), kerja, perkawinan (#/TB Kej
2:15*) dan monogami (#/TB Kej 2:23-24*). Dan adalah jelas bahwa larangan untuk
memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yg baik dan yg jahat, entah betapa
pun pentingnya bagi Adam dan Hawa dan bagi seluruh umat manusia, namun termasuk
golongan lain; larangan itu hanya relevan pada keadaan semula sebelum dosa
masuk dan bisa ditonjolkan sebagai peraturan pengujian’.
Jika kita
teliti semua peraturan asal penciptaan itu, akan kita lihat betapa relevan
semua peraturan itu kepada naluri-naluri dasar dan kepada
kepentingan-kepentingan paling bergelora di dasar hatinya, betapa
peraturan-peraturan itu meliputi pekerjaan atau kesibukan, yg akan mempengaruhi
pikiran dan tindakan manusia, dan betapa yg satu melengkapi dan menentukan yg
lain. Peraturan-peraturan asal penciptaan itu menyentuh setiap segi kehidupan
dam kelakuan manusia.
Mungkin kita
berpikir bahwa perubahan yg diakibatkan oleh datangnya dosa beserta
kesengsaraan yg ditimbulkannya, menuntut penghapusan, atau paling sedikit,
perubahan alas peraturan-peraturan itu. Tapi tidak demikian halnya.
Peraturan-peraturan itu tetap dipelihara dan diberlakukan dan bahwa itu tetap
perlu ada dengan segala kegunaannya, jelas terbukti dalam penyataan berikutnya
(bnd #/TB Kej 3:16,19; 4:1-2,17,25; 5:1-3; 9:7; 11:1-8*). Kesepuluh Firman
(Dasa Titah) merupakan inti pati dari etika alkitabiah. Tapi dengan mudah dapat
dilihat hubungan Kesepuluh Firman dengan peraturan-peraturan asal penciptaan.
Walaupun keadaan dan suasana manusia telah dijungkirbalikkan oleh dosa, namun
tata dasar dari dunia ini dan hidup manusia di dalamnya, tidaklah dimusnahkan.
Kesatuan yg
demikian utuh dapat kita temukan bahkan atas dasar prinsip-prinsip umum.
Manusia diciptakan menurut gambar Allah. Justru norma atau ukuran dasar bagi
manusia, tak dapat tidak, haruslah keserupaan dengan Allah sejauh hal itu cocok
dengan keadaan manusia sebagai makhluk. Tuntutan Allah atas manusia ialah
kesempurnaan Allah sendiri yg diungkapkan dalam peraturan yg mengatur pikiran
dan kelakuan manusia seirama dengan kesempurnaan itu. Karena Allah tidak
berubah, dan karena kewajiban manusia terhadap Allah tidak dapat dihapuskan,
maka suatu perubahan radikal dalam ukuran etika manusia, tak dapat dibayangkan.
II. Isi
Isi etika
alkitabiah ialah jumlah seluruh bahan nyata yg berhubungan dengan perilaku
manusia, seperti tertera dalam Alkitab. Jumlah total ini melingkupi keberbagaian
yg luas. Di dalamnya termasuk catatan mengenai kelakuan buruk dan penolakan
Allah atasnya, maupun perintah-perintah Allah beserta catatan mengenai kelakuan
baik dan perkenan Allah atasnya. Maka jelaslah kelihatan kesaksian Alkitab
berlipat ganda, yg tentangnya, sekalipun hanya uraian sepintas lalu saja akan
menjadi beberapa jilid buku. Kompleksitas segi ini timbul dari kompleksitas
hidup manusia dan keberbagaian keadaan yg tak terkira banyaknya mengenai
manusia. Kebesaran penyataan Alkitab ialah, bahwa oleh kekayaannya dan
kelengkapannya maka penyataan itu cocok dengan setiap keadaan, kapan dan di
mana pun kita berada. Alkitab dimaksudkan untuk ‘mendidik orang dalam
kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi
untuk setiap perbuatan baik’ (#/TB 2Tim 3:16* dab).
Tapi kendati
keberagaman yg berlipat ganda ini, sama jelasnya bahwa Alkitab memberi kita
ringkasan tolak ukur bagi pikiran, hidup dan kelakuan kita. Etika alkitabiah,
dengan mengingat kompleksitas hidup dan rangkaian luas dari tuntutan Allah,
sudah diatur di sekitar inti prinsip-prinsip dasar etika. Inti itu ialah
Kesepuluh Firman. Walaupun Kesepuluh Firman diumumkan di G Sinai, tapi itu
melulu bentuk nyata dan praktis dari dasar-dasar hidup yg relevan dan sudah
sejak lama diketahui. Ada bukti khusus mengenai keberlakuan perintah-perintah
ini — tuntutan dan sanksinya — sebelum Sinai (bnd #/TB Kej 2:2-3*; #/TB Kel
16:22-23*; #/TB Kej 4:10-12,23-24; 6:11; 9:5-6; 24:9-10; 39:9*).
Perintah-perintah itu berlaku sebelum Sinai, dan terus berlaku juga sesudah
zaman Musa berlalu. Tuhan Yesus pada saat mengumumkan hukum kerajaan-Nya,
berkata, ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum
Taurat atau kitab para nabi’ (#/TB Mat 5:17*). Dalam percakapan berikutnya Ia
menunjukkan bahwa pernyataan-Nya ini berhubungan dengan Kesepuluh Firman. Dia
terus menerangkan dan menerapkan beberapa dari perintah itu dan berkata bahwa
perintah itu masih berlaku dalam Kerajaan yg hendak didirikan-Nya (#/TB Mat 5:21-28,33-37*).
Begitu pula
Paulus waktu membicarakan kewajiban orang percaya, melukiskan Taurat digenapi
oleh kasih dengan mengutip 5 dari Kesepuluh Perintah (#/TB Rom 13:9*). Yakobus
secara khas menekankan perlunya perbuatan-perbuatan baik sebagai dampak atau
buah atau bukti dari iman, dan terus menerus menekankan bahwa Taurat Allah
harus dihormati secara keseluruhan. Ia berkata, ‘Barangsiapa menuruti seluruh
hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian daripadanya, ia bersalah terhadap
seluruhnya. Sebab Ia yg mengatakan Jangan berzinah, Ia mengatakan juga Jangan
membunuh. Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi
pelanggar hukum juga’ (#/TB Yak 2:10-11*). Dalam perintah-perintah itu kita
dapati suatu petunjuk kepada apa yg dimaksud Yakobus, tatkala ia menyebut
‘hukum yg memerdekakan orang’ sebagai ukuran mengenai yg baik dan untuk
menghakimi.
Kesepuluh
Firman mempedulikan hubungan-hubungan utama manusia. Pertama, dengan Allah,
kedua dengan sesamanya. Tak ada ringkasan yg lebih luas cakupannya. Kesepuluh
Firman membicarakan dasar-dasar yg kudus yg mendominasi iman, ibadah dan hidup.
Diri Allah, ibadah kepada-Nya, kekudusan Nama-Nya, kekudusan hari-Nya sebagai
hari istirahat dan ibadah, hormat kepada orang tua, nilai suci dari kehidupan,
pernikahan, harta milik, kebenaran dan kepuasan hati dengan keadaan kita. Bahwa
firman-firman ini mengatur kelakuan manusia yg ditebus telah ditekankan pada
saat pengumumannya di G Sinai. Pengukuhannya dituntut dengan kata pendahuluan,
‘Aku-lah Tuhan Allah-mu, yg membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat
perbudakan’ (#/TB Kel 20:2*). Betapa jauh lebih besar tuntutan yg memadani
penebusan Kristen dibandingkan tuntutan Keluaran Israel dari Mesir yg pada
dirinya merupakan lambang raja!
III. Motivasi
Sering
timbul kekacauan sehubungan dengan kata-kata Yesus, ‘kepada kedua hukum inilah
tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi’ (#/TB Mat 22:37-40*: #/TB
Mr 12:30-31*: #/TB Luk 10:27*; bnd #/TB Ul 6:5*). Ucapan Paulus, ‘kasih ialah
kegenapan Taurat’ (#/TB Rom 13:10*) juga menimbulkan kekacauan yg sama. Ay-ay
seperti itu pernah ditafsirkan mengartikan bahwa dalam etika Kristen kasih
sudah mengambil tempat Taurat. Tidak boleh ada penolakan terhadap kata-kata
Yesus atau pernyataan Paulus, tempat kasih harus sepenuhnya dihormati.
Sekalipun demikian, janganlah kasih disamakan dengan Taurat atau pun
ditafsirkan membatalkan Taurat.
Dalam
kata-kata Yesus dan Paulus jelas ada perbedaan antara kasih dan Taurat yg
bergantung pada kasih itu, juga antara kasih dan Taurat yg digenapi oleh kasih
itu. Kasih bukanlah Taurat itu sendiri. Justru ada isi Taurat yg tidak
ditentukan oleh kasih itu. Dan Paulus menerangkan apa yg dimaksudkannya dengan
Taurat yg berbeda dari kasih, dengan mengutip — dalam kerangka ini beberapa
aturan dari Kesepuluh Perintah (#/TB Rom 13:9*). Dengan demikian jika kita
berbicara tentang ‘hukum kasih’, tidaklah berarti bahwa kasih itu pada dirinya
sendiri merupakan suatu hukum.
Kasih
adalah penggenapan Taurat, karena kasih mewajibkan orang bertindak selaras
dengan yg diaturkan oleh Taurat. Kasih mempunyai dua unsur, yaitu emotif (pacu
emosi) dan motif. Karena kasih mempunyai unsur emotif, maka diciptakannya
kerinduan dan kasih sayang pada obyeknya itu Maka penggenapan Taurat yg dipacu
dan diwajibkannya itu bukanlah keselarasan yg dipaksakan atau yg tidak disukai
tapi ketaatan sukarela disertai sukacita. Di luar kasih yg mewajibkan dan
memacu ini tak ada penggenapan Taurat Penggenapan Taurat sama dengan ketaatan
terhadapnya, dan ketaatan selalu menggenggam sifat bahwa hati dan kehendak
setuju tanpa pamrih. Jika kasih sudah merasuki seluruh hidup, maka penggenapan
Taurat sudah lengkap. Inilah kesaksian seluruh Alkitab. Teladan paling unggul
ialah Tuhan Yesus (bnd #/TB Mazm 40:7*; #/TB Yoh 4:34*). Pemazmur dan Paulus
memberi kesaksian yg sama (#/TB Mazm 119:7*; #/TB Rom 7:22*).
Dosa ialah permusuhan terhadap Allah, dan
permusuhan adalah lawan kasih. Karena manusia sudah berdosa, maka kasih
terhadap Allah hanya dapat ditumbuhkan kembali dalam hati manusia melalui kuasa
penebusan. Hanya api cinta kasih Allah yg diwujudkan dalam penyerahan AnakNya,
yg dapat menyalakan kasih dalam hati kita. Inilah maksud #/TB 1Yoh 4:19*, ‘Kita
mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita’, dan ay-ay yg mendahului
ay ini memaparkan urutan itu. Di sini terletak kuasa pendorong dari kasih.
Bilamana kasih Allah terhadap kita sudah dicurahkan di seantero hati kita (bnd
#/TB Rom 5:5*), maka kasih terhadap-Nya akan mengisi hati kita dan mendorong
kita untuk hidup saleh. Pacuan daya kasih dan rahmat dikenal hanya oleh orang
yg sudah diampuni.
IV. Prinsip
Dasar utama
etika dapat diungkapkan dalam berbagai cara.
a. Keserupaan dengan Allah.
Tujuan akhir proses etika ialah supaya serupa dengan gambar Anak Allah (#/TB
Rom 8:29*; #/TB 2Kor 3:18*; #/TB Fili 3:21*). Karena inilah tujuannya, maka
gambar Anak Allah harus terus-menerus mengatur seluruh kelakuan manusia.
Berdasarkan alasan ini maupun alasan-alasan lainnya, maka Tuhan Yesus sebagai
teladan mutlak menjadi tolok ukur. Yesus murni kudus, tidak menyusahkan, tanpa
cacat, tidak berbuat dosa: melalui teladan hidup-Nya kita dengan cara yg tak
ada taranya diperhadapkan kepada tuntutan kekudusan dan kebenaran. Bahkan apa
yang dikerjakanNya secara khas dikemukakan sebagai teladan bagi kita, bahwa
kita patut mengikuti jejak-Nya (bnd #/TB Mat 20:25-28*; #/TB Mr 10:42-45*; #/TB
Fili 2:6-8*; #/TB 1Pet 2:21-24*); bukan dalam arti bahwa kita harus mengikuti
Dia melakukan pekerjaan yg sangat khusus dan khas itu, melainkan dalam arti
bahwa kita tanpa pamrih harus mengikuti Dia taat dalam ketaatan-Nya yg tanpa
reserve kepada kehendak BapakNya, dalam panggilan yg diserukan kepada kita.
Karena Yesus ialah gambar Allah,
maka kecocokan atau keserupaan dengan Yesus sekaligus adalah keserupaan dengan
gambar Allah. Itulah sebabnya mengapa keserupaan dengan Bapak dijadikan ukuran
kelakuan orang percaya. Yesus meringkaskannya sebagai peraturan dalam
KerajaanNya, ‘haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapak-mu yg di sorga adalah
sempurna’ (#/TB Mat 5:48*). Sebagai makhluk yg diciptakan Allah menurut
gambar-Nya, tugas kita tidak kurang sekelumit pun untuk berupaya mencapai
kesempurnaan yg selaras dengan kesempurnaan Allah Bapak, yaitu ukuran dan
tujuan dari tuntutan etika. Keserupaan dengan Bapak itulah yg dimaksud oleh
Yohanes tatkala ia berkata, ‘Setiap orang yg menaruh pengharapan itu
kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yg adalah suci’ (#/TB 1Yoh 3:3*).
b. Ketaatan kepada perintah-perintah
Allah. Prinsip dasar ini tertera dalam hubungan manusia dengan Allah sejak
permulaan. Larangan di Eden (#/TB Kej 2:17*) meringkaskannya; pemeriksaan
terhadap Adam sesudah kejatuhannya ke dalam dosa menyoroti dia dengan tajam
sekali (#/TB Kej 3:11*); kutuk kepada Adam mendaftarkan hukumannya (#/TB Kej
3:17*). Penyataan penebusan mengambil bentuk pemerintahan berdasarkan
perjanjian, dan menaati suara Allah dan ajaran-ajaran-Nya adalah jawaban Israel
kepada janji-janji-Nya (bnd #/TB Kej 17:10*; #/TB Kel 19:5; 20:1-17; 24:7*).
Yesus sendiri mengukuhkan prinsip dasar ini waktu Dia berkata, ‘Jikalau kamu
mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu’ (#/TB Yoh 14:15*). Dan
Yohanes, yg mengetahui kehendak Tuhan-nya, mengulangi hal yg sama, ‘Inilah
tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti
perintah-perintah-Nya’ (#/TB 1Yoh 2:3*; bnd #/TB Rom 6:16-17*; #/TB 2Kor 10:5*;
#/TB Ibr 5:9*).
c. Menyenangkan hati Allah. Tak
ada pertimbangan yg lebih tinggi bagi pikiran orang saleh daripada kerinduan
‘menjadi’ dan ‘berbuat’ sehingga menyenangkan hati Allah. Henokh hidup bergaul
dengan Allah (#/TB Kej 5:22*) dan penghormatan yg diberikan kepadanya ialah ia
‘berkenan kepada Allah’ (#/TB Ibr 11:5*). Paulus dalam #/TB Rom 12:2* memulai
penerapan ajaran yg diuraikannya sebelumnya dengan menekankan prinsip dasar
ini. Ia membela perilakunya sendiri dengan mengatakan bahwa prinsip ini
merupakan dasar yg menentukan arah hidupnya (#/TB 1Tes 2:4*; bnd #/TB Gal
1:10*; #/TB 1Tes 4:1*). Kedudukan Yesus sekaligus Tuan dan Tuhan terjalin padu
dengan prinsip dasar ini. Yesus mati, hidup dan bangkit kembali ‘supaya Ia
menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup’ (#/TB
Rom 14:9*; bnd #/TB Fili 2:9-11*). Pelayanan kita terhadap Yesus sebagai Tuhan
adalah jaminan bahwa kita sudah berkenan kepada Allah (#/TB Rom 14:18*). Dalam
memohon berkat penulis Ibr tak mungkin memohonkan sesuatu yg lebih besar
daripada ‘kiranya [Allah] memperlengkapi kamu dengan segala yg baik untuk
melakukan kehendak-Nya, dan mengerjakan di dalam kita apa yg berkenan
kepada-Nya oleh Yesus Kristus’ (#/TB Ibr 13:21*).
Dari sudut
mana pun soal ini dipandang, selalu dapat disimpulkan bahwa kegairahan supaya
kita selaras dan sesuai dengan kehendak Allah yg sudah dinyatakan itu, adalah
prinsip utama dasar hidup menurut Alkitab.
V. Dinamika etika
Berulang kali Alkitab menekankan
bahwa keadaan kodrat manusia yg sudah jatuh dalam dosa total mustahil mampu
melakukan kehendak Allah. ‘Mereka yg hidup dalam daging, tidak mungkin
berkenan kepada Allah’ (#/TB Rom 8:8*). Satu-satunya harapan untuk dapat
merealisasikan etika alkitabiah terletak pada kuasa yg disediakan dalam
penebusan, dan hanya orang-orang yg terhisab dalam lingkungan penebusan ini yg
mendapat bagian dari kuasa itu. Banyak unsur tercakup dalam persediaan kuasa
itu. Di sini diminta sedikit perhatian khusus.
a. Hubungan yg menopang dan dipegang
orang percaya dengan kematian dan kebangkitan Yesus, itulah yg menjamin
kebaharuan hidup itu yg dituntut etika alkitabiah. Orang percaya mati
bersama Yesus dan bangkit bersama Dia ke kehidupan yg baru (bnd #/TB Rom
6:1-10*; #/TB 2Kor 5:14-15*; #/TB Ef 2:1-7*; #/TB Kol 3:1-4*; #/TB 1Pet
4:1-4*). Dalam kesatuan bersama Yesus yg demikian, tercakup pemutusan total
dengan dosa yg menajiskan dan kuasa dosa itu, dan tercakup penyerahan mutlak
kepada kebenaran, keadilan dan kekudusan (bnd #/TB Rom 8:14-18*). Tapi
kebajikan yg bersumber dari kematian Yesus dan kebangkitan-Nya itu mantap terus
ada dalam Yesus, tersedia dalam Dia bagi orang-orang percaya sudah dipersatukan
dengan Dia. Justru kebajikan inilah, yg memancar dari Yesus sebagai Tuhan yg sudah
bangkit dan naik ke sorga, adalah kuasa yg terus-menerus mengakibatkan tuntutan
etika itu berbuah lebat. Persekutuan lestari dengan Yesus dan kuasa dari Dia
menjadi jaminan bahwa orang percaya akan ingin melakukan apa yg menyenangkan
hati Allah.
b. Kebangkitan Yesus sangat erat terkait
dengan pekerjaan Roh Kudus (bnd #/TB Yoh 14:16-17,26; 15:26; 16:7*; #/TB
Kis 2:32-33*). Oleh kebangkitan-Nya Yesus menjadi Roh yg menghidupkan (#/TB
1Kor 15:45*) dan Dia-lah ‘Tuhan yg adalah Roh’ (#/TB 2Kor 3:18*). Maka kuasa
etika Alkitab ialah Roh Kudus sebagai Roh Yesus. Kebaharuan hidup yg selaras
dengan pola kebangkitan Yesus ialah ‘keadaan baru menurut Roh’ (#/TB Rom 7:6*).
Anak-anak Allah dipimpin oleh Roh Allah (#/TB Rom 8:14*), mereka hidup oleh Roh
(#/TB Gal 5:16,25*), kebajikan mereka ialah buah Roh (#/TB Gal 5:22-24*), kasih
sebagai penggenapan Taurat ialah kasih Roh (#/TB Rom 15:30*). Orang percaya
tetap didiami dan dirajai oleh Roh Kudus (bnd #/TB 1Kor 2:12*) dan, karena Roh
Kudus adalah sumber kebenaran (#/TB Yoh 14:17*; #/TB 1Yoh 5:8*) dan kasih,
kehadiran-Nya yg lestari mengakibatkan kebenaran menjadi nyata dan membuat
kasih berbuah dalam praktik.
c.
Apabila penerangan, pimpinan dan kuasa Roh Kudus membuat kesadaran orang
percaya lebih peka dan tanggap, maka pengaruhnya yang paling dalam atas
perilaku etika ialah takut dalam semangat hormat kepada Allah. Perintah supaya
mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan jiwa dan akal budi adalah perintah
pertama dan yg terutama (#/TB Mat 22:37-38*). Sebab Allah ialah yg pertama dan
yg terutama. Dan keunggulan Allah adalah kemuliaan-Nya, yg dipantulkan oleh
kesadaran manusia dalam semangat takut dan hormat. Rasa takut dalam hormat
kepada Allah inilah jiwa dari kesalehan, terdiri dari pengertian yg mendalam
mengenai kemuliaan-Nya, kesadaran akan kehadiran-Nya yg menerusi seluruh hidup,
dan kesadaran yg mantap bahwa dalam setiap segi kehidupan yg paling kita
utamakan ialah melakukan hal-hal yang berkenan kepada Dia. Kuasa yg mendorong,
dan kasih yg ditentukan oleh kesadaran akan kebesaran Allah yg demikian,
tidaklah melulu perasaan. Cinta kasih harus dipupuk dengan kebenaran, dan takut
dalam hormat kepada Allah adalah permulaan pengetahuan dan hikmat (#/TB Mazm
111:10*; #/TB Ams 1:7; 9:10*).
Etika yg dituntut dan dibenarkan Alkitab,
sumbernya ialah iman kepada Allah, pacunya ialah kasih, asas yg menentukan
arahnya ialah Taurat Allah, dan tujuan yg merajainya ialah kemuliaan Allah.
Inilah ukurannya secara ringkas dan semuanya padu yg satu merasuki lain.
- KEPUSTAKAAN.
- B Bruce, The Ethics of the Old Testament, 1909;
- C. H Dodd, Gospel and Law, 1951;
- W Eichrodt, The Theology of the Old Testament 2,1967;
- D. H Field, Free to Do Right, 1973; N. L Geisler, Ethics, 1971;
- C. F. H Henry, Christian Personal Ethics, 1957;
- W Lillie, Studies in New Testament Ethics, 1961;
- T. W Manson, Ethics and the Gospel, 1960;
- L. H Marshall, The Challenge of New Testament Ethics, 1966;
- J Murray, Principles of Conduct, 1957;
- A Nygren, Agape and Eros, 1953;
- R Schnackenburg, The Moral Teaching of the New Testament, 1965;
- G. F Thomas, Christian Ethics and Moral Philosophy, 1955;
- R V idler, Christ’s Strange Work, 1963;
- J. W Wenham, The Goodness of God, 1974;
- J. H Yoder, The Politics of Jesus, 1972.
No comments:
Post a Comment