MATI, KEMATIAN, MAUT
Dari satu sudut
kematian termasuk peristiwa yg paling lumrah: ‘manusia ditetapkan untuk mati
hanya satu kali saja’ (#/TB Ibr 9:27*). Kiranya bisa diterima tanpa
perbantahan: ‘Marilah kita pergi juga untuk mati bersama dengan Dia’ (#/TB Yoh
11:16*). Dari sudut pandang yg lain, maut atau kematian merupakan hal yg paling
tidak wajar. Maut adalah upah dosa (#/TB Rom 6:23*), karma itu patut ditakuti.
Kedua sudut pandang ini terdapat dalam Alkitab, dan tidak boleh dilalaikan.
Secara biologis kematian adalah keharusan, tapi kematian manusia tidaklah
seperti kematian binatang.
I. Kematian badani
Badan yg
diciptakan seperti badan kita, nampaknya harus mengalami kematian. Paling tidak
kerusakan bada dan pembusukan tak dapat dielakkan. Tapi Alkitab menyebut maut
atau kematian adalah akibat dosa. Allah berkata kepada Adam, ’…pada hari engkau
memakannya, pastilah engkau mati’ (#/TB Kej 2:17*). Kata Paulus, ’…dosa telah
masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga Maut(#/TB Rom
5:12*), dan ia tambahkan lagi ‘upah dosa ialah maut’ (#/TB Rom 6:23*).
Tapi jika
masalahnya ditinjau lebih teliti, maka nampak bahwa Adam tidak serta-merta mati
secara badani pada hari ia melanggar perintah Allah. Dan dalam #/TB Rom 5; 6*, maut sebagai akibat dosa Adam
dipertentangkan oleh Paulus dengan hidup yg diberikan oleh Kristus kepada
manusia. Jelas, pemilikan hidup yg kekal tidak meniadakan kematian badani.
Hidup yg kekal berkaitan dengan suatu keadaan rohani, bukan dengan peristiwa dalam
dunia badani. Kesimpulan yg dapat diambil dari semuanya ini ialah, bahwa maut,
sebagai upah dari dosa, jauh lebih mengerikan dibandingkan kematian badani.
Tapi dengan
ini harus diperhatikan pemikiran yg lain, bahwa ay-ay Alkitab yg menghubungkan
dosa dengan maut tidaklah mengurangi hakikat maut. Kita tidak dapat mengerti
dari ay-ay itu, bahwa ada sesuatu yg lain dari maknanya yg biasa yg terkait
dengan kata maut. Barangkali dapat kita mengerti bahwa mortalitas atau
‘kefanaan’ adalah dampak dari dosa Adam, dan bahwa hukumannya mencakup
kedua-duanya — badani dan rohani. Tapi tak banyak yg kita ketahui tentang
keadaan Adam sebelum ia jatuh ke dalam dosa, sehingga tak dapat kita ungkapkan
sesuatu tentang keadaan itu. Jika badannya seperti badan kita, maka badannya
juga fana. Jika tidak, tak ada jalan bagi kita untuk mengetahui bagaimana
keadaannya, apakah badannya fana atau tidak.
Nampaknya
lebih baik mengartikan maut sebagai sesuatu yg mengungkung dini manusia
seutuhnya. Manusia mati bukanlah sebagai badani. Manusia mati sebagai manusia
dalam totalitas dirinya. Ia mati sebagai diri yg rohani dan badani. Dan Alkitab
tidak memberikan perbedaan yg jelas antara kedua segi itu. Maka kematian badani
adalah lambang yg tepat, dan pengungkapan yg tepat, dan juga penyatuan yg tepat
dengan arti itu, yg menjelaskan lebih mendalam bahwa maut adalah akibat dosa
dan tidak terelakkan.
II. Kematian rohani
Kematian
ialah hukuman yg dijatuhkan Allah. #/TB Rom 6:23* menyatakan bahwa maut adalah
‘upah’ dosa, artinya ganjaran yg patut atas dosa. Paulus bicara tentang pendosa
tertentu yg mengetahui ‘tuntutan-tuntutan hukum Allah, bahwa setiap pendosa
demikian patut dihukum mati…’ (#/TB Rom 1:32*). Jika Yohanes menunjuk kepada
‘dosa yg mendatangkan maut’ (#/TB 1Yoh 5:16*), dasar hunjukannya adalah
ketetapan Allah. Ini merupakan kebenaran yg sangat penting, dan memungkinkan
kita melihat sifat maut yg sangat mengerikan. Dan serentak, walaupun sangat
paradoksal, memberi kita pengharapan.
Manusia
bukanlah terjerat dalam jaring takdir suratan tangan, sehingga bila berdosa
satu kali, seolah-olah tak ada lagi apa pun yg dapat diperbuat mengenai hal
itu. Allah di atas seluruh peristiwa yg terjadi. Jika Ia tetapkan bahwa maut
adalah hukuman alas dosa, Dia juga menentukan akan memberi hidup yg kekal
kepada orang berdosa.
Kadang-kadang PB menekankan kengerian akibat-akibat dosa dengan menunjuk
kepada ‘kematian yg kedua’ (#/TB Yud 1:12*; #/TB Wahy 2:11*; dll). Demikianlah
para rabi mengungkapkannya dengan arti kebinasaan yg kekal. Ungkapan ini harus
dipahami bersama ucapan Tuhan Yesus ‘api yg kekal yg telah sedia untuk Iblis
dan malaikat-malaikatnya’ (#/TB Mat 25:41*), dan ay ‘siksaan yg kekal’ (sebagai
lawan dari ‘hidup yg kekal’, #/TB Mat 25:46*) dan ay-ay yg sejajar. Keadaan
akhir orang yg tidak mau bertobat diterangkan dengan berbagai istilah seperti
maut, hukuman, binasa, dsb. Jelas tidaklah bijaksana menyamakan keadaan akhir
itu dengan salah satu istilah tersebut. Tapi jelas, berdasarkan pandangan
Alkitab, keadaan itu harus dipandang sangat mengerikan.
Ada yg
mengatakan hal ini bertentangan dengan hakikat Allah sebagai Allah yg pengasih.
Memang di sini ada rahasia yg dalam sekali, tapi dapat dikatakan bahwa keberatan
itu, seperti biasa diungkapkan, tidak melihat kenyataan bahwa maut adalah
keadaan dan sekaligus peristiwa. ‘Keinginan daging adalah maut’, demikian
Paulus (#/TB Rom 8:6*). Ia tidak mengatakan bahwa keinginan daging akan
menimbulkan maut. Yg dia katakan ialah bahwa keinginan daging itu sendirilah
maut. Ditambahkannya bahwa ‘keinginan daging ialah perseteruan terhadap Allah,
karena tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin’.
Kebenaran yg
sama diungkapkan dengan cara lain tatkala Yohanes berkata, ‘Barangsiapa tidak
mengasihi, ia tetap di dalam maut’ (#/TB 1Yoh 3:14*). Jika kita dapat memahami
kebenaran bahwa maut adalah keadaan, maka jelas mustahil diselamatkan orang yg
tidak mau bertobat. Keselamatan bagi orang seperti itu merupakan pertentangan
peristilahan. Supaya selamat seseorang harus pindah dari maut ke dalam hidup
(#/TB Yoh 5:24*).
III. Kemenangan melawan maut
Ciri ajaran
PB yg sangat menarik bertalian dengan maut, ialah penekanannya tentang
kehidupan. Jika membuka konkordansi kita akan mendapati betapa seringnya nekros
(’ mati’) dipakai berkaitan dengan bangkit dari kematian atau yg serupa dengan
itu. Alkitab menyoroti maut seperti menyoroti semua realita lainnya. Tapi pusat
perhatian Alkitab ialah kehidupan, dan maut dibicarakan kurang lebih secara
kebetulan sebagai sesuatu dari mana manusia diselamatkan. Kristus mengenakan
pada diriNya kodrat kemanusiaan, ‘supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia,
yaitu Iblis, yg berkuasa atas maut’ (#/TB Ibr 2:14*).
Kuasa Iblis
selalu dianggap tunduk kepada pemerintahan Allah (#/TB Ayub 2:6*; #/TB Luk
12:5*; dll). Dan Iblis tidak berkuasa mutlak atas kematian. Kendati demikian,
maut yaitu pengingkaran hidup, adalah khas kawasan Iblis. Dan kedatangan
Kristus telah mengakhiri maut. Melalui kematian — demikian Surat Ibr — Kristus
mengalahkan Iblis. Melalui kematian Kristus menghapuskan dosa kita. ‘Kematian-Nya
adalah kematian terhadap dosa, satu kali…’ (#/TB Rom 6:10*). Terlepas dari
Kristus, maut adalah musuh paling utama, lambang dari keterbuangan kita dari
Allah, puncak kengerian. Tapi Kristus telah menggunakan kematian untuk
melepaskan manusia dari maut. Ia mati supaya manusia beroleh hidup. Bermakna
sekali bahwa PB menyebut orang percaya ’(ter)tidur’ ketimbang ‘mati’ (ump #/TB
1Tes 4:14*; dlm TB! ‘telah meninggal dlm Yesus’ = bh Yunani ‘telah tertidur dlm
Yesus’). Yesus mengalami segenap kengerian maut. Justru bagi orang yg sudah ‘di
dalam Kristus’, maut sudah diubah sehingga hal itu tidak lebih dari keadaan
tidur.
Bobot
kemenangan Kristus atas maut nyata jelas pada kebangkitan-Nya. ‘Kristus yg
sudah bangkit dari kematian tidak akan pernah mati lagi; maut tidak berkuasa
lagi atas Dia’ (#/TB Rom 6:9*). Kebangkitan Kristus adalah peristiwa kemenangan
akbar. Kebangkitan inilah sumber seluruh nada kemenangan dalam PB. Kristus
ialah ‘Pemimpin kepada hidup’ (#/TB Kis 3:15*), ‘Tuhan, baik atas orang-orang
mati, maupun atas orang-orang hidup’ (#/TB Rom 14:9*), ‘Firman hidup’ (#/TB
1Yoh 1:1*). Kemenangan-Nya atas maut genap dan sempurna. Dan kemenangan-Nya
disediakan-Nya bagi umat-Nya. Binasanya maut adalah pasti (#/TB 1Kor 15:26,54*
dab; #/TB Wahy 21:4*). Kematian yg kedua tidak berkuasa lagi atas orang percaya
(#/TB Wahy 2:11; 20:6*). Sesuai dengan ini maka pengertian PB mengenai hidup yg
kekal bukanlah ketidakfanaan (immortalitas) roh manusia, tapi dalam arti
kebangkitan tubuh. Tidak ada sesuatu apa pun lagi yg dapat melukiskan lebih
nyata kekalahan maut secara mutlak dan final.
Jadi ada dan
tersedia tidak hanya saat gemilang masa akan datang, tapi juga masa kini. Orang
percaya sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup (#/TB Yoh 5:24*; #/TB 1Yoh
3:14*). Dia sudah bebas ‘dari hukum dosa dan hukum maut (#/TB Rom 8:2*). Maut
tidak akan dapat memisahkan dia dari Allah (#/TB Rom 8:38-39*). Kata Yesus,
‘Barangsiapa menuruti FirmanKu, ia tidak akan mengalami maut’ (#/TB Yoh 8:51*).
Ucapan ini tidaklah menyangkali realita kematian tubuh manusia. Tapi
menunjukkan kebenaran bahwa kematian Yesus mengandung anti, bahwa orang percaya
benar-benar sudah pindah dari keadaan yg bernama maut. Ia dipindahkan ke
keadaan yg baru, yg dengan tepat ditandai sebagai hidup. Pada suatu waktu ia
harus melalui kematian. Tapi sengat maut kematian itu sudah dicabut. Kematian
Yesus berarti kemenangan atas maut bagi pengikut-Nya.
KEPUSTAKAAN.
C. S Lewis, Miracles, 1947, hlm 150 dst; J Pelikan, The
Shape of Death, 1962;
Leon Morris, The Wages of Sin, 1955;
K Rahner, On the Theology of Death, 1961;
M Paternoster, Thou Art There Also; God, Death and hell,
1967.
No comments:
Post a Comment