INKARNASI
(PENJELMAAN)
I. Arti kata
Baik kata
benda ‘inkarnasi’ maupun kata sifatnya tidak terdapat dalam Alkitab. Tapi
padanan kata Yunani bagi bh Latin in carne (en sarki) terdapat pada beberapa
pernyataan penting dalam PB tentang pribadi dan karya Yesus Kristus. Nyanyian
pujian yg dikutip dalam #/TB 1Tim 3:16* menyebut ‘Dia, yg telah menyatakan
diriNya dalam rupa manusia.’ Dalam ay-ay berikutnya bh aslinya ialah en sarke,
yg salinannya dalam bh Indonesia berbeda-beda. Yohanes menganggap tiap
penyangkalan bahwa Yesus Kristus ‘telah datang sebagai manusia’ (#/TB 1Yoh
4:2*; #/TB 2Yoh 1:7*) telah berasal dari roh antikristus. Paulus mengatakan,
bahwa Kristus membuat karya pendamaian-Nya ‘di dalam tubuh jasmaniNya’ (#/TB
Kol 1:22*; bnd #/TB Ef 2:15*), dan bahwa dengan mengutus AnakNya ‘dalam daging,
yg serupa dengan daging yg dikuasai dosa’, Allah ‘telah menjatuhkan hukuman
atas dosa dalam tubuh’ (#/TB Rom 8:3*). Petrus berkata tentang Kristus yg mati
untuk kita ‘dalam keadaan-Nya sebagai manusia’ (sarki, kasus datif dari sarx:
#/TB 1Pet 3:18; 4:1*). Semua ay ini menekankan kebenaran yg sama dari berbagai
segi: sungguh benar bahwa dengan kedatangan-Nya dan kematian-Nya ‘di dalam
keadaan-Nya sebagai manusia’, Kristus ‘memiliki’ dan menjamin keselamatan kita.
Kita menamakan kedatangan-Nya inkarnasi atau penjelmaan dan kematian-Nya
pendamaian.
Dalam
Alkitab kata Ibrani basar, sye’er, Yunani sarx mempunyai arti jasmani, yaitu
bahan padat, yg bersama darah dan tulang merupakan organisme jasmani manusia
atau binatang (bnd #/TB Kej 2:21*; #/TB Luk 24:39*; #/TB 1Kor 15:50*). Oleh
karena pemikiran Ibrani menghubungkan anggota tubuh dengan fungsi-fungsi batiniah,
kita temukan bahwa dalam PL kata ini dapat mencakup aspek-aspek batiniah maupun
jasmaniah dari hidup manusia pribadi (bnd kesejajaran antara ‘daging’ dan
‘hati’, #/TB Mazm 73:26*, dan antara ‘tubuh’ dan jiwa’, #/TB Mazm 63:1*). Tapi
kata ini mengandung lebih dari hanya arti antropologis. Alkitab melihat daging
jasmaniah sebagai suatu lambang teologis yg penting, yaitu lambang dari suatu
jenis hidup yg diciptakan dan yg bergantung (kepada Pencipta), yg sama dimiliki
oleh manusia dan binatang. Jenis hidup ini berasal dari Allah, tapi tidak sama
dengan hidup Allah sendiri, sebab jenis hidup ini mutlak memerlukan suatu
organisme jasmaniah guna menopangnya dalam semua aktivitasnya.
Karena
itulah basar menjadi istilah umum untuk manusia, atau binatang, atau untuk
manusia dan binatang bersama-sama (bnd #/TB Kej 6:12; 7:15,21* dst), dipandang
sebagai ciptaan Allah, yg hidupnya di dunia ini berlangsung singkat, selama
Allah menyediakan napas kehidupan dalam rongga pernapasannya. Jadi basar dalam
arti teologis yg berkembang bukanlah sesuatu yg ‘dimiliki’ seseorang, melainkan
sesuatu yg dia ‘ada’. Cirinya sebagai makhluk adalah lemah dan lunak (#/TB Yes
40:6*), dan dalam keadaan demikian berlainan dengan ‘roh’, kekuatan yg abadi
dan yg tak kunjung padam, yg berasal dari Allah, dan adanya Allah (#/TB Yes
31:3*; bnd #/TB Yes 40:6-31*). *DAGING.
Apabila
dikatakan, bahwa Yesus Kristus datang dan mati ‘di dalam daging’, itu berarti,
bahwa Dia datang dan mati dalam keadaan dan dalam kondisi hidup jasmani dan
rohani yg diciptakan: dengan perkataan lain, bahwa Dia yg mati itu adalah
manusia. Tapi PB menegaskan pula, bahwa Dia yg mati itu adalah dari kekal dan
juga terus-menerus adalah Allah. Jadi, kebenaran tentang inkarnasi yg harus
dirumuskan ialah, bahwa Allah, tanpa berhenti sebagai Allah, juga menjadi
manusia. Hal inilah yg dinyatakan oleh Yohanes dalam Pendahuluan Injil-nya:
‘Firman itu’ (pelaku Allah dlm penciptaan, yg ‘pada mulanya’, sebelum
penciptaan, bukan hanya ‘bersama-sama dengan Allah’, melainkan juga ‘adalah
Allah’, #/TB Yoh 1:1-3*) ‘menjadi manusia’ (sarx) (#/TB Yoh 1:14*).
II. Asal dari ajaran itu
Pernyataan
yg begitu tegas bila dipertimbangkan secara abstrak dengan latar belakang
monoteisme PL, nampaknya adalah penghujatan atau omong kosong yg keterlaluan,
seperti memang demikian anggapan Yudaisme ortodoks. Itu berarti bahwa Pencipta
ilahi itu menjadi salah satu dari ciptaan-Nya sendiri, yg pada pandangan
pertama merupakan melulu omong kosong. Dan mana datangnya keyakinan yg
mendasari pernyataan Yohanes yg aneh itu? Bagaimana timbulnya kepercayaan
gereja perdana bahwa Yesus dari Nazaret adalah Allah yg berinkarnasi?
Karena
adanya anggapan bahwa ajaran itu tidak timbal dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
Yesus sendiri, melainkan yg timbul di kemudian hari, maka telah dicari asalnya
dalam spekulasi-spekulasi Yahudi tentang seorang Mesias praeksistensi dan supra
alami. Asalnya juga dicari dalam dongeng-dongeng politeis mengenai dewa-dewa penyelamat
yg lazim dalam agama-agama mis. teri Yunani dan bidat-bidat Gnostik. Tapi
sekarang umum diakui, bahwa usaha ini telah gagal: sebabnya ialah
perbedaan-perbedaan antara khayalan Yahudi dan kekafiran pada satu pihak, dan
Kristologi PB pada pihak lain, jelas jauh lebih hakiki dan mendalam akarnya
daripada persamaan-persamaannya yg dangkal. Penyebab yg kedua ialah, bahwa
tuntutan atas keilahian ada terkandung dalam ucapan Yesus yg historis itu, yg
tidak dapat disangsikan seperti yg diberitakan dalam Injil-injil Sinoptik, dan
bahwa penerimaan tuntutan ini mendasari kepercayaan dan peribadatan gereja
perdana di Palestina, seperti digambarkan dalam ps-ps pertama Kis (historisitas
hakikinya sekarang jarang diperdebatkan).
Satu-satunya
keterangan yg mencakup fakta-fakta itu ialah, bahwa pengaruh kuat dari hidup
Yesus sendiri, pelayanan-Nya, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, meyakinkan
murid-murid-Nya akan keilahian-Nya pribadi, dan itu pun sebelum Dia naik ke
sorga. Keterangan ini demikian gamblang diberikan Injil keempat (lih
teristimewa #/TB Yoh 20:18*). Sejajar dengan ini Kis mengatakan bahwa
orang-orang Kristen pertama berdoa kepada Yesus sebagai Tuhan (#/TB Kis 7:59*),
dan ini sebelum Pentakosta (#/TB Kis 1:21*; ‘Tuhan’ yg memilih para rasul tentu
adalah ‘Tuhan Yesus’ dari ay #/TB Kis 1:21*, bnd ay #/TB Kis 1:3*); bahwa mulai
dari hari Pentakosta mereka membaptis dalam nama-Nya (#/TB Kis 2:38; 8:16;
19:5*); bahwa mereka memohon dan percaya akan nama-Nya (artinya akan Dia
sendiri: #/TB Kis 3:16; 9:14; 22:16*; bnd #/TB Kis 16:31*); dan bahwa mereka
menyatakan Dia sebagai ‘Yang’ memberikan pertobatan dan keampunan dosa (#/TB
Kis 5:31*).
Semuanya ini
memperlihatkan, bahwa, biarpun keilahian Yesus pada permulaan tidak mencolok
dinyatakan dalam kata-kata (dan Kis tidak memberi petunjuk ttg itu), namun
ajaran itu adalah sebagian dari kepercayaan, dengan mana masyarakat Kristen
pertama hidup dan berdoa. Lex orandi lex credendi (orang berdoa sesuai dgn
kepercayaannya). Rumusan teologis dari kepercayaan mengenai inkarnasi timbul di
kemudian hari, tapi ajaran itu sendiri, biarpun diterangkan kurang teratur,
namun sudah dari mulanya ada dalam gereja.
III. Pendirian penulis-penulis PB
Adalah
penting mencatat sifat dan keterbatasan pemikiran PB tentang inkarnasi,
teristimewa sajian Paulus, Yohanes dan penulis Ibrani, yg membahas pokok itu
agak lengkap. Penulis-penulis PB tidak pernah mencatat apalagi membahas ihwal
metafisik yg terkait dengan kebagaimanaan inkarnasi, dan ihwal psikologis
tentang keadaan inkarnasi itu, yg begitu penting dalam diskusi kristologis
sejak abad 4. Perhatian mereka atas pribadi Kristus bukanlah filosofis dan
spekulatif, melainkan religius dan injili. Mereka bicara tentang Kristus, bukan
sebagai ihwal metafisik, melainkan sebagai Juruselamat yg ilahi; dan semua yg
mereka katakan tentang pribadi Kristus adalah didorong oleh keinginan untuk
memuliakan Dia dengan mempertunjukkan karya-Nya dan mempertahankan
kedudukan-Nya sebagai pusat dari tujuan penyelamatan Allah. Mereka tidak pernah
menyelidiki rahasia pribadi Kristus; sudah cukup bagi mereka menyatakan
inkarnasi itu sebagai fakta, salah satu dari rangkaian karya dahsyat, dengan
mana Allah menciptakan penyelamatan bagi orang berdosa. Kalau dikatakan bahwa
penulis-penulis PB mencoba menerangkan inkarnasi, maksudnya ialah bahwa mereka
memperlihatkan betapa sesuai hal itu dengan rencana Allah secara keseluruhan
untuk menyelamatkan manusia (lih ump #/TB Rom 8:3*; #/TB Fili 2:6-11*; #/TB Kol
1:13-22*; #/TB Yoh 1:18*; #/TB 1Yoh 1:1-2:2*; dan ulasan pokok #/TB Ibr 1-2;
4:14-5:10; 7:1-10:18*).
Kemandirian
pokok perhatian ‘injili’ ini memberikan terang pada kenyataan yg bila tanpa itu
menimbulkan teka teki, bahwa PB tidak pernah menganggap kelahiran Yesus dari
seorang dara sebagai bukti perpaduan keilahian dan kemanusiaan dalam
pribadi-Nya — suatu jalan pemikiran yg banyak diselidiki oleh ahli teologi di
kemudian hari. Kebungkeman ini tidak usah berarti bahwa penulis-penulis PB
tidak mengetahui tentang kelahiran Yesus dari seorang dara, seperti diduga oleh
beberapa orang. Cukup untuk mengatakan, bahwa perhatian PB berkisar pada hal
lain, yaitu pada hubungan Yesus dengan rencana penyelamatan Allah.
Bukti atas
hal ini didapati pada cara, bagaimana kehadiran Yesus dari seorang dara
diberitakan oleh Matius dan Lukas, dua penulis Injil yg menceritakannya.
Masing-masing memberi penekanan bukan kepada kepribadian khas dari Orang yg
lahir secara mujizat demikian, melainkan kepada fakta, bahwa dengan kelahiran
secara mujizat ini, Allah mulai menggenapi rencana-Nya yg telah lama
dinubuatkan, yaitu mengunjungi dan melepaskan umat-Nya (bnd #/TB Mat 1:21* dab;
#/TB Luk 1:31* dab, 68-75; #/TB Luk 2:10* dab, 29-32). Satu-satunya makna asasi
yg dilihat oleh mereka, atau yg dilihat oleh setiap penulis PB dalam inkarnasi,
ialah penyelamatan manusia yg langsung mereka lihat secara mencolok. Spekulasi
dari Duns Scotus, yg dipopulerkan oleh Westcott, bahwa makna utama inkarnasi
adalah menyempurnakan ciptaan, sedangkan tujuan melepaskan orang-orang berdosa
hanyalah masalah kedua dan secara kebetulan, sama sekali tidak mendapat
dukungan dalam PB.
Penulis-penulis rasuli melihat jelas bahwa keilahian dan kemanusiaan
Yesus — kedua-duanya — adalah hakiki dalam karya penyelamatan-Nya. Mereka lihat
bahwa hanya karena Yesus adalah Allah, Anak itu, maka mereka dapat menganggap
penyingkapan-Nya akan pikiran dan hati Bapak sempurna dan final adanya (bnd
#/TB Yoh 1:18; 14:7-10*; #/TB Ibr 1:1* dab), dan kematian-Nya sebagai bukti
tertinggi dari kasih Allah terhadap orang berdosa dan perkenan Allah Bapak
untuk memberkati orang percaya (bnd #/TB Yoh 3:16*; #/TB Rom 5:5-10; 8:32*;
#/TB 1Yoh 4:8-10*). Mereka menyadari bahwa ke-Anak-an yg ilahi dari Yesus,
adalah jaminan atas masa lalu yg tiada akhirnya, kesempurnaan yg tidak tercemar
oleh dosa, dan kemajuan yg tanpa batas dari pelayanan-Nya sebagai Imam Besar
(#/TB Ibr 7:3,16,24-28*). Mereka tahu bahwa adalah berkat keilahian-Nya maka Ia
mampu menaklukkan dan melucuti Iblis, ‘yg berkuasa atas maut’ dan yg menahan
orang-orang berdosa dalam keadaan budak dosa tanpa daya (#/TB Ibr 2:14* dab;
#/TB Wahy 20:1* dab; bnd #/TB Mr 3:27*; #/TB Luk 10:17* dab; #/TB Yoh 12:31*
dab; #/TB Yoh 16:11*).
Pada pihak
lain mereka lihat juga bahwa Anak Allah perlu ‘menjadi manusia’, karena hanya
dengan jalan demikian Ia dapat mengambil tempat sebagai ‘orang kedua’ sehingga
— dan melalui Dia — Allah dapat berurusan dengan manusia (#/TB 1Kor 15:21* dab,
47 dab, #/TB Rom 5:15-19*); hanya dengan jalan demikian Ia dapat mengantarai
Allah dan manusia (#/TB 1Tim 2:5*); dan hanya dengan jalan demikian Ia dapat
mati untuk dosa-dosa, sebab hanya manusia dapat mati. (Memang, pemikiran ttg
sarx, ‘daging’, begitu terkait dgn maut, sehingga PB tidak mau mengenakan
istilah itu kepada kemanusiaan Kristus dlm keadaan yg dipermuliakan dan yg
tidak fana lagi: ‘hidup-Nya sebagai manusia — harfiah, ‘hari-hari daging’ #/TB
Ibr 5:7* — berarti waktu kehidupan Kristus di dunia sampai ke kayu salib.)
Karena itu adalah wajar, bila PB dalam
menampik setiap ajaran yg menyangkal Yesus Kristus ‘sungguh-sungguh ilahi’ dan
‘sungguh-sungguh manusia’, keras menampiknya sebagai ajaran palsu yg harus
dikutuk, yg berusaha menghancurkan ajaran Injil; dan memang benar, PB telah
melakukannya. Satu-satunya penyangkalan yg dikenal PB ialah Kristologi doketis
(menurut tradisi, yaitu ajaran Cerinthus) yg menyangkal ‘kemanusiaan’ Kristus
(#/TB 1Yoh 4:2* dab), dan dengan demikian juga menyangkal kematian-Nya (’ darah’,
#/TB 1Yoh 5:6*). Yohanes mencela keras hal ini dalam kedua Surat Kirimannya yg
pertama, sebagai kesesatan yg mengakibatkan kematian, yg berasal dari roh
antikristus, suatu penyangkalan keji atas baik Bapak maupun Anak (#/TB 1Yoh
2:22-25; 4:1-6; 5:5-12*; #/TB 2Yoh 1:9* dab). Biasanya orang beranggapan, bahwa
penekanan Injil Yoh mengenai realitas pengalaman Yesus tentang kefanaan
manusiawi (Ia capek, #/TB Yoh 4:6*; haus, #/TB Yoh 4:7; 19:28*; meneteskan air
mata, #/TB Yoh 11:33* dab) bertujuan membasmi kesesatan doketis yg sama, sampai
ke akar-akarnya.
IV. Unsur-unsur ajaran PB
Arti dari
penegasan PB bahwa’Yesus Kristus datang menjadi manusia’ dapat disusun dalam
tiga pokok utama.
a. Oknum yg berinkarnasi
PB sepakat mempertegas identitas Yesus terkait
pada hubungan-Nya dengan Allah yg satu-satunya dalam monoteisme PL (bnd #/TB
1Kor 8:4,6*; #/TB 1Tim 2:5*; dgn #/TB Yes 43:10* dab; #/TB Yes 44:6*). Definisi
asasi ialah, bahwa Yesus adalah Anak Allah. Identifikasi ini berakar pada
pemikiran dan ajaran Yesus sendiri. Kenyataan bahwa Ia adalah ‘Anak’ dalam arti
khas yg memisahkan Dia dari segenap manusia lainnya, dapat ditelusuri hingga
sekurang-kurangnya pada saat Ia berusia 12 thn (#/TB Luk 2:49*), dan yg disahihkan
kepada-Nya dalam dan oleh suara BapakNya dari sorga sewaktu Ia dibaptiskan,
‘Engkau-lah Anak yg Ku-kasihi’ (#/TB Mr 1:11*; bnd #/TB Mat 3:17*; #/TB Luk
3:22*; agapetos, yg terdapat dim ketiga berita mengenai ucapan sorgawi itu,
mengandung makna ‘satu-satunya yg dikasihi’: begitu juga dim perumpamaan, #/TB
Mr 12:6*; bnd perkataan-perkataan yg sama dari sorga sewaktu dimuliakan, #/TB
Mr 9:7*; #/TB Mat 17:5*).
Pada
pemeriksaan pengadilan atas Yesus, di mana Dia ditanya dengan sumpah apakah Dia
adalah ‘Anak Allah itu’ (suatu uraian yg bagi imam besar mungkin berarti tidak
lebih dari ‘Mesias keturunan Daud’), Markus dan Lukas melaporkan bahwa Yesus
memberikan jawaban yg meng-’ya’-kan, yg sebenarnya adalah tuntutan atas
keilahian pribadi: ego eimi (demikian #/TB Mr 14:62*; #/TB Luk 22:70* berbunyi,
‘kamu sendiri mengatakan dengan benar, ego eimi’). Ungkapan ego eimi (’ Aku
ada’) adalah kata — yg bagaimanapun juga seorang Yahudi tidak akan
mengucapkannya, sebab kata ini adalah Nama Allah sendiri (#/TB Kel 3:14*).
Yesus, yg menurut Markus telah memakai perkataan ini sebelumnya dalam cara
sugestif yg sama (#/TB Mr 6:50*; bnd #/TB Mr 13:6*; dan bnd rangkaian panjang
perkataan ego eimi dim Injil Yoh: #/TB Yoh 4:26; 6:35; 8:12; 10:7,11; 11:25;
14:6; 15:1; 18:5* dab), dengan gamblang ingin menjelaskan sejelas-jelasnya
bahwa ke-Anak-an yg ilahi yg dituntut Yesus, tidak kurang dari keilahian
pribadiNya. Tapi karena tuntutan ini didakwa adalah hujatan, maka Dia dihukum.
Sebutan-sebutan yg diterapkan Yesus kepada diriNya sebagai ‘Anak’,
selalu dalam konteks yg menggambarkan Dia khas dekat secara khusus kepada Allah
dan dikasihi secara khusus oleh Allah. Termasuk sedikit acuan tentang ini dalam
Injil-injil Sinoptik (#/TB Mat 11:27* = #/TB Luk 10:22*; #/TB Mr 13:32* = #/TB
Mat 24:36*; bnd #/TB Mr 12:1-11*), tapi banyak dalam Yoh, baik dalam
perkataan-perkataan Yesus sendiri maupun dalam tafsiran penulis. Menurut
Yohanes, Yesus adalah Anak Allah yg ‘satu-satunya’ (monogenes: #/TB Mr 1:14,18;
3:16,18*). Dia ada selama-lamanya (#/TB Yoh 8:58*; bnd #/TB Yoh 1:1* dab). Dia
berada dalam hubungan kasih yg sempurna dan tak kunjung berubah dengan Bapak,
dan dalam kesatuan dan persekutuan yg juga sempurna dan tak kunjung berubah
dengan Bapak (#/TB Yoh 1:18; 8:16,29; 10:30; 16:32*). Sebagai Anak, Dia tidak
berprakarsa secara mandiri (#/TB Yoh 5:19*); Dia hidup untuk memuliakan
BapakNya (#/TB Yoh 17:1,4*), dengan melaksanakan kehendak BapakNya(#/TB Yoh
4:34; 5:30; 8:28* dab). Dia datang di dunia karena Bapak ‘mengutus’ Dia (42
hunjukan) dan memberikan suatu tugas kepada Dia untuk dilaksanakan (#/TB Yoh
4:34; 17:4*; bnd #/TB Yoh 19:30*). Dia datang dalam Nama BapakNya, artinya
mewakili BapakNya (#/TB Yoh 5:43*), dan karena semua yg diucapkan-Nya dan
diperbuatNya sesuai dengan perintah Bapak (#/TB Yoh 7:16* dst; #/TB Yoh 8:26*
dab; #/TB Yoh 12:49* dab; #/TB Yoh 14:10*), maka hidup-Nya di dunia menyatakan
BapakNya dengan sempurna (#/TB Yoh 14:7* dab).
Apabila
Yesus mengatakan bahwa Bapak lebih akbar dari Dia sendiri (#/TB Yoh 14:28*; bnd
#/TB Yoh 11:29*), dan Dia menyatakannya dengan jelas, bukanlah mengenai suatu
kedudukan yg hakikinya lebih rendah atau embel-embel, melainkan mengenai fakta
bahwa penyerahan kepada kehendak dan prakarsa Bapak adalah kodrati dan perlu
bagi Dia. Bapak lebih besar dari Dia, karena dalam hubungan-Nya dengan Bapak,
Ia senantiasa dalam kodrat yg bebas dan gemar bertindak sebagai Anak. Tapi ini
sekali-kali tidak berarti bahwa Dia mesti direndahkan terhadap Bapak dalam penghargaan
dan penyembahan manusia. Keadaannya berimbalan — Bapak mengindahkan kemuliaan
Anak, sama seperti Anak mengindahkan kemuliaan Bapak. Bapak telah mempercayakan
kepada Anak dua karya besar, yaitu memberikan hidup dan melaksanakan
penghakiman. ‘Supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka
menghormati Bapak’ (#/TB Yoh 5:22-23* dab). Hal ini sama artinya dengan
mengatakan, bahwa Bapak menyuruh semua orang berbuat seperti Tomas (#/TB Yoh
20:28*), dan menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapak sendiri,
yaitu ‘Tuhan-ku dan Allah-ku’.
PB memuat garis-garis
pemikiran yg lain, tambahan kepada ke-Anak-an yg ilahi, yg juga menyatakan
ke-Allahan dari Yesus orang Nazaret. Kita hanya menyebut beberapa yg
terpenting, di antaranya:
(i) Yohanes menyamakan Firman yg kekal
dan ilahi itu dengan Anak Allah pribadi, Yesus Kristus (#/TB Yoh 1:1-8*; bnd
#/TB 1Yoh 1:1-3*; #/TB Wahy 19:13*; *FIRMAN).
(ii) Paulus berbicara tentang
Anak sebagai ‘gambar atau citra Allah’, baik sesudah berinkarnasi (#/TB 2Kor
4:4*) maupun dalam keadaan prainkarnasi (#/TB Kol 1:15*) dan #/TB Fili 2:6*
mengatakan bahwa pada prainkarnasi Yesus Kristus ada dalam rupa (morphe) Allah:
suatu ucapan yg tafsirannya tepat dipermasalahkan, tapi dapat diterjemahkan
‘selalu…, Allah dalam hakikat kodrat-Nya’. #/TB Ibr 1:3* menamakan Anak ‘cahaya
kemuliaan Allah’, dan ‘gambar wujud Allah’, Penyataan-penyataan ini yg
dirumuskan dalam rangka monoteistis, yg tidak memberikan tempat bagi pemikiran
adanya dua Allah, terang dimaksudkan untuk menunjukkan: (1) Bahwa Anak adalah
pribadi ilahi, dan secara ontologis satu dengan Bapak; (2) Bahwa Anak
mewujudkan secara sempurna segala sesuatu yg ada dalam Bapak atau, secara
negatif, tidak ada sesuatu aspek atau unsur pokok dari keilahian atau sifat yg
dimiliki oleh Bapak yg tidak dimiliki oleh Anak.
(iii) Paulus menerapkan suatu nubuat PL
mengenai seruan ‘Tuhan’ (Yahweh) kepada Tuhan Yesus, jadi mengacu bahwa nubuat
itu memperoleh penggenapan dalam diri Yesus (#/TB Rom 10:13*, mengutip #/TB
Yoel 2:32*; bnd #/TB Fili 2:10* dab, menggemakan #/TB Yes 45:23*).
Halnya
sama, penulis Kitab Ibr mengutip desakan Musa kepada malaikat-malaikat untuk
menyembah Allah (#/TB Ul 32:43*, LXX) dan pernyataan pemazmur: ‘Takhta-Mu
kepunyaan Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya’ (#/TB Mazm 45:5*)
sebagai kata-kata yg diucapkan oleh Bapak yg mengacu kepada AnakNya (#/TB Ibr
1:6,8*). Hal ini memperlihatkan bahwa kedua penulis menganggap Yesus ilahi.
(iv) PB lazim menyebut Yesus
‘Tuhan’ — suatu gelar yg diberikan kepada dewa-dewa dari agama Yunani (bnd #/TB
1Kor 8:5*), dan tanpa kecuali dipakai dalam LXX menerjemahkan nama ilahi —
nampaknya sebagai pengenaan tidak langsung tentang keilahian.
b. Sifat inkarnasi
Waktu
Firman ‘menjadi manusia’ keilahian-Nya tidak ditanggalkan atau berkurang, atau
mengkerut, dan Dia tidak berhenti melaksanakan fungsi keilahian-Nya yg ada
padaNya sebelumnya. Dia-lah — demikian laporan Alkitab — yg menopang segenap
ciptaan dalam keteraturan, dan Dialah yg memberikan serta memelihara segala hidup
(#/TB Kol 1:17*; #/TB Ibr 1:3*; #/TB Yoh 1:4*). Fungsi-fungsi ini secara pasti
tidak ditangguhkan pada kurun waktu Dia berada di dunia ini. Sewaktu Dia datang
ke dalam dunia ‘Dia mengosongkan diri-Nya’ dari kemuliaan yg dapat kelihatan
(#/TB Fili 2:7*; #/TB Yoh 17:5*), justru Dia ‘menjadi miskin’ (#/TB 2Kor 8:9*).
Tapi dalam hal ini sekali-kali tidak terkandung arti berkurang kekuasaan-Nya yg
ilahi, seperti disarankan oleh teori-teori ‘kenosis’ (pengosongan diri). PB
justru dengan gamblang menekankan, bahwa keilahian Anak tidak berkurang karena
inkarnasi. ‘Dalam manusia Kristus Yesus’, kata Paulus, ‘berdiam secara
jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an’ (#/TB Kol 2:9*; bnd #/TB Kol 1:19*).
PENERAPAN:
Jadi
inkarnasi dari Anak Allah bukanlah pengurangan dari keilahian, melainkan
penerimaan kemanusiaan. Bukan bahwa Anak Allah datang dan menyusup mendiami
jasad manusiawi, seperti Roh di kemudian hari berbuat demikian. (Mengartikan
inkarnasi sebagai ‘menyusup dan mendiami’ adalah pokok ajaran sesat Nestorius.)
Lebih baik mengatakan bahwa Sang Anak sendiri mulai menjalani hidup manusia
seutuhnya. Dia bukan membajui diriNya dalam tubuh manusia, dengan merampas
tempat dari jiwa dalam tubuh itu dan mendiaminya, seperti dipertahankan oleh
Apolinaris. Dengan perkataan lain, Dia mengambil jiwa manusia dan tubuh manusia
untuk diriNya, dan Dia masuk ke dalam pengalaman hidup manusia secara rohani
maupun hidup manusia secara jasmani. Kemanusiaan-Nya adalah sejati dan utuh;
Dia menjadi ‘manusia Kristus Yesus’ (#/TB 1Tim 2:5*; bnd #/TB Gal 4:4*; #/TB
Ibr 2:14,17*). Dan kemanusiaanNya adalah ‘permanen’. Biarpun Dia sekarang
dipermuliakan, ‘Dia terus berlanjut sebagai Allah dan sekaligus manusia, dalam
dwi kodrat yg berbeda, dan satu pribadi, selama-lamanya’ (Westminster Shorter
Catechism, Q. 21; bnd #/TB Ibr 7:24*).
c. Keadaan inkarnasi
(i) Keadaan inkarnasi adalah
ketergantungan dan kepatuhan atau ketaatan, karena inkarnasi tidak mengubah
hubungan antara Anak dan Bapak. Bapak dan Anak tetap dan terus berada dalam
persekutuan yg tidak pernah putus. Anak mengatakan dan melakukan apa yg
‘diberikan’ Bapak untuk Dia katakan dan untuk Dia lakukan, dan tidak pernah
satu kali pun melampaui atau melangkahi kehendak Bapak yg diketahui-Nya (bnd
pencobaan pertama, #/TB Mat 4:2* dab). Ketidaktahuan-Nya yg Dia akui sendiri
tentang kapan waktu kedatangan-Nya yg kedua kali (#/TB Mr 13:32*) tentu harus
diterangkan, bukan sebagai kepura-puraan dengan tujuan yg baik (Aquinas),
maupun sebagai bukti bahwa Dia telah mengesampingkan pengetahuan-Nya yg ilahi
demi dan selama inkarnasi (teori kenosis), melainkan untuk memperlihatkan bahwa
Bapak tidak menghendaki Anak mengetahui ‘waktu’ kedatangan-Nya yg kedua kali
itu pada waktu itu. Sebagai Anak, Dia tidak menghendaki atau mencari-cari untuk
mengetahui lebih daripada apa yg dikehendaki Bapak untuk Dia ketahui.
(ii) Keadaan inkarnasi adalah tanpa
dosa dan tanpa cela, sebab inkarnasi sekali-kali tidak mengubah kodrat asasi
dan watak Anak. Bahwa seluruh hidup Anak seutuhnya adalah tanpa dosa, telah
beberapa kali ditegaskan (#/TB 2Kor 5:21*; #/TB 1Pet 2:22*; #/TB Ibr 4:15*; bnd
#/TB Mat 3:14-17*; #/TB Yoh 8:46*; #/TB 1Yoh 2:1* dab). Bahwa Dia bebas tidak
terhisab dan tidak tercemar aib dosa asli Adam, adalah nyata dari fakta bahwa
Dia tidak terikat untuk harus mati akibat dosa sendiri karena Dia tanpa dosa
(bnd #/TB Ibr 7:26*), justru Dia dapat mati ‘untuk’ dan ‘mewakili’ orang lain.
Artinya, ‘yg benar’ mengambil tempat dari orang ‘yg tidak benar’ (bnd #/TB 2Kor
5:21*; #/TB Rom 5:16* dab; #/TB Gal 3:13*; #/TB 1Pet 3:18*). Bahwa Dia tidak
bercela, dan mustahil dapat berdosa adalah sebagai akibat dari fakta bahwa Dia
tinggal tetap Allah Anak (bnd #/TB Yoh 5:19,30*). Kemungkinan menyimpang dari
kehendak Bapak bagi Anak, tidak lebih besar dalam keadaan-Nya yg berinkarnasi
daripada sebelum berinkarnasi. Keilahian-Nya adalah jaminan bahwa dalam
kehidupan-Nya sebagai manusia Dia akan mencapai ketidakberdosaan, yaitu
prasyarat mutlak jika Dia akan mati sebagai ‘anak domba yg tak bernoda dan tak
bercacat’ (#/TB 1Pet 1:19*).
(iii) Keadaan inkarnasi adalah
penuh pencobaan dan konflik moral, sebab inkarnasi itu adalah benar-benar masuk
dan melibatkan diri ke dalam kondisi hidup moral manusia. Kendati, sebagai Allah,
tidak kenal menyerah kepada pencobaan, tapi sebagai manusia, Dia wajib
memerangi pencobaan untuk mengatasinya. Yg dijamin oleh keilahian-Nya bukanlah
bahwa Dia tidak akan dilanda pencobaan untuk menyimpang dari kehendak Allah
Bapak, juga bukan bahwa Dia dikecualikan bebas dari bahaya ketegangan dan
kesukaran akibat pencobaan yg berulang-ulang timbul dalam hati manusia;
melainkan, bahwa apabila Dia kena pencobaan, Dia akan memeranginya dan menang;
seperti Dia perbuat dalam mengatasi pencobaan pertama pada awal pelayanan-Nya
sebagai Mesias (#/TB Mat 4:1* dab). Penulis kepada orang Ibrani menekankan,
bahwa berdasarkan pengalaman Kristus sendiri menghadapi pencobaan dan harga
tinggi yg dituntut ketaatan, maka Dia mampu memberikan simpati yg efektif dan
pertolongan kepada orang Kristen yg dalam pencobaan dan dalam keadaan hampir
putus asa (#/TB Ibr 2:18; 4:14* dab; #/TB Ibr 5:2,7* dab). *YESUS KRISTUS, AJARAN DAN RIWAYAT HIDUP.
KEPUSTAKAAN.
J Denney, Jesus and the Gospel, 1908;
P. T Forsyth, The Person and Place of Jesus
Christ, 1909;
H. R Mackintosh, The Doctrine of the Person of
Jesus Christ, 1912;
E. J Rawlinson, The New Testament Doctrine of
the Christ, 1926;
L Hodgson, And was made Man, 1928;
E Brunner, The Mediator, E. T. 1934;
D. M Baillie, God was in Christ, 1948;
L Berkhof, Systematic Theology’, 1949, hlm
305-330;
G. C Berkouwer, The Person of Christ, 1954;
K Barth, Church Dogmatics, 1, 2,1956, hlm
122-202; V Taylor, The Person of Christ in New Testament Teaching, 1958;
0 Cullmann, The Christology of the New
Testament, E. T, 1960; W Pannenburg, Jesus — God and Man, E. T. 1968; C. F. D
Moule, The Origin of Christology, 1977.
No comments:
Post a Comment