Wednesday, January 3, 2018

INKARNASI (PENJELMAAN)




INKARNASI (PENJELMAAN)
I. Arti kata
          Baik kata benda ‘inkarnasi’ maupun kata sifatnya tidak terdapat dalam Alkitab. Tapi padanan kata Yunani bagi bh Latin in carne (en sarki) terdapat pada beberapa pernyataan penting dalam PB tentang pribadi dan karya Yesus Kristus. Nyanyian pujian yg dikutip dalam #/TB 1Tim 3:16* menyebut ‘Dia, yg telah menyatakan diriNya dalam rupa manusia.’ Dalam ay-ay berikutnya bh aslinya ialah en sarke, yg salinannya dalam bh Indonesia berbeda-beda. Yohanes menganggap tiap penyangkalan bahwa Yesus Kristus ‘telah datang sebagai manusia’ (#/TB 1Yoh 4:2*; #/TB 2Yoh 1:7*) telah berasal dari roh antikristus. Paulus mengatakan, bahwa Kristus membuat karya pendamaian-Nya ‘di dalam tubuh jasmaniNya’ (#/TB Kol 1:22*; bnd #/TB Ef 2:15*), dan bahwa dengan mengutus AnakNya ‘dalam daging, yg serupa dengan daging yg dikuasai dosa’, Allah ‘telah menjatuhkan hukuman atas dosa dalam tubuh’ (#/TB Rom 8:3*). Petrus berkata tentang Kristus yg mati untuk kita ‘dalam keadaan-Nya sebagai manusia’ (sarki, kasus datif dari sarx: #/TB 1Pet 3:18; 4:1*). Semua ay ini menekankan kebenaran yg sama dari berbagai segi: sungguh benar bahwa dengan kedatangan-Nya dan kematian-Nya ‘di dalam keadaan-Nya sebagai manusia’, Kristus ‘memiliki’ dan menjamin keselamatan kita. Kita menamakan kedatangan-Nya inkarnasi atau penjelmaan dan kematian-Nya pendamaian.
          Dalam Alkitab kata Ibrani basar, sye’er, Yunani sarx mempunyai arti jasmani, yaitu bahan padat, yg bersama darah dan tulang merupakan organisme jasmani manusia atau binatang (bnd #/TB Kej 2:21*; #/TB Luk 24:39*; #/TB 1Kor 15:50*). Oleh karena pemikiran Ibrani menghubungkan anggota tubuh dengan fungsi-fungsi batiniah, kita temukan bahwa dalam PL kata ini dapat mencakup aspek-aspek batiniah maupun jasmaniah dari hidup manusia pribadi (bnd kesejajaran antara ‘daging’ dan ‘hati’, #/TB Mazm 73:26*, dan antara ‘tubuh’ dan jiwa’, #/TB Mazm 63:1*). Tapi kata ini mengandung lebih dari hanya arti antropologis. Alkitab melihat daging jasmaniah sebagai suatu lambang teologis yg penting, yaitu lambang dari suatu jenis hidup yg diciptakan dan yg bergantung (kepada Pencipta), yg sama dimiliki oleh manusia dan binatang. Jenis hidup ini berasal dari Allah, tapi tidak sama dengan hidup Allah sendiri, sebab jenis hidup ini mutlak memerlukan suatu organisme jasmaniah guna menopangnya dalam semua aktivitasnya.
          Karena itulah basar menjadi istilah umum untuk manusia, atau binatang, atau untuk manusia dan binatang bersama-sama (bnd #/TB Kej 6:12; 7:15,21* dst), dipandang sebagai ciptaan Allah, yg hidupnya di dunia ini berlangsung singkat, selama Allah menyediakan napas kehidupan dalam rongga pernapasannya. Jadi basar dalam arti teologis yg berkembang bukanlah sesuatu yg ‘dimiliki’ seseorang, melainkan sesuatu yg dia ‘ada’. Cirinya sebagai makhluk adalah lemah dan lunak (#/TB Yes 40:6*), dan dalam keadaan demikian berlainan dengan ‘roh’, kekuatan yg abadi dan yg tak kunjung padam, yg berasal dari Allah, dan adanya Allah (#/TB Yes 31:3*; bnd #/TB Yes 40:6-31*). *DAGING.
          Apabila dikatakan, bahwa Yesus Kristus datang dan mati ‘di dalam daging’, itu berarti, bahwa Dia datang dan mati dalam keadaan dan dalam kondisi hidup jasmani dan rohani yg diciptakan: dengan perkataan lain, bahwa Dia yg mati itu adalah manusia. Tapi PB menegaskan pula, bahwa Dia yg mati itu adalah dari kekal dan juga terus-menerus adalah Allah. Jadi, kebenaran tentang inkarnasi yg harus dirumuskan ialah, bahwa Allah, tanpa berhenti sebagai Allah, juga menjadi manusia. Hal inilah yg dinyatakan oleh Yohanes dalam Pendahuluan Injil-nya: ‘Firman itu’ (pelaku Allah dlm penciptaan, yg ‘pada mulanya’, sebelum penciptaan, bukan hanya ‘bersama-sama dengan Allah’, melainkan juga ‘adalah Allah’, #/TB Yoh 1:1-3*) ‘menjadi manusia’ (sarx) (#/TB Yoh 1:14*).
II. Asal dari ajaran itu
          Pernyataan yg begitu tegas bila dipertimbangkan secara abstrak dengan latar belakang monoteisme PL, nampaknya adalah penghujatan atau omong kosong yg keterlaluan, seperti memang demikian anggapan Yudaisme ortodoks. Itu berarti bahwa Pencipta ilahi itu menjadi salah satu dari ciptaan-Nya sendiri, yg pada pandangan pertama merupakan melulu omong kosong. Dan mana datangnya keyakinan yg mendasari pernyataan Yohanes yg aneh itu? Bagaimana timbulnya kepercayaan gereja perdana bahwa Yesus dari Nazaret adalah Allah yg berinkarnasi?
          Karena adanya anggapan bahwa ajaran itu tidak timbal dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Yesus sendiri, melainkan yg timbul di kemudian hari, maka telah dicari asalnya dalam spekulasi-spekulasi Yahudi tentang seorang Mesias praeksistensi dan supra alami. Asalnya juga dicari dalam dongeng-dongeng politeis mengenai dewa-dewa penyelamat yg lazim dalam agama-agama mis. teri Yunani dan bidat-bidat Gnostik. Tapi sekarang umum diakui, bahwa usaha ini telah gagal: sebabnya ialah perbedaan-perbedaan antara khayalan Yahudi dan kekafiran pada satu pihak, dan Kristologi PB pada pihak lain, jelas jauh lebih hakiki dan mendalam akarnya daripada persamaan-persamaannya yg dangkal. Penyebab yg kedua ialah, bahwa tuntutan atas keilahian ada terkandung dalam ucapan Yesus yg historis itu, yg tidak dapat disangsikan seperti yg diberitakan dalam Injil-injil Sinoptik, dan bahwa penerimaan tuntutan ini mendasari kepercayaan dan peribadatan gereja perdana di Palestina, seperti digambarkan dalam ps-ps pertama Kis (historisitas hakikinya sekarang jarang diperdebatkan).
          Satu-satunya keterangan yg mencakup fakta-fakta itu ialah, bahwa pengaruh kuat dari hidup Yesus sendiri, pelayanan-Nya, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, meyakinkan murid-murid-Nya akan keilahian-Nya pribadi, dan itu pun sebelum Dia naik ke sorga. Keterangan ini demikian gamblang diberikan Injil keempat (lih teristimewa #/TB Yoh 20:18*). Sejajar dengan ini Kis mengatakan bahwa orang-orang Kristen pertama berdoa kepada Yesus sebagai Tuhan (#/TB Kis 7:59*), dan ini sebelum Pentakosta (#/TB Kis 1:21*; ‘Tuhan’ yg memilih para rasul tentu adalah ‘Tuhan Yesus’ dari ay #/TB Kis 1:21*, bnd ay #/TB Kis 1:3*); bahwa mulai dari hari Pentakosta mereka membaptis dalam nama-Nya (#/TB Kis 2:38; 8:16; 19:5*); bahwa mereka memohon dan percaya akan nama-Nya (artinya akan Dia sendiri: #/TB Kis 3:16; 9:14; 22:16*; bnd #/TB Kis 16:31*); dan bahwa mereka menyatakan Dia sebagai ‘Yang’ memberikan pertobatan dan keampunan dosa (#/TB Kis 5:31*).
          Semuanya ini memperlihatkan, bahwa, biarpun keilahian Yesus pada permulaan tidak mencolok dinyatakan dalam kata-kata (dan Kis tidak memberi petunjuk ttg itu), namun ajaran itu adalah sebagian dari kepercayaan, dengan mana masyarakat Kristen pertama hidup dan berdoa. Lex orandi lex credendi (orang berdoa sesuai dgn kepercayaannya). Rumusan teologis dari kepercayaan mengenai inkarnasi timbul di kemudian hari, tapi ajaran itu sendiri, biarpun diterangkan kurang teratur, namun sudah dari mulanya ada dalam gereja.
III. Pendirian penulis-penulis PB
          Adalah penting mencatat sifat dan keterbatasan pemikiran PB tentang inkarnasi, teristimewa sajian Paulus, Yohanes dan penulis Ibrani, yg membahas pokok itu agak lengkap. Penulis-penulis PB tidak pernah mencatat apalagi membahas ihwal metafisik yg terkait dengan kebagaimanaan inkarnasi, dan ihwal psikologis tentang keadaan inkarnasi itu, yg begitu penting dalam diskusi kristologis sejak abad 4. Perhatian mereka atas pribadi Kristus bukanlah filosofis dan spekulatif, melainkan religius dan injili. Mereka bicara tentang Kristus, bukan sebagai ihwal metafisik, melainkan sebagai Juruselamat yg ilahi; dan semua yg mereka katakan tentang pribadi Kristus adalah didorong oleh keinginan untuk memuliakan Dia dengan mempertunjukkan karya-Nya dan mempertahankan kedudukan-Nya sebagai pusat dari tujuan penyelamatan Allah. Mereka tidak pernah menyelidiki rahasia pribadi Kristus; sudah cukup bagi mereka menyatakan inkarnasi itu sebagai fakta, salah satu dari rangkaian karya dahsyat, dengan mana Allah menciptakan penyelamatan bagi orang berdosa. Kalau dikatakan bahwa penulis-penulis PB mencoba menerangkan inkarnasi, maksudnya ialah bahwa mereka memperlihatkan betapa sesuai hal itu dengan rencana Allah secara keseluruhan untuk menyelamatkan manusia (lih ump #/TB Rom 8:3*; #/TB Fili 2:6-11*; #/TB Kol 1:13-22*; #/TB Yoh 1:18*; #/TB 1Yoh 1:1-2:2*; dan ulasan pokok #/TB Ibr 1-2; 4:14-5:10; 7:1-10:18*).
          Kemandirian pokok perhatian ‘injili’ ini memberikan terang pada kenyataan yg bila tanpa itu menimbulkan teka teki, bahwa PB tidak pernah menganggap kelahiran Yesus dari seorang dara sebagai bukti perpaduan keilahian dan kemanusiaan dalam pribadi-Nya — suatu jalan pemikiran yg banyak diselidiki oleh ahli teologi di kemudian hari. Kebungkeman ini tidak usah berarti bahwa penulis-penulis PB tidak mengetahui tentang kelahiran Yesus dari seorang dara, seperti diduga oleh beberapa orang. Cukup untuk mengatakan, bahwa perhatian PB berkisar pada hal lain, yaitu pada hubungan Yesus dengan rencana penyelamatan Allah.
          Bukti atas hal ini didapati pada cara, bagaimana kehadiran Yesus dari seorang dara diberitakan oleh Matius dan Lukas, dua penulis Injil yg menceritakannya. Masing-masing memberi penekanan bukan kepada kepribadian khas dari Orang yg lahir secara mujizat demikian, melainkan kepada fakta, bahwa dengan kelahiran secara mujizat ini, Allah mulai menggenapi rencana-Nya yg telah lama dinubuatkan, yaitu mengunjungi dan melepaskan umat-Nya (bnd #/TB Mat 1:21* dab; #/TB Luk 1:31* dab, 68-75; #/TB Luk 2:10* dab, 29-32). Satu-satunya makna asasi yg dilihat oleh mereka, atau yg dilihat oleh setiap penulis PB dalam inkarnasi, ialah penyelamatan manusia yg langsung mereka lihat secara mencolok. Spekulasi dari Duns Scotus, yg dipopulerkan oleh Westcott, bahwa makna utama inkarnasi adalah menyempurnakan ciptaan, sedangkan tujuan melepaskan orang-orang berdosa hanyalah masalah kedua dan secara kebetulan, sama sekali tidak mendapat dukungan dalam PB.
          Penulis-penulis rasuli melihat jelas bahwa keilahian dan kemanusiaan Yesus — kedua-duanya — adalah hakiki dalam karya penyelamatan-Nya. Mereka lihat bahwa hanya karena Yesus adalah Allah, Anak itu, maka mereka dapat menganggap penyingkapan-Nya akan pikiran dan hati Bapak sempurna dan final adanya (bnd #/TB Yoh 1:18; 14:7-10*; #/TB Ibr 1:1* dab), dan kematian-Nya sebagai bukti tertinggi dari kasih Allah terhadap orang berdosa dan perkenan Allah Bapak untuk memberkati orang percaya (bnd #/TB Yoh 3:16*; #/TB Rom 5:5-10; 8:32*; #/TB 1Yoh 4:8-10*). Mereka menyadari bahwa ke-Anak-an yg ilahi dari Yesus, adalah jaminan atas masa lalu yg tiada akhirnya, kesempurnaan yg tidak tercemar oleh dosa, dan kemajuan yg tanpa batas dari pelayanan-Nya sebagai Imam Besar (#/TB Ibr 7:3,16,24-28*). Mereka tahu bahwa adalah berkat keilahian-Nya maka Ia mampu menaklukkan dan melucuti Iblis, ‘yg berkuasa atas maut’ dan yg menahan orang-orang berdosa dalam keadaan budak dosa tanpa daya (#/TB Ibr 2:14* dab; #/TB Wahy 20:1* dab; bnd #/TB Mr 3:27*; #/TB Luk 10:17* dab; #/TB Yoh 12:31* dab; #/TB Yoh 16:11*).
          Pada pihak lain mereka lihat juga bahwa Anak Allah perlu ‘menjadi manusia’, karena hanya dengan jalan demikian Ia dapat mengambil tempat sebagai ‘orang kedua’ sehingga — dan melalui Dia — Allah dapat berurusan dengan manusia (#/TB 1Kor 15:21* dab, 47 dab, #/TB Rom 5:15-19*); hanya dengan jalan demikian Ia dapat mengantarai Allah dan manusia (#/TB 1Tim 2:5*); dan hanya dengan jalan demikian Ia dapat mati untuk dosa-dosa, sebab hanya manusia dapat mati. (Memang, pemikiran ttg sarx, ‘daging’, begitu terkait dgn maut, sehingga PB tidak mau mengenakan istilah itu kepada kemanusiaan Kristus dlm keadaan yg dipermuliakan dan yg tidak fana lagi: ‘hidup-Nya sebagai manusia — harfiah, ‘hari-hari daging’ #/TB Ibr 5:7* — berarti waktu kehidupan Kristus di dunia sampai ke kayu salib.)
          Karena itu adalah wajar, bila PB dalam menampik setiap ajaran yg menyangkal Yesus Kristus ‘sungguh-sungguh ilahi’ dan ‘sungguh-sungguh manusia’, keras menampiknya sebagai ajaran palsu yg harus dikutuk, yg berusaha menghancurkan ajaran Injil; dan memang benar, PB telah melakukannya. Satu-satunya penyangkalan yg dikenal PB ialah Kristologi doketis (menurut tradisi, yaitu ajaran Cerinthus) yg menyangkal ‘kemanusiaan’ Kristus (#/TB 1Yoh 4:2* dab), dan dengan demikian juga menyangkal kematian-Nya (’ darah’, #/TB 1Yoh 5:6*). Yohanes mencela keras hal ini dalam kedua Surat Kirimannya yg pertama, sebagai kesesatan yg mengakibatkan kematian, yg berasal dari roh antikristus, suatu penyangkalan keji atas baik Bapak maupun Anak (#/TB 1Yoh 2:22-25; 4:1-6; 5:5-12*; #/TB 2Yoh 1:9* dab). Biasanya orang beranggapan, bahwa penekanan Injil Yoh mengenai realitas pengalaman Yesus tentang kefanaan manusiawi (Ia capek, #/TB Yoh 4:6*; haus, #/TB Yoh 4:7; 19:28*; meneteskan air mata, #/TB Yoh 11:33* dab) bertujuan membasmi kesesatan doketis yg sama, sampai ke akar-akarnya.
IV. Unsur-unsur ajaran PB
          Arti dari penegasan PB bahwa’Yesus Kristus datang menjadi manusia’ dapat disusun dalam tiga pokok utama.
             a. Oknum yg berinkarnasi
             PB sepakat mempertegas identitas Yesus terkait pada hubungan-Nya dengan Allah yg satu-satunya dalam monoteisme PL (bnd #/TB 1Kor 8:4,6*; #/TB 1Tim 2:5*; dgn #/TB Yes 43:10* dab; #/TB Yes 44:6*). Definisi asasi ialah, bahwa Yesus adalah Anak Allah. Identifikasi ini berakar pada pemikiran dan ajaran Yesus sendiri. Kenyataan bahwa Ia adalah ‘Anak’ dalam arti khas yg memisahkan Dia dari segenap manusia lainnya, dapat ditelusuri hingga sekurang-kurangnya pada saat Ia berusia 12 thn (#/TB Luk 2:49*), dan yg disahihkan kepada-Nya dalam dan oleh suara BapakNya dari sorga sewaktu Ia dibaptiskan, ‘Engkau-lah Anak yg Ku-kasihi’ (#/TB Mr 1:11*; bnd #/TB Mat 3:17*; #/TB Luk 3:22*; agapetos, yg terdapat dim ketiga berita mengenai ucapan sorgawi itu, mengandung makna ‘satu-satunya yg dikasihi’: begitu juga dim perumpamaan, #/TB Mr 12:6*; bnd perkataan-perkataan yg sama dari sorga sewaktu dimuliakan, #/TB Mr 9:7*; #/TB Mat 17:5*).
             Pada pemeriksaan pengadilan atas Yesus, di mana Dia ditanya dengan sumpah apakah Dia adalah ‘Anak Allah itu’ (suatu uraian yg bagi imam besar mungkin berarti tidak lebih dari ‘Mesias keturunan Daud’), Markus dan Lukas melaporkan bahwa Yesus memberikan jawaban yg meng-’ya’-kan, yg sebenarnya adalah tuntutan atas keilahian pribadi: ego eimi (demikian #/TB Mr 14:62*; #/TB Luk 22:70* berbunyi, ‘kamu sendiri mengatakan dengan benar, ego eimi’). Ungkapan ego eimi (’ Aku ada’) adalah kata — yg bagaimanapun juga seorang Yahudi tidak akan mengucapkannya, sebab kata ini adalah Nama Allah sendiri (#/TB Kel 3:14*). Yesus, yg menurut Markus telah memakai perkataan ini sebelumnya dalam cara sugestif yg sama (#/TB Mr 6:50*; bnd #/TB Mr 13:6*; dan bnd rangkaian panjang perkataan ego eimi dim Injil Yoh: #/TB Yoh 4:26; 6:35; 8:12; 10:7,11; 11:25; 14:6; 15:1; 18:5* dab), dengan gamblang ingin menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa ke-Anak-an yg ilahi yg dituntut Yesus, tidak kurang dari keilahian pribadiNya. Tapi karena tuntutan ini didakwa adalah hujatan, maka Dia dihukum.
             Sebutan-sebutan yg diterapkan Yesus kepada diriNya sebagai ‘Anak’, selalu dalam konteks yg menggambarkan Dia khas dekat secara khusus kepada Allah dan dikasihi secara khusus oleh Allah. Termasuk sedikit acuan tentang ini dalam Injil-injil Sinoptik (#/TB Mat 11:27* = #/TB Luk 10:22*; #/TB Mr 13:32* = #/TB Mat 24:36*; bnd #/TB Mr 12:1-11*), tapi banyak dalam Yoh, baik dalam perkataan-perkataan Yesus sendiri maupun dalam tafsiran penulis. Menurut Yohanes, Yesus adalah Anak Allah yg ‘satu-satunya’ (monogenes: #/TB Mr 1:14,18; 3:16,18*). Dia ada selama-lamanya (#/TB Yoh 8:58*; bnd #/TB Yoh 1:1* dab). Dia berada dalam hubungan kasih yg sempurna dan tak kunjung berubah dengan Bapak, dan dalam kesatuan dan persekutuan yg juga sempurna dan tak kunjung berubah dengan Bapak (#/TB Yoh 1:18; 8:16,29; 10:30; 16:32*). Sebagai Anak, Dia tidak berprakarsa secara mandiri (#/TB Yoh 5:19*); Dia hidup untuk memuliakan BapakNya (#/TB Yoh 17:1,4*), dengan melaksanakan kehendak BapakNya(#/TB Yoh 4:34; 5:30; 8:28* dab). Dia datang di dunia karena Bapak ‘mengutus’ Dia (42 hunjukan) dan memberikan suatu tugas kepada Dia untuk dilaksanakan (#/TB Yoh 4:34; 17:4*; bnd #/TB Yoh 19:30*). Dia datang dalam Nama BapakNya, artinya mewakili BapakNya (#/TB Yoh 5:43*), dan karena semua yg diucapkan-Nya dan diperbuatNya sesuai dengan perintah Bapak (#/TB Yoh 7:16* dst; #/TB Yoh 8:26* dab; #/TB Yoh 12:49* dab; #/TB Yoh 14:10*), maka hidup-Nya di dunia menyatakan BapakNya dengan sempurna (#/TB Yoh 14:7* dab).
             Apabila Yesus mengatakan bahwa Bapak lebih akbar dari Dia sendiri (#/TB Yoh 14:28*; bnd #/TB Yoh 11:29*), dan Dia menyatakannya dengan jelas, bukanlah mengenai suatu kedudukan yg hakikinya lebih rendah atau embel-embel, melainkan mengenai fakta bahwa penyerahan kepada kehendak dan prakarsa Bapak adalah kodrati dan perlu bagi Dia. Bapak lebih besar dari Dia, karena dalam hubungan-Nya dengan Bapak, Ia senantiasa dalam kodrat yg bebas dan gemar bertindak sebagai Anak. Tapi ini sekali-kali tidak berarti bahwa Dia mesti direndahkan terhadap Bapak dalam penghargaan dan penyembahan manusia. Keadaannya berimbalan — Bapak mengindahkan kemuliaan Anak, sama seperti Anak mengindahkan kemuliaan Bapak. Bapak telah mempercayakan kepada Anak dua karya besar, yaitu memberikan hidup dan melaksanakan penghakiman. ‘Supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapak’ (#/TB Yoh 5:22-23* dab). Hal ini sama artinya dengan mengatakan, bahwa Bapak menyuruh semua orang berbuat seperti Tomas (#/TB Yoh 20:28*), dan menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapak sendiri, yaitu ‘Tuhan-ku dan Allah-ku’.
PB memuat garis-garis pemikiran yg lain, tambahan kepada ke-Anak-an yg ilahi, yg juga menyatakan ke-Allahan dari Yesus orang Nazaret. Kita hanya menyebut beberapa yg terpenting, di antaranya:
             (i) Yohanes menyamakan Firman yg kekal dan ilahi itu dengan Anak Allah pribadi, Yesus Kristus (#/TB Yoh 1:1-8*; bnd #/TB 1Yoh 1:1-3*; #/TB Wahy 19:13*; *FIRMAN).
             (ii) Paulus berbicara tentang Anak sebagai ‘gambar atau citra Allah’, baik sesudah berinkarnasi (#/TB 2Kor 4:4*) maupun dalam keadaan prainkarnasi (#/TB Kol 1:15*) dan #/TB Fili 2:6* mengatakan bahwa pada prainkarnasi Yesus Kristus ada dalam rupa (morphe) Allah: suatu ucapan yg tafsirannya tepat dipermasalahkan, tapi dapat diterjemahkan ‘selalu…, Allah dalam hakikat kodrat-Nya’. #/TB Ibr 1:3* menamakan Anak ‘cahaya kemuliaan Allah’, dan ‘gambar wujud Allah’, Penyataan-penyataan ini yg dirumuskan dalam rangka monoteistis, yg tidak memberikan tempat bagi pemikiran adanya dua Allah, terang dimaksudkan untuk menunjukkan: (1) Bahwa Anak adalah pribadi ilahi, dan secara ontologis satu dengan Bapak; (2) Bahwa Anak mewujudkan secara sempurna segala sesuatu yg ada dalam Bapak atau, secara negatif, tidak ada sesuatu aspek atau unsur pokok dari keilahian atau sifat yg dimiliki oleh Bapak yg tidak dimiliki oleh Anak.
             (iii) Paulus menerapkan suatu nubuat PL mengenai seruan ‘Tuhan’ (Yahweh) kepada Tuhan Yesus, jadi mengacu bahwa nubuat itu memperoleh penggenapan dalam diri Yesus (#/TB Rom 10:13*, mengutip #/TB Yoel 2:32*; bnd #/TB Fili 2:10* dab, menggemakan #/TB Yes 45:23*).
             Halnya sama, penulis Kitab Ibr mengutip desakan Musa kepada malaikat-malaikat untuk menyembah Allah (#/TB Ul 32:43*, LXX) dan pernyataan pemazmur: ‘Takhta-Mu kepunyaan Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya’ (#/TB Mazm 45:5*) sebagai kata-kata yg diucapkan oleh Bapak yg mengacu kepada AnakNya (#/TB Ibr 1:6,8*). Hal ini memperlihatkan bahwa kedua penulis menganggap Yesus ilahi.
             (iv) PB lazim menyebut Yesus ‘Tuhan’ — suatu gelar yg diberikan kepada dewa-dewa dari agama Yunani (bnd #/TB 1Kor 8:5*), dan tanpa kecuali dipakai dalam LXX menerjemahkan nama ilahi — nampaknya sebagai pengenaan tidak langsung tentang keilahian.
             b. Sifat inkarnasi
             Waktu Firman ‘menjadi manusia’ keilahian-Nya tidak ditanggalkan atau berkurang, atau mengkerut, dan Dia tidak berhenti melaksanakan fungsi keilahian-Nya yg ada padaNya sebelumnya. Dia-lah — demikian laporan Alkitab — yg menopang segenap ciptaan dalam keteraturan, dan Dialah yg memberikan serta memelihara segala hidup (#/TB Kol 1:17*; #/TB Ibr 1:3*; #/TB Yoh 1:4*). Fungsi-fungsi ini secara pasti tidak ditangguhkan pada kurun waktu Dia berada di dunia ini. Sewaktu Dia datang ke dalam dunia ‘Dia mengosongkan diri-Nya’ dari kemuliaan yg dapat kelihatan (#/TB Fili 2:7*; #/TB Yoh 17:5*), justru Dia ‘menjadi miskin’ (#/TB 2Kor 8:9*). Tapi dalam hal ini sekali-kali tidak terkandung arti berkurang kekuasaan-Nya yg ilahi, seperti disarankan oleh teori-teori ‘kenosis’ (pengosongan diri). PB justru dengan gamblang menekankan, bahwa keilahian Anak tidak berkurang karena inkarnasi. ‘Dalam manusia Kristus Yesus’, kata Paulus, ‘berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an’ (#/TB Kol 2:9*; bnd #/TB Kol 1:19*).
PENERAPAN:
             Jadi inkarnasi dari Anak Allah bukanlah pengurangan dari keilahian, melainkan penerimaan kemanusiaan. Bukan bahwa Anak Allah datang dan menyusup mendiami jasad manusiawi, seperti Roh di kemudian hari berbuat demikian. (Mengartikan inkarnasi sebagai ‘menyusup dan mendiami’ adalah pokok ajaran sesat Nestorius.) Lebih baik mengatakan bahwa Sang Anak sendiri mulai menjalani hidup manusia seutuhnya. Dia bukan membajui diriNya dalam tubuh manusia, dengan merampas tempat dari jiwa dalam tubuh itu dan mendiaminya, seperti dipertahankan oleh Apolinaris. Dengan perkataan lain, Dia mengambil jiwa manusia dan tubuh manusia untuk diriNya, dan Dia masuk ke dalam pengalaman hidup manusia secara rohani maupun hidup manusia secara jasmani. Kemanusiaan-Nya adalah sejati dan utuh; Dia menjadi ‘manusia Kristus Yesus’ (#/TB 1Tim 2:5*; bnd #/TB Gal 4:4*; #/TB Ibr 2:14,17*). Dan kemanusiaanNya adalah ‘permanen’. Biarpun Dia sekarang dipermuliakan, ‘Dia terus berlanjut sebagai Allah dan sekaligus manusia, dalam dwi kodrat yg berbeda, dan satu pribadi, selama-lamanya’ (Westminster Shorter Catechism, Q. 21; bnd #/TB Ibr 7:24*).
             c. Keadaan inkarnasi
             (i) Keadaan inkarnasi adalah ketergantungan dan kepatuhan atau ketaatan, karena inkarnasi tidak mengubah hubungan antara Anak dan Bapak. Bapak dan Anak tetap dan terus berada dalam persekutuan yg tidak pernah putus. Anak mengatakan dan melakukan apa yg ‘diberikan’ Bapak untuk Dia katakan dan untuk Dia lakukan, dan tidak pernah satu kali pun melampaui atau melangkahi kehendak Bapak yg diketahui-Nya (bnd pencobaan pertama, #/TB Mat 4:2* dab). Ketidaktahuan-Nya yg Dia akui sendiri tentang kapan waktu kedatangan-Nya yg kedua kali (#/TB Mr 13:32*) tentu harus diterangkan, bukan sebagai kepura-puraan dengan tujuan yg baik (Aquinas), maupun sebagai bukti bahwa Dia telah mengesampingkan pengetahuan-Nya yg ilahi demi dan selama inkarnasi (teori kenosis), melainkan untuk memperlihatkan bahwa Bapak tidak menghendaki Anak mengetahui ‘waktu’ kedatangan-Nya yg kedua kali itu pada waktu itu. Sebagai Anak, Dia tidak menghendaki atau mencari-cari untuk mengetahui lebih daripada apa yg dikehendaki Bapak untuk Dia ketahui.
             (ii) Keadaan inkarnasi adalah tanpa dosa dan tanpa cela, sebab inkarnasi sekali-kali tidak mengubah kodrat asasi dan watak Anak. Bahwa seluruh hidup Anak seutuhnya adalah tanpa dosa, telah beberapa kali ditegaskan (#/TB 2Kor 5:21*; #/TB 1Pet 2:22*; #/TB Ibr 4:15*; bnd #/TB Mat 3:14-17*; #/TB Yoh 8:46*; #/TB 1Yoh 2:1* dab). Bahwa Dia bebas tidak terhisab dan tidak tercemar aib dosa asli Adam, adalah nyata dari fakta bahwa Dia tidak terikat untuk harus mati akibat dosa sendiri karena Dia tanpa dosa (bnd #/TB Ibr 7:26*), justru Dia dapat mati ‘untuk’ dan ‘mewakili’ orang lain. Artinya, ‘yg benar’ mengambil tempat dari orang ‘yg tidak benar’ (bnd #/TB 2Kor 5:21*; #/TB Rom 5:16* dab; #/TB Gal 3:13*; #/TB 1Pet 3:18*). Bahwa Dia tidak bercela, dan mustahil dapat berdosa adalah sebagai akibat dari fakta bahwa Dia tinggal tetap Allah Anak (bnd #/TB Yoh 5:19,30*). Kemungkinan menyimpang dari kehendak Bapak bagi Anak, tidak lebih besar dalam keadaan-Nya yg berinkarnasi daripada sebelum berinkarnasi. Keilahian-Nya adalah jaminan bahwa dalam kehidupan-Nya sebagai manusia Dia akan mencapai ketidakberdosaan, yaitu prasyarat mutlak jika Dia akan mati sebagai ‘anak domba yg tak bernoda dan tak bercacat’ (#/TB 1Pet 1:19*).
             (iii) Keadaan inkarnasi adalah penuh pencobaan dan konflik moral, sebab inkarnasi itu adalah benar-benar masuk dan melibatkan diri ke dalam kondisi hidup moral manusia. Kendati, sebagai Allah, tidak kenal menyerah kepada pencobaan, tapi sebagai manusia, Dia wajib memerangi pencobaan untuk mengatasinya. Yg dijamin oleh keilahian-Nya bukanlah bahwa Dia tidak akan dilanda pencobaan untuk menyimpang dari kehendak Allah Bapak, juga bukan bahwa Dia dikecualikan bebas dari bahaya ketegangan dan kesukaran akibat pencobaan yg berulang-ulang timbul dalam hati manusia; melainkan, bahwa apabila Dia kena pencobaan, Dia akan memeranginya dan menang; seperti Dia perbuat dalam mengatasi pencobaan pertama pada awal pelayanan-Nya sebagai Mesias (#/TB Mat 4:1* dab). Penulis kepada orang Ibrani menekankan, bahwa berdasarkan pengalaman Kristus sendiri menghadapi pencobaan dan harga tinggi yg dituntut ketaatan, maka Dia mampu memberikan simpati yg efektif dan pertolongan kepada orang Kristen yg dalam pencobaan dan dalam keadaan hampir putus asa (#/TB Ibr 2:18; 4:14* dab; #/TB Ibr 5:2,7* dab). *YESUS KRISTUS, AJARAN DAN RIWAYAT HIDUP.

KEPUSTAKAAN.
*      J Denney, Jesus and the Gospel, 1908;
*      P. T Forsyth, The Person and Place of Jesus Christ, 1909;
*      H. R Mackintosh, The Doctrine of the Person of Jesus Christ, 1912;
*      E. J Rawlinson, The New Testament Doctrine of the Christ, 1926;
*      L Hodgson, And was made Man, 1928;
*      E Brunner, The Mediator, E. T. 1934;
*      D. M Baillie, God was in Christ, 1948;
*      L Berkhof, Systematic Theology’, 1949, hlm 305-330;
*      G. C Berkouwer, The Person of Christ, 1954;
*      K Barth, Church Dogmatics, 1, 2,1956, hlm 122-202; V Taylor, The Person of Christ in New Testament Teaching, 1958;
*      0 Cullmann, The Christology of the New Testament, E. T, 1960; W Pannenburg, Jesus — God and Man, E. T. 1968; C. F. D Moule, The Origin of Christology, 1977.



No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...