Wednesday, March 7, 2018

Pandangan Etika Kristen Terhadap Sosial Media



Pandangan Etika Kristen Terhadap  Sosial Media

Bagian I
PANDANGAN ETIKA KRISTEN TERHADAP NARSISME DALAM SOSIAL MEDIA
1. Pendahuluan
Pada zaman postmodern ini, kebutuhan aktualisasi diri menjadi hal yang penting, bahkan menjadi suatu keharusan dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan aktualisasi diri pada saat ini seolah-olah bergeser dari kebutuhan yang sebenarnya tidak benar-benar vital menjadi “kebutuhan” yang sangat vital. Meningkatnya aktualisasi diri dan keinginan untuk menunjukkan eksistensi dapat dibuktikan dengan meningkatnya penggunaan aplikasi sosial media seperti instragramyoutubefacebook, dsb. Perkembangan teknologi mendukung hal ini.
Kebutuhan ini dimulai dari keinginan manusia untuk menyatakan ekistensinya dimana manusia ingin agar keberadaannya disadari oleh orang lain dan mendapatkan perhatian. Kebutuhan ini memang seturut dengan rencana dan perintah Allah agar manusia menjadi pengelola alam dan mengembangkannya. Oleh karena itu kita mengenal mandat budaya, dimana sebagai implikasinya, manusia selalu memiliki naluri untuk menjadikan segala sesuatu semakin baik.
Namun, bagaimana jika naluri dan kebutuhan ini terdistorsi? Kebutuhan untuk mengungkapkan eksistensi diri yang berlebihan ini tentu akan menyebabkan masalah. Salah satunya adalah narsisme media sosial.
Beberapa waktu lalu, di Bandung terjadi perkelahian berujung maut antara tukang ojek konvensional dengan seorang dari ojek online. Hal yang miris adalah masyarakat tidak memisahkan mereka, malah memfoto atau merekam video peristiwa tersebut. Kejadian naas ini hanyalah satu dari banyak musibah yang terjadi akibat narsisme. Dalam liputan On The Spot beberapa waktu lalu, diceritakan tujuh orang yang mengalami nasib naas karena selfie. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa agaknya, bagi sebagian orang, selfie dan berbagai bentuk narsisme lainnya lebih penting daripada nyawa.
Paper ini akan membahas apakah yang disebut narsis itu dan apa yang Alkitab katakan mengenai narsis. Dengan demikian kita dapat mengambil sikap yang benar dalam menghadapi narsisme dalam kerangka etika Kristen dan bagaimana implementasinya dalam pergaulan global di dalam media sosial.
2. Media Sosial dan Narsisme
          Media Sosial
Sosial media  adalah teknologi media komunikasi yang memfasilitasi pembuat profilenya untuk berbagi informasi, ide, ketertarikan, dan hal hal lainnya via virtual dan jaringan.[1] Dalam buku Networked – The New Social Operating Systemoleh Lee Rainie dan Barry Wellman, kedua penulis merefleksikan terutama efek positif dari media sosial dan jaringan sosial berbasis Internet lainnya. Menurut penulis, media sosial digunakan untuk mendokumentasikan kenangan, belajar tentang dan mengeksplorasi berbagai hal, mengiklankan diri dan membentuk pertemanan.
           Dampak negatif media sosial
Ada beberapa dampak negatif yang paling utama adalah masalah privasi[2], ledakan informasi[3], penipuan di internet – termasuk hoax, hate speech. Kemarahan dan emosi yang terjadi di media sosial dapat berdampak juga dalam relasi di kehidupan nyata.
Terri H. Chan[4] mengklaim bahwa semakin banyak seseorang menghabiskan waktu di Facebook, semakin sedikit rasa puas mereka terhadap kehidupannya. Teori Self-presentational menjelaskan bahwa seseorang akan secara sadar mengatur gambar diri dan informasi identitas mereka di media sosial. Menurut Gina Chen[5]ketika seseorang merasa tidak diterima atau dikritik secara online, mereka akan merasakan sakit secara emosinal. Hal ini dapat menyebabkan beberapa bentuk pembalasan online seperti bullying[6]. Trudy Hui Hui Chua dan artikel Leanne Chang[7] menyatakan bahwa gadis remaja memanipulasi penampilan diri mereka di media sosial untuk mempercantik diri dan memamerkannya ke teman-temannya. Para penulis juga menemukan bahwa gadis remaja membandingkan diri mereka dengan teman mereka di media sosial dan menampilkan diri mereka dengan cara tertentu dalam upaya untuk mendapatkan penghormatan dan penerimaan, yang sebenarnya dapat menyebabkan masalahnya rusaknya gambar diri remaja tersebut.
Menurut penelitian dari UCLA, bagian “penghargaan” dari otak remaja lebih aktif ketika foto mereka di-like oleh beberapa orang. Remaja dan dewasa muda berteman dengan orang-orang yang tidak mereka kenal dengan baik didunia maya dan ini membuka kemungkinan mereka dipengaruhi oleh orang-orang tersebut. Ketika anak-anak memiliki  beberapa ratus teman di dunia maya, tidak ada cara bagi orang tua untuk mengetahui siapa mereka[8].
Menurut Christine Rosen, banyak sosial media yang mendorong penggunanya untuk menjadi “status-seeker”[9]. Menurut Rosen, praktik dan definisi “pertemanan” berubah dalam dunia maya. Pertemanan di dunia nyata adalah suatu hubungan kedekatan emosional yang dikarenakan ada kesamaan tertentu, timbal balik dan kepercayaan satu sama lain. Berbeda halnya dengan didunia maya dimana seseorang bisa berteman walau tanpa memiliki timbal balik dan kepercayaan satu sama lain.
      Narsisme
Narsisme (dari bahasa belanda) adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos.[10] Sedangkan menurut KBBI, Narsisime adalah hal (keadaan) mencintai diri sendiri secara berlebihan.[11]
Sifat narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir.[12]  Dan Andrew Morrison berpendapat bahwa dimilikinya sifat narsisisme dalam jumlah yang cukup akan membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam hubungannya dengan orang lain[13] Artinya bahwa Narsisisme memiliki manfaat positif jika dalam jumlah yang wajar, yaitu dapat membiasakan seseorang untuk berhenti bergantung pada standar dan prestasi orang lain demi membuat dirinya bahagia.
      Dampak buruk narsisme
Namun apabila jumlahnya berlebihan, dapat menjadi suatu kelainan kepribadian. Penyimpangan kepribadian merupakan istilah umum untuk jenis penyakit mental seseorang, di mana pada kondisi tersebut cara berpikir, cara memahami situasi dan kemampuan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi normal.
Dr. Sam Vaknin, menjelaskan:
“Setiap orang adalah narsis dalam derajat berbeda. Narsisme adalah fenomena yang sehat. Ia membantu pertahanan hidup. Perbedaan antara narsis yang sehat dan patologis adalah dalam ukurannya. Maksud patologis disini adalah, jika individu ini sudah tidak dapat membedakan antara realita dan khayalan, sehingga merusak dan mengganggu fungsi individu baik secara psikis dan terutama fungsi sosialnya.”[14]
Narsisme patologis adalah suatu sifat dan perilaku yang menandakan kegilaan dan obsesi dengan diri sendiri. Cenderung mengesampingkan orang lain, bersifat egois dan tidak merasa salah dalam memanfaatkan orang lain demi kepuasan dan tujuan diri sendiri. Berbeda dengan narsisme sehat yang dimiliki oleh semua orang, narsisme patologis bersifat tidak adaptif, kaku, keras, menyebabkan penderitaan yang signifikan, dan penurunan nilai. Narsisme patologis memiliki bentuk ekstrim yaitu NPD (Narcissistic Pathological Disorder). NPD adalah bentuk dari narsisme yang bersifat patologis. Penyakit kejiwaan ini masuk kedalam kategori gangguan kepribadian.
3. Pandangan Etika Kristen terhadap Narsisme
      Worldview
Narsisme pada dasarnya adalah sebuah bentuk dari hedonisme, dimana manusia mencari kepuasan yang tidak ada habisnya bagi diriya sendiri. Sayangnya, menjadi narsis hanyalah akan membuat kita menjadi semakin adiktif dan “melatih” kita menjadi orang-orang yang egois, egosentris, dan tidak peduli dengan sesama manusia.
Secara etis hedonisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa kenikmatan pribadi merupakan nilai hidup tertinggi dan tujuan utama serta terakhit hidup mannusia. Kenikmatan demikian terkait dengan indrawi, inteletual, dan spiritual.[15] Hedonisme sendiri adalah anak dari eksistensialisme yang pada akhirnya berujung kepada nihilisme. Di dalam kehidupan hedonisme, tidak ada seorang pun yang dapat menemukan makna kehidupannya yang sejati.
      Pandangan Alkitabiah
Manusia pada esensinya adalah ciptaan yang Allah kerjakan dengan begitu mulia, seperti yang dikatakan dalam Kejadian 1:27 manusia diciptakan serupa dengan rupa Allah. Manusia diberikan kebebasan untuk bertindak, berpikir, dan melakukan segala sesuatu. Namun di dalam kebebasan itu manusia lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang berdosa, manusia melakukan sesuatu yang memuaskan hasratnya, melakukan tindakan yang bukan meninggikan Allah, tetapi menempatkan diri sebagai prioritas utamanya.
Namun kejatuhan manusia dalam dosa berimplikasi penyimpangan citra diri. Manusia yang adalah gambar dan rupa Allah menjadi seteru Allah, bukan hanya dengan Allah semata tetapi dengan segala hal, termasuk dengan diri sendiri. Fokus hidup manusia beralih dari Allah, berpindah pada diri sendiri. Bahaya terbesar dari mengasihi diri sendiri adalah karena hal ini merupakan penyembahan kepada diri sendiri. Ini merupakan pemberhalaan dengan diri sebagai berhalanya, dan merupakan lawan dari Allah. Dengan demikian dapat mengakibatkan kesombongan terhadap Allah, keegoisan timbul, dan hidup yang berpusat pada diri sendiri semakin menguat.[16]
Gambar Allah di dalam diri manusia yang menyimpang karena kejatuhan harus dan senantiasa diperbaharui secara bertahap di dalam Yesus. Pembaharuan citra diri manusia terjadi dalam dua aspek, yang pertama ketika Allah dan Rohnya memperbaharui manusia, Ia memampukan manusia untuk meninggalkan kesombongan dan memandang diri sebagai pusat segalanya. Manusia harus sadar dulu bahwa pusatnya pada Allah. Manusia harus secara sadar menyakini Allah adalah realita tertinggi.[17]
     Imago Dei Vs. Narsisme
Narsis dalam pengertian menyadari keunikan diri sebagai gambar dan rupa Allah (imago Dei) tentu sangat baik karena memang Allah menghendaki agar kita menyadari hal yang demikian. Tanpa kesadaran akan hal itu, manusia tidak akan pernah sanggup untuk melakukan apapun karena akan selalu dipenuhi rasa pesimistis yang pada akhirnya tidak akan membuahkan apa-apa. Ini sebenarnya sama dengan merendahkan gambar dan rupa Allah tersebut.
Namun jika narsis dalam pengertian di atas berkembang sampai menjadi narsisme, maka hal ini juga akan merendahkan gambar dan rupa Allah dalam diri manusia. Orang-orang yang narsis (dengan –me) memiliki kekosongan  dalam hidup mereka dan tidak pernah menyadari betapa berharganya diri mereka. Itulah sebabnya mereka mencoba untuk membuat diri mereka agar kelihatan lebih berharga. Orang yang menyadari dengan jelas siapa dirinya tidak perlu melakukan usaha-usaha yang demikian untuk menaikkan harga dirinya.
       Teladan Yesus
Yesus Kristus tidak pernah berhenti menjadi Tuhan sekalipun Ia membasuh kaki murid-murid-Nya. Bagi Yesus, harga Diri-Nya saa sekali bukan ditentukan dari bagaimana orang lain memandang Dia, namun bagaimana Allah memandang Dia. Etika Kristen harus menjadikan Yesus Kristus sebagai model satu-satunya yang sempurna. Karena itu orang Kristen pun harus melakukan apa yang Yesus lakukan. Kita tidak perlu membangun harga diri dari hal-hal yang remeh karena Allah Pencipta langit dan bumi sudah menganggap kita berharga. Pengertian mengenai hal tersebut seharusnya sudah cukup untuk membentuk citra diri kita.
 4. Kesimpulan
Narsisme bukan baru dirumuskan dalam sejarah mitologi Yunani, tetapi definisi atau penarapan dari orang yang narsis itu sudah dimulai sejak manusia jatuh dalam dosa. Dengan perkembangan zaman, kata narsis itu muncul, dan menjadi bagian dalam diri manusia sampai sekarang, secara khusus kelompok kami mencermatinya dalam sosial media.
Pada masa kini, kita mengenal suatu istilah social climbing. Istilah ini mengacu kepada orang-orang yang melakukan segala upaya untuk naik ke status sosial yang lebih tinggi dari posisi mereka yang sebenarnya. Dampak dari hal ini selalu negatif karena pada dasarnya orang-orang akan membohongi dirinya sendiri dan memaksakan sesuatu yang mereka tidak dapat tanggung. Akibatnya kita banyak mendengar kredit macet, prostitusi di kalangan ibu-ibu muda, dsb. Dalam dunia ekonomi, kita sering mendengar tuntutan kaum buruh yang sebenarnya tidak masuk akal: ingin bonus jalan-jalan ke luar negeri, nonton bioskop seminggu sekali, dsb. Mangapa hal-hal demikian bisa terjadi?
Kelompok mengamati hal ini terjadi karena orang-orang melihat foto-foto narsis yang di-upload di media sosial, apakah itu foto makanan, pemandangan, dsb. Ketika orang-orang yang lemah imannya melihat foto-foto tersebut, maka mereka menjadikan hal tersebut sebagai standar hidup yang juga harus mereka gapai. Namun ketika mereka tidak sanggup mencapainya karena keterbatasan posisi sosial mereka. Karena itu mereka akan melakukan bahkan menghalalkan berbagai macam cara untuk mencapai hal-hal tersebut. Ketidakmampuan mereka untu mencapai hal-hal tersebut akan dianggap sebagai ketidakadilan sosial.
Dalam hal ini, kita harus belajar dari rasul Paulus. Dalam I Korintus 10: 23 jelas-jelas dikatakan bahwa walaupun segala sesuatu diperbolehkan, namun tidak segala sesuatu berguna dan membangun. Alkitab tidak pernah melarang kita untuk selfiedan meng-upload foto di medsos, namun kita perlu melihat antara kegunaan dan dampak negatifnya. Pada kenyataannya, pameran kekayaan dan kenikmatan yang bersifat duniawi itu tidak pernah menghasilkan dampak yang baik.
Orang Kristen bisa mengasihi dirinya secara pantas, bukan berlebihan, kalau pribadi seseorang telah dilahirbarukan atau menjadi ciptaan baru dalam Allah, dan dia sadar ada anugerah yang menyelamatkan dia,[18] bukan karena kemampuan manusia sendiri. Dengan demikian, orang ini akan memuji, meninggikan, dan menonjolkan Allah dalam berbagai aspek, termasuk dalam sosial media, bukan lagi menonjolkan diri sendiri. Ambiguitas dan narsisme diri perlahan-lahan akan hilang.
Citra diri Kristen tidak pernah menjadi tujuan akhir pada dirinya sendiri. Ia selalu merupakan alat untuk mencapai tujuan, yaitu hidup bagi Allah, bagi orang lain, dan bagi pemeliharaan dan pengembangan ciptaan Allah.[19] Citra diri yang baik, membawa manusia keluar dari sikap narsisme, dan kembali untuk memuji Allah dan memperdulikan yang lain. Karena Yesus mengajarkan tentang hukum kasih, bahwa manusia hidup untuk mengasihi Tuhan yang utama, dan mengasihi sesama. Memang mengasihi diri penting, tetapi jangan dijadikan itu berhala atau pusatnya.
Kelompok menganjurkan, jika kita ingin meng-upload foto ke medsos, pilihlah foto yang menggambarkan keindahan dan kemuliaan hidup bersama dengan Allah. Sebagai contoh, pilihlah foto yang memperlihatkan kekeluargaan di dalam kasih Tuhan, keindahan pelayanan di gereja, dsb. Dengan memperlihatkan hal-hal seperti demikian, kita tidak mencobai mereka yang lemah imannya, malah menguatkan iman mereka sehingga setiap orang melihat perbedaan hidup orang Kristen dengan orang yang tidak mengenal Allah.
Pada akhirnya, kami mengutip perkataan rasul Paulus dengan memberikan sedikit penyesuaian dalam konteks ini: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah (perlihatkanlah) semuanya itu.” (Fil 4:8).


Bagian 2
SUATU TINJAUN ETIKA KRISTEN SITUS JEJARING SOSIAL
I. Pendahuluan
Perkembangan internet yang merambah ke dunia jejaring sosial mengalami perubahan yang cukup tajam terhadap sosial masyarakat. Internet tidak dikenal sebatas untuk mengirimkan email namun juga dipakai untuk berjejaring sosial. Dengan hadirnya situs jejaring sosial, dunia seoal-olah berada di ujung jari. Tidak ada lagi batasan individu, kelompok, suku, agama dan negara di dunia maya. Semua orang dapat dengan mudah berjejaring sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing.
“What’s on your mind” adalah salah satu template status di situs jejaring sosial, yaitu Facebook. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai situs jejaring sosial, khususnya Facebook. Facebook merupakan fenomena dalam kurun satu dekade belakangan ini. Munculnya Facebook menjadi ikon situs jejaring sosial ternyata memberikan dampak sosial yang luar biasa. Penulis akan membahas dampak sosial secara negatif dan positif terhadap situs jejaring sosial, khususnya Facebook. Kemudian penulis juga memberikan analisa etis Kristen di dalam menyikapi situs jejaring sosial. Bagaimana sikap orang Kristen ketika masuk di dalam situs jejaring sosial? Seputar hal-hal ini yang akan coba dibahas di dalam tulisan ini.
II. Situs Jejaring Sosial
Situs jejaring sosial adalah layanan berbasis web yang mengijinkan tiap individu penggunanya untuk membuat profil publik atau semi-publik dalam sebuah sistem yang terbatas, mengartikulasikan daftar pengguna lain yang telah berbagi koneksi dengannya, melihat dan melintasi daftar koneksi yang telah dibuat oleh pengguna lain di dalam sistem.[1] Kemudian apa yang membedakan antara situs jejaring sosial yang satu dengan yang lainnya, seperti milis, ruang chat dan forum diskusi. Perbedaan utamanya adalah setiap anggota dapat membuat dan mengelola profil pribadi dan dapat dikaitkan dengan profil anggota lainnya. Pada dasarnya situs jejaring sosial memiliki prinsip bagaimana menghubungkan para pengguna dengan pengguna orang lain dan mereka saling mengakses satu dengan yang lain.
Munculnya situs jejaring sosial pertama kali adalah Sixdegrees.com pada tahun 1997. Kemudian lunarstorm, live journal, Cyword tahun 1999-2000, Ryze.com tahun 2001, friendster tahun 2002, Flick R, You Tube, Myspace tahun 2003 dan facebook 2005 menggeser berbagai situs jejaring sosial lainnya. Facebook pada saat ini dapat dikatakan nomor satu di dalam sistus jejaring sosial. Terobosan yang dilakukan oleh Facebook tidak dapat dianggap ringan.
Asal mula Facebook berawal ketika Mark Zuckerberg (saat itu mahasiswa semester II Harvard University) membuat sebuah situs kontak jodoh untuk rekan-rekan kampusnya. Zuckerberg yang terinspirasi dari situs Hot or Not menamai situs buatannya Facemash.com.  Kemudian 4 Febuari 2004 Zuckerberg membuat situs baru yang bernama “The Facebook” yang jejaringnya hanya diperuntukkan kalangan terbatas, yaitu kampus. Namun seiring dengan waktu jejaring ini berkembang dan mendapatkan sambutan yang positif dari penggunanya. Kemudian tahun 2005 Zuckerberg mendapatkan suntikan dana serta menghapus kata “The” sehingga menjadi Facebook.[1]
Mengapa Facebook cepat populer? Padahal dia bukan yang pertama kali memplopori situs jejaring sosial. Secara sederhana kesuksesan Facebook terletak di ringannya mengakses situs Facebook walaupun kecepatan internet terbatas. Kedua, template facebook yang tidak dapat dirubah sehingga semuanya seragam. Ketiga, berjejaring dengan mudah berasarkan politik, agama, sekolah, hobi, mencari jodoh, dll. Keempat, Facebook menyediakan orang dapat meng-update statusnya dan memberitahu lokasi pengguna.
Kesederhanaan Facebook di dalam berjejaring rupanya menjadi daya tarik orang-orang di seluruh dunia untuk mendaftar menjadi pengguna Facebook. Tidak mengherankan jika di tahun 2012 pengguna Facebook sudah mencapai 900 juta orang.[2] Belum lagi jika ditilik dari penghasilan di bulan Maret 2012 diperkirakan US$ 1,06 milliar.[3] Tentunya angka-angka ini menunjukkan betapa Facebook menjadi fenomena dunia yang memang mentransformasi cara bersosial masyarakat.
III. Dampak Situs Jejaring Sosial
Tak dapat dipungkiri sebuah fenomena memberikan dampak yang cukup besar di dalam cara berkomunikasi masyarakat. Masyarakat yang tadinya cukup terbatas ‘bergaul’ dengan masyarakat yang lainnya sekarang nampaknya sudah tidak ada lagi sekat pemisah di dunia maya. Tadinya banyak orang yang memiliki teman rumah, teman sekolah, teman bermain, dan teman kerja. Maka sekarang dapat ditambah dengan teman online.
III. 1. Dampak Positif Situs Jejaring Sosial
Analisa dampak positif situs jejaring sosial, khususnya Facebook, dapat dilihat dari beberapa sudut pandang.
1. Jaringan Sosial yang Meluas
Jejaring yang semakin meluas adalah dampak positif yang terjadi. Orang tidak lagi bersikap eksklusif maupun berpikir lokal namun orang sudah sudah berjejaring sampai global.
2. Akses Informasi
Dengan berjejaring sosial, khususnya di dunia maya, maka informasi lebih cepat dapat diterima. Dalam hitungan detik, berita dari suatu daerah terpencil dapat diketahui oleh dunia.
3. Pembelajaran Informasi Teknologi
Kurun waktu satu dekade belakangan ini, orang secara tidak langsung “dipaksa” untuk berjejaring sosial. Sehinga masyarakat di kota maupun di desa belajar untuk mengenal informasi tekonologi guna bisa masuk ke dunia jejaring sosial.
4. Pemanfaatan Ekonomi
Situs jejaring sosial dimanfaatkan guna mempromosikan produk baik itu home indrustri maupun perusahaan. Promosi secara “gratis” dan tersebar secara meluas menguntungkan dari segi bisnis.
5. Pemanfaatan Politik
Salah satu kunci kemenangan dari Presiden AS Barack Obama adalah di sistus jejaring sosial, seperti Facebook, myspace, Linkedin, You Tube, Friendster, hingga Twitter. Kampanye melalui jejaring sosial maya ini mampu menghantar Obama ke kursi panas Presiden AS.[4]  Sementara di Indonesia, kasus Bibit-Chandra tidak jadi ditahan atau dibawa ke pengadilan karena publik opini melalui Facebook membela mereka pada waktu itu.[5]
III. 2. Dampak Negatif Situs Jejaring Sosial
Tak dapat dipungkiri situs jejaring sosial juga membawa sejumlah masalah. Ada beberapa ranah yang terjangkiti dari dampak negatif situs jejaring sosial. Berikut beberapa dampak buruk Facebook, yang VIVAnews kutip dari Telegraph.
1. Krisis Hubungan
Memicu perceraian
Pengacara menyalahkan Facebook untuk satu dari lima petisi perceraian online. Situs yang bisa mempertemukan teman lama dan membuat penggunanya bisa saling bicara melalui aplikasi chatting ini, disebut sebagai latar belakang meningkatnya kehancuran pernikahan dan godaan untuk berselingkuh.
Membuat pasangan cemburu
Tim peneliti dari University of Guelph, Kanada, menemukan bahwa penggunaan Facebook meningkatkan rasa cemburu pasangan. Mereka menemukan bahwa makin sering seseorang menghabiskan waktu untuk online pada situs jejaring sosial dan melihat pasangannya, maka tingkat kecurigaannya sangat tinggi.
2. Krisis Kepribadian
Memicu anak bunuh diri
Kepala gereja katolik di Inggris dan Wales, Archbishop Vincent Nichols, memperingatkan bahwa Facebook bisa mendorong remaja memiliki pandangan bahwa pertemanan adalah sebuah komoditas. Hal itu bisa memicu keinginan untuk bunuh diri, ketika hubungan tidak berjalan lagi.
Membuat orang menjadi tertutup
Penelitian dari Mintel, sebuah perusahaan penelitian pasar, menemukan lebih dari setengah orang dewasa yang menggunakan situs jejaring sosial seperti Facebook, lebih menghabiskan waktu di internet dibandingkan berbicara dengan teman atau anggota keluarga lainnya.
Mengungkap kehidupan pribadi
Banyak orang yang memajang foto-foto pribadinya di Facebook tanpa menyadari bahaya yang sedang mengintainya. Seperti kasus istri seorang kepala agen rahasia Inggris, Sir John Sawers, yang memajang foto-foto keluarganya secara detail di Facebook saat berlibur bersama keluarganya.
Membuat banyak orang tua jatuh cinta
Ofcom, sebuah badan pembuat regulator komunikasi, menemukan lebih banyak orang setengah baya yang menjadi anggota situs jejaring sosial seperti Facebook. Hal itu menunjukkan fenomena situs jejaring sosial telah “tumbuh”, dengan pengguna yang berusia 35 hingga 54 tahun melonjak sebesar 25 persen sepanjang tahun 2009.
Membuat penggunanya merasa tidak menarik
Jutaan pengguna Facebook mengatakan menghindari menggunggah foto dan menghapus nama dari berbagai foto, karena merasa terlalu gemuk, tua, atau terlihat jelek.  Hal itu menurut survei yang dilakukan perusahaan yang memproduksi produk penurunan berat badan, LighterLife, pada 2000 orang.
3. Krisis Kesehatan
Memicu gangguan tulang
Facebook juga sering disalahkan karena gangguan tulang yang terjadi pada anak-anak. Penelitian dalam British Medical Journal menemukan bahwa situs jejaring sosial dan permainan komputer, merupakan pemicu penyakit seperti kekurangan vitamin D yang akibatnya bisa membuat tulang mudah rapuh.
4. Dampak Hukum
Dijadikan ajang menantang hukum
Pada beberapa kasus hukum di Inggris, Facebook, dijadikan ajang untuk menantang hukum. Pihak yang tersangkut kasus hukum membuat grup, yang namanya sangat provokatif dan melawan hukum .[6]
Kriminalitas
Facebook merupakan jejaring yang kerap kali dihinggapi kejahatan. Karena mudahnya akses mengetahui informasi identitas pengguna Facebook mengakibatkan mudahnya pelaku kejahatan untuk beraksi. Seperti 17 siswi yang menjadi korban pembajakan Facebook. Mereka merupakan siswi dari Bay Path Regional Vocational Technical High School di Charlton, Massachucetts, Amerika Serikat. Foto-foto mereka terpampang di situs-situs porno.[7] Seperti juga yang terjadi kepada Rohmatul Latifah Asyhari (16), remaja putri warga Desa Mojoduwur, Kecamatan Mojowarno, Jombang. Dia menghilang setelah berkenalan seorang pria di Facebook. Bahkan sangat kemungkinan Latifah korban perdagangan perempuan.[8]
Sejak awal 2011, Nick Gibbson Director Facebook Asia Pacifik, pihak Facebook telah membatasi beberapa ketentuan yang menyangkut privasi orang lain, bahkan sampai memblokir akun yang diduga sebagai penyebab aksi kriminalitas tersebut.[9] Walaupun Facebook sudah memberikan berbagai macam tips dan trik supaya aman berselancar di dunia maya namun kejahatan tetap mengintai bagi para pengguna situs tersebut.
IV. Tinjaun Etis terhadap Sistus Jejaring Sosial
Dengan melihat sejumlah kasus dan fakta bahwa situs jejaring sosial bisa mengandung bahaya dan mafaat maka bagaimana sikap kekristenan menghadapi hal ini. Ada dua tinjauan etis, yaitu komunikasi, karakter dan komunitas yang menurut penulis dapat dipakai supaya dapat menyikapi fenomena sistus jejaring sosial ini.
IV. 1. Motif Komunikasi
Relasi di dunia maya lebih menyenangkan ketimbang berelasi secara nyata. Salah satu bentuk relasi adalah komunikasi. Semua orang dapat memberikan pernyataan, komentar, “curhat,” berpendapat, dll. Namun ada para pengguna situs jejaring sosial melupakan bahwa mereka sedang melakukan komunikasi masa. Ketika seseorang memberikan pernyataan maka itu dapat dibaca oleh semua orang yang berjejaring maupun tidak berjejaring dengan dia. Contoh kasus
Amerika Serikat – Gara-gara mengkritik kebijakan di sekolahnya, seorang siswi di Minnewaska Area Middle School Minnesota, Amerika Serikat (AS), dipaksa untuk menyerahkan password Facebooknya dan harus menjalani hukuman.
Kejadian ini bermula saat RS — inisial siswi tersebut — memposting kritik terhadap monitor yang ada di aula sekolah dan membahas mengenai seks online. Pihak sekolah yang mengetahui hal tersebut langsung berang, dan meminta password dan email RS untuk kemudian diperiksa. Padahal siswi yang berumur 12 tahun ini memposting statusnya tersebut menggunakan komputer pribadinya di rumah. Tidak hanya itu, pihak sekolah juga dituding telah mempermalukan RS dan melakukan intimidasi. Terlepas dari itu, sebenarnya Facebook dalam peraturannya sudah jelas bahwa pengguna di bawah usia 12 tahun akan didelete.[10]
Motif komunikasi menjadi hal yang peting ketika orang akan berjejaring sosial. Hal ini dapat kita lihat dari Yakobus 3:1-12. Terutama di ayat 9-10: “Dengan lidah kita memuji Tuhan dan Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, Saudara-saudaraku, tidak boleh terjadi.” Yakobus memakai pengertian ‘memuji Tuhan dan Bapa kita’ adalah dalam konteks ibadah. Kemudian Yakobus mengkaitkan ‘mengutuk manusia’ adalah pribadi. Bagi Yakobus tidak mungkin satu lidah mengeluarkan hal berbeda, yaitu berkat dan kutuk. Maka hal ini disebut dengan jahat.[11] Perlunya memiliki kesadaran motif komunikasi yang murni, yaitu mendatangkan berkat bukan kutuk sehingga jejaring yang terjadi adalah jejaring komunikasi yang saling memberkati.
IV. 2. Karakter
Ketika seseorang berjejaring sosial maka suka tidak suka karakter seseorang akan nampak dengan jelas. Hollinger berpendapat:
“Character can best be understood as “the inner and distinctive core of a person from which moral discerment, decisions, and actions spring. It is an enduring configuration of the intentions, feelings, dispositions, and perceptions of any particular self.”[12]
Seseorang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus seharusnya memiliki karakter yang bersumber dari Alkitab (2 Kor 3:18). Maka secara otomatis karakter Kristus akan menjadi cerminan seseorang ketika berjejaring sosial. Jika ditilik dari segi Alkitab maka nasihat Paulus kepada jemaat Korintus sangat tepat, yaitu melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan (1 Kor 11:31). Yakobus juga memberikan satu nasihat kepada para pembacanya supaya memiliki iman dan perbuatan yang seimbang (Yak 2:20).  Stanly Hauerwas berpendapat mengenai etika karakter, yaitu
“The question of what I ought to do is actually about what  I am or ought to be. “Should I or should I not have an abortion?” is not a question about an “act” but about what kind of person I am going to be.”[13]
Memiliki paradigma karakter yang selalu memuliakan Tuhan akan cukup memberikan dampak yang luas ketika orang percaya melakukan jejaring sosial.
IV. 3. Komunitas
Situs jejaring sosial pada dasarnya ingin membangun sebuah komunitas yang saling terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, penting kesadaran bagaimana model komunitas kekristenan dapat mempengaruhi atau setidaknya mencerminkan komunitas umat percaya.
Stanly Hauerwas memberikan wawasan bagaimana keinginan Tuhan terhadap orang percaya.
It suggests that what God wants is for his people to worship him, to be his friends, and to eat with him: in short, to be his companions. The Eucharist offers a model of this companionship. Disciple gather and greet: are reconciled with God and one another; hear and share their common story; offer their needs and resources; remember Jesus and invoke his Spirit; and then share communion, before being sent out. Through worship – preparation, performance, repetition – God gives his people the resources they need to live in his presence.[14]
Komunitas orang percaya dibangun mencerminkan relasi antara Tuhan dengan manusia dan manusia dengan manusia. Ketika manusia sudah ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus maka akan membentuk persekutuan orang percaya yang diikat oleh kasih Tuhan. Maka worldview yang dibangun di dalam komunitas orang percaya adalah berdasarkan Yesus Kristus dan Alkitab.[15] Dalam Yohanes 13:34-35,  Burridge memberika tafsiran terhadap kata “baru” sebagai ‘motif dan kekuatan’ untuk etika situasi yang akan selalu dihadapi oleh para murid.[16] Komunitas orang percaya juga seharusnya memiliki pemikiran yang sama dengan Kristus (Flp 2:1-8).
Hays memberikan satu konsep komunitas yang baik, yaitu komunitas bukan sekedar konsep namun manifestasi umat Tuhan di dalam masyarakat yang mencerminkan penebusan Tuhan terhadap dunia dan karakter umat Tuhan.[17] Jika komunitas Kristen merefleksikan Kristus di dalam situs jejaring sosial maka bukan tidak mungkin memberikan satu dampak yang cukup besar.
V. Kesimpulan
Situs jejaring sosial bukanlah terlarang. Tergantung ditangan siapa yang menggunakan jejaring ini. Namun jika memiliki paradigma etika komunikasi, karakter dan komunitas berdasarkan Kristus maka jejaring sosial yang bangun akan mengekspresikan, setidaknya, nilai-nilai kekristenan dan prinsip-prinsip Alkitab

Bagian 3. PERANAN DAN PENGARUH MULTI-MEDIA
BAGI PERTUMBUHAN IMAN JEMAAT

I.     BEBERAPA PANDANGAN DAN JAWABANNYA :
1.  Media itu punya iblis
a.  Bukan punya iblis, tapi digunakan oleh iblis
b.  Kalau iblis menggunakan media untuk menyerang àgereja juga harus menggunakan media untuk senjata Kebenaran
c.  Ingat! Media sangat cepat mempengaruhi à gereja harus lebih cepat menangkalnya

2.  Kita jangan bersentuhan dengan media karena itu duniawi
a.  Perhatikan! Anak kita sedang di”guru”i oleh media
b.  Kita harus tahu bagaimana strategi iblis untuk menjatuhkan anak-anak kita melalui media
c.  Kita harus tahu jenis amunisi yang dimiliki oleh iblis à sehingga kita menggunakan senjata tandingan yang minimal seimbang.

3.  Tidak dengan media modern juga bisa
a.  Ya, tapi lambat dan kalah cepat dengan iblis
b.  Anak-anak generasi sekarang tidak mungkin lepas dari media, lebih baik diberdayakan daripada dunia memperdayanya.

II.   PERANAN MEDIA MODERN
ADA BEBERAPA HAL YANG DAPAT KITA LAKUKAN MELALUI MEDIA :

1.  Menyebarluaskan Firman Tuhan .
·   Johanes Gutenberg adalah orang yang pertama kali menemukan mesin cetak. Tetapi, tahukah Anda kalau karya utamanya adalah ‘Alkitab Gutenberg’, sebuah edisi Alkitab yang mutu teknikal dan estetikanya tinggi?
Hingga saat ini, Alkitab masih menjadi buku yang paling laris sepanjang masa.

Seperti Gutenberg, kita juga harus mampu memanfaatkan perkembangan teknologi informasi demi kemajuan pekerjaan Tuhan.

·   Sekarang Alkitab dapat dipasang pada (mungkin) semua platform smartphone yang ada.
·   Dalam Yos 1:8 dikatakan, “Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung. ”
·   Acara GO studio, Solusi, merupakan salah satu bentuk penyebarluasan Kebenaran Firman Tuhan.

2.  Melakukan Misi Penginjilan .
·         Zakaria Boutrous mengabarkan Injil melalui teknologi satelite canggih bernama Al Hayat [ TV Hidup]. Siaran TV ini bisa di lihat di seluruh negara-negara Afrika Timur,Timur Tengah,Asia Tengah, dan juga seluruh Amerika Utara,Eropa,Australia,dan New Zealand..
·         “Internet Evangelism Day” memanfaatkan sarana internet untuk berbagi kabar dan penginjilan melalui media digital.

3.  Melakukan Konseling .
·   Salah satu keunggulan konseling dengan menggunakan media Internet adalah, orang bisa dengan bebas menceritakan apa yang menjadi pergumulannya karena dia tahu bahwa konselornya tidak mengenal dirinya secara pribadi (kerahasiaan terjamin dan tidak ada rasa malu).

4.  Pembelajaran jarak jauh.
·   Dengan adanya Internet, kita bisa menyebarluaskan pengetahuan teologi kepada orang-orang di kota-kota terpencil.

·   juga dapat mengikuti khotbah- khotbah yang bermutu dari para pendeta/penginjil yang ada di luar negeri.
·   Ini merupakan salah satu mandat budaya dari Tuhan dalam Kej 1:28, dimana kita sebagai orang Kristen harus menaklukkan bumi dan segala isinya.

III.IBLIS MENGGUNAKAN MEDIA

         i.Media Seni :
o   music (audio dan video)
o   syair penyembahan kepada iblis
o   menampilkan symbol-simbol setan
o   ekspresi penghujatan dan pemberontakan
o   Pengaruh  dari film-film dan sinetron yang diputar di televise adalah Tindakan kriminalitas : pencurian, penodongan, perampokan, pemerkosaan, Konsumtivisme dan sikap hidup boros, Perilaku hidup bebas, termasuk pandangan terhadap seks.

o   tari 
·         tarian eksotis
·         tarian ritual
·         tarian penyembahan kepada setan

o   foto/gambar/lukisan berbau fornografi, tidak sopan, penghinaan dan pelecehan.

          ii.   Media Tulisan :
o Doktrinasi ajaran sesat 
o Mengagungkan ilmu pengetahuan
o Tidak mempercayai adanya Tuhan

        iii.   Media Spiritual :
o Sekte/kelompok ke”agama”an
o Praktik perdukunan/spiritisme
o Ramalan
o Doa dan mantra

          iv.   Media Jejaring Sosial :
o Blackberry Messenger
o Facebook
o Twitter
o Line
o Kakao Talk
o Whatsapp
o Sound Cloud
o Wechat, dll

Dampak Negatif Dari Situs Jejaring Sosial 
·         Membuat waktu terbuang dengan sia-sia karena online terus, padahal secara teori mereka seharusnya sedang bekerja, istirahat tidur malam hari, ataupun sedang beribadah.

·         Menambah beban pengeluaran Keberadaan jejaring sosial yang menjadi bagian dari kehidupan manusia modern

·         sehingga kepemilikan akun salah satu jejaring sosial seolah menjadi wajib hukumnya.
·         Implikasi yang muncul adalah harus adanya alat yang bisa dipergunakan untuk akses media sosial tersebut seperti komputer dan handphone.
·         Namun, alat saja belum cukup tanpa terhubung dengan fasilitas internet. Akhirnya, seorang user media sosial harus mengeluarkan uang untuk membiayai akses internya itu.

·         Mengganggu Konsentrasi Belajar 

·         Mengancam Keamanan Diri.

·         Tidak jarang kita membaca di media online atau cetak korban dari pertemanan di media sosial yang secara umum disebut penipuan.
·         Mengancam Kesehatan.
·         Ada sebuah berita seorang user yang menggunakan media sosial secara berlebih mengeluh karena jari-jarinya sakit akibat terlalu sering memencet tombol keybord Handphonenya.

Jika iblis menggunakan media untuk menyesatkan !

BAGAIMANA DENGAN GEREJA ? APA YANG GEREJA LAKUKAN DENGAN DAN MELALUI MEDIA ?


IV.   APLIKASI PELAYANAN MEDIA DI GEREJA
                  i.   Media Seni :
o   music à audio dan video
·         Album Nyanyian Rohani
·         CD audio Khotbah/Seminar
·         Sosialisasi program melalui video
o   Gerak dan tari à pengiring pujian dan creative ministry
·         Tambourine dan flag
·         Tarian anak-anak
·         Drama
o   foto/gambar/lukis à
·         Buku Kegiatan Tahunan dalam bentuk foto kegiatan
·         Foto Kegiatan Bulanan di Mading
·         Buku Foto Kegiatan Tahunan

                 ii.   Media Tulisan :
·         Warta Jemaat/Buletin Mingguan atau Bulanan
·         Flyer, Banner, Spanduk, Wallpaper
·         Buku Bimbingan : pra-nikah, pra-baptisan

               iii.   Media Spiritual :
·         Doa dan Puasa

                 iv.   Media Internet dan Jejaring Sosial :

·         Blog
·         Blackberry Messenger Group
·         Facebook
·         Twitter
·         Whatsapp
·         Email

                  v.   MEDIA LAINNYA
o   Ruang Pelatihan Band
o   Ruang Multimedia
o   Ruang Konseling
o   Ruang Doa
o   Ruang Sosialisasi
o   Ruang Pelatihan Bimbingan
o   ADMINISTRASI DAN SEKRETARIAT
·         FOTO UNTUK PENDATAAN JEMAAT

Penutup :
Kolose  3:23 Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

A M I N


Daftar Pustaka
King, Ann M. Sheri L. Johnson, Gerald C. Davison,  John M. Neale . 2010 .
Abnormal Psychology, 11th Edition . John Wiley & Sons, Inc Jonathan A Obar, Wildman, Steve (2015). “Social media definition and the governance challenge: An introduction to the special issue”. Telecommunications policy. 39 (9).
Chan, TH (2014). “Facebook and its Effects on Users’ Empathic Social Skills and
Life Satisfaction: A Double Edged Sword Effect”. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking. 17 (5): 276–280.
Chen, Gina Masullo (2015). “Losing Face on Social Media”. Communication
Research. 42 (6).
Kowalski, Robin M, Sue Limber, and Patricia W Agatston. Cyberbullying. 1st ed.
Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2012.
Chua, Trudy Hui Hui; Chang, Leanne (2016). “Follow me and like my beautiful
selfies: Singapore teenage girls’ engagement in self-presentation and peer comparison on social media”. Computers in Human Behavior.
Wolpert, Stuart. “Teenage Brain on Social Media”Retrieved May 31, 2016.
Atlantis. Retrieved February 29, 2016.
Freud, Sigmund. 1914. On Narcissism: An Introduction.
Morrison, Andrew. 1997. Shame: The Underside of Narcissism. The Analytic
Press.
Brownback, Paul. The Danger of Self-Love. Chicago: Moody Press, 1982.
Hoekema, Anthony A. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah. Surabaya:
Momentum, 2010.
Sagala, Herlise Y. “Etika Kristen. Classnote Etika Kristen. Bandung: STTB,
2017.
KBBI
[1] Obar, Jonathan A.; Wildman, Steve (2015). “Social media definition and the governance challenge: An introduction to the special issue”. Telecommunications policy. 39 (9): 745–750.
[4] Chan, TH (2014). “Facebook and its Effects on Users’ Empathic Social Skills and Life Satisfaction: A Double Edged Sword Effect”. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking. 17 (5): 276–280.
[5] Chen, Gina Masullo (2015). “Losing Face on Social Media”. Communication Research. 42 (6): 819–38.
[6] Kowalski, Robin M, Sue Limber, and Patricia W Agatston. Cyberbullying. 1st ed. Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2012. Print.
[7] Chua, Trudy Hui Hui; Chang, Leanne (2016). “Follow me and like my beautiful selfies: Singapore teenage girls’ engagement in self-presentation and peer comparison on social media”. Computers in Human Behavior. 55: 190–7.
[8] Wolpert, Stuart. “Teenage Brain on Social Media”. Retrieved May 31, 2016.
[9] Rosen, Christine. “Virtual Friendship and the New Narcissism”. The New Atlantis. Retrieved February 29, 2016.
[10] Ann M. King, Sheri L. Johnson, Gerald C. Davison, John M. Neale . 2010 . Abnormal Psychology, 11th Edition . John Wiley & Sons, Inc
[11] KBBI.
[12] Freud, Sigmund. 1914. On Narcissism: An Introduction.
[13] Morrison, Andrew. 1997. Shame: The Underside of Narcissism. The Analytic Press
sich-part-2.html)
[15] Herlise Y. Sagala, “Etika Kristen (Classnote Etika Kristen) (Bandung: STTB, 2017), 26.
[16] Paul Brownback, The Danger of Self-Love (Chicago: Moody Press, 1982), 130.
[17] Ibid, 136-137.
[18] Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (Surabaya: Momentum, 2010), 132.
[19] Ibid142.
Bilynskyj, Stephen S. “Christian Etics and the Ethics of Virtue” in Readings in Christian Ethics Vol 1: Theory and Method. eds: David K. Clark & Robert V. Rakerstraw; Grand Rapids: Baker, 1994.
Burridge, Richard A. Imitating Jesus An Inclusive Approach to New Testament Ethics. Grand Rapids: Eerdmans, 2077.
Davids, Peter H. The Epistle of James. Grand Rapids: Eedmans, 1983.
Grenz, Stanley J. The Moral Quest Foundations of Christian Ethics. Illinois: InterVarsity, 1997.
Hauerwas, Stanley and Samuel Wells, “The Gift of the Church and the Gifts God Gives it” in The Blackwell Companion to Christian Etics. eds: Stanley Hauerwas and Samuel Wells; Victoria: Blackwell, 2004.
Hays, Richard B. The Moral Vision of the New Testamen. New York: HarperSanFransisco, 1996.
Hollinger, Dennis P. Choosing the Good Christian Etics in a Complex World. Grand Rapids: Baker, 2002.
Sumber Online

[11] Peter H. Davids, The Epistle of James (Grand Rapids: Eedmans, 1983) 146-147.
[12] Dennis P. Hollinger, Choosing the Good Christian Etics in a Complex World (Grand Rapids: Baker, 2002) 46.
[13] Sebagaiman yang dikutip oleh Stephen S. Bilynskyj, “Christian Etics and the Ethics of Virtue” in Readings in Christian Ethics Vol 1: Theory and Method (eds: David K. Clark & Robert V. Rakerstraw; Grand Rapids: Baker, 1994) 259.
[14] Stanley Hauerwas and Samuel Wells, “The Gift of the Church and the Gifts God Gives it” in The Blackwell Companion to Christian Etics (eds: [14] Stanley Hauerwas and Samuel Wells; Victoria: Blackwell, 2004) 13.
[15] Stanley J. Grenz, The Moral Quest Foundations of Christian Ethics (Illinois: InterVarsity, 1997) 231.
[16] Richard A. Burridge, Imitating Jesus An Inclusive Approach to New Testament Ethics (Grand Rapids: Eerdmans, 2077) 344.
[17] Richard B. Hays, The Moral Vision of the New Testament (New York: HarperSanFransisco, 1996) 196.


No comments:

Post a Comment

Hidup sebagai anak terang (Efesus 5:1-22)

Hidup sebagai anak terang (Efesus 5:1-22) Sebagai anak-anak terang, umat Allah hidup dengan meneladani Allah (ayat 1). Sama seperti Yesus ya...