Pandangan Etika Kristen Terhadap Sosial Media
Bagian
I
PANDANGAN
ETIKA KRISTEN TERHADAP NARSISME DALAM SOSIAL MEDIA
1. Pendahuluan
Pada
zaman postmodern ini, kebutuhan aktualisasi diri menjadi hal yang penting,
bahkan menjadi suatu keharusan dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan
aktualisasi diri pada saat ini seolah-olah bergeser dari kebutuhan yang
sebenarnya tidak benar-benar vital menjadi “kebutuhan” yang sangat vital.
Meningkatnya aktualisasi diri dan keinginan untuk menunjukkan eksistensi dapat
dibuktikan dengan meningkatnya penggunaan aplikasi sosial media seperti instragram, youtube, facebook,
dsb. Perkembangan teknologi mendukung hal ini.
Kebutuhan
ini dimulai dari keinginan manusia untuk menyatakan ekistensinya dimana manusia
ingin agar keberadaannya disadari oleh orang lain dan mendapatkan perhatian. Kebutuhan
ini memang seturut dengan rencana dan perintah Allah agar manusia menjadi
pengelola alam dan mengembangkannya. Oleh karena itu kita mengenal mandat
budaya, dimana sebagai implikasinya, manusia selalu memiliki naluri untuk
menjadikan segala sesuatu semakin baik.
Namun,
bagaimana jika naluri dan kebutuhan ini terdistorsi? Kebutuhan untuk
mengungkapkan eksistensi diri yang berlebihan ini tentu akan menyebabkan
masalah. Salah satunya adalah narsisme media sosial.
Beberapa
waktu lalu, di Bandung terjadi perkelahian berujung maut antara tukang ojek
konvensional dengan seorang dari ojek online. Hal yang miris adalah
masyarakat tidak memisahkan mereka, malah memfoto atau merekam video peristiwa
tersebut. Kejadian naas ini hanyalah satu dari banyak musibah yang terjadi
akibat narsisme. Dalam liputan On The Spot beberapa waktu
lalu, diceritakan tujuh orang yang mengalami nasib naas karena selfie.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa agaknya, bagi sebagian orang, selfie dan
berbagai bentuk narsisme lainnya lebih penting daripada nyawa.
Paper
ini akan membahas apakah yang disebut narsis itu dan apa yang Alkitab katakan
mengenai narsis. Dengan demikian kita dapat mengambil sikap yang benar dalam
menghadapi narsisme dalam kerangka etika Kristen dan bagaimana implementasinya
dalam pergaulan global di dalam media sosial.
2. Media Sosial dan Narsisme
Media Sosial
Sosial
media adalah teknologi media komunikasi yang memfasilitasi pembuat
profilenya untuk berbagi informasi, ide, ketertarikan, dan hal hal lainnya via
virtual dan jaringan.[1] Dalam buku Networked – The
New Social Operating Systemoleh Lee Rainie dan Barry Wellman, kedua penulis
merefleksikan terutama efek positif dari media sosial dan jaringan sosial
berbasis Internet lainnya. Menurut penulis, media sosial digunakan untuk
mendokumentasikan kenangan, belajar tentang dan mengeksplorasi berbagai hal,
mengiklankan diri dan membentuk pertemanan.
Dampak negatif media
sosial
Ada
beberapa dampak negatif yang paling utama adalah masalah privasi[2], ledakan informasi[3], penipuan di internet – termasuk
hoax, hate speech. Kemarahan dan emosi yang terjadi di
media sosial dapat berdampak juga dalam relasi di kehidupan nyata.
Terri
H. Chan[4] mengklaim bahwa semakin banyak
seseorang menghabiskan waktu di Facebook, semakin sedikit rasa puas mereka
terhadap kehidupannya. Teori Self-presentational menjelaskan
bahwa seseorang akan secara sadar mengatur gambar diri dan informasi identitas
mereka di media sosial. Menurut Gina Chen[5], ketika
seseorang merasa tidak diterima atau dikritik secara online, mereka
akan merasakan sakit secara emosinal. Hal ini dapat menyebabkan beberapa bentuk
pembalasan online seperti bullying[6]. Trudy Hui Hui Chua dan artikel Leanne
Chang[7] menyatakan bahwa gadis remaja
memanipulasi penampilan diri mereka di media sosial untuk mempercantik diri dan
memamerkannya ke teman-temannya. Para penulis juga menemukan bahwa gadis remaja
membandingkan diri mereka dengan teman mereka di media sosial dan menampilkan
diri mereka dengan cara tertentu dalam upaya untuk mendapatkan penghormatan dan
penerimaan, yang sebenarnya dapat menyebabkan masalahnya rusaknya gambar diri
remaja tersebut.
Menurut
penelitian dari UCLA, bagian “penghargaan” dari otak remaja lebih aktif ketika
foto mereka di-like oleh beberapa orang. Remaja dan dewasa muda
berteman dengan orang-orang yang tidak mereka kenal dengan baik didunia maya
dan ini membuka kemungkinan mereka dipengaruhi oleh orang-orang tersebut.
Ketika anak-anak memiliki beberapa ratus teman di dunia maya, tidak ada
cara bagi orang tua untuk mengetahui siapa mereka[8].
Menurut
Christine Rosen, banyak sosial media yang mendorong penggunanya untuk
menjadi “status-seeker”[9]. Menurut Rosen, praktik dan definisi
“pertemanan” berubah dalam dunia maya. Pertemanan di dunia nyata adalah suatu
hubungan kedekatan emosional yang dikarenakan ada kesamaan tertentu, timbal
balik dan kepercayaan satu sama lain. Berbeda halnya dengan didunia maya dimana
seseorang bisa berteman walau tanpa memiliki timbal balik dan kepercayaan satu
sama lain.
Narsisme
Narsisme (dari bahasa
belanda) adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang
yang mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini
pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan
mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos.[10] Sedangkan menurut KBBI, Narsisime
adalah hal (keadaan) mencintai diri sendiri secara berlebihan.[11]
Sifat
narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir.[12] Dan Andrew Morrison berpendapat
bahwa dimilikinya sifat narsisisme dalam jumlah yang cukup akan membuat
seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam
hubungannya dengan orang lain[13] Artinya bahwa Narsisisme memiliki
manfaat positif jika dalam jumlah yang wajar, yaitu dapat membiasakan seseorang
untuk berhenti bergantung pada standar dan prestasi orang lain demi membuat
dirinya bahagia.
Dampak buruk narsisme
Namun
apabila jumlahnya berlebihan, dapat menjadi suatu kelainan kepribadian.
Penyimpangan kepribadian merupakan istilah umum untuk jenis penyakit mental
seseorang, di mana pada kondisi tersebut cara berpikir, cara memahami situasi
dan kemampuan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi normal.
Dr.
Sam Vaknin, menjelaskan:
“Setiap
orang adalah narsis dalam derajat berbeda. Narsisme adalah fenomena yang sehat.
Ia membantu pertahanan hidup. Perbedaan antara narsis yang sehat dan patologis
adalah dalam ukurannya. Maksud patologis disini adalah, jika individu ini sudah
tidak dapat membedakan antara realita dan khayalan, sehingga merusak dan
mengganggu fungsi individu baik secara psikis dan terutama fungsi sosialnya.”[14]
Narsisme
patologis adalah suatu sifat dan perilaku yang menandakan kegilaan dan obsesi
dengan diri sendiri. Cenderung mengesampingkan orang lain, bersifat egois dan
tidak merasa salah dalam memanfaatkan orang lain demi kepuasan dan tujuan diri
sendiri. Berbeda dengan narsisme sehat yang dimiliki oleh semua orang, narsisme
patologis bersifat tidak adaptif, kaku, keras, menyebabkan penderitaan yang
signifikan, dan penurunan nilai. Narsisme patologis memiliki bentuk ekstrim
yaitu NPD (Narcissistic Pathological Disorder). NPD adalah bentuk dari
narsisme yang bersifat patologis. Penyakit kejiwaan ini masuk kedalam kategori
gangguan kepribadian.
3. Pandangan Etika Kristen terhadap Narsisme
Worldview
Narsisme
pada dasarnya adalah sebuah bentuk dari hedonisme, dimana manusia mencari
kepuasan yang tidak ada habisnya bagi diriya sendiri. Sayangnya, menjadi narsis
hanyalah akan membuat kita menjadi semakin adiktif dan “melatih” kita menjadi
orang-orang yang egois, egosentris, dan tidak peduli dengan sesama manusia.
Secara
etis hedonisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa kenikmatan pribadi
merupakan nilai hidup tertinggi dan tujuan utama serta terakhit hidup mannusia.
Kenikmatan demikian terkait dengan indrawi, inteletual, dan spiritual.[15] Hedonisme sendiri adalah anak dari
eksistensialisme yang pada akhirnya berujung kepada nihilisme. Di dalam
kehidupan hedonisme, tidak ada seorang pun yang dapat menemukan makna
kehidupannya yang sejati.
Pandangan Alkitabiah
Manusia
pada esensinya adalah ciptaan yang Allah kerjakan dengan begitu mulia, seperti
yang dikatakan dalam Kejadian 1:27 manusia diciptakan serupa dengan rupa Allah.
Manusia diberikan kebebasan untuk bertindak, berpikir, dan melakukan segala
sesuatu. Namun di dalam kebebasan itu manusia lebih memilih untuk melakukan
sesuatu yang berdosa, manusia melakukan sesuatu yang memuaskan hasratnya,
melakukan tindakan yang bukan meninggikan Allah, tetapi menempatkan diri
sebagai prioritas utamanya.
Namun
kejatuhan manusia dalam dosa berimplikasi penyimpangan citra diri. Manusia yang
adalah gambar dan rupa Allah menjadi seteru Allah, bukan hanya dengan Allah
semata tetapi dengan segala hal, termasuk dengan diri sendiri. Fokus hidup
manusia beralih dari Allah, berpindah pada diri sendiri. Bahaya terbesar dari
mengasihi diri sendiri adalah karena hal ini merupakan penyembahan kepada diri
sendiri. Ini merupakan pemberhalaan dengan diri sebagai berhalanya, dan
merupakan lawan dari Allah. Dengan demikian dapat mengakibatkan kesombongan
terhadap Allah, keegoisan timbul, dan hidup yang berpusat pada diri sendiri
semakin menguat.[16]
Gambar
Allah di dalam diri manusia yang menyimpang karena kejatuhan harus dan
senantiasa diperbaharui secara bertahap di dalam Yesus. Pembaharuan citra diri
manusia terjadi dalam dua aspek, yang pertama ketika Allah dan Rohnya
memperbaharui manusia, Ia memampukan manusia untuk meninggalkan kesombongan dan
memandang diri sebagai pusat segalanya. Manusia harus sadar dulu bahwa pusatnya
pada Allah. Manusia harus secara sadar menyakini Allah adalah realita
tertinggi.[17]
Imago Dei Vs. Narsisme
Narsis
dalam pengertian menyadari keunikan diri sebagai gambar dan rupa Allah (imago Dei)
tentu sangat baik karena memang Allah menghendaki agar kita menyadari hal yang
demikian. Tanpa kesadaran akan hal itu, manusia tidak akan pernah sanggup untuk
melakukan apapun karena akan selalu dipenuhi rasa pesimistis yang pada akhirnya
tidak akan membuahkan apa-apa. Ini sebenarnya sama dengan merendahkan gambar
dan rupa Allah tersebut.
Namun
jika narsis dalam pengertian di atas berkembang sampai menjadi narsisme, maka
hal ini juga akan merendahkan gambar dan rupa Allah dalam diri manusia.
Orang-orang yang narsis (dengan –me) memiliki kekosongan dalam hidup
mereka dan tidak pernah menyadari betapa berharganya diri mereka. Itulah
sebabnya mereka mencoba untuk membuat diri mereka agar kelihatan lebih
berharga. Orang yang menyadari dengan jelas siapa dirinya tidak perlu melakukan
usaha-usaha yang demikian untuk menaikkan harga dirinya.
Teladan Yesus
Yesus
Kristus tidak pernah berhenti menjadi Tuhan sekalipun Ia membasuh kaki
murid-murid-Nya. Bagi Yesus, harga Diri-Nya saa sekali bukan ditentukan dari
bagaimana orang lain memandang Dia, namun bagaimana Allah memandang Dia. Etika
Kristen harus menjadikan Yesus Kristus sebagai model satu-satunya yang
sempurna. Karena itu orang Kristen pun harus melakukan apa yang Yesus lakukan.
Kita tidak perlu membangun harga diri dari hal-hal yang remeh karena Allah
Pencipta langit dan bumi sudah menganggap kita berharga. Pengertian mengenai
hal tersebut seharusnya sudah cukup untuk membentuk citra diri kita.
4. Kesimpulan
Narsisme
bukan baru dirumuskan dalam sejarah mitologi Yunani, tetapi definisi atau
penarapan dari orang yang narsis itu sudah dimulai sejak manusia jatuh dalam
dosa. Dengan perkembangan zaman, kata narsis itu muncul, dan menjadi bagian
dalam diri manusia sampai sekarang, secara khusus kelompok kami mencermatinya
dalam sosial media.
Pada
masa kini, kita mengenal suatu istilah social climbing. Istilah ini
mengacu kepada orang-orang yang melakukan segala upaya untuk naik ke status
sosial yang lebih tinggi dari posisi mereka yang sebenarnya. Dampak dari hal
ini selalu negatif karena pada dasarnya orang-orang akan membohongi dirinya
sendiri dan memaksakan sesuatu yang mereka tidak dapat tanggung. Akibatnya kita
banyak mendengar kredit macet, prostitusi di kalangan ibu-ibu muda, dsb. Dalam
dunia ekonomi, kita sering mendengar tuntutan kaum buruh yang sebenarnya tidak
masuk akal: ingin bonus jalan-jalan ke luar negeri, nonton bioskop seminggu
sekali, dsb. Mangapa hal-hal demikian bisa terjadi?
Kelompok
mengamati hal ini terjadi karena orang-orang melihat foto-foto narsis yang di-upload di
media sosial, apakah itu foto makanan, pemandangan, dsb. Ketika orang-orang
yang lemah imannya melihat foto-foto tersebut, maka mereka menjadikan hal
tersebut sebagai standar hidup yang juga harus mereka gapai. Namun ketika
mereka tidak sanggup mencapainya karena keterbatasan posisi sosial mereka.
Karena itu mereka akan melakukan bahkan menghalalkan berbagai macam cara untuk
mencapai hal-hal tersebut. Ketidakmampuan mereka untu mencapai hal-hal tersebut
akan dianggap sebagai ketidakadilan sosial.
Dalam
hal ini, kita harus belajar dari rasul Paulus. Dalam I Korintus 10: 23
jelas-jelas dikatakan bahwa walaupun segala sesuatu diperbolehkan, namun tidak
segala sesuatu berguna dan membangun. Alkitab tidak pernah melarang kita
untuk selfiedan meng-upload foto di medsos, namun kita
perlu melihat antara kegunaan dan dampak negatifnya. Pada kenyataannya, pameran
kekayaan dan kenikmatan yang bersifat duniawi itu tidak pernah menghasilkan
dampak yang baik.
Orang
Kristen bisa mengasihi dirinya secara pantas, bukan berlebihan, kalau pribadi
seseorang telah dilahirbarukan atau menjadi ciptaan baru dalam Allah, dan dia
sadar ada anugerah yang menyelamatkan dia,[18] bukan karena kemampuan manusia
sendiri. Dengan demikian, orang ini akan memuji, meninggikan, dan menonjolkan
Allah dalam berbagai aspek, termasuk dalam sosial media, bukan lagi menonjolkan
diri sendiri. Ambiguitas dan narsisme diri perlahan-lahan akan hilang.
Citra
diri Kristen tidak pernah menjadi tujuan akhir pada dirinya sendiri. Ia selalu
merupakan alat untuk mencapai tujuan, yaitu hidup bagi Allah, bagi orang lain,
dan bagi pemeliharaan dan pengembangan ciptaan Allah.[19] Citra diri yang baik, membawa
manusia keluar dari sikap narsisme, dan kembali untuk memuji Allah dan
memperdulikan yang lain. Karena Yesus mengajarkan tentang hukum kasih, bahwa
manusia hidup untuk mengasihi Tuhan yang utama, dan mengasihi sesama. Memang
mengasihi diri penting, tetapi jangan dijadikan itu berhala atau pusatnya.
Kelompok
menganjurkan, jika kita ingin meng-upload foto ke medsos, pilihlah
foto yang menggambarkan keindahan dan kemuliaan hidup bersama dengan Allah.
Sebagai contoh, pilihlah foto yang memperlihatkan kekeluargaan di dalam kasih
Tuhan, keindahan pelayanan di gereja, dsb. Dengan memperlihatkan hal-hal
seperti demikian, kita tidak mencobai mereka yang lemah imannya, malah
menguatkan iman mereka sehingga setiap orang melihat perbedaan hidup orang
Kristen dengan orang yang tidak mengenal Allah.
Pada
akhirnya, kami mengutip perkataan rasul Paulus dengan memberikan sedikit
penyesuaian dalam konteks ini: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang
benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis,
semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji,
pikirkanlah (perlihatkanlah) semuanya itu.” (Fil 4:8).
Bagian 2
SUATU TINJAUN ETIKA KRISTEN
SITUS JEJARING SOSIAL
I. Pendahuluan
Perkembangan internet
yang merambah ke dunia jejaring sosial mengalami perubahan yang cukup tajam
terhadap sosial masyarakat. Internet tidak dikenal sebatas untuk mengirimkan
email namun juga dipakai untuk berjejaring sosial. Dengan hadirnya situs
jejaring sosial, dunia seoal-olah berada di ujung jari. Tidak ada lagi batasan
individu, kelompok, suku, agama dan negara di dunia maya. Semua orang dapat
dengan mudah berjejaring sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing.
“What’s on your mind” adalah salah satu template status
di situs jejaring sosial, yaitu Facebook. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas
mengenai situs jejaring sosial, khususnya Facebook. Facebook merupakan
fenomena dalam kurun satu dekade belakangan ini. Munculnya Facebook menjadi ikon situs jejaring sosial
ternyata memberikan dampak sosial yang luar biasa. Penulis akan membahas dampak
sosial secara negatif dan positif terhadap situs jejaring sosial, khususnya Facebook. Kemudian
penulis juga memberikan analisa etis Kristen di dalam menyikapi situs jejaring
sosial. Bagaimana sikap orang Kristen ketika masuk di dalam situs jejaring
sosial? Seputar hal-hal ini yang akan coba dibahas di dalam tulisan ini.
II. Situs Jejaring Sosial
Situs jejaring sosial adalah layanan berbasis web yang
mengijinkan tiap individu penggunanya untuk membuat profil publik atau
semi-publik dalam sebuah sistem yang terbatas, mengartikulasikan daftar
pengguna lain yang telah berbagi koneksi dengannya, melihat dan melintasi
daftar koneksi yang telah dibuat oleh pengguna lain di dalam sistem.[1] Kemudian apa yang membedakan antara
situs jejaring sosial yang satu dengan yang lainnya, seperti milis, ruang chat dan forum diskusi. Perbedaan utamanya
adalah setiap anggota dapat membuat dan mengelola profil pribadi dan dapat
dikaitkan dengan profil anggota lainnya. Pada dasarnya situs jejaring sosial
memiliki prinsip bagaimana menghubungkan para pengguna dengan pengguna orang
lain dan mereka saling mengakses satu dengan yang lain.
Munculnya situs jejaring sosial pertama kali adalah Sixdegrees.com pada
tahun 1997. Kemudian lunarstorm, live journal, Cyword tahun
1999-2000, Ryze.com tahun 2001, friendster tahun 2002, Flick R, You Tube, Myspace tahun 2003 dan facebook 2005 menggeser berbagai situs jejaring
sosial lainnya. Facebook pada
saat ini dapat dikatakan nomor satu di dalam sistus jejaring sosial. Terobosan
yang dilakukan oleh Facebook tidak
dapat dianggap ringan.
Asal mula Facebook berawal
ketika Mark Zuckerberg (saat itu mahasiswa semester II Harvard University)
membuat sebuah situs kontak jodoh untuk rekan-rekan kampusnya. Zuckerberg yang
terinspirasi dari situs Hot or Not menamai
situs buatannya Facemash.com.
Kemudian 4 Febuari 2004 Zuckerberg membuat situs baru yang bernama “The Facebook”
yang jejaringnya hanya diperuntukkan kalangan terbatas, yaitu kampus. Namun
seiring dengan waktu jejaring ini berkembang dan mendapatkan sambutan yang
positif dari penggunanya. Kemudian tahun 2005 Zuckerberg mendapatkan suntikan
dana serta menghapus kata “The” sehingga menjadi Facebook.[1]
Mengapa Facebook cepat
populer? Padahal dia bukan yang pertama kali memplopori situs jejaring sosial.
Secara sederhana kesuksesan Facebook terletak
di ringannya mengakses situs Facebook walaupun
kecepatan internet terbatas. Kedua, template facebook yang tidak dapat dirubah
sehingga semuanya seragam. Ketiga, berjejaring dengan mudah berasarkan politik,
agama, sekolah, hobi, mencari jodoh, dll. Keempat, Facebook menyediakan orang dapat meng-update statusnya
dan memberitahu lokasi pengguna.
Kesederhanaan Facebook di
dalam berjejaring rupanya menjadi daya tarik orang-orang di seluruh dunia untuk
mendaftar menjadi pengguna Facebook. Tidak mengherankan jika di tahun 2012
pengguna Facebook sudah
mencapai 900 juta orang.[2] Belum lagi jika ditilik dari
penghasilan di bulan Maret 2012 diperkirakan US$ 1,06 milliar.[3] Tentunya angka-angka ini menunjukkan
betapa Facebook menjadi fenomena dunia yang memang
mentransformasi cara bersosial masyarakat.
III. Dampak Situs Jejaring Sosial
Tak dapat dipungkiri sebuah fenomena memberikan dampak
yang cukup besar di dalam cara berkomunikasi masyarakat. Masyarakat yang
tadinya cukup terbatas ‘bergaul’ dengan masyarakat yang lainnya sekarang
nampaknya sudah tidak ada lagi sekat pemisah di dunia maya. Tadinya banyak
orang yang memiliki teman rumah, teman sekolah, teman bermain, dan teman kerja.
Maka sekarang dapat ditambah dengan teman online.
III. 1. Dampak Positif Situs Jejaring Sosial
Analisa dampak positif situs jejaring sosial, khususnya Facebook, dapat
dilihat dari beberapa sudut pandang.
1. Jaringan Sosial yang Meluas
Jejaring yang semakin
meluas adalah dampak positif yang terjadi. Orang tidak lagi bersikap eksklusif
maupun berpikir lokal namun orang sudah sudah berjejaring sampai global.
2. Akses Informasi
Dengan berjejaring
sosial, khususnya di dunia maya, maka informasi lebih cepat dapat diterima.
Dalam hitungan detik, berita dari suatu daerah terpencil dapat diketahui oleh
dunia.
3. Pembelajaran Informasi Teknologi
Kurun waktu satu
dekade belakangan ini, orang secara tidak langsung “dipaksa” untuk berjejaring
sosial. Sehinga masyarakat di kota maupun di desa belajar untuk mengenal
informasi tekonologi guna bisa masuk ke dunia jejaring sosial.
4. Pemanfaatan Ekonomi
Situs jejaring sosial dimanfaatkan guna mempromosikan
produk baik itu home indrustri
maupun perusahaan. Promosi secara “gratis” dan tersebar secara meluas
menguntungkan dari segi bisnis.
5. Pemanfaatan Politik
Salah satu kunci kemenangan dari Presiden AS Barack Obama
adalah di sistus jejaring sosial, seperti Facebook, myspace, Linkedin, You Tube, Friendster, hingga Twitter. Kampanye melalui jejaring sosial maya ini
mampu menghantar Obama ke kursi panas Presiden AS.[4] Sementara di Indonesia,
kasus Bibit-Chandra tidak jadi ditahan atau dibawa ke pengadilan karena publik
opini melalui Facebook membela
mereka pada waktu itu.[5]
III. 2. Dampak Negatif Situs Jejaring Sosial
Tak dapat dipungkiri situs jejaring sosial juga membawa
sejumlah masalah. Ada beberapa ranah yang terjangkiti dari dampak negatif situs
jejaring sosial. Berikut beberapa dampak buruk Facebook, yang
VIVAnews kutip dari Telegraph.
1. Krisis Hubungan
Memicu perceraian
Pengacara menyalahkan Facebook untuk
satu dari lima petisi perceraian online. Situs yang bisa mempertemukan teman
lama dan membuat penggunanya bisa saling bicara melalui aplikasi chatting ini, disebut sebagai latar belakang
meningkatnya kehancuran pernikahan dan godaan untuk berselingkuh.
Membuat pasangan cemburu
Tim peneliti dari
University of Guelph, Kanada, menemukan bahwa penggunaan Facebook meningkatkan
rasa cemburu pasangan. Mereka menemukan bahwa makin sering seseorang menghabiskan
waktu untuk online pada situs jejaring sosial dan melihat pasangannya, maka
tingkat kecurigaannya sangat tinggi.
2. Krisis Kepribadian
Memicu anak bunuh diri
Kepala gereja katolik di Inggris dan Wales, Archbishop
Vincent Nichols, memperingatkan bahwa Facebook bisa
mendorong remaja memiliki pandangan bahwa pertemanan adalah sebuah komoditas.
Hal itu bisa memicu keinginan untuk bunuh diri, ketika hubungan tidak berjalan
lagi.
Membuat orang menjadi tertutup
Penelitian dari Mintel, sebuah perusahaan penelitian
pasar, menemukan lebih dari setengah orang dewasa yang menggunakan situs
jejaring sosial seperti Facebook, lebih menghabiskan waktu di internet
dibandingkan berbicara dengan teman atau anggota keluarga lainnya.
Mengungkap kehidupan pribadi
Banyak orang yang memajang foto-foto pribadinya di Facebook tanpa menyadari bahaya yang sedang
mengintainya. Seperti kasus istri seorang kepala agen rahasia Inggris, Sir John
Sawers, yang memajang foto-foto keluarganya secara detail di Facebook saat berlibur bersama keluarganya.
Membuat banyak orang tua jatuh cinta
Ofcom, sebuah badan pembuat regulator komunikasi,
menemukan lebih banyak orang setengah baya yang menjadi anggota situs jejaring
sosial seperti Facebook. Hal itu menunjukkan fenomena situs jejaring
sosial telah “tumbuh”, dengan pengguna yang berusia 35 hingga 54 tahun melonjak
sebesar 25 persen sepanjang tahun 2009.
Membuat penggunanya merasa tidak menarik
Jutaan pengguna Facebook mengatakan
menghindari menggunggah foto dan menghapus nama dari berbagai foto, karena
merasa terlalu gemuk, tua, atau terlihat jelek. Hal itu menurut survei
yang dilakukan perusahaan yang memproduksi produk penurunan berat badan,
LighterLife, pada 2000 orang.
3. Krisis Kesehatan
Memicu gangguan tulang
Facebook juga
sering disalahkan karena gangguan tulang yang terjadi pada anak-anak.
Penelitian dalam British Medical Journal menemukan bahwa situs jejaring sosial
dan permainan komputer, merupakan pemicu penyakit seperti kekurangan vitamin D
yang akibatnya bisa membuat tulang mudah rapuh.
4. Dampak Hukum
Dijadikan ajang menantang hukum
Pada beberapa kasus hukum di Inggris, Facebook, dijadikan
ajang untuk menantang hukum. Pihak yang tersangkut kasus hukum membuat grup,
yang namanya sangat provokatif dan melawan hukum .[6]
Kriminalitas
Facebook merupakan jejaring yang kerap kali dihinggapi kejahatan.
Karena mudahnya akses mengetahui informasi identitas pengguna Facebook mengakibatkan mudahnya
pelaku kejahatan untuk beraksi. Seperti 17 siswi yang menjadi korban pembajakan Facebook. Mereka
merupakan siswi dari Bay Path Regional Vocational Technical High School di
Charlton, Massachucetts, Amerika Serikat. Foto-foto mereka terpampang di
situs-situs porno.[7] Seperti juga yang terjadi kepada
Rohmatul Latifah Asyhari (16), remaja putri warga Desa Mojoduwur, Kecamatan
Mojowarno, Jombang. Dia menghilang setelah berkenalan seorang pria di Facebook. Bahkan
sangat kemungkinan Latifah korban perdagangan perempuan.[8]
Sejak awal 2011, Nick Gibbson Director Facebook Asia
Pacifik, pihak Facebook telah
membatasi beberapa ketentuan yang menyangkut privasi orang lain, bahkan sampai
memblokir akun yang diduga sebagai penyebab aksi kriminalitas tersebut.[9] Walaupun Facebook sudah memberikan berbagai macam tips
dan trik supaya aman berselancar di dunia maya namun kejahatan tetap mengintai
bagi para pengguna situs tersebut.
IV. Tinjaun Etis terhadap Sistus Jejaring Sosial
Dengan melihat
sejumlah kasus dan fakta bahwa situs jejaring sosial bisa mengandung bahaya dan
mafaat maka bagaimana sikap kekristenan menghadapi hal ini. Ada dua tinjauan
etis, yaitu komunikasi, karakter dan komunitas yang menurut penulis dapat
dipakai supaya dapat menyikapi fenomena sistus jejaring sosial ini.
IV. 1. Motif Komunikasi
Relasi di dunia maya
lebih menyenangkan ketimbang berelasi secara nyata. Salah satu bentuk relasi
adalah komunikasi. Semua orang dapat memberikan pernyataan, komentar, “curhat,”
berpendapat, dll. Namun ada para pengguna situs jejaring sosial melupakan bahwa
mereka sedang melakukan komunikasi masa. Ketika seseorang memberikan pernyataan
maka itu dapat dibaca oleh semua orang yang berjejaring maupun tidak
berjejaring dengan dia. Contoh kasus
Amerika Serikat –
Gara-gara mengkritik kebijakan di sekolahnya, seorang siswi di Minnewaska Area
Middle School Minnesota, Amerika Serikat (AS), dipaksa untuk menyerahkan
password Facebooknya dan harus menjalani hukuman.
Kejadian ini bermula saat RS — inisial siswi tersebut —
memposting kritik terhadap monitor yang ada di aula sekolah dan membahas
mengenai seks online. Pihak sekolah yang mengetahui hal tersebut langsung
berang, dan meminta password dan email RS untuk kemudian diperiksa. Padahal
siswi yang berumur 12 tahun ini memposting statusnya tersebut menggunakan
komputer pribadinya di rumah. Tidak hanya itu, pihak sekolah juga dituding
telah mempermalukan RS dan melakukan intimidasi. Terlepas dari itu, sebenarnya
Facebook dalam peraturannya sudah jelas bahwa pengguna di bawah usia 12 tahun
akan didelete.[10]
Motif komunikasi menjadi hal yang peting ketika orang
akan berjejaring sosial. Hal ini dapat kita lihat dari Yakobus 3:1-12. Terutama
di ayat 9-10: “Dengan lidah kita memuji Tuhan dan Bapa kita; dan dengan lidah
kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu
keluar berkat dan kutuk. Hal ini, Saudara-saudaraku, tidak boleh terjadi.”
Yakobus memakai pengertian ‘memuji Tuhan dan Bapa kita’ adalah dalam konteks
ibadah. Kemudian Yakobus mengkaitkan ‘mengutuk manusia’ adalah pribadi. Bagi
Yakobus tidak mungkin satu lidah mengeluarkan hal berbeda, yaitu berkat dan
kutuk. Maka hal ini disebut dengan jahat.[11] Perlunya memiliki kesadaran motif
komunikasi yang murni, yaitu mendatangkan berkat bukan kutuk sehingga jejaring
yang terjadi adalah jejaring komunikasi yang saling memberkati.
IV. 2. Karakter
Ketika seseorang
berjejaring sosial maka suka tidak suka karakter seseorang akan nampak dengan
jelas. Hollinger berpendapat:
“Character can best be understood as “the inner and
distinctive core of a person from which moral discerment, decisions, and
actions spring. It is an enduring configuration of the intentions, feelings,
dispositions, and perceptions of any particular self.”[12]
Seseorang yang telah
ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus seharusnya memiliki karakter yang bersumber
dari Alkitab (2 Kor 3:18). Maka secara otomatis karakter Kristus akan menjadi
cerminan seseorang ketika berjejaring sosial. Jika ditilik dari segi Alkitab
maka nasihat Paulus kepada jemaat Korintus sangat tepat, yaitu melakukan segala
sesuatu untuk kemuliaan Tuhan (1 Kor 11:31). Yakobus juga memberikan satu
nasihat kepada para pembacanya supaya memiliki iman dan perbuatan yang seimbang
(Yak 2:20). Stanly Hauerwas berpendapat mengenai etika karakter, yaitu
“The question of what I ought to do is actually about what I am or
ought to be. “Should I or should I not have an abortion?” is not a question
about an “act” but about what kind of person I am going to be.”[13]
Memiliki paradigma
karakter yang selalu memuliakan Tuhan akan cukup memberikan dampak yang luas
ketika orang percaya melakukan jejaring sosial.
IV. 3. Komunitas
Situs jejaring sosial
pada dasarnya ingin membangun sebuah komunitas yang saling terkait satu dengan
yang lain. Oleh karena itu, penting kesadaran bagaimana model komunitas
kekristenan dapat mempengaruhi atau setidaknya mencerminkan komunitas umat
percaya.
Stanly Hauerwas
memberikan wawasan bagaimana keinginan Tuhan terhadap orang percaya.
It suggests that what God wants is for his people to
worship him, to be his friends, and to eat with him: in short, to be his
companions. The Eucharist offers a model of this companionship. Disciple gather
and greet: are reconciled with God and one another; hear and share their common
story; offer their needs and resources; remember Jesus and invoke his Spirit;
and then share communion, before being sent out. Through worship – preparation,
performance, repetition – God gives his people the resources they need to live
in his presence.[14]
Komunitas orang percaya dibangun mencerminkan relasi
antara Tuhan dengan manusia dan manusia dengan manusia. Ketika manusia sudah
ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus maka akan membentuk persekutuan orang percaya
yang diikat oleh kasih Tuhan. Maka worldview yang
dibangun di dalam komunitas orang percaya adalah berdasarkan Yesus Kristus dan
Alkitab.[15] Dalam Yohanes 13:34-35, Burridge
memberika tafsiran terhadap kata “baru” sebagai ‘motif dan kekuatan’ untuk
etika situasi yang akan selalu dihadapi oleh para murid.[16] Komunitas orang percaya juga
seharusnya memiliki pemikiran yang sama dengan Kristus (Flp 2:1-8).
Hays memberikan satu konsep komunitas yang baik, yaitu
komunitas bukan sekedar konsep namun manifestasi umat Tuhan di dalam masyarakat
yang mencerminkan penebusan Tuhan terhadap dunia dan karakter umat Tuhan.[17] Jika komunitas Kristen merefleksikan
Kristus di dalam situs jejaring sosial maka bukan tidak mungkin memberikan satu
dampak yang cukup besar.
V. Kesimpulan
Situs jejaring sosial
bukanlah terlarang. Tergantung ditangan siapa yang menggunakan jejaring ini.
Namun jika memiliki paradigma etika komunikasi, karakter dan komunitas
berdasarkan Kristus maka jejaring sosial yang bangun akan mengekspresikan,
setidaknya, nilai-nilai kekristenan dan prinsip-prinsip Alkitab
Bagian 3. PERANAN
DAN PENGARUH MULTI-MEDIA
BAGI
PERTUMBUHAN IMAN JEMAAT
I. BEBERAPA PANDANGAN DAN JAWABANNYA :
1. Media itu punya iblis
a. Bukan punya iblis, tapi digunakan oleh
iblis
b. Kalau iblis menggunakan media untuk
menyerang àgereja juga harus
menggunakan media untuk senjata Kebenaran
c. Ingat! Media sangat cepat mempengaruhi à gereja
harus lebih cepat menangkalnya
2. Kita jangan bersentuhan dengan
media karena itu duniawi
a. Perhatikan! Anak kita sedang di”guru”i
oleh media
b. Kita harus tahu bagaimana strategi
iblis untuk menjatuhkan anak-anak kita melalui media
c. Kita harus tahu jenis amunisi yang
dimiliki oleh iblis à sehingga kita menggunakan senjata
tandingan yang minimal seimbang.
3. Tidak dengan media modern juga bisa
a. Ya, tapi lambat dan kalah cepat dengan
iblis
b. Anak-anak generasi sekarang tidak
mungkin lepas dari media, lebih baik diberdayakan daripada dunia memperdayanya.
II. PERANAN MEDIA MODERN
ADA BEBERAPA HAL YANG DAPAT KITA LAKUKAN MELALUI MEDIA :
1. Menyebarluaskan Firman Tuhan .
· Johanes Gutenberg adalah orang yang pertama kali
menemukan mesin cetak. Tetapi, tahukah Anda kalau karya utamanya adalah
‘Alkitab Gutenberg’, sebuah edisi Alkitab yang mutu teknikal dan estetikanya
tinggi?
Hingga saat ini,
Alkitab masih menjadi buku yang paling laris sepanjang masa.
Seperti
Gutenberg, kita juga harus mampu memanfaatkan perkembangan teknologi informasi
demi kemajuan pekerjaan Tuhan.
· Sekarang Alkitab dapat dipasang pada
(mungkin) semua platform smartphone yang ada.
· Dalam Yos 1:8 dikatakan, “Janganlah
engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan
malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di
dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan
beruntung. ”
· Acara GO studio, Solusi, merupakan
salah satu bentuk penyebarluasan Kebenaran Firman Tuhan.
2. Melakukan Misi Penginjilan .
· Zakaria Boutrous mengabarkan Injil
melalui teknologi satelite canggih bernama Al Hayat [ TV Hidup]. Siaran TV ini
bisa di lihat di seluruh negara-negara Afrika Timur,Timur Tengah,Asia Tengah,
dan juga seluruh Amerika Utara,Eropa,Australia,dan New Zealand..
· “Internet Evangelism Day” memanfaatkan
sarana internet untuk berbagi kabar dan penginjilan melalui media digital.
3. Melakukan Konseling .
· Salah satu keunggulan konseling dengan
menggunakan media Internet adalah, orang bisa dengan bebas menceritakan apa
yang menjadi pergumulannya karena dia tahu bahwa konselornya tidak mengenal
dirinya secara pribadi (kerahasiaan terjamin dan tidak ada rasa malu).
4. Pembelajaran jarak jauh.
· Dengan adanya Internet, kita bisa
menyebarluaskan pengetahuan teologi kepada orang-orang di kota-kota terpencil.
· juga dapat mengikuti khotbah- khotbah
yang bermutu dari para pendeta/penginjil yang ada di luar negeri.
· Ini merupakan salah satu mandat budaya
dari Tuhan dalam Kej 1:28, dimana kita sebagai orang Kristen harus menaklukkan
bumi dan segala isinya.
III.IBLIS
MENGGUNAKAN MEDIA
i.Media Seni :
o music (audio dan video)
o syair penyembahan kepada iblis
o menampilkan symbol-simbol setan
o ekspresi penghujatan dan pemberontakan
o Pengaruh dari film-film dan sinetron yang
diputar di televise adalah Tindakan kriminalitas : pencurian, penodongan,
perampokan, pemerkosaan, Konsumtivisme dan sikap hidup boros, Perilaku hidup
bebas, termasuk pandangan terhadap seks.
o tari
· tarian eksotis
· tarian ritual
· tarian penyembahan kepada setan
o foto/gambar/lukisan berbau fornografi, tidak sopan,
penghinaan dan pelecehan.
ii. Media Tulisan :
o Doktrinasi ajaran sesat
o Mengagungkan ilmu pengetahuan
o Tidak mempercayai adanya Tuhan
iii. Media Spiritual :
o Sekte/kelompok ke”agama”an
o Praktik perdukunan/spiritisme
o Ramalan
o Doa dan mantra
iv. Media Jejaring Sosial :
o Blackberry Messenger
o Facebook
o Twitter
o Line
o Kakao Talk
o Whatsapp
o Sound Cloud
o Wechat, dll
Dampak
Negatif Dari Situs Jejaring Sosial
· Membuat waktu terbuang dengan sia-sia
karena online terus, padahal secara teori mereka seharusnya sedang bekerja,
istirahat tidur malam hari, ataupun sedang beribadah.
· Menambah beban pengeluaran Keberadaan
jejaring sosial yang menjadi bagian dari kehidupan manusia modern
· sehingga kepemilikan akun salah satu
jejaring sosial seolah menjadi wajib hukumnya.
· Implikasi yang muncul adalah harus
adanya alat yang bisa dipergunakan untuk akses media sosial tersebut seperti
komputer dan handphone.
· Namun, alat saja belum cukup tanpa
terhubung dengan fasilitas internet. Akhirnya, seorang user media sosial harus
mengeluarkan uang untuk membiayai akses internya itu.
· Mengganggu Konsentrasi Belajar
· Mengancam Keamanan Diri.
· Tidak jarang kita membaca di media
online atau cetak korban dari pertemanan di media sosial yang secara umum
disebut penipuan.
· Mengancam Kesehatan.
· Ada sebuah berita seorang user yang
menggunakan media sosial secara berlebih mengeluh karena jari-jarinya sakit
akibat terlalu sering memencet tombol keybord Handphonenya.
Jika iblis
menggunakan media untuk menyesatkan !
BAGAIMANA DENGAN
GEREJA ? APA YANG GEREJA LAKUKAN DENGAN DAN MELALUI MEDIA ?
IV. APLIKASI PELAYANAN MEDIA DI GEREJA
i. Media Seni :
o music à audio
dan video
· Album Nyanyian Rohani
· CD audio Khotbah/Seminar
· Sosialisasi program melalui video
o Gerak dan tari à pengiring
pujian dan creative ministry
· Tambourine dan flag
· Tarian anak-anak
· Drama
o foto/gambar/lukis à
· Buku Kegiatan Tahunan dalam bentuk
foto kegiatan
· Foto Kegiatan Bulanan di Mading
· Buku Foto Kegiatan Tahunan
ii. Media Tulisan :
· Warta Jemaat/Buletin Mingguan atau
Bulanan
· Flyer, Banner, Spanduk, Wallpaper
· Buku Bimbingan : pra-nikah,
pra-baptisan
iii. Media Spiritual :
· Doa dan Puasa
iv. Media Internet dan Jejaring Sosial
:
· Blog
· Blackberry Messenger Group
· Facebook
· Twitter
· Whatsapp
· Email
v. MEDIA LAINNYA
o Ruang Pelatihan Band
o Ruang Multimedia
o Ruang Konseling
o Ruang Doa
o Ruang Sosialisasi
o Ruang Pelatihan Bimbingan
o ADMINISTRASI DAN SEKRETARIAT
· FOTO UNTUK PENDATAAN JEMAAT
Penutup :
Kolose 3:23 Apa pun juga yang kamu perbuat,
perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
A M I N
Daftar Pustaka
King, Ann M. Sheri L.
Johnson, Gerald C. Davison, John M. Neale . 2010 .
Abnormal Psychology,
11th Edition . John Wiley
& Sons, Inc Jonathan A Obar, Wildman, Steve (2015). “Social media
definition and the governance challenge: An introduction to the special issue”.
Telecommunications policy. 39 (9).
Chan, TH (2014).
“Facebook and its Effects on Users’ Empathic Social Skills and
Life Satisfaction: A
Double Edged Sword Effect”. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking.
17 (5): 276–280.
Chen, Gina Masullo
(2015). “Losing Face on Social Media”. Communication
Research. 42 (6).
Kowalski, Robin M, Sue
Limber, and Patricia W Agatston. Cyberbullying. 1st ed.
Malden, MA:
Wiley-Blackwell, 2012.
Chua, Trudy Hui Hui;
Chang, Leanne (2016). “Follow me and like my beautiful
selfies: Singapore
teenage girls’ engagement in self-presentation and peer comparison on social
media”. Computers in Human Behavior.
Wolpert, Stuart. “Teenage Brain
on Social Media”. Retrieved May 31, 2016.
Rosen,
Christine. “Virtual
Friendship and the New Narcissism“. The New
Atlantis. Retrieved
February 29, 2016.
Freud, Sigmund.
1914. On Narcissism: An Introduction.
Morrison, Andrew.
1997. Shame: The Underside of Narcissism. The Analytic
Press.
Brownback, Paul. The
Danger of Self-Love. Chicago: Moody Press, 1982.
Hoekema, Anthony
A. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah. Surabaya:
Momentum, 2010.
Sagala, Herlise Y. “Etika
Kristen”. Classnote Etika Kristen. Bandung: STTB,
2017.
KBBI
[1] Obar,
Jonathan A.; Wildman, Steve (2015). “Social media definition and the governance
challenge: An introduction to the special issue”. Telecommunications policy. 39
(9): 745–750.
[4] Chan,
TH (2014). “Facebook and its Effects on Users’ Empathic Social Skills and Life
Satisfaction: A Double Edged Sword Effect”. Cyberpsychology, Behavior, and
Social Networking. 17 (5): 276–280.
[5] Chen,
Gina Masullo (2015). “Losing Face on Social Media”. Communication Research. 42
(6): 819–38.
[6] Kowalski,
Robin M, Sue Limber, and Patricia W Agatston. Cyberbullying. 1st ed. Malden,
MA: Wiley-Blackwell, 2012. Print.
[7] Chua,
Trudy Hui Hui; Chang, Leanne (2016). “Follow me and like my beautiful selfies:
Singapore teenage girls’ engagement in self-presentation and peer comparison on
social media”. Computers in Human Behavior. 55: 190–7.
[8] Wolpert,
Stuart. “Teenage Brain
on Social Media”. Retrieved May 31, 2016.
[9] Rosen,
Christine. “Virtual
Friendship and the New Narcissism”. The New Atlantis.
Retrieved February 29, 2016.
[10] Ann
M. King, Sheri L. Johnson, Gerald C. Davison, John M. Neale . 2010 . Abnormal
Psychology, 11th Edition . John Wiley & Sons, Inc
[11] KBBI.
[12] Freud,
Sigmund. 1914. On Narcissism: An Introduction.
[13] Morrison,
Andrew. 1997. Shame: The Underside of Narcissism. The Analytic
Press
sich-part-2.html)
[15] Herlise
Y. Sagala, “Etika Kristen” (Classnote Etika Kristen)
(Bandung: STTB, 2017), 26.
[16] Paul
Brownback, The Danger of Self-Love (Chicago: Moody Press,
1982), 130.
[17] Ibid,
136-137.
[18] Anthony
A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (Surabaya:
Momentum, 2010), 132.
[19] Ibid, 142.
Bilynskyj, Stephen S. “Christian Etics and the Ethics of
Virtue” in Readings in Christian Ethics Vol 1: Theory and Method.
eds: David K. Clark & Robert V. Rakerstraw; Grand Rapids: Baker, 1994.
Burridge, Richard A. Imitating Jesus An Inclusive Approach to New Testament Ethics.
Grand Rapids: Eerdmans, 2077.
Davids, Peter H. The Epistle of James. Grand Rapids: Eedmans, 1983.
Grenz, Stanley J. The Moral Quest Foundations of Christian Ethics.
Illinois: InterVarsity, 1997.
Hauerwas, Stanley and Samuel Wells, “The Gift of the
Church and the Gifts God Gives it” in The Blackwell Companion to Christian Etics. eds:
Stanley Hauerwas and Samuel Wells; Victoria: Blackwell, 2004.
Hays, Richard B. The Moral Vision of the New Testamen. New York:
HarperSanFransisco, 1996.
Hollinger, Dennis P. Choosing the Good Christian Etics in a Complex World.
Grand Rapids: Baker, 2002.
Sumber Online
http://nasional.kompas.com/read/2009/10/22/09213880/Karena.Facebook..Latifah.Menghilang
[3] http://finance.detik.com/read/2012/04/24/110508/1899942/6/jelang-ipo-laba-bersih-facebook-merosot
[5] http://news.detik.com/read/2010/04/20/070105/1341519/10/gerakan-1-juta-facebookers-bebaskan-bibit-chandra-jilid-ii-muncul
[7] http://inet.detik.com/read/2012/03/06/065124/1858647/398/17-siswi-jadi-korban-transfer-dari-facebook-ke-situs-porno
[8]http://nasional.kompas.com/read/2009/10/22/09213880/Karena.Facebook..Latifah.Menghilang
[9] http://teknologi.kompasiana.com/internet/2011/12/19/dampak-positif-menggunakan-facebook-dengan-bijak/
[10] http://inet.detik.com/read/2012/03/13/090557/1865438/398/kritik-kebijakan-sekolah-facebook-murid-digeledah
[11] Peter H. Davids, The Epistle of James (Grand Rapids: Eedmans, 1983) 146-147.
[12] Dennis P. Hollinger, Choosing the Good Christian
Etics in a Complex World (Grand
Rapids: Baker, 2002) 46.
[13] Sebagaiman yang dikutip oleh Stephen
S. Bilynskyj, “Christian Etics and the Ethics of Virtue” in Readings in Christian Ethics
Vol 1: Theory and Method (eds:
David K. Clark & Robert V. Rakerstraw; Grand Rapids: Baker, 1994) 259.
[14] Stanley Hauerwas and Samuel Wells,
“The Gift of the Church and the Gifts God Gives it” in The Blackwell Companion to
Christian Etics (eds:
[14] Stanley Hauerwas and Samuel Wells; Victoria: Blackwell, 2004) 13.
[15] Stanley J. Grenz, The Moral Quest Foundations of
Christian Ethics (Illinois:
InterVarsity, 1997) 231.
[16] Richard A. Burridge, Imitating Jesus An Inclusive
Approach to New Testament Ethics (Grand
Rapids: Eerdmans, 2077) 344.
[17] Richard B. Hays, The Moral Vision of the New Testament (New York: HarperSanFransisco, 1996)
196.
No comments:
Post a Comment