PENYIMPANGAN SEKS DALAM PERJANJIAN LAMA
oleh
Yesaya Penlobang, M.Th (C)
Sekasualitas merupakan bagian dari kehidupan setiap orang. Namun di sisi lain seksualitas juga dapat menimbulkan persoalan atau penyimpangan. Hal tersebut dikarenakan orang salah memahami hakikat dari seks itu sendiri. Menurut Abineno, dari hasil penelitian di beberapa jemaat di Jawa dan di luar Jawa, kebanyakkan orang memahami seksualitas adalah sebagai berikut: pertama, seksualitas adalah soal jasmaniah. Maksud Tuhan dengan seksualitas adalah agar manusia berkembang biak dan memenuhi bumi. Kedua, maksud dari seksualitas adalah untuk memberikan behagiaan hidup jasmaniah. Ketiga, maksud dan tujuan seksualitas adalah untuk memberi kepuasan kepada manusia. Manusia memiliki berbagai kebutuhan dan salah satunya adalah kebutuhan untuk berhubungan seks.
Penyimpangan seks merupakan bagian dari etika yang mempelajari baik buruk, sikap, pikiran, perkataan dan perbuatan manusia. Bagaimanakah seks dilihat dari Etika Kristen? Pengetahuan mengenai penyimpangan seks dapat dilihat melalui Alkitab yang diyakini sebagai firman Allah. Dalam pembahasan berikut akan ditinjau penyimpangan seks di dalam Perjanjian Lama. Dalam bagian pembahasan akan diteliti terminologi dari kata seks itu sendiri, kemudian akan dilihat bagaimana penyimpangan-penyimpangan seks itu terjadi di dalam Perjanjian Lama. Bagian berikut akan melihat makna teologis dari pembahasan ini, yang kemudian akan ditarik refleksi dan kesimpulan.
Terminologi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia seks sebagai kata benda adalah jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Dan sebagai bentuk kata sifat adalah sesuatu yang dapat membangkitkan nafsu birahi karena bentuk tubuh, pakaian dsb. Lalu bagaimanakah seks dalam Perjanjian Lama. Dalam narasi penciptaan ada dua cerita tentang seksualitas manusia.[1] Pertama, dalam narasi Kejadian 1:26-27, yang merupakan karya sumber p sesudah pembungan. Cerita ini pada hakikatnya mau menekankan bahwa seks itu baik. Seks itu baik karena merupakan bagian integral dari seluruh ciptaan yang diciptakan sungguh amat baik (Kej. 1:31). Narasi ini mau menekankan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk seksual. Manusia diciptakan sebagai laki-laki, berasal dari kata ish dan perempuan, yang berasal dari kata ishshah. Melalui perbedaan seks itu (ish dan ishah) mereka mencerminkan Allah. Kedua, dalam narasi Kejadian 2:18-25 dari sumber Y sekitar abad 9 SM. Cerita ini menekankan alasan mengapa dan untuk apa seksualitas diciptakan. Perempuan diciptakan supaya laki-laki yang membutuhkan teman hidup tidak kesepian (Kej. 2:18), serta terjadi komunitas manusia yang dinyatakan dalam kesatuan daging (Kej. 2:22-24). Jadi dapat disimpulkan bahwa seksualitas dari terminologinya memiliki makna yang dalam bagi kehidupan setiap insan manusia. Namun sangat disayangkan bahwa manusia menyalahgunakan seksualitas yang diberikan Allah begitu mulia, sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Penyimpangan Seks dalam PL dan Teks-teks yang Terkait
b. Rancap/Onani (Kejadian 38:6-11) Penyimpangan seks yang juga terjadi dalam Perjanjian Lama adalah onani atau rancap. Narasi yang memperlihatkan hal ini adalah cerita tentang Onan dan Tamar dalam Kejadian 38:6-11, yang merupakan karya penulis Yahwist.[4] Onan melakukan hal yang keji di mata Tuhan, dengan membiarkan maninya terbuang. Onan tidak ingin memberi keturunan kepada Tamar yang merupakan mantan isteri kakaknya. Perlu diingat bahwa istilah “onani” tidak ada kaitanya dengan Onan.
c. Persundalan dan Semburit (Ulangan 23:17-18) Kata Kadesh' dalam Ulangan 23:17-18 dterjemahkan sebagai pelacuran kudus atau pelacuran kultus.[5]Fenomena ini menunjukkan bahwa pelacuran sudah dikenal di dalam PL dan merupakan hal yang biasa dalam ibadah agama Kanaan di Timur Tengah.[6] Hal itu merupakan kekejian bagi Allah, karena itulah Ulangan 23:17-18 secara khusus membahas tentang hukum prostitusi. Dengan adanya larangan untuk melakukan hal tersebut, umat diingatkan untuk tidak masuk dalam dosa seks tersebut yang merupakan kekejian bagi Allah. Di samping itu disinggung juga tentang semburit. Istilah ‘semburit’ merupakan istilah Ibrani bagi dosa-dosa seperti dosa orang Sodom.[7] Tidak ada keterangan yang begitu rinci mengenai hal ini. Tetapi dari keterangan Ulangan 23:17 mereka juga adalah pelacur bakti.
Kekudusan Umat (dalam kitab Imamat) Penyimpangan-penyimpangan seks yang terjadi dalam kehidupan umat merupakan kekejian bagi Allah. Sebab itu untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan tersebut dibuatlah ketetapan-ketetapan untuk mendisiplinkan hal tersebut. Dan umat dapat hidup kudus di hadapan Tuhan. Ada pun peraturan-peraturan yang menjaga umat agar hidup kudus dari penyimpangan-penyimpangan seksual banyak terdapat dalam kitab Imamat. Bagian khusus mengenai Undang-undang Kekudusan terdapat dalam Imamat 17-26, yang merupakan karangan para pelayan di bait Allah sekitar tahun 500 sM.[8] Berikut adalah beberapa contoh dari kitab Imamat yang merupakan ketetapan Tuhan agar umat hidup kudus dan menghargai seksualitas sebagai sesuatu yang kudus.
a. Ketidaktahiran Laki-laki dan Perempuan (15:1-33) Bagian ini secara gamblang berbicara mengenai ketidaktahiran seorang laki-laki dan perempuan yang terkait dengan seksualitas. Seorang laki-laki atau perempuan dapat menjadi tidak tahir dikarenakan lelehan (air mani atau darah) yang keluar dari auratnya. Ayat 2-18 berbicara mengenai ketidaktahiran laki-laki, dan ayat 19-30 mengenai ketidaktahiran perempuan karena lelehan tersebut.[9]
b. Kudusnya Perkawinan (18:6-23[10]) Hubungan perkawinan biasanya terkait dengan seksualitas. Penyimpangan seksual dapat terjadi di dalam relasi perkawinan tersebut. Karena itu Imamat 18:6-23 membahas khusus tentang perkawinan agar dijaga kekudusannya. Umat dengan keras diingatkan agar mereka jangan menjadi serupa dengan orang-orang asing, sama seperti orang-orang Mesir dan orang-orang Kanaan pada waktu itu. Mereka harus menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, sebagaimana yang digambarkan oleh peraturan-peraturan dalam Imamat 18:6-23. Misalnya, menghampiri kerabat terdekat dengan menyingkapkan auratnya (ayat 6), menyingkapkan aurat isteri dari ayah (ayat 7-8), menghampiri seorang perempuan pada saat menstruasi dan menyingkapkan auratnya (ayat 19), dsb. Semua hal itu adalah kekejian bagi Tuhan dan mencemari kekudusan umat.
c. Kudusnya Hidup (19:1-36[11]) Bagian Imamat 19:1-36 menekankan kekudusan hidup secara totalitas. Tujuan dari pasal ini adalah membimbing umat agar kelakuan mereka sesuai dengan kehendak Tuhan dalam setiap situasi. Bagian yang menyinggung tentang penyimpangan seks terdapat pada ayat 20-22. Hukuman atas seorang laki-laki atau perempuan yang berzinah sangat keras, Karena hal ini terkait dengan kekudusan hidup. Budak perempuan yang dimaksudkan ayat 20 adalah sebagai isteri seorang laki-laki tetapi yang belum ditebus oleh laki-laki itu atau belum menerima surat tanda merdeka dari tuannya namun telah dihampiri. Perbuatan demikian adalah suatu kekejian bagi Tuhan dan melanggar hukum kekudusan yang Tuhan telah tetapkan kepada umat.
d. Kudusnya Umat Tuhan (20:1-27) Imamat 20:1-27 lebih berbicara mengenai kekudusan umat secara komunitas. Umat harus bersih dan terhindar dari hal-hal yang diuraikan di dalam hukum tersebut. Ayat 10-21 secara khusus berbicara mengenai kekudusan di dalam keluarga yang terkait dengan penyimpangan seks.[12] Hal ini memang telah disebut di dalam pasal 18, namun kembali ditekankan lagi. Karena masalah penyimpangan seks begitu krusialnya mempengaruhi kekudusan umat, sehingga beberapa kali ditekankan.
Refleksi Masalah penyimpangan seks bukanlah masalah yang baru kita jumpai saat ini. Dalam Perjanjian Lama hal ini juga menjadi pergumulan etis umat, serta telah berkembang dan menjadi hal yang biasa di sekitar bangsa-bangsa Timur Tengah yang lebih tua dari Israel. Dalam Perjanjian Lama, masalah seksualitas sering dikaitkan dan bahkan selalu dikaitkan dengan kekudusan hidup umat di hadapan Tuhan. Penyimpangan seks dari seorang laki-laki atau perempuan dapat mempengaruhi kekudusannya di hadapan Tuhan. Tuhan menghendaki agar umat menjaga kekudusan hidup.
Di sisi lain yang menjadi pertanyaan secara teologis adalah, apakah manusia dapat terlepas dari penyimpangan-penyimpangan seks tersebut, sehingga dapat hidup kudus? Dan Mengapa manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan itu? Dari manakah datangnya kecenderungan itu? Ini menjadi pergumulan kita bersama.
[1] Dr. Robert P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer, (Bandung:2006), 2-6.
[2] Dr. J. Verkuyl, Etika Seksuil, (Jakarta: 1974), 140-142.
[3] Dr. Walter Lempp, Tafsiran Kejadian 12:4-25:18, (Jakarta:1976), 236.
[4] Dr. Walter Lempp, Tafsiran Kejadian 37-38, (Jakarta:1976), 236.
[5] Duane L. Christensen, Deuteronomy 21:10-34:12, (Colombia:2002), 549.
[6] G.T Manley & R.K Harrison, Tafsiran Alkitab Masa Kini 1: Ulangan, (Jakarta:2005), 331.
[7] Ibid
[8] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta:2007), 149.
[9] Paterson, Kitab Imamat, (Jakarta:1997), 213-215.
[10] Ibid, Paterson, 247-256.
[11] Ibid, Paterson, 257-271.
[12] Ibid, Paterson, 281.
No comments:
Post a Comment