DUALISME
Beberapa inti pokok ajaran Alkitab dapat
dipahami lebih baik, jika diperhatikan latar belakang pemikiran dualisme. Kata
‘dualisme’ sudah mengalami pemakaian aneka ragam dalam sejarah teologi dan
filsafat, tapi pengertian dasarnya ialah: membeda-bedakan dua dasar yg tidak
tergantung yg satu pada yg lain, dan dalam beberapa hal bertentangan yg satu
dengan yg lain. Maka dalam teologi Allah ditempatkan berhadapan dengan suatu
dasar rohani yg jahat atau dengan dunia kebendaan; dalam filsafat roh
berhadapan dengan materi, dalam ‘ilmu jiwa’ jiwa atau akal berhadapan dengan
tubuh.
I. Allah dan kuasa-kuasa jahat
Istilah ‘dualisme’ pertama kali
dipakai dalam sebuah buku tentang agama Persia kuno, terbit pada thn 1700.
Apakah agama Persia sebagai keseluruhan harus dianggap berciri dualisme,
biarlah itu menjadi pokok pembicaraan di antara para ahli. Tapi sudah jelas
bahwa pada beberapa masa, dalam Mazdaisme (agama Persia) terdapat kepercayaan
kepada suatu makhluk, yg dasar wataknya bersifat jahat dan merupakan penyebab
dari segala kejahatan, yg tidak mempertanggungkan asal mulanya kepada Pencipta
Yg Baik, tapi ada tanpa tergantung sama sekali dari Pencipta Yg Baik itu.
Makhluk jahat ini menciptakan makhluk-makhluk yg berhadapan atau bermusuhan
dengan yg diciptakan oleh Roh Yg Baik itu.
Bangsa Israel tentu bersentuhan
dengan pandangan ini melalui pengaruh-pengaruh Persia yg masuk kepada mereka.
Tapi kepercayaan kepada adanya Yg Jahat sejak kekekalan dengan kuasanya untuk
menciptakan, biarpun dirombak sedikit dengan kepercayaan kepada kemenangan
akhir dari Yg Baik, tidaklah dapat diterima oleh penulis-penulis Alkitab. Setan
dan semua kuasa jahat berada di bawah Allah dan tunduk kepada-Nya, tidak hanya
pada saat kemenangan-Nya yg terakhir, tapi dalam segala kegiatan mereka
sekarang ini juga; merekalah makhluk ciptaan-Nya yg jatuh ke dalam dosa (bnd terutama
Ayub 1; 2; Kol 1:16-17).
II. Allah dan dunia
Banyak ajaran tentang terjadinya
kosmos atau alam semesta pada zaman kuno, menggambarkan Allah atau allah-allah
sebagai yg mengatur ketertiban dan memberi bentuk kepada zat benda yg belum
berbentuk tapi yg sudah ada sebelumnya. Betapapun liatnya zat benda itu dalam
tangan ilahi (seperti tanah liat dlm tangan tukang tempa periuk), tapi zat
benda yg tidak diciptakan Allah sendiri mau tidak mau membatasi kegiatan allah (Allah),
dan menyamakannya dengan kegiatan karya cipta manusia, yg selalu harus memakai
bahan yg sudah ada.
Dalam konsep penciptaan berdasarkan
Alkitab, Allah dan dunia jelas sekali dibedakan, sehingga pikiran yg mengatakan
bahwa dunia bersifat ilahi sudah disingkirkan sejauh-jauhnya, lalu dunia ini
dipandang sebagai tidak hanya bentuknya saja tapi juga keberadaannya yg
diberikan Allah kepadanya (Ibr 11:3; bnd 2 Makabe 7:28).
III. Roh dan zat benda
Bila dualisme diungkapkan
terlebih-lebih secara filosofi, dibuat oranglah pembedaan secara mutlak antara
roh dengan zat benda, yg didampingi dengan kecenderungan yg kuat untuk
memandang roh bersifat baik, dan zat benda bersifat jahat, atau paling tidak
menjadi penghalang bagi roh.
Pandangan yg merendahkan nilai zat
benda ini dan memandangnya bertentangan dengan roh, sangat berlawanan dengan
ajaran Kristen mengenai penciptaan dan dengan doktrin Alkitab tentang dosa.
Keadaan dunia sebenarnya lebih baik dan lebih buruk dari yg digambarkan oleh
dualisme. Di satu pihak zat benda tidaklah jahat pada dirinya; Sang Pencipta
melihat segala yg dijadikan-Nya itu ‘sungguh amat baik’ (Kej 1:31). Di pihak
lain konsekuensi-konsekuensi yg jahat dari pemberontakan terhadap Allah tidak
hanya mempengaruhi dunia zat benda saja, tapi dunia rohani juga. Di udara atau
di langit di atas ada penguasa-penguasa yg jahat yg bersifat roh (Ef 6:12), dan
dosa-dosa yg paling mengerikan ialah dosa-dosa rohani.
Begitu juga Alkitab tidak seluruhnya
menerima pembedaan roh dan zat benda. Pandangan Ibrani tidak melihat bumi ini
dalam pengertian suatu inti pati yg statis, tapi dalam pengertian-pengertian
kegiatan pemeliharaan Allah yg terus-menerus, yg menggunakan zat benda, sama
seperti Dia menggunakan kuasa-kuasa rohani yg murni. Maka pengertian ilmu alam
modem tentang antar hubungan enersi dengan zat benda lebih menyerupai pandangan
Alkitab, daripada menyerupai dualisme Platonis atau dualisme yg idealistis.
‘Allah itu Roh’ (Yoh 4:24); tapi ‘Firman itu telah menjadi manusia’ (Yoh 1:14;
harfiah, ‘daging’).
IV. Jiwa dan tubuh
Suatu contoh khas bagaimana pikiran
Ibrani menyingkirkan dualisme ialah ajaran Alkitab tentang manusia. Pikiran
Yunani — dan sebagai akibatnya banyak orang berhikmat Yahudi dan Kristen yg
mengikuti aliran peng-Helenisan — memandang tubuh manusia sebagai tempat
kurungan untuk jiwa: soma sema, artinya’badan adalah kuburan untuk jiwa’.
Tujuan orang berhikmat itu ialah supaya bebas atau terlepas dari segala sesuatu
yg bertalian dengan tubuh, dan dengan demikian membebaskan jiwa itu. Tapi
menurut Alkitab, manusia bukanlah suatu jiwa yg bertempat di dalam tubuh, tapi
suatu kesatuan dari tubuh/jiwa. Hal ini begitu benar, sehingga pada waktu kebangkitan
pun nanti, dan biarpun daging dan darah tak dapat mewarisi Kerajaan Allah (
1Kor 15:35 dab; khusus ay . 1Kor 15:50), kita tetap masih akan memiliki tubuh.
No comments:
Post a Comment