Wednesday, August 29, 2018

DUALISME


DUALISME

       Beberapa inti pokok ajaran Alkitab dapat dipahami lebih baik, jika diperhatikan latar belakang pemikiran dualisme. Kata ‘dualisme’ sudah mengalami pemakaian aneka ragam dalam sejarah teologi dan filsafat, tapi pengertian dasarnya ialah: membeda-bedakan dua dasar yg tidak tergantung yg satu pada yg lain, dan dalam beberapa hal bertentangan yg satu dengan yg lain. Maka dalam teologi Allah ditempatkan berhadapan dengan suatu dasar rohani yg jahat atau dengan dunia kebendaan; dalam filsafat roh berhadapan dengan materi, dalam ‘ilmu jiwa’ jiwa atau akal berhadapan dengan tubuh.

          I. Allah dan kuasa-kuasa jahat

          Istilah ‘dualisme’ pertama kali dipakai dalam sebuah buku tentang agama Persia kuno, terbit pada thn 1700. Apakah agama Persia sebagai keseluruhan harus dianggap berciri dualisme, biarlah itu menjadi pokok pembicaraan di antara para ahli. Tapi sudah jelas bahwa pada beberapa masa, dalam Mazdaisme (agama Persia) terdapat kepercayaan kepada suatu makhluk, yg dasar wataknya bersifat jahat dan merupakan penyebab dari segala kejahatan, yg tidak mempertanggungkan asal mulanya kepada Pencipta Yg Baik, tapi ada tanpa tergantung sama sekali dari Pencipta Yg Baik itu. Makhluk jahat ini menciptakan makhluk-makhluk yg berhadapan atau bermusuhan dengan yg diciptakan oleh Roh Yg Baik itu.

          Bangsa Israel tentu bersentuhan dengan pandangan ini melalui pengaruh-pengaruh Persia yg masuk kepada mereka. Tapi kepercayaan kepada adanya Yg Jahat sejak kekekalan dengan kuasanya untuk menciptakan, biarpun dirombak sedikit dengan kepercayaan kepada kemenangan akhir dari Yg Baik, tidaklah dapat diterima oleh penulis-penulis Alkitab. Setan dan semua kuasa jahat berada di bawah Allah dan tunduk kepada-Nya, tidak hanya pada saat kemenangan-Nya yg terakhir, tapi dalam segala kegiatan mereka sekarang ini juga; merekalah makhluk ciptaan-Nya yg jatuh ke dalam dosa (bnd terutama Ayub 1;  2; Kol 1:16-17).

          II. Allah dan dunia

          Banyak ajaran tentang terjadinya kosmos atau alam semesta pada zaman kuno, menggambarkan Allah atau allah-allah sebagai yg mengatur ketertiban dan memberi bentuk kepada zat benda yg belum berbentuk tapi yg sudah ada sebelumnya. Betapapun liatnya zat benda itu dalam tangan ilahi (seperti tanah liat dlm tangan tukang tempa periuk), tapi zat benda yg tidak diciptakan Allah sendiri mau tidak mau membatasi kegiatan allah (Allah), dan menyamakannya dengan kegiatan karya cipta manusia, yg selalu harus memakai bahan yg sudah ada.

          Dalam konsep penciptaan berdasarkan Alkitab, Allah dan dunia jelas sekali dibedakan, sehingga pikiran yg mengatakan bahwa dunia bersifat ilahi sudah disingkirkan sejauh-jauhnya, lalu dunia ini dipandang sebagai tidak hanya bentuknya saja tapi juga keberadaannya yg diberikan Allah kepadanya (Ibr 11:3; bnd 2 Makabe 7:28).

          III. Roh dan zat benda

          Bila dualisme diungkapkan terlebih-lebih secara filosofi, dibuat oranglah pembedaan secara mutlak antara roh dengan zat benda, yg didampingi dengan kecenderungan yg kuat untuk memandang roh bersifat baik, dan zat benda bersifat jahat, atau paling tidak menjadi penghalang bagi roh.

          Pandangan yg merendahkan nilai zat benda ini dan memandangnya bertentangan dengan roh, sangat berlawanan dengan ajaran Kristen mengenai penciptaan dan dengan doktrin Alkitab tentang dosa. Keadaan dunia sebenarnya lebih baik dan lebih buruk dari yg digambarkan oleh dualisme. Di satu pihak zat benda tidaklah jahat pada dirinya; Sang Pencipta melihat segala yg dijadikan-Nya itu ‘sungguh amat baik’ (Kej 1:31). Di pihak lain konsekuensi-konsekuensi yg jahat dari pemberontakan terhadap Allah tidak hanya mempengaruhi dunia zat benda saja, tapi dunia rohani juga. Di udara atau di langit di atas ada penguasa-penguasa yg jahat yg bersifat roh (Ef 6:12), dan dosa-dosa yg paling mengerikan ialah dosa-dosa rohani.

          Begitu juga Alkitab tidak seluruhnya menerima pembedaan roh dan zat benda. Pandangan Ibrani tidak melihat bumi ini dalam pengertian suatu inti pati yg statis, tapi dalam pengertian-pengertian kegiatan pemeliharaan Allah yg terus-menerus, yg menggunakan zat benda, sama seperti Dia menggunakan kuasa-kuasa rohani yg murni. Maka pengertian ilmu alam modem tentang antar hubungan enersi dengan zat benda lebih menyerupai pandangan Alkitab, daripada menyerupai dualisme Platonis atau dualisme yg idealistis. ‘Allah itu Roh’ (Yoh 4:24); tapi ‘Firman itu telah menjadi manusia’ (Yoh 1:14; harfiah, ‘daging’).

          IV. Jiwa dan tubuh

          Suatu contoh khas bagaimana pikiran Ibrani menyingkirkan dualisme ialah ajaran Alkitab tentang manusia. Pikiran Yunani — dan sebagai akibatnya banyak orang berhikmat Yahudi dan Kristen yg mengikuti aliran peng-Helenisan — memandang tubuh manusia sebagai tempat kurungan untuk jiwa: soma sema, artinya’badan adalah kuburan untuk jiwa’. Tujuan orang berhikmat itu ialah supaya bebas atau terlepas dari segala sesuatu yg bertalian dengan tubuh, dan dengan demikian membebaskan jiwa itu. Tapi menurut Alkitab, manusia bukanlah suatu jiwa yg bertempat di dalam tubuh, tapi suatu kesatuan dari tubuh/jiwa. Hal ini begitu benar, sehingga pada waktu kebangkitan pun nanti, dan biarpun daging dan darah tak dapat mewarisi Kerajaan Allah ( 1Kor 15:35 dab; khusus ay . 1Kor 15:50), kita tetap masih akan memiliki tubuh.

No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...