Thursday, January 4, 2024

𝐃𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐇𝐚𝐭𝐢 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐝𝐚?

𝐃𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐇𝐚𝐭𝐢 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐝𝐚? (𝐈𝐛𝐫𝐚𝐧𝐢 𝟏𝟐:𝟏𝟐-𝟏𝟕) 

Penulis Ibrani sudah menjelaskan kepada para pembaca kitab Ibrani, bahwa anak-anak Tuhan memiliki pengharapan surgawi karena karya Kristus yang sempurna. Itu sebabnya, ia mendorong para pembacanya untuk menguatkan hati mereka agar mereka tetap bertahan dalam iman dan menang sampai akhirnya (ayat 12-13). 

Supaya mampu bertahan dalam iman maka orientasi hidup yang duniawi harus diganti total. Orientasi hidup yang diarahkan kepada dunia ini hanya akan mengecewakan dan menumbuhkan akar pahit (ayat 15b). Kisah Esau menjual hak kesulungan sebagai ganti semangkuk sup kacang merah menggambarkan sikap yang memandang rendah berkat-berkat rohani demi pemuasan nafsu badani semata (ayat 16; lih. Kej. 25:29-34). Akibatnya fatal! Esau tidak menerima berkat dan tidak mendapatkan kesempatan memperbaiki dirinya (Ibr. 12:17). Cerita Esau ini dan bagian lain dalam Ibrani 6:4-6 dan 10:26-29 merupakan peringatan keras bagi anak-anak Tuhan yang membiarkan orientasi hidupnya bukan pada Tuhan. Sebaliknya, orang Kristen yang hidupnya tertuju pada Tuhan akan menjalani hidup kudus, berdamai dengan semua orang, dan berlimpah dengan ucapan syukur karena kasih karunia Allah yang telah diterimanya (ayat 12:14-15a). 

Jangan biarkan akar kepahitan tumbuh subur menghalangi pertumbuhan pohon ucapan syukur Anda sehingga akhirnya Anda menolak kasih karunia-Nya. Yesus berkata, "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Mat. 6:21). Dengan memfokuskan diri pada Allah dan kehendak-Nya, kita sedang mengumpulkan harta di surga. Kita akan menikmati relasi yang dekat dengan Allah sehingga hati kita dipenuhi sukacita, terlepas dari kekuatiran akan keinginan dunia, dan dimampukan menjadi saluran berkat bagi orang lain. 

Camkan: Kita memang ada di dunia, tetapi bukan dari dunia. Oleh karena itu, jangan biarkan dunia menjebak dan membinasakan iman kita! 𝐬𝐡

𝐇𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐁𝐢𝐣𝐚𝐤

𝐇𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐁𝐢𝐣𝐚𝐤 (𝐀𝐦𝐬𝐚𝐥 𝟏𝟕:𝟏𝟑-𝟐𝟖) 

Pengajaran dari pengamsal kali ini masih membahas seputar perilaku manusia dalam kehidupannya. Bila kita perhatikan, ada dua hal besar yang dibahas oleh pengamsal pada bagian ini, yaitu tentang kebebalan dan ketidakbijakan dalam hidup. Tentang kebebalan, pengamsal menyoroti orangtua yang berduka karena mendapat anak yang bebal (21 dan 25) dan kebodohan yang dilakukan oleh orang yang bebal semasa hidupnya (16, 18, 24). Ya, kebebalan seseorang akan mengiringnya pada tindakan kebodohan dan membawa duka bagi orang-orang di sekitarnya. Karena kebebalan, kebodohan dan kesalahan yang dilakukan dianggapnya sebagai sesuatu yang benar. Karena kebebalannya, perbuatan bodohnya telah mendukakan orang-orang yang dekat dengannya.


Tentang ketidakbijakan, pengamsal menyoroti mengenai perbuatan yang tidak bijak (13, 15, 23, 26) dan perkataan yang tidak bijak (14, 19, 20). Membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, menerima suap, serta membalas kebaikan dengan kejahatan digambarkan pengamsal sebagai perbuatan yang tidak bijak. Sedangkan pertengkaran, perbantahan, dan bersilat lidah akan membuat seseorang jatuh ke dalam kehancuran.

Kontras dengan kebebalan dan ketidakbijakan yang membawa seseorang menuju duka dan kehancuran, pengamsal menyoroti bagian lain dari kehidupan manusia yang dapat membawa sukacita dan kebijaksanaan. Apa yang menyukakan dalam hidup? Keberadaan sahabat yang penuh kasih (17) dan hati yang gembira (22). Lalu apa yang disebut bijak dalam hidup? Ketika kita tahu kapan perlu menahan diri dan menahan perkataan (27, 28). Karena itu, jalanilah hidup dengan sukacita dan bijaksana di dalam Tuhan. Perhatikanlah bagaimana kita hidup di dunia ini, agar tidak terjerumus pada kebebalan dan ketidakbijakan. [MFS]

𝐏𝐚𝐬𝐚𝐧𝐠𝐥𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐚𝐦𝐮

𝐏𝐚𝐬𝐚𝐧𝐠𝐥𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐚𝐦𝐮 (𝐀𝐦𝐬𝐚𝐥 𝟐𝟐:𝟏𝟕-𝟐𝟗) 

Saat seorang anak acuh tak acuh terhadap teguran orang tuanya, ada kalanya orang tua menjadi marah dan menjewer telinga anak sambil berkata, "Di mana telingamu?". Semua orang tahu apa kegunaan telinga, namun banyak orang yang tidak menggunakan fungsi telinga dengan baik sehinnga berakibat fatal.

Dalam nas kini, kita melihat seruan Salomo secara langsung, seolah-olah berbicara kepada seseorang secara pribadi. Ia berulang kali menekankan kegunaan telinga. Ia menasihati agar kita untuk sungguh-sungguh memasang telinga. Memasang telinga berarti menjadi tenang, tidak lekas gusar dan suka marah. Saat seseorang penuh perhatian terhadap pengetahuan dan selalu mendengar amsal para orang bijak, maka ia akan terbiasa berjalan dalam hikmat. Contohnya, menghormati hak milik perorangan, tidak memindahkan batas tanah dan mencuri tanah (22-23, bdk. Ul. 19:14; 27:17), tidak bergaul akrab dengan orang yang amarahnya meledak-ledak.

Tujuan memasang telinga antara lain: Pertama, mendengar dan memperhatikan setiap ajaran. Kedua, membawa kepada kepercayaan akan Yahweh (19). Ketiga, mendatangkan kepuasan yang melimpah (18). Keempat, supaya mengetahui apa itu kebenaran, mampu membedakan dengan jelas antara yang benar dan salah, hal mana menguntungkan diri dan orang lain (21, bdk. 1Ptr. 3:15). Jika mau mendapatkan manfaatnya, maka kita harus mencerna, mempraktikkan, menaati, dan menyerahkan diri ke dalamnya untuk dibentuk (bdk. 2:10).

Berapa banyak di antara kita yang memasang telinga tetapi tidak mendengar dan memperhatikan kata-kata hikmat? Semua pengajaran menjadi sia-sia karena sikap kita yang meremehkannya. Kita tidak bisa berkata seperti ini, "Semua perkataan itu baik, tetapi tidak ada artinya bagi kami." Tidak! Marilah kita bercermin diri pada hikmat dan pengajaran. Pakailah hikmat dan ajaran tersebut saat kita berbicara maupun bertindak, maka ia akan mendatangkan nama baik bagimu. [SB]

𝐓𝐚𝐤𝐮𝐭 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐬𝐢𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐁𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭

𝐓𝐚𝐤𝐮𝐭 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐬𝐢𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐁𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭 (𝐏𝐞𝐧𝐠𝐤𝐡𝐨𝐭𝐛𝐚𝐡 𝟖:𝟗-𝟏𝟕) 

Siapa atau apa yang kita takuti? Ada orang yang takut kehilangan hartanya dan ada orangtua yang takut kepada anaknya. Ada yang takut pada penolakan dan ada pula yang takut kehilangan kecantikannya. Jika kita perhatikan baik-baik, ternyata siapa atau apa yang kita takuti memperlihatkan siapa atau apa yang sebenarnya penting bagi kita. Barang siapa takut kehilangan hartanya, ia mementingkan harta; barang siapa takut kepada anaknya, ia terlalu meninggikan anaknya; barang siapa takut pada penolakan, ia mengagungkan orang lain; barang siapa takut kehilangan kecantikannya, ia menyembah dirinya sendiri. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa orang yang takut akan Tuhan adalah orang yang mengutamakan Tuhan. 

Mengutamakan Tuhan berarti mementingkan kehendak-Nya di atas kepentingan pribadi dan rela mengorbankan diri sendiri demi melaksanakan kehendak Tuhan. Terlalu sering kita mengedepankan kehendak pribadi daripada firman Tuhan; kadang kita malah memakai nama Tuhan untuk membenarkan tindakan kita. Misalnya: menikah dengan pasangan yang tidak seiman dengan dalih untuk membawanya kepada Tuhan; melakukan korupsi dengan alasan ingin menggunakan uangnya untuk pekerjaan Tuhan. Namun, terkadang niat tulus kita untuk hidup takut akan Tuhan menemui jalan buntu tatkala kita membandingkan diri dengan orang yang hidup tidak takut akan Tuhan. Kita tidak bisa menerima kenyataan mengapa hidupnya bisa lancar, sedangkan hidup kita sering melewati "jalan berbatu" (ayat 10-11). 

Kendati hidup takut akan Tuhan terkadang menyusahkan, tetapi itu adalah "jalan" yang paling bahagia sebab hal ini menjauhkan kita dari dosa dan menyelaraskan hidup kita pada kehendak-Nya. Ingatlah, Tuhan melihat jerih payah kita dalam melakukan firman-Nya dan Ia akan memberkati setiap orang yang setia kepada-Nya pada waktu-Nya (ayat 12-13). Suatu saat kelak Ia akan bertindak dengan membalas perbuatan orang-orang yang hidup tidak takut kepada-Nya. 

Doa: Tuhan, tolongku peka bahwa Engkau hadir dalam segala segi hidupku agar aku takut kepada-Mu. 𝐬𝐡

𝐁𝐞𝐫𝐡𝐚𝐫𝐚𝐩 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐊𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐒𝐞𝐭𝐢𝐚 𝐓𝐮𝐡𝐚𝐧

𝐁𝐞𝐫𝐡𝐚𝐫𝐚𝐩 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐊𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐒𝐞𝐭𝐢𝐚 𝐓𝐮𝐡𝐚𝐧 (𝐑𝐚𝐭𝐚𝐩𝐚𝐧 𝟑:𝟐𝟏-𝟒𝟖) 

Hukuman yang benar mengandung dua unsur. 

Pertama, pembalasan. Perbuatan jahat harus mendapat balasan setimpal! Ini penting untuk menunjukkan bahwa perbuatan jahat tidak pernah bisa dibenarkan! Juga menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan dan bagi mereka yang mau coba-coba.

Kedua, disiplin. Yaitu, ?memaksa? pelaku kejahatan meninggalkan perilaku jahat dan belajar berperilaku baik.

Pengharapan peratap pada perikop ini didasarkan pada kasih setia (22-23, 32) dan keadilan Tuhan. Penghukuman Tuhan adil, setimpal dengan dosa-dosa umat (42). Mengakui dosa berarti bersedia menerima penghukuman-Nya (39-41), meski menyakitkan sampai harus bercucuran air mata karena merasakan penolakan Tuhan (43-48). Di sisi lain, oleh karena kasih setia-Nya maka tindakan penghukuman Tuhan atas umat-Nya juga merupakan upaya pendisiplinan karakter. Artinya penghukuman itu tidak untuk selama-lamanya, ada batasan waktunya. Akan tiba saatnya, pemulihan terjadi (26-38). Akan tiba juga saatnya umat Tuhan harus membuktikan diri sudah belajar dari kesalahan masa lalu untuk melakukan hal yang benar di kemudian hari.

Di dalam Kristus, kita tahu bahwa pengharapan peratap tidak sia-sia. Kristuslah jaminan bahwa pengampunan dan pemulihan Tuhan merupakan suatu kepastian! Namun jangan lupa, sesuai keadilan Allah, akibat-akibat perbuatan dosa kita di dunia ini pun harus siap kita terima. Sekaligus hal ini merupakan cara Tuhan mendisiplin kita. Dengan demikian kita sadar bahwa anugerah pengampunan itu tidak bersifat murahan. 

Bila kita sudah diampuni, tetapi kembali bermain-main dengan dosa, itu berarti kita menghina pengurbanan Kristus di salib. Maka marilah kita membuka diri untuk dibentuk Tuhan melalui kesalahan kita yang lalu, demi kehidupan yang lebih baik dan lebih memperkenan Tuhan. (𝐬𝐡)

𝐔𝐦𝐚𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫

𝐔𝐦𝐚𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫 (𝐈𝐛𝐫𝐚𝐧𝐢 𝟏𝟑:𝟕-𝟏𝟕) 

Selain mendorong para pembaca kitab Ibrani untuk menerima ajaran yang benar, yang telah dipaparkan di tulisannya ini, penulis Ibrani juga mendorong mereka untuk menghormati dan meneladani pemimpin gereja mereka. Yaitu, pemimpin yang melayani dan melindungi mereka dari ajaran-ajaran sesat yang tidak berpusatkan Kristus (ayat 9). 

Penulis Ibrani mengingatkan para pembacanya bahwa Kristus adalah persembahan kurban kepada Allah (ayat 10) yang meniadakan semua mezbah buatan manusia. Jadi, mereka seharusnya tidak lagi terjebak kepada ritual PL karena semua sudah digenapi oleh Kristus melalui pengurbanan-Nya di kayu salib (ayat 12). Oleh karena itu, setiap anak Tuhan harus setia mengiring-Nya walaupun harus menanggung risiko menderita (ayat 13). Godaan untuk balik kepada ibadah Perjanjian Lama harus ditolak. Selama mereka masih beribadah dalam kemah suci dengan menerapkan segala ritualnya, mereka masih tinggal di padang gurun dosa. Sebaliknya, orang Kristen menantikan kota Allah yang akan datang dengan menganggap hidup saat ini hanya sementara (ayat 14). Oleh karena tempat ibadah dan pola ibadah yang lama sudah tidak dipraktikkan lagi maka sebagai gantinya umat Kristen dipanggil untuk mempersembahkan kurban syukur berupa puji-pujian dan sikap hidup yang baik kepada sesama (ayat 15-16). Itulah ibadah yang berkenan kepada Allah. 

Kita wajib menghormati pemimpin kita yang pengajarannya Alkitabiah dan hidupnya mempraktikkan firman Tuhan. Jangan sekadar menerima ajaran-ajaran populer yang menjerat kita dengan rupa-rupa ritual, yang pada dasarnya memuaskan keinginan daging kita karena menekankan perbuatan manusia lebih daripada karya Kristus. Karya Yesus Kristus satu-satunya yang memuaskan tuntutan Allah. Gantungkan seluruh iman dan harap Anda kepada Dia saja. 

Tekadku: Aku mau belajar dari pemimpinku tentang kebenaran firman Tuhan dan bersama dengan dia mempraktikkannya agar aku bertumbuh menjadi dewasa rohani. (𝐬𝐡)

Hidup sebagai anak terang (Efesus 5:1-22)

Hidup sebagai anak terang (Efesus 5:1-22) Sebagai anak-anak terang, umat Allah hidup dengan meneladani Allah (ayat 1). Sama seperti Yesus ya...