Tuesday, October 23, 2018

PELAYANAN Berpusat Pada Kristus


PELAYANAN
Berpusat Pada Kristus

       Untuk mengungkapkan ide profesi pelayan atau pelayanan imam, biasanya PL menggunakan kata kerja syarat dan turunannya (LXX leitourgein), dan kata ‘avad (latreuein) lebih menunjuk kepada ibadah keagamaan seluruh umat atau perseorangan. Dalam PB istilah khas ialah diakonia, yg terdapat hanya dalam Est di PL, tapi di sana tidak dipakai dalam fungsi keimaman apa pun; dan perubahan dalam bahasa mengandung perubahan juga dalam ajaran, karena pelayanan dalam pengertian PB tidaklah hak khusus golongan imam. Leitourgia dikhususkan untuk menerangkan pekerjaan keimaman ibadah Yahudi (Luk 1:23; Ibr 9:21), dan digunakan juga untuk pelayanan Kristus yg jauh lebih agung (Ibr 8:6); lalu kata itu dapat juga dikenakan, dalam arti kiasan, kepada pelayanan rohani oleh nabi dan pemberita Injil (Kis 13:2; Rom 15:16). Tapi pada umumnya tetap benar, bahwa PB memakai istilah keimaman hanya sehubungan dengan kelompok orang percaya sebagai satu tubuh terpadu seutuhnya (Fili 2:17; 1Pet 2:9).

I. Kristus Sebagai Teladan
          Teladan pelayanan Kristen disajikan dalam hidup Kristus, yg datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Mat 20:28; Mr 10:45); kata kerja yg dipakai dalam ay-ay ini ialah diakonein, yg melukiskan pelayanan di meja makan, dan mengingatkan kembali peristiwa tatkala Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya (Yoh 13:4 dab). Sangat penting bahwa dalam peneguhan jabatan yg pertama sekali dicatat dalam gereja Kristen, ialah tujuan jabatan itu yakni ‘melayani meja’ (Kis 6:2); dan kata yg sama digunakan dalam ps yg sama (ay Kis 6:4) untuk menerangkan pelayanan Firman yg didahulukan oleh ke-12 rasul daripada pelayanan di meja. Pelayan Kristus, mengikuti teladan Guru-nya, memberikan pelayanan yg timbul dari kerendahan hati tapi penuh kasih terhadap kebutuhan manusia pada umumnya, dalam roh yg sama seperti halnya malaikat-malaikat (Mat 4:11; Mr 1:13) dan kaum perempuan (Mat 27:55; Luk 8:3) melayani Tuhan Yesus waktu di bumi. Pelayanan seperti itu dianggap dilakukan terhadap Kristus dalam diri orang-orang yg berkekurangan (Mat 25:44); pelayanan demikian paling sering diberikan kepada orang-orang kudus (Rom 15:25; 1Kor 16:15; 2Kor 8:4; 9:1; Ibr 6:10); tapi pekerjaan melayani adalah pelayanan timbal-balik dalam persekutuan tubuh Kristus (1Pet 4:10); dan sebagai pelayanan Injil (1Pet 1:12), dan secara nyata merupakan pelayanan pendamaian (2Kor 5:18) bagi dunia.

          Kesanggupan melaksanakan pekerjaan seperti itu adalah pemberian Allah (Kis 20:24; Kol 4:17; 1Tim 1:12; 1Pet 4:11); dalam  Rom 12:7 kesanggupan itu sudah digolongkan dalam kelompok karunia-karunia rohani yg beraneka ragam; dan dalam 1Tim 3:8 dab pelayanan diaken sudah menjadi jabatan yg diakui dalam jemaat. Tapi istilah itu masih dipakai dalam pengertian yg luas; Timotius harus menggenapi pelayanannya dengan melakukan penginjilan (2Tim 4:5); dan tujuan utama pelayanan ini ialah membangun tubuh Kristus (Ef 4:12). Dengan kata-kata Hort, Kristus meninggikan ‘tiap tahapan dan bentuk pelayanan menuju tingkat yg lebih tinggi… jadi pelayanan menjadi salah satu tujuan utama dari semua kegiatan Kristen’; dan istilah ini dikenakan kepada semua bentuk pelayanan di dalam gereja.

II. Pelayanan penggembalaan
          Kristus tidak hanya teladan pelayanan diaken, tapi juga Gembala yg baik (Yoh 10:11), juga Pemelihara jiwa orang (1Pet 2:25). Dalam pengertian tertentu, kedua jabatan ini berasal dari teladan Kristus sendiri, dan jabatan tua-tua (penatua) adalah pantulan dari jabatan yg ditetapkan Yesus dalam kerasulan (bnd 1Pet 5:1). Jadi dapat dikatakan bahwa tua-tua memerintah berdasarkan perintah yg diberikan oleh Rajanya ( Luk 22:29-30), sedang pekerjaan pendeta atau gembala dan pekerjaan samas (pelayan) dibentuk menurut jabatan nabi dan jabatan imam dari Kristus. Tapi akan menjadi salah, jika terlalu menekankan perbedaan-perbedaan itu karena istilah pendeta (pemelihara) dan tua-tua (penatua) jelas adalah sinonim, dan diaken meliputi banyak bentuk pelayanan. Tugas penggembalaan domba-domba adalah bagian terpenting dari tugas pelayan (Yoh 21:15-17;  Kis 20:28; 1Pet 5:2), dan sangat erat hubungannya dengan pemberitaan Firman Tuhan ( 1Kor 3:1-2) sebagai roti kehidupan (Yoh 6:35), atau air susu murni yg memberi pertumbuhan (1Pet 2:2). Perumpamaan dalam Luk 12:41-48 mengandung pengertian, bahwa pelayanan sejenis harus tetap ada dalam gereja sampai Kristus kembali.

III. Tugas-Tugas Pelayanan Sakramen
          PB tidak bicara banyak tentang tugas-tugas pelayanan sakramen; rasul Paulus menganggap pelayanan baptisan kudus adalah pekerjaan tambahan (1Kor 1:17), yg biasanya dia serahkan kepada pembantu-pembantunya; dan walaupun itu lumrah bagi seorang rasul, jika ia hadir, untuk memimpin pemotongan roti (Kis 20:7), maka perayaan Perjamuan Kudus biasanya dianggap kegiatan meliputi seluruh jemaat. Tapi bagaimanapun, dari mulanya dirasakan perlu ada seorang pemimpin; dan jika rasul, nabi atau penginjil tak hadir, tugas ini dilimpahkan kepada salah seorang tua-tua setempat.
SAKRAMEN

       Kata ‘sakramen’ (Latin sacramentum) dalam arti teknis teologis, bila digunakan untuk melukiskan upacara-upacara tertentu dari iman Kristen, termasuk ke dalam masa perkembangan doktrin pada kurun waktu yg jauh kemudian sesudah zaman PB. Kitab Vulgata di beberapa bagiannya menggunakan kata ini untuk menerjemahkan Yunani musterion (Ef 5:32; Kol 1:27; 1Tim 3:16; Wahy 1:20; 17:7), namun yg lebih biasa dipakai ialah musterium. Penggunaannya secara gerejawi pada waktu yg lebih dini, yakni sacramentum, dipakai dalam arti luas untuk sembarang upacara atau hal yg lebih sakral.

       Dalam kehidupan sehari-hari kata itu digunakan dalam dua cara: (1) sebagai ikrar atau jaminan yg diserahkan kepada ‘orang kepercayaan yg terjamin menjaga kerahasiaan’, oleh pihak-pihak yg terlibat dalam masalah tuntutan hukum dan diperuntukkan bagi tujuan suci; (2) sebagai sumpah tentara Romawi kepada kaisar, dan kemudian untuk sumpah apa saja. Gagasan-gagasan ini kemudian digabungkan untuk menghasilkan konsep upacara suci keagamaan yg merupakan janji atau tanda. Penerimaan upacara suci itu mencakup pengikraran sumpah kesetiaan, dan ini dalam perjalanan waktu mengarah ke pembatasan kata ‘sakramen’ kepada dua upacara lembaga ilahi yg utama, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Penggunaan yg lebih luas berlangsung terus berabad-abad lamanya. Hugo St. Victor (abad 12) dapat berbicara tentang 30 macam sakramen, tapi Petrus Lombardus pada zaman yg sama memperkirakan 7 saja. Perkiraan yg terakhir secara resmi diterima oleh gereja Roma.

       Definisi umum tentang sakramen yg diterima oleh gereja Reformasi dan Roma Katolik, ialah bahwa sakramen merupakan tanda lahiriah yg nampak, ditetapkan oleh Kristus, menyatakan dan menjanjikan suatu berkat rohani. Definisi tersebut banyak dipengaruhi oleh ajaran dan bahasa Agustinus, yg menulis tentang bentuk yg nampak yg mengandung keserupaan dengan hal yg tak nampak. Jika kepada ‘unsur’ ini, atau bentuk yg nampak itu, perkataan lembaga Kristus ditambahkan, suatu sakramen telah dibuat, sehingga sakramen dapat disebut sebagai ‘firman yg nampak’ (lih Augustine, Tracts on the Gospel of John. 80, Epis. 98, Con. Faustum 19. 16, Serm. 272)
       Apakah PB mengajarkan kewajiban upacara-upacara sakramental bagi semua orang Kristen? Keuntungan spiritual apakah yg terdapat dalam penerimaan mereka, dan bagaimana itu disampaikan?
       Kewajiban untuk terus melaksanakan upacara-upacara sakramental tergantung pada:
 (1) pelembagaannya oleh Kristus;
(2) perintah yg dinyatakan-Nya untuk terus melaksanakannya;
(3) penggunaannya yg hakiki sebagai lambang tindakan Allah yg integral dengan pernyataan Injil. Hanya ada dua upacara wajib bagi semua orang Kristen dalam cara ini. Tidak ada petunjuk alkitabiah untuk melayankan apa yg disebut upacara-upacara sakramental lainnya (yaitu Konfirmasi, Penahbisan, Pernikahan, Penitentia, Pemberian Minyak Suci Terakhir) kedudukan yg sama dengan Baptisan dan Perjamuan Kudus, yg sejak semula dikaitkan bersama pemberitaan Injil dan kehidupan gereja (Kis 2:41,42; bnd 1Kor 10:1-4). Kedua sakramen itu dikaitkan dengan sunat dan paskah, upacara-upacara wajib dalam PL (Kol 2:11;1Kor 5:7; 11:26).
       Kehidupan Kristen sejak semula dan seterusnya juga dikaitkan dengan peringatan-peringatan sakramental (Kis 2:38; 1Kor 11:26). Beberapa dari pelajaran yg terdalam tentang kesucian dan kesempurnaan adalah implisit dalam apa yg dikatakan Alkitab tentang kewajiban-kewajiban sakramental Kristen (Rom 6:1-3; / 1 Kor 12:13; /Ef 4:5). Acuan-acuan tentang sakramen mungkin mendasari banyak bagian Alkitab, walaupun tidak secara eksplisit disebut (mis Yoh 3:6; Ibr 10:22; Yoh 19:34). Amanat Agung Tuhan yg bangkit kepada para murid, untuk pergi ke segenap bangsa memberitakan Injil, secara khusus memerintahkan pelayanan baptisan dan jelas mengimplikasikan penyelenggaraan perjamuan kudus (Mat 28:19,20). Kristus berjanji akan menyertai pengikut-Nya hingga kesudahan zaman. Pekerjaan untuk apa para murid dipanggil-Nya, termasuk pelayanan sakramen, tidak akan digenapi sebelum waktu itu. Paulus juga tidak ragu-ragu bahwa perjamuan kudus harus diteruskan, sebagai pemberitaan akan kematian Kristus hingga Dia datang kembali (1Kor 11:26). Benar bahwa Matius dan Markus tidak mencatat perintah ‘lakukan ini untuk mengingat Aku’, tapi bukti dari apa yg dilakukan oleh gereja purba (Kis 2:42; 20:7; 1Kor 10:16; 11:26) cukup kuat.

       Dampak sakramen tergantung kepada pelembagaan dan amanat Kristus. Unsur-unsur yg digunakan itu pada dirinya tidaklah mempunyai kekuatan; penggunaannya yg disertai kesetiaan itulah yg menentukan. Karena melalui sakramen manusia dibawa pada persekutuan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Rom 6:3; 1Kor 10:16). Pengampunan (Kis 2:38), penyucian (Kis 22:16; bnd Ef 5:26), dan gairah spiritual (Kol 2:12) dihubungkan dengan baptisan. Partisipasi dalam tubuh dan darah Kristus terjadi melalui perjamuan kudus (1Kor 10:16; 11:27). Baptisan dan cawan dihubungkan dalam ajaran Tuhan Yesus ketika Ia berbicara tentang kematian-Nya, dan dalam pikiran gereja ketika menaati secara khidmat kewajiban-kewajiban itu (Mr 10:38,39; 1Kor 10:1-5).

       Sakramen merupakan upacara perjanjian: ‘Cawan ini adalah perjanjian yg baru’ (Luk 22:20; 1Kor 11:25). Kita dibaptiskan ‘ke dalam Nama’ (Mat 28:19). Perjanjian yg baru itu dimulai dengan korban kematian Kristus (bnd Kel 24:8; Yer 31:31,32). Berkatnya disampaikan Allah melalui firman dan janji-Nya di dalam Injil dan sakramen-Nya. Ada bukti yg jelas bahwa pada zaman para rasul banyak orang menerima berkat lewat penyelenggaraan sakramen yg disertai pemberitaan firman (Kis 2:38 dab). Adalah firman dan janji Injil yg menyertai pelayanan itu yg memberikan makna dan dampak kepada upacara. Mereka yg hanya menerima baptisan Yohanes, dibaptis lagi ‘dalam Nama Tuhan Yesus’ (Kis 19:1-7). Mungkin juga bahwa beberapa orang menerima sakramen tanpa memperoleh keuntungan spiritual ( Kis 8:12,21*; 1 Kor 11:27; 10:5-12). Dalam kasus Kornelius dan seisi rumahnya (Kis 10:44-48), kita mendapat contoh tentang orang-orang yg memperoleh karunia yg dimeteraikan dengan baptisan sebelum mereka menerima sakramen. Namun demikian mereka masih tetap menerima sakramen sebagai memberi keuntungan dan sebagai kewajiban.

       Dalam PB tidak terdapat kesan adanya pertentangan antara penerapan sakramen dan spiritualitas. Jika diterima dengan benar, maka sakramen itu memberikan berkat kepada orang percaya. Tapi berkat ini tidak terbatas kepada penerapan sakramen. Dan bila berkat disampaikan melalui sakramen, itu juga tidak berarti bahwa pemberian berkat itu bertentangan dengan penekanan Alkitab yg kuat akan iman dan kesalehan. Jika dilakukan sesuai prinsip-prinsip yg ditetapkan dalam Alkitab, sakramen itu secara terus-menerus mengingatkan kita kepada dasar agung dari penyelamatan kita, yaitu kematian dan kebangkitan Kristus. Dan mengingatkan kita akan kewajiban-kewajiban kita untuk berjalan sebaik-baiknya pada panggilan kita. *BAPTISAN; *PERJAMUAN KUDUS.

       KEPUSTAKAAN.
  • O. C Quick, The Christian Sacraments, 1932; G Bornkamm, TDNT 4, hlm 826 dst;
  • J Jeremias, The Eucharistic Words of Jesus, 1955;
  • W. F Flemington, The New Testament Doctrine of Baptism, 1957;
  • AN Stibbs, Sacrament, Sacrifice and Eucharist, 1961;
  • G. R Beasley Murray, Baptism in the New Testament, 1962;
  • J. I Packer (red.), Eucharistic Sacrifice, 1962; D Cairns, In Remembrance of Me, 1967.


IV. Karunia-Karunia Rohani
          Dalam bentuknya yg paling dini pelayanan Kristen itu bersifat karunia rohani. Artinya, merupakan pemberian Roh Kudus atau bersifat supra alami, dan pelayanan itu menyaksikan hadirnya Roh Kudus dalam jemaat. Maka terjadilah nubuat dan bahasa roh (glossolalia), tatkala rasul Paulus meletakkan tangannya kepada beberapa orang percaya yg baru dibaptis (Kis 19:6); dan kata-kata yg digunakan di sana menandakan bahwa kejadian itu, sampai batas tertentu, merupakan ulangan dari apa yg terjadi pada hari Pentakosta (Kis 2).

          Dalam Surat-surat rasul Paulus terdapat tiga daftar dari berbagai bentuk pelayanan yg bersifat karunia, dan perlu kita perhatikan bahwa dalam tiap daftar, tugas-tugas administratif selalu menyertai tugas-tugas yg lebih bersifat rohani (GEREJA, PERATURAN). Dalam Rom 12:6-8 terdapat bernubuat, melayani (diakonia), mengajar, menasihati, membagi-bagikan pemberian atau sedekah, kepemimpinan, dan ‘menunjukkan kemurahan’ (mengunjungi orang sakit dan orang miskin?). 1Kor 12:28 menyebut rasul, nabi, guru atau pengajar, bersama dengan orang-orang yg mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, menyembuhkan penyakit, melayani, memimpin dan berkata-kata dalam bahasa roh.

          TB Ef 4:11 mempunyai bentuk yg lebih resmi; rasul-rasul, nabi-nabi, penginjil-penginjil, gembala-gembala dan pengajar-pengajar, semuanya berusaha memperlengkapi orang-orang kudus dalam pelayanan Kristen, sehingga seluruh gereja makin dewasa dalam hubungan yg organis dengan Kepalanya, yaitu Yesus Kristus. Di sini yg ditekankan ialah pelayanan Firman, tapi buah pelayanan seperti itu ialah saling melayani dalam kasih. Karunia yg bermacam-macam yg disebut dalam ps-ps ini lebih merupakan cara melayani ketimbang jabatan-jabatan yg teratur dan yg sudah tetap; seseorang mungkin melakukan bermacam-macam pekerjaan, tapi kesanggupannya untuk melaksanakan sesuatu tergantung pada dorongan Roh Kudus. Sebenarnya semua orang Kristen dipanggil untuk melayani dengan bermacam-macam cara (Rom 15:27; Fili 2:17; Filem 1:13 ; 1Pet 2:16), dan untuk pekerjaan pelayanan itu mereka diperlengkapi oleh pelayan-pelayan Firman (Ef 4:11-12).

          Tidak hanya kelompok 12 yg termasuk rasul, tapi juga Paulus dan Barnabas (1Kor 9:5-6), Yakobus adik Tuhan Yesus (Gal 1:19), Andronikus dan Yunias (Rom 16:7). Kualifikasi utama seorang ‘rasul’ ialah bahwa dia menyaksikan sendiri Yesus Kristus dan pelayanan-Nya waktu hidup di bumi, khususnya melihat kebangkitan-Nya (Kis 1:21-22), dan kekuasaan sang rasul tergantung dari kenyataan, bahwa dia dengan cara tertentu ditetapkan oleh Kristus, baik waktu Dia masih di bumi ini (Mat 10:5; 28:19) termasuk sesudah Dia bangkit dari antara orang mati (Kis 1:24; 9:15). Rasul-rasul dan tua-tua mungkin berkumpul dalam sidang dewan untuk menetapkan kebijaksanaan umum bagi gereja (Kis 15:6 dab), dan seorang rasul dapat diutus sebagai utusan dari jemaat asli untuk mengawasi perkembangan baru di tempat lain (Kis 8:24 dab). Tapi tentang wujud (eksistensi) dewan rasul yg permanen dan berkedudukan di Yerusalem sama sekali tidak pernah melembaga justru tidak dicatat dalam sejarah, dan tugas besar seorang rasul ialah bertindak sebagai misionaris untuk memberitakan Injil, dan dalam mengemban misi itu pekerjaannya akan diteguhkan oleh Allah dengan tanda-tanda yg menunjukkan persetujuan-Nya (2Kor 12:12). Jadi jabatan rasul tidak terikat dalam batas-batas setempat, walau pembagian kerja mungkin terjadi, ump pembagian tugas Petrus dan Paulus (Gal 2:7-8).
          Kegiatan ‘penginjil’ juga seperti itu, ruang geraknya tidak terbatas, dan pekerjaannya agaknya sama dengan pekerjaan rasul, kecuali bila dia tidak mempunyai kualifikasi khusus untuk tugas rasuli yg lebih tinggi; Filipus, seorang dari kelompok tujuh (Kis 6), menjadi penginjil (Kis 21:8), dan Timotius juga disebut penginjil (2 Tim 4:5), walaupun dia tidak dimasukkan (2 Kor 1:1) ke dalam kelompok rasul.

          Sifat khas nubuat ialah karunia yg bisa terjadi, bisa tidak, tapi beberapa orang menerima karunia bernubuat begitu teratur, sehingga terbentuk khusus kelompok ‘nabi-nabi’. Kelompok seperti itu ada di Yerusalem (Kis 11:27), Antiokhia (Kis 13:1) dan Korintus (1 Kor 14:29). Mereka yg disebut namanya termasuk Yudas dan Silas (Kis 15:32) dan Agabus (Kis 21:19), bersama Hana (Luk 2:35) dan Izebel, perempuan yg berlakon sebagai nabiah (Wahy 2:20).

          Nubuat berfaedah bagi pembangunan, nasihat dan hiburan (1Kor 14:3), justru bisa disebut pemberita berdasarkan ilham. Seorang nabi bisa menentukan arah tertentu (Kis 13:1-2), atau memberitakan lebih dulu apa yg akan terjadi (Kis 11:28). Dan karena diucapkan dalam bahasa yg dikenal umum, beritanya lebih berfaedah daripada hanya bahasa roh, glossolalia (1Kor 14:23-25). Tapi karunia ini diancam oleh bahaya tertipu, dan walaupun nubuat itu harus dikendalikan hanya oleh orang yg menerimanya (1 Kor 14:22), isinya harus cocok dengan ajaran dasar Injil (1Yoh 4:1-3). Jika tidak, nabi bersangkutan adalah nabi palsu dan harus ditolak. Tentang munculnya nabi palsu demikian, wanti-wanti sudah diberi tahu lebih dulu oleh Kristus (Mat 7:15).

          ‘Gembala-gembala dan pengajar-pengajar’ (Ef 4:11) harus dianggap sama dengan tua-tua setempat, yg ditetapkan oleh rasul-rasul (Kis 14:23) atau pembantunya (Tit 1:5) untuk memenuhi kebutuhan jemaat setempat, dan tanpa pembedaan menyebutnya sebagai tua-tua atau penilik. ‘Wali-wali’ (1 Pet 2:14) agaknya adalah orang-orang yg mengurus soal-soal jemaat setempat, dan ‘teman sekerja’ (Rom 16:3,9) terlibat dalam pekerjaan pengasihan, terutama dalam mengunjungi orang sakit dan orang miskin. Mujizat-mujizat penyembuhan dan berbahasa roh merupakan ciri-ciri khas zaman para rasul, tapi kelihatannya terhenti kemudian, walau pada berbagai masa hidup kembali sejak masa kebangunan rohani Montanus dan seterusnya.

          V. Permulaan Jabatan di Gereja
          Telah sering terjadi perdebatan mengenai hubungan setepatnya antara misi asli dan yg tak terbatas dari para rasul dan penginjil, di satu pihak, dengan pelayanan permanen dan setempat dari gembala, pengajar, wali dan teman sekerja, di pihak lain. Golongan terakhir agaknya selalu ditetapkan oleh yg pertama; tapi jika  Kis 6 diterima sebagai keterangan umum dari peneguhan, maka pemilihan umum memainkan peranan dalam menentukan calon. Rom 12 dan 1 Kor 12 bisa mengandung arti, bahwa gereja sebagai persekutuan yg dipenuhi oleh Roh Kudus, mencetak petugas-petugas pelayanannya sendiri; tapi  Ef 4:11 berkata bahwa pelayanan itu diberikan oleh Kristus kepada gereja. Hal itu bisa diartikan bahwa karena Kristus adalah sumber dari semua kekuasaan dan teladan dari segala jenis pelayanan, maka gereja seutuhnya ialah penerima tugas ilahi dari Kristus.
       KEPUSTAKAAN.
  • J. B Lightfoot, ‘Dissertation on the Christian Ministry’ dalam Philippians, 1868;
  • A von Harnack, The Constitution and Law of the Church in the First Two Centuries, ET, 1910;
  • H. B Swete, Early History of the Church and Ministry, 1918;
  • B. H Streeter, The Primitive Church, 1929;
  • K. E Kirk (ed), The Apostolic Ministry, 1946;
  • D. T Jenkins, The Gift of Ministry, 1947;
  • T. W Manson, The Church’s Ministry, 1948;
  • K. M Carey (ed), The Historic Episcopate, 1954;
  • J. K. S Reid, The Biblical Doctrine of the Ministry, 1955;
  • T. F Torrance, Royal Priesthood, 1955,
  • E Schweizer, Church Order in the NT, ET, 1961;
  • L Morris, Ministers of God, 1964;
  • M Green, Called to Serve, 1964;
  • J. R. W Stott, One People, 1969.

No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...