Wednesday, October 3, 2018

MURKA


MURKA
       Sikap permanen Allah yg kudus dan benar bila berkonfrontasi dengan dosa dan kejahatan disebut ‘murka’Nya. Dan tidaklah cukup memandang istilah itu hanya sebagai ‘penggambaran tentang proses sebab akibat yg tak terelakkan dalam alam moral’ atau sebagai cara lain untuk berbicara tentang akibat-akibat dosa. Murka lebih merupakan kualitas pribadi, yg tanpa itu Allah tidak lagi sepenuhnya adil dan kasih-Nya merosot menjadi melulu perasaan halus.
Tapi, meskipun murka Allah sama seperti kasih-Nya harus digambarkan dengan bahasa manusia, murka-Nya tidak sewenang-wenang, tidak tiba-tiba atau sembarang waktu, seperti biasanya murka manusia. Murka Allah adalah permanen dan merupakan suatu unsur dalam hakikat-Nya juga dalam kasih-Nya. Hal itu ditunjukkan dengan baik dalam De ira Dei, karya Lactantius.

       Ketidakadilan dan kefasikan manusia, terhadap perbuatan mana manusia tidak dapat berdalih, harus diikuti pernyataan murka Allah yg menimpa hidup manusia, baik hidup perseorangan maupun bangsa-bangsa (lih Rom 1:18-32); dan PL mengandung banyak contoh mengenai hal itu, seperti pembinasaan Sodom dan Gomora dan kehancuran Niniwe (lih Ul 29:23; Nah 1:2-6). Tapi sampai ‘hari murka’ terakhir, yg diantisipasi sepanjang Alkitab dan dIlukiskan dengan sangat hidup dalam Why, murka Allah selalu dilembutkan dengan belas kasihan, teristimewa dalam hubungan-Nya dengan umat pilihan-Nya (lih ump Hos 11:8 dab). Tapi, bagi pendosa ‘memanfaatkan’ belas kasihan itu berarti menimbun ‘murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yg adil akan dinyatakan’ (Rom 2:5). Paulus yakin bahwa salah satu penyebab utama mengapa Israel gagal menahan proses kemerosotan moral terletak dalam tanggapan mereka yg salah terhadap kesabaran Allah, yg begitu sering menahan dini tidak menghukum mereka sejauh mereka layak menerimanya. Mereka memandang rendah ‘kekayaan kemurahan-Nya dan kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya’, dan mereka gagal melihat bahwa itu dimaksudkan untuk membawa mereka kepada pertobatan (Rom 2:4).

       Dalam keadaan tak terselamatkan manusia memberontak menentang Allah, demikian keras hail sehingga pasti menjadi sasaran murka-Nya ( Ef 2:3), dan menjadi ‘benda-benda kemurkaan yg disiapkan untuk kebinasaan’ ( Rom 9:22). Hukum Musa pun tidak kuasa menyelamatkan mereka dari kedudukan itu, sebab, seperti dinyatakan oleh rasul dalam  Rom 4:15, ‘hukum Taurat membangkitkan murka’. karena hukum menuntut ketaatan yg sempurna kepada perintah hukum itu, maka hukuman-hukuman yg diganjarkan atas ketidaktaatan membuat pendosa lebih di bawah murka Allah. Memang, hanya oleh keselamatan yg rahmani bagi pendosa yg ditetapkan dalam Injil, sehingga pendosa dapat tidak lagi menjadi sasaran murka dan menjadi penerima anugerah Allah. Kasih Allah terhadap pendosa yg dinyatakan dalam hidup dan kematian Yesus merupakan tema utama PB dan kasih itu dinyatakan dalam hal — demi manusia dan untuk menggantikannya — Yesus mengalami kesengsaraan, penderitaan, hukuman dan kematian yg adalah nasib pendosa yg berada di bawah murka Allah. karena itu, Yesus dapat dicandra sebagai ‘pembebas dari murka yg akan datang’ (lih 1Tes 1:10); dan Paulus dapat menulis, ‘Kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita akan diselamatkan dari murka melalui Dia’ (Rom 5:9).
Pada lain pihak, murka Allah tetap atas semua orang yg mencoba merintangi maksud Allah untuk menyelamatkan, tidak tunduk kepada Anak Allah, yg hanya melalui Dia saja pembenaran demikian dimungkinkan.

       KEPUSTAKAAN.
  • R. V. G Tasker, The Biblical Doctrine of the Wrath of God, 1951;
  • G. H. C Macgregor, ‘The Concept of the Wrath of God in the New Testament’, NTS 7, 1960-1961, hlm 101 dst;
  • H-C Hahn, NIDNTT l, hlm 105-113.

No comments:

Post a Comment

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...