MURKA
Sikap permanen Allah yg kudus dan benar
bila berkonfrontasi dengan dosa dan kejahatan disebut ‘murka’Nya. Dan tidaklah cukup memandang istilah itu hanya sebagai
‘penggambaran tentang proses sebab akibat yg tak terelakkan dalam alam moral’ atau
sebagai cara lain untuk berbicara tentang akibat-akibat dosa. Murka lebih
merupakan kualitas pribadi, yg tanpa itu Allah tidak lagi sepenuhnya adil dan
kasih-Nya merosot menjadi melulu perasaan halus.
Tapi,
meskipun murka Allah sama seperti kasih-Nya harus digambarkan dengan bahasa
manusia, murka-Nya tidak sewenang-wenang, tidak tiba-tiba atau sembarang waktu,
seperti biasanya murka manusia. Murka
Allah adalah permanen dan merupakan suatu unsur dalam hakikat-Nya juga dalam
kasih-Nya. Hal itu ditunjukkan dengan baik dalam De ira Dei, karya
Lactantius.
Ketidakadilan dan kefasikan manusia,
terhadap perbuatan mana manusia tidak dapat berdalih, harus diikuti pernyataan
murka Allah yg menimpa hidup manusia, baik hidup perseorangan maupun
bangsa-bangsa (lih Rom 1:18-32); dan PL mengandung banyak contoh mengenai hal
itu, seperti pembinasaan Sodom dan
Gomora dan kehancuran Niniwe (lih Ul 29:23; Nah 1:2-6). Tapi sampai ‘hari
murka’ terakhir, yg diantisipasi sepanjang Alkitab dan dIlukiskan dengan sangat
hidup dalam Why, murka Allah selalu dilembutkan dengan belas kasihan,
teristimewa dalam hubungan-Nya dengan umat pilihan-Nya (lih ump Hos 11:8 dab).
Tapi, bagi pendosa ‘memanfaatkan’
belas
kasihan itu berarti menimbun ‘murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana
murka dan hukuman Allah yg adil akan dinyatakan’ (Rom 2:5).
Paulus yakin bahwa salah satu penyebab utama mengapa Israel gagal menahan
proses kemerosotan moral terletak dalam tanggapan mereka yg salah terhadap
kesabaran Allah, yg begitu sering menahan dini tidak menghukum mereka sejauh
mereka layak menerimanya. Mereka memandang rendah ‘kekayaan kemurahan-Nya dan
kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya’, dan mereka gagal melihat bahwa itu
dimaksudkan untuk membawa mereka kepada pertobatan (Rom 2:4).
Dalam keadaan tak terselamatkan manusia
memberontak menentang Allah, demikian keras hail sehingga pasti menjadi sasaran
murka-Nya ( Ef 2:3), dan menjadi ‘benda-benda kemurkaan yg disiapkan untuk
kebinasaan’ ( Rom 9:22). Hukum Musa pun tidak kuasa menyelamatkan mereka dari
kedudukan itu, sebab, seperti dinyatakan oleh rasul dalam Rom 4:15, ‘hukum Taurat membangkitkan murka’.
karena hukum menuntut ketaatan yg sempurna kepada perintah hukum itu, maka
hukuman-hukuman yg diganjarkan atas ketidaktaatan membuat pendosa lebih di
bawah murka Allah. Memang, hanya oleh keselamatan yg rahmani bagi pendosa yg
ditetapkan dalam Injil, sehingga pendosa dapat tidak lagi menjadi sasaran murka
dan menjadi penerima anugerah Allah. Kasih Allah terhadap pendosa yg dinyatakan
dalam hidup dan kematian Yesus merupakan tema utama PB dan kasih itu dinyatakan
dalam hal — demi manusia dan untuk menggantikannya — Yesus mengalami
kesengsaraan, penderitaan, hukuman dan kematian yg adalah nasib pendosa yg
berada di bawah murka Allah. karena itu, Yesus dapat dicandra sebagai ‘pembebas
dari murka yg akan datang’ (lih 1Tes 1:10); dan Paulus dapat menulis, ‘Kita
sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita akan diselamatkan dari murka
melalui Dia’ (Rom 5:9).
Pada
lain pihak, murka Allah tetap atas semua orang yg mencoba merintangi maksud
Allah untuk menyelamatkan, tidak tunduk kepada Anak Allah, yg hanya melalui Dia
saja pembenaran demikian dimungkinkan.
KEPUSTAKAAN.
- R. V. G Tasker, The Biblical Doctrine of the Wrath of God, 1951;
- G. H. C Macgregor, ‘The Concept of the Wrath of God in the New Testament’, NTS 7, 1960-1961, hlm 101 dst;
- H-C Hahn, NIDNTT l, hlm 105-113.
No comments:
Post a Comment