Friday, October 26, 2018

MANUSIA


MANUSIA

       Cerita Kitab Kej tentang penciptaan memberikan kepada manusia tempat mulia dalam alam semesta. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan penutup dari segenap karya ciptaan Allah, tapi dalam penciptaan manusia itu sendiri terkandung penggenapan dan makna dari seluruh pekerjaan Allah pada kelima hari lainnya. Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan menaklukkannya, dan manusia berkuasa atas semua makhluk ( Kej 1:27-2:3). Kesaksian yg sama tentang kekuasaan manusia dan tentang tempatnya yg sentral di alam ciptaan ini, diberikan lagi di tempat-tempat lain (Am 4:13;  Yes 42:5-6; Mazm 8:4-8; 104:14-15), dan secara mengagumkan diberikan dalam inkarnasi (bnd  Ibr 2).

          a. Manusia dalam alam

          Dalam seluruh Alkitab ditekankan bahwa manusia adalah bagian dari alam ini. Manusia ialah debu dan diciptakan dari debu tanah (Kej 2:7); secara biologis dan badani ia mempunyai banyak kesamaan dengan binatang. Semuanya itu nampak jelas dalam banyak segi hidup manusia (Kej 18:27; Ayub 10:8-9; Mazm 103:14; Pengkh 3:19,20; 12:5-7). Manusia sebagai ‘daging’ adalah lemah dan bergantung pada belas kasihan Allah, seperti semua makhluk lainnya (Yes 2:22; 40:6; Mazm 103:15; 104:27-30). Bahkan dalam memanfaatkan alam untuk melayani kebutuhannya, manusia harus melayani alam ini, harus menjaganya dan mengolahnya untuk mencapai tujuannya (Kej 2:15). Manusia tunduk kepada hukum-hukum yg sama, seperti kaidah alam, dan ia dapat terpesona di tengah-tengah keagungan dunia yg menjadi tempat hidupnya (Ayub 38; 39; 40; 41; 42).

          Alam ini bukanlah melulu suatu kerangka atau latar belakang yg netral bagi hidup manusia. Antara alam dan manusia ada ikatan-ikatan yg sangat mendalam dan rahasia. Dunia ini turut ditimpa kutuk kebinasaan karena manusia jatuh ke dalam dosa (Kej 3:17-18), dan sekarang menanggung sakit dan kematian, sambil menantikan pemerdekaan manusia secara final, sebelum pemulihannya sendiri dapat diharapkan (Rom 8:19-23). Dalam Alkitab alam digambarkan bersukaria berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yg menuju kepada keselamatan manusia (Mazm 96:10-13; Yes 35; 55:12-13), sementara alam ini juga menikmati pemulihannya (Yes 11:6-9; 65:25). Di pihak manusia ada simpati naluriah terhadap alam (Kej 2:19) dan manusia harus menjunjung tinggi hukum-hukum alam (Im 19:19; Ul 22:9,10; Ayub 31:38-40), harus mengakui kenyataan ketergantungannya pada alam, dan harus membanting tulang untuk mendapat makanan yg dibutuhkannya dari alam sekitarnya supaya ia dapat hidup, juga hal-hal yg memperkaya kebudayaannya (Kej 3:17; 9:1-7).

          b. Tujuan manusia

          Tapi manusia tidak bisa mendapat makna sebenarnya dari hidup dalam alam yg dilukiskan di atas. Binatang-binatang tidak dapat menjadi penolong yg layak baginya. Manusia mempunyai sejarah dan masa depan yg harus digenapi, unik di tengah-tengah makhluk dan ciptaan lainnya. Dia diciptakan ‘menurut gambar Allah’ (Kej 1:27). Ada ahli menafsirkan bahwa gambar Allah ini terungkap dalam kekuasaan manusia atas dunia ini, atau dalam daya pikirnya, atau bahkan dalam sifat-sifat badaninya. Tapi agaknya lebih baik tidak mencari hal itu dalam hubungan manusia dengan dunia ini, ataupun dalam suatu cap yg statis pada dini manusia, tapi dalam tanggung jawabnya terhadap Khalik-nya.

          Laporan Kitab Kej tentang penciptaan mencatat bahwa waktu Allah menciptakan manusia, Ia mengambil sikap yg menunjukkan perhatian yg sangat pribadi dan mendalam terhadap manusia itu (Kej 1:26; bnd Kej 1:3,6, dll). Dan cara pendekatan-Nya ialah melibatkan diriNya dalam hubungan yg lebih erat dengan manusia ciptaan-Nya itu (Kej 2:7) dibandingkan dengan semua ciptaan lainnya. Allah mendekati manusia dan menyapanya ‘engkau’ (Kej 3:9), dan manusia dimampukan menanggapi ucapan Allah yg penuh kasih itu dengan kasih pribadi dan kepercayaan. Hanya dalam jawaban demikianlah manusia bisa menjadi ‘apa sebenarnya dia’. Firman Allah yg olehnya manusia hidup (bnd Mat 4:4), menempatkan manusia dalam suatu hubungan yg meninggikan dia di atas semua ciptaan lain di sekelilingnya, dan mengaruniakan kepadanya martabat sebagai anak Allah, yg diciptakan menurut citra Allah dan memantulkan kemuliaan Allah. Manusia memiliki martabat ini bukan sebagai perseorangan terisolir di hadapan Allah, tapi hanya jika ia berada dalam hubungan yg bertanggung jawab dan penuh kasih terhadap sesamanya manusia. Hanya bila ia berada di tengah-tengah lingkungan keluarganya dan dalam hubungan sosialnya, ia dapat betul-betul memantulkan citra Allah (Kej 1:27-28; 2:18).

          c. Struktur manusia

          Ada beberapa kata yg dipakai untuk menerangkan hubungan manusia dengan Allah dan alam sekitarnya, juga tentang struktur dirinya sendiri. Kata-kata itu ialah: roh (Ibrani ruakh, Yunani pneuma), jiwa (Ibrani nefesy, Yunani psuche), badan (hanya dlm Pu Yunani soma), daging (Ibrani basar, Yunani sari). Kata-kata ini dipakai bertalian dengan aneka ragamnya kegiatan manusia atau kepribadiannya, masing-masing dengan tekanannya yg khas; tapi kata-kata itu tidak boleh diartikan mengacu pada bagian-bagian yg terpisah-pisah, atau bagian-bagian yg dapat dipisah-pisahkan, seolah-olah yg satu dapat ditambahkan kepada yg lain untuk menciptakan seorang manusia.

          Kata ‘jiwa’ boleh jadi menekankan unsur perseorangan dan kuasa hidup manusia itu, dengan penekanan pada hidup batinnya, perasaannya dan kesadaran dirinya. Kata ‘badan’ dipakai untuk menekankan kaftan sejarah dan lahiriah yg mempengaruhi hidupnya. Tapi jiwa ialah jiwa, yg memang harus disatukan dengan badannya, dan demikian sebaliknya. Manusia juga mempunyai hubungan dengan Roh Allah sehingga dia sendiri mempunyai roh, tapi sekalipun demikian manusia tidak bisa disebut suatu roh, dan roh juga tidak dapat dianggap sebagai unsur ketiga dari dini manusia. Manusia sebagai ‘daging’ ialah manusia dalam hubungannya dengan dunia alam dan dengan umat manusia sebagai keseluruhan, tidak hanya dalam kelemahannya tapi juga dalam kedosaannya dan pemberontakannya terhadap Allah.

          Kata-kata lain menggambarkan kedudukan dari segi-segi khusus atau fungsi tertentu dari manusia. Dalam PL dorongan emosi dan perasaan dianggap bersumber — dalam arti sebenarnya maupun kiasan — dari organ-organ badan seperti jantung (lev), hati (kaved), buah pinggang (kelayot), dan usus perut (me’im). Begitu juga darah dianggap sebagai pusat kehidupan atau nefesy. Dan khususnya jantung (lev) dianggap sebagai pusat sejumlah besar kegiatan jiwa manusia, seperti kehendak, budi dan perasaan. Dan kata jantung cenderung mengartikan jiwa, atau manusia ditinjau dari segi batin dan yg tersembunyi. Begitu juga dalam PB kata Yunani kardia (= jantung atau lev). Ada dua lagi kata yg dipakai dalam PB, yaitu nous, ‘pikiran, hati’, dan syneidesis, ‘suara hati, hati nurani’. PB juga menjelaskan perbedaan manusia ‘batiniah’ dan manusia ‘lahiriah’, tapi kedua segi ini tidak dapat dipisahkan dari manusia yg satu itu. Dan zaman baru bukan hanya mencakup ‘jiwa yg tak dapat binasa’, tapi juga ‘kebangkitan daging’, yg berarti keselamatan dan pembaharuan menyeluruh sang manusia dalam kepenuhan seluruh dirinya.

          d. Dosa manusia

          Kejatuhan manusia dalam dosa (Kej 3) mencakup penolakan manusia menanggapi firman Allah, dan menolak memasuki persekutuan dengan Allah, pada persekutuan mana ia dapat menggenapi tujuan ketika ia diciptakan. Manusia berusaha mencari dalam dirinya sendiri pembenaran akan keberadaannya (Rom 10:3). Manusia tidak berusaha untuk hidup dalam persekutuan yg benar dengan Allah dan dengan sesamanya manusia, di mana ia dapat memantulkan citra dan kemuliaan Allah. Tapi manusia berusaha mencari makna hidupnya melulu dalam hubungannya dengan dunia ciptaan ini dalam arti alam sekitarnya (Rom 1:25). Akibatnya ialah hidupnya ditandai dengan perbudakan (Ibr 2:14-15), permusuhan dengan roh-roh jahat (Ef 6:12), kelemahan dan kegagalan (Yes 40:6; Ayub 14:1), dan ia demikian busuk dan jahat dalam pikiran dan hati (Kej 8:21; Ayub 14:4; Mazm 51:5; Mat 15:19,20; 12:39) sehingga ia memutarbalikkan kebenaran Allah menjadi dusta (Rom 1:25).

          e. Manusia menurut gambar Allah

          Kendati manusia telah jatuh dalam dosa, manusia menurut janji Kristus masih harus dipandang sebagai citra Allah (Kej 5:1 dab; Kej 9:1 dab; Mazm 8; 1Kor 11:7; Yak 3:9), bukan berdasarkan apa dia dalam dirinya sendiri, tapi berdasarkan apa makna Kristus bagi dirinya, dan berdasarkan apa makna dia dalam Kristus. Sekarang dalam Kristus-lah dilihat makna yg sebenarnya dari perjanjian yg hendak dibuat Allah dengan manusia dalam Firman, dan itulah tujuan sehingga manusia diciptakan oleh Allah untuk mencapainya (bnd Kej 1:27-30; 9:8-17; Mazm 8; Ef 1:22; Ibr 2:6 dab), sebab ketidaksetiaan manusia tidak dapat membatalkan kesetiaan Allah (Rom 3:3). Maka di hadapan Allah, manusia, dari segi hidup perseorangan (Mat 18:12) maupun dari segi hidup bersama (Mat 9:36; 23:37), dipandang adalah jauh lebih bernilai dari seluruh alam (Mat 10:31; 12:12; Mr 8:36,37). Justru menemukan manusia yg hilang adalah menghapuskan segala penderitaan mencarinya, dan menggenapi tuntas pengorbanan Kristus (Luk 15).

          Yesus Kristus-lah yg benar citra Allah (Kol 1:15; 2Kor 4:4), justru Dia-lah manusia yg sebenarnya (Yoh 19:5). Dia serentak adalah perseorangan yg unik dan mewakili segenap masyarakat manusia, dan karya penyelamatan-Nya beserta kemenangan-Nya memberikan kebebasan dan kehidupan bagi seluruh umat manusia (Rom 5:12-21). Kristus menggenapi perjanjian, yg di dalamnya Allah memberikan kepada manusia tujuan hidupnya yg sesungguhnya. Di dalam Kristus, oleh iman, manusia mendapati dirinya sedang diubah menjadi serupa dengan gambar Allah (2Kor 3:18) dan boleh teguh mengharap akan penuh segambar dengan Dia (Rom 8:29) kelak pada waktu pernyataan terakhir kemuliaan-Nya (1Yoh 3:2). Sementara dalam iman mengenakan gambar Allah, maka manusia harus ‘menanggalkan manusia lama’ (Ef 4:24; Kol 3:10). Hal ini nampaknya mendorong kita untuk menjauhkan pemikiran yg mengatakan, bahwa gambar Allah harus ditafsirkan sebagai sudah melekat dan menyatu dalam dini manusia alami, walaupun memang manusia alami itu harus dipandang sebagai sudah diciptakan menurut gambar Allah (bnd  2Kor 5:16-17).

          Dalam perkembangan dogma tentang manusia, gereja terpengaruh oleh pemikiran Yunani yg penuh pertentangan dualistik antara zat dan roh. Yg diberi penekanan ialah jiwa yg dianggap sebagai ‘bunga api ilahi’. Dan ada kecenderungan untuk memandang manusia sebagai makhluk perseorangan yg mandiri; dan sifat-sifat yg sebenarnya dari makhluk ini dapat dimengerti dengan menyelidiki secara terpisah setup unsur yg membangun ciptaan mi. Beberapa di antara Bapak gereja menekankan rasionalitas, kebebasan dan immortalitas sebagai unsur utama dalam gambar Allah yg dimiliki manusia, walaupun ada orang lain yg melihat gambar Allah itu pada segi jasadnya juga. Ireneus memandang gambar Allah sebagai tujuan yg untuknya manusia diciptakan. Agustinus menekankan kesamaan pada Tritunggal dengan struktur rangkap tiga yg terdapat pada manusia, yaitu ingatan, akal budi dan kehendak.

          Pembedaan yg agak berlebihan diusulkan ada pada anti kedua kata ‘gambar’ dan ‘rupa’ (tselem dan demut) Allah. Dikatakan bahwa pada kedua kata itu manusia diciptakan (Kej 1:26). Hal ini menimbulkan ajaran skolastik, bahwa ‘rupa’ (Latin similitude) Allah ialah karunia supra alami yg diberikan Allah kepada manusia sewaktu manusia itu diciptakan. Maksudnya ialah kebenaran asli (justitia originalis) dan penentuan diri sendiri yg sempurna di hadapan Allah. Rupa yg demikian dapat hilang, dan memang sudah hilang, waktu manusia jatuh dalam dosa. Pada pihak lain ‘gambar’ (imago) terdiri dari apa yg telah tertanam pada manusia menurut kodratnya, yaitu kehendak bebas, akal budi dan kekuasaan atas dunia binatang, yg tak mungkin hilang biarpun manusia jatuh dalam dosa. Ini berarti bahwa kejatuhan manusia dalam dosa merusak sesuatu yg pada aslinya adalah supra alami dalam dini manusia, tapi membiarkan wataknya dan gambar Allah di dalamnya terluka, dan membiarkan kehendaknya tetap bebas.

          Pada zaman Reformasi perbedaan imago dari similitudo disangkal oleh Luther. Kejatuhan dalam dosa merasuki dan merusak imago Allah sampai ke akar-akarnya, merusak kehendak bebas manusia (dlm arti arbitrium, mengambil keputusan yg benar), tapi tidak dalam arti voluntas (sanggup memilih), dan merusak segi-segi terpenting dalam diri manusia; yg tersisa hanya sedikit sekali dari gambar aslinya yakni gambar Allah — dan hubungannya dengan Allah. Calvin juga menekankan fakta, bahwa makna yg sebenarnya dari penciptaan manusia harus dicari dalam apa yg dikaruniakan kepadanya dalam Kristus, dan bahwa manusia akan menjadi gambar Allah jika dia memantulkan kemuliaan Allah kepada Allah dengan gelora terima kasih dan iman.

          Di kemudian hari dogmatika Reformasi membedakan lagi pengertian imago dari similitudo (gambar dari rupa), tatkala ahli-ahli teologi berbicara tentang gambar Allah yg hakiki, yg tak mungkin hilang, dan tentang bakat-bakat nyata tapi alami (termasuk kebenaran asli), yg bisa saja raib tanpa hilangnya kemanusiaan itu sendiri. Pada zaman modern ini Brunner berusaha memahami konsep dari ‘bentuk’ imago itu sebagai struktur kini dari wujud dini manusia, berlandaskan hukum. Hal ini tidak sirna kendati manusia jatuh dalam dosa, dan merupakan titik temu bagi Injil. Ini merupakan salah satu segi dari kodrat manusia yg dipersatukan secara teologis, yg masih menunjukkan tanda-tanda gambar Allah walaupun manusia sudah dirusak dosa. Tapi ‘secara praktis’ bagi Brunner gambar Allah (imago) sudah hilang sama sekali. R Niebuhr kembali ke pembedaan skolastik, di satu pihak, kodrat hakiki manusia tak dapat dirusak, dan di pihak lain kebenaran asli, kebajikan dan kesempurnaannya akan menghadirkan pengungkapan biasa dari kodrat itu.

          Karl Barth, dalam merumuskan ajarannya mengenai manusia, memilih jalan yg berbeda dari jalan yg ditempuh tradisi gereja. Kita tidak dapat mengenai manusia yg sesungguhnya, sampai kita mengenai dia dalam dan melalui Kristus. Maka untuk dapat mengerti apa sebenarnya manusia itu, hanyalah melalui apa yg kita kenal tentang Yesus Kristus dalam Injil. Tidak boleh menganggap dosa lebih unggul daripada kasih karunia. Karena itu pandangan yg mengatakan bahwa manusia bukan lagi manusia seperti yg diciptakan Allah, harus ditolak. Dosa menciptakan keadaan-keadaan, yg atasnya Allah bertindak. Tapi dosa tidak mengubah struktur diri manusia demikian jauh; memandang Yesus Kristus dalam hubungan-Nya dengan manusia dan masyarakat manusia, masih terlihat dalam kehidupan manusia hubungan-hubungan yg serupa, yg menunjukkan bentuk dasar dari kemanusiaan, yg selaras dengan ketentuan Allah mengenai manusia. Sekalipun manusia menurut kodratnya bukanlah ‘rekan seperjanjian’ Allah, tapi dalam daya dan semangat pengharapan yg kita miliki di dalam Kristus, keberadaan manusia adalah keberadaan yg sesuai dengan keberadaan Allah sendiri, dan dalam pengertian ini (manusia ada) menurut gambar Allah.

          Barth melihat makna khusus dalam kenyataan, bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah, dan menekankan hubungan saling menolong antara sesama manusia sebagai termasuk hakikat dari kodrat manusia. Tapi hanya dalam Yesus Kristus, yaitu Anak yg sudah menjadi manusia, dan melalui dipilihnya manusia dalam Kristus, manusia dapat mengenai Allah dan dapat dihubungkan dengan Allah dalam gambaran Allah ini.

       KEPUSTAKAAN.
  • H Wheeler Robinson, The Christian Doctrine of Man, 1926;
  • Weber, Dogmatck, 1, 1955, hlm 582-640;
  • E Brunner, Man in Revolt, E. T, 1939;
  • K Berth, Church Dogmatics, E. T, III/1, hlm 176-211, 235-249, dan III/2,
  • Christ and Adam, E. T, 1956;
  • David Cairns, The Image of God in Man, 1953;
  • R Niebuhr, The Nature and Destiny of Man, 1941;
  • T. F Torrance, Calvin’s Doctrine of Man, 1947;
  • Gustaf Wingren, Man and the Incarnation, 1959;
  • Gunther Dehn, Man and Revelation, 1936, hlm 9-37;
  • H Heppe, Reformed Dogmatics, E. T, 1959, hlm 220-250;
  • C lodge, Systematic Theology, 2, 1883, hlm 3-116;
  • W Eichrodt, Man in the Old Testament, E. T, 1951;
  • George A. F Knight, A Christian Technology of the Old Testament, 1959, hlm 2539, 119-130;
  • Charles West, Communism and the Theologians, 1957;
  • W. A Whitehouse, ‘The Christian View of Man’, SJT, 2, 1949, hlm 57-82;
  • C. H Dodd, P. I Bratsiotis, R Bultmann and H Clavier, Man in God’s Design, 1952;
  • R. P Shedd, Man in Community, 1958;
  • W. G Kummel, Man in the NT, 1963;
  • K Rahner, Man in the Church (= Theological Investigations 2), 1963;
  • Theology, Anthropology, Christology (= Theological Investigations 13), 1975;
  • R Scroggs, The Last Adam; A Study in Pauline Anthropology, 1966;
  • W Pannenburg, What is Man? 1970;
  • T. M Kitwood, What is Human? 1970;
  • J Moltmann, Man, 1971;
  • R Jewett, Paul’s Use of Anthropological Terms, 1971;
  • P. K Jewett, Man as Male and Female, 1975;
  • H Vorlander, C Brown, J. S Wright dlm NIDNTT 2, hlm 562-572.

Tuesday, October 23, 2018

PELAYANAN Berpusat Pada Kristus


PELAYANAN
Berpusat Pada Kristus

       Untuk mengungkapkan ide profesi pelayan atau pelayanan imam, biasanya PL menggunakan kata kerja syarat dan turunannya (LXX leitourgein), dan kata ‘avad (latreuein) lebih menunjuk kepada ibadah keagamaan seluruh umat atau perseorangan. Dalam PB istilah khas ialah diakonia, yg terdapat hanya dalam Est di PL, tapi di sana tidak dipakai dalam fungsi keimaman apa pun; dan perubahan dalam bahasa mengandung perubahan juga dalam ajaran, karena pelayanan dalam pengertian PB tidaklah hak khusus golongan imam. Leitourgia dikhususkan untuk menerangkan pekerjaan keimaman ibadah Yahudi (Luk 1:23; Ibr 9:21), dan digunakan juga untuk pelayanan Kristus yg jauh lebih agung (Ibr 8:6); lalu kata itu dapat juga dikenakan, dalam arti kiasan, kepada pelayanan rohani oleh nabi dan pemberita Injil (Kis 13:2; Rom 15:16). Tapi pada umumnya tetap benar, bahwa PB memakai istilah keimaman hanya sehubungan dengan kelompok orang percaya sebagai satu tubuh terpadu seutuhnya (Fili 2:17; 1Pet 2:9).

I. Kristus Sebagai Teladan
          Teladan pelayanan Kristen disajikan dalam hidup Kristus, yg datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Mat 20:28; Mr 10:45); kata kerja yg dipakai dalam ay-ay ini ialah diakonein, yg melukiskan pelayanan di meja makan, dan mengingatkan kembali peristiwa tatkala Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya (Yoh 13:4 dab). Sangat penting bahwa dalam peneguhan jabatan yg pertama sekali dicatat dalam gereja Kristen, ialah tujuan jabatan itu yakni ‘melayani meja’ (Kis 6:2); dan kata yg sama digunakan dalam ps yg sama (ay Kis 6:4) untuk menerangkan pelayanan Firman yg didahulukan oleh ke-12 rasul daripada pelayanan di meja. Pelayan Kristus, mengikuti teladan Guru-nya, memberikan pelayanan yg timbul dari kerendahan hati tapi penuh kasih terhadap kebutuhan manusia pada umumnya, dalam roh yg sama seperti halnya malaikat-malaikat (Mat 4:11; Mr 1:13) dan kaum perempuan (Mat 27:55; Luk 8:3) melayani Tuhan Yesus waktu di bumi. Pelayanan seperti itu dianggap dilakukan terhadap Kristus dalam diri orang-orang yg berkekurangan (Mat 25:44); pelayanan demikian paling sering diberikan kepada orang-orang kudus (Rom 15:25; 1Kor 16:15; 2Kor 8:4; 9:1; Ibr 6:10); tapi pekerjaan melayani adalah pelayanan timbal-balik dalam persekutuan tubuh Kristus (1Pet 4:10); dan sebagai pelayanan Injil (1Pet 1:12), dan secara nyata merupakan pelayanan pendamaian (2Kor 5:18) bagi dunia.

          Kesanggupan melaksanakan pekerjaan seperti itu adalah pemberian Allah (Kis 20:24; Kol 4:17; 1Tim 1:12; 1Pet 4:11); dalam  Rom 12:7 kesanggupan itu sudah digolongkan dalam kelompok karunia-karunia rohani yg beraneka ragam; dan dalam 1Tim 3:8 dab pelayanan diaken sudah menjadi jabatan yg diakui dalam jemaat. Tapi istilah itu masih dipakai dalam pengertian yg luas; Timotius harus menggenapi pelayanannya dengan melakukan penginjilan (2Tim 4:5); dan tujuan utama pelayanan ini ialah membangun tubuh Kristus (Ef 4:12). Dengan kata-kata Hort, Kristus meninggikan ‘tiap tahapan dan bentuk pelayanan menuju tingkat yg lebih tinggi… jadi pelayanan menjadi salah satu tujuan utama dari semua kegiatan Kristen’; dan istilah ini dikenakan kepada semua bentuk pelayanan di dalam gereja.

II. Pelayanan penggembalaan
          Kristus tidak hanya teladan pelayanan diaken, tapi juga Gembala yg baik (Yoh 10:11), juga Pemelihara jiwa orang (1Pet 2:25). Dalam pengertian tertentu, kedua jabatan ini berasal dari teladan Kristus sendiri, dan jabatan tua-tua (penatua) adalah pantulan dari jabatan yg ditetapkan Yesus dalam kerasulan (bnd 1Pet 5:1). Jadi dapat dikatakan bahwa tua-tua memerintah berdasarkan perintah yg diberikan oleh Rajanya ( Luk 22:29-30), sedang pekerjaan pendeta atau gembala dan pekerjaan samas (pelayan) dibentuk menurut jabatan nabi dan jabatan imam dari Kristus. Tapi akan menjadi salah, jika terlalu menekankan perbedaan-perbedaan itu karena istilah pendeta (pemelihara) dan tua-tua (penatua) jelas adalah sinonim, dan diaken meliputi banyak bentuk pelayanan. Tugas penggembalaan domba-domba adalah bagian terpenting dari tugas pelayan (Yoh 21:15-17;  Kis 20:28; 1Pet 5:2), dan sangat erat hubungannya dengan pemberitaan Firman Tuhan ( 1Kor 3:1-2) sebagai roti kehidupan (Yoh 6:35), atau air susu murni yg memberi pertumbuhan (1Pet 2:2). Perumpamaan dalam Luk 12:41-48 mengandung pengertian, bahwa pelayanan sejenis harus tetap ada dalam gereja sampai Kristus kembali.

III. Tugas-Tugas Pelayanan Sakramen
          PB tidak bicara banyak tentang tugas-tugas pelayanan sakramen; rasul Paulus menganggap pelayanan baptisan kudus adalah pekerjaan tambahan (1Kor 1:17), yg biasanya dia serahkan kepada pembantu-pembantunya; dan walaupun itu lumrah bagi seorang rasul, jika ia hadir, untuk memimpin pemotongan roti (Kis 20:7), maka perayaan Perjamuan Kudus biasanya dianggap kegiatan meliputi seluruh jemaat. Tapi bagaimanapun, dari mulanya dirasakan perlu ada seorang pemimpin; dan jika rasul, nabi atau penginjil tak hadir, tugas ini dilimpahkan kepada salah seorang tua-tua setempat.
SAKRAMEN

       Kata ‘sakramen’ (Latin sacramentum) dalam arti teknis teologis, bila digunakan untuk melukiskan upacara-upacara tertentu dari iman Kristen, termasuk ke dalam masa perkembangan doktrin pada kurun waktu yg jauh kemudian sesudah zaman PB. Kitab Vulgata di beberapa bagiannya menggunakan kata ini untuk menerjemahkan Yunani musterion (Ef 5:32; Kol 1:27; 1Tim 3:16; Wahy 1:20; 17:7), namun yg lebih biasa dipakai ialah musterium. Penggunaannya secara gerejawi pada waktu yg lebih dini, yakni sacramentum, dipakai dalam arti luas untuk sembarang upacara atau hal yg lebih sakral.

       Dalam kehidupan sehari-hari kata itu digunakan dalam dua cara: (1) sebagai ikrar atau jaminan yg diserahkan kepada ‘orang kepercayaan yg terjamin menjaga kerahasiaan’, oleh pihak-pihak yg terlibat dalam masalah tuntutan hukum dan diperuntukkan bagi tujuan suci; (2) sebagai sumpah tentara Romawi kepada kaisar, dan kemudian untuk sumpah apa saja. Gagasan-gagasan ini kemudian digabungkan untuk menghasilkan konsep upacara suci keagamaan yg merupakan janji atau tanda. Penerimaan upacara suci itu mencakup pengikraran sumpah kesetiaan, dan ini dalam perjalanan waktu mengarah ke pembatasan kata ‘sakramen’ kepada dua upacara lembaga ilahi yg utama, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Penggunaan yg lebih luas berlangsung terus berabad-abad lamanya. Hugo St. Victor (abad 12) dapat berbicara tentang 30 macam sakramen, tapi Petrus Lombardus pada zaman yg sama memperkirakan 7 saja. Perkiraan yg terakhir secara resmi diterima oleh gereja Roma.

       Definisi umum tentang sakramen yg diterima oleh gereja Reformasi dan Roma Katolik, ialah bahwa sakramen merupakan tanda lahiriah yg nampak, ditetapkan oleh Kristus, menyatakan dan menjanjikan suatu berkat rohani. Definisi tersebut banyak dipengaruhi oleh ajaran dan bahasa Agustinus, yg menulis tentang bentuk yg nampak yg mengandung keserupaan dengan hal yg tak nampak. Jika kepada ‘unsur’ ini, atau bentuk yg nampak itu, perkataan lembaga Kristus ditambahkan, suatu sakramen telah dibuat, sehingga sakramen dapat disebut sebagai ‘firman yg nampak’ (lih Augustine, Tracts on the Gospel of John. 80, Epis. 98, Con. Faustum 19. 16, Serm. 272)
       Apakah PB mengajarkan kewajiban upacara-upacara sakramental bagi semua orang Kristen? Keuntungan spiritual apakah yg terdapat dalam penerimaan mereka, dan bagaimana itu disampaikan?
       Kewajiban untuk terus melaksanakan upacara-upacara sakramental tergantung pada:
 (1) pelembagaannya oleh Kristus;
(2) perintah yg dinyatakan-Nya untuk terus melaksanakannya;
(3) penggunaannya yg hakiki sebagai lambang tindakan Allah yg integral dengan pernyataan Injil. Hanya ada dua upacara wajib bagi semua orang Kristen dalam cara ini. Tidak ada petunjuk alkitabiah untuk melayankan apa yg disebut upacara-upacara sakramental lainnya (yaitu Konfirmasi, Penahbisan, Pernikahan, Penitentia, Pemberian Minyak Suci Terakhir) kedudukan yg sama dengan Baptisan dan Perjamuan Kudus, yg sejak semula dikaitkan bersama pemberitaan Injil dan kehidupan gereja (Kis 2:41,42; bnd 1Kor 10:1-4). Kedua sakramen itu dikaitkan dengan sunat dan paskah, upacara-upacara wajib dalam PL (Kol 2:11;1Kor 5:7; 11:26).
       Kehidupan Kristen sejak semula dan seterusnya juga dikaitkan dengan peringatan-peringatan sakramental (Kis 2:38; 1Kor 11:26). Beberapa dari pelajaran yg terdalam tentang kesucian dan kesempurnaan adalah implisit dalam apa yg dikatakan Alkitab tentang kewajiban-kewajiban sakramental Kristen (Rom 6:1-3; / 1 Kor 12:13; /Ef 4:5). Acuan-acuan tentang sakramen mungkin mendasari banyak bagian Alkitab, walaupun tidak secara eksplisit disebut (mis Yoh 3:6; Ibr 10:22; Yoh 19:34). Amanat Agung Tuhan yg bangkit kepada para murid, untuk pergi ke segenap bangsa memberitakan Injil, secara khusus memerintahkan pelayanan baptisan dan jelas mengimplikasikan penyelenggaraan perjamuan kudus (Mat 28:19,20). Kristus berjanji akan menyertai pengikut-Nya hingga kesudahan zaman. Pekerjaan untuk apa para murid dipanggil-Nya, termasuk pelayanan sakramen, tidak akan digenapi sebelum waktu itu. Paulus juga tidak ragu-ragu bahwa perjamuan kudus harus diteruskan, sebagai pemberitaan akan kematian Kristus hingga Dia datang kembali (1Kor 11:26). Benar bahwa Matius dan Markus tidak mencatat perintah ‘lakukan ini untuk mengingat Aku’, tapi bukti dari apa yg dilakukan oleh gereja purba (Kis 2:42; 20:7; 1Kor 10:16; 11:26) cukup kuat.

       Dampak sakramen tergantung kepada pelembagaan dan amanat Kristus. Unsur-unsur yg digunakan itu pada dirinya tidaklah mempunyai kekuatan; penggunaannya yg disertai kesetiaan itulah yg menentukan. Karena melalui sakramen manusia dibawa pada persekutuan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Rom 6:3; 1Kor 10:16). Pengampunan (Kis 2:38), penyucian (Kis 22:16; bnd Ef 5:26), dan gairah spiritual (Kol 2:12) dihubungkan dengan baptisan. Partisipasi dalam tubuh dan darah Kristus terjadi melalui perjamuan kudus (1Kor 10:16; 11:27). Baptisan dan cawan dihubungkan dalam ajaran Tuhan Yesus ketika Ia berbicara tentang kematian-Nya, dan dalam pikiran gereja ketika menaati secara khidmat kewajiban-kewajiban itu (Mr 10:38,39; 1Kor 10:1-5).

       Sakramen merupakan upacara perjanjian: ‘Cawan ini adalah perjanjian yg baru’ (Luk 22:20; 1Kor 11:25). Kita dibaptiskan ‘ke dalam Nama’ (Mat 28:19). Perjanjian yg baru itu dimulai dengan korban kematian Kristus (bnd Kel 24:8; Yer 31:31,32). Berkatnya disampaikan Allah melalui firman dan janji-Nya di dalam Injil dan sakramen-Nya. Ada bukti yg jelas bahwa pada zaman para rasul banyak orang menerima berkat lewat penyelenggaraan sakramen yg disertai pemberitaan firman (Kis 2:38 dab). Adalah firman dan janji Injil yg menyertai pelayanan itu yg memberikan makna dan dampak kepada upacara. Mereka yg hanya menerima baptisan Yohanes, dibaptis lagi ‘dalam Nama Tuhan Yesus’ (Kis 19:1-7). Mungkin juga bahwa beberapa orang menerima sakramen tanpa memperoleh keuntungan spiritual ( Kis 8:12,21*; 1 Kor 11:27; 10:5-12). Dalam kasus Kornelius dan seisi rumahnya (Kis 10:44-48), kita mendapat contoh tentang orang-orang yg memperoleh karunia yg dimeteraikan dengan baptisan sebelum mereka menerima sakramen. Namun demikian mereka masih tetap menerima sakramen sebagai memberi keuntungan dan sebagai kewajiban.

       Dalam PB tidak terdapat kesan adanya pertentangan antara penerapan sakramen dan spiritualitas. Jika diterima dengan benar, maka sakramen itu memberikan berkat kepada orang percaya. Tapi berkat ini tidak terbatas kepada penerapan sakramen. Dan bila berkat disampaikan melalui sakramen, itu juga tidak berarti bahwa pemberian berkat itu bertentangan dengan penekanan Alkitab yg kuat akan iman dan kesalehan. Jika dilakukan sesuai prinsip-prinsip yg ditetapkan dalam Alkitab, sakramen itu secara terus-menerus mengingatkan kita kepada dasar agung dari penyelamatan kita, yaitu kematian dan kebangkitan Kristus. Dan mengingatkan kita akan kewajiban-kewajiban kita untuk berjalan sebaik-baiknya pada panggilan kita. *BAPTISAN; *PERJAMUAN KUDUS.

       KEPUSTAKAAN.
  • O. C Quick, The Christian Sacraments, 1932; G Bornkamm, TDNT 4, hlm 826 dst;
  • J Jeremias, The Eucharistic Words of Jesus, 1955;
  • W. F Flemington, The New Testament Doctrine of Baptism, 1957;
  • AN Stibbs, Sacrament, Sacrifice and Eucharist, 1961;
  • G. R Beasley Murray, Baptism in the New Testament, 1962;
  • J. I Packer (red.), Eucharistic Sacrifice, 1962; D Cairns, In Remembrance of Me, 1967.


IV. Karunia-Karunia Rohani
          Dalam bentuknya yg paling dini pelayanan Kristen itu bersifat karunia rohani. Artinya, merupakan pemberian Roh Kudus atau bersifat supra alami, dan pelayanan itu menyaksikan hadirnya Roh Kudus dalam jemaat. Maka terjadilah nubuat dan bahasa roh (glossolalia), tatkala rasul Paulus meletakkan tangannya kepada beberapa orang percaya yg baru dibaptis (Kis 19:6); dan kata-kata yg digunakan di sana menandakan bahwa kejadian itu, sampai batas tertentu, merupakan ulangan dari apa yg terjadi pada hari Pentakosta (Kis 2).

          Dalam Surat-surat rasul Paulus terdapat tiga daftar dari berbagai bentuk pelayanan yg bersifat karunia, dan perlu kita perhatikan bahwa dalam tiap daftar, tugas-tugas administratif selalu menyertai tugas-tugas yg lebih bersifat rohani (GEREJA, PERATURAN). Dalam Rom 12:6-8 terdapat bernubuat, melayani (diakonia), mengajar, menasihati, membagi-bagikan pemberian atau sedekah, kepemimpinan, dan ‘menunjukkan kemurahan’ (mengunjungi orang sakit dan orang miskin?). 1Kor 12:28 menyebut rasul, nabi, guru atau pengajar, bersama dengan orang-orang yg mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, menyembuhkan penyakit, melayani, memimpin dan berkata-kata dalam bahasa roh.

          TB Ef 4:11 mempunyai bentuk yg lebih resmi; rasul-rasul, nabi-nabi, penginjil-penginjil, gembala-gembala dan pengajar-pengajar, semuanya berusaha memperlengkapi orang-orang kudus dalam pelayanan Kristen, sehingga seluruh gereja makin dewasa dalam hubungan yg organis dengan Kepalanya, yaitu Yesus Kristus. Di sini yg ditekankan ialah pelayanan Firman, tapi buah pelayanan seperti itu ialah saling melayani dalam kasih. Karunia yg bermacam-macam yg disebut dalam ps-ps ini lebih merupakan cara melayani ketimbang jabatan-jabatan yg teratur dan yg sudah tetap; seseorang mungkin melakukan bermacam-macam pekerjaan, tapi kesanggupannya untuk melaksanakan sesuatu tergantung pada dorongan Roh Kudus. Sebenarnya semua orang Kristen dipanggil untuk melayani dengan bermacam-macam cara (Rom 15:27; Fili 2:17; Filem 1:13 ; 1Pet 2:16), dan untuk pekerjaan pelayanan itu mereka diperlengkapi oleh pelayan-pelayan Firman (Ef 4:11-12).

          Tidak hanya kelompok 12 yg termasuk rasul, tapi juga Paulus dan Barnabas (1Kor 9:5-6), Yakobus adik Tuhan Yesus (Gal 1:19), Andronikus dan Yunias (Rom 16:7). Kualifikasi utama seorang ‘rasul’ ialah bahwa dia menyaksikan sendiri Yesus Kristus dan pelayanan-Nya waktu hidup di bumi, khususnya melihat kebangkitan-Nya (Kis 1:21-22), dan kekuasaan sang rasul tergantung dari kenyataan, bahwa dia dengan cara tertentu ditetapkan oleh Kristus, baik waktu Dia masih di bumi ini (Mat 10:5; 28:19) termasuk sesudah Dia bangkit dari antara orang mati (Kis 1:24; 9:15). Rasul-rasul dan tua-tua mungkin berkumpul dalam sidang dewan untuk menetapkan kebijaksanaan umum bagi gereja (Kis 15:6 dab), dan seorang rasul dapat diutus sebagai utusan dari jemaat asli untuk mengawasi perkembangan baru di tempat lain (Kis 8:24 dab). Tapi tentang wujud (eksistensi) dewan rasul yg permanen dan berkedudukan di Yerusalem sama sekali tidak pernah melembaga justru tidak dicatat dalam sejarah, dan tugas besar seorang rasul ialah bertindak sebagai misionaris untuk memberitakan Injil, dan dalam mengemban misi itu pekerjaannya akan diteguhkan oleh Allah dengan tanda-tanda yg menunjukkan persetujuan-Nya (2Kor 12:12). Jadi jabatan rasul tidak terikat dalam batas-batas setempat, walau pembagian kerja mungkin terjadi, ump pembagian tugas Petrus dan Paulus (Gal 2:7-8).
          Kegiatan ‘penginjil’ juga seperti itu, ruang geraknya tidak terbatas, dan pekerjaannya agaknya sama dengan pekerjaan rasul, kecuali bila dia tidak mempunyai kualifikasi khusus untuk tugas rasuli yg lebih tinggi; Filipus, seorang dari kelompok tujuh (Kis 6), menjadi penginjil (Kis 21:8), dan Timotius juga disebut penginjil (2 Tim 4:5), walaupun dia tidak dimasukkan (2 Kor 1:1) ke dalam kelompok rasul.

          Sifat khas nubuat ialah karunia yg bisa terjadi, bisa tidak, tapi beberapa orang menerima karunia bernubuat begitu teratur, sehingga terbentuk khusus kelompok ‘nabi-nabi’. Kelompok seperti itu ada di Yerusalem (Kis 11:27), Antiokhia (Kis 13:1) dan Korintus (1 Kor 14:29). Mereka yg disebut namanya termasuk Yudas dan Silas (Kis 15:32) dan Agabus (Kis 21:19), bersama Hana (Luk 2:35) dan Izebel, perempuan yg berlakon sebagai nabiah (Wahy 2:20).

          Nubuat berfaedah bagi pembangunan, nasihat dan hiburan (1Kor 14:3), justru bisa disebut pemberita berdasarkan ilham. Seorang nabi bisa menentukan arah tertentu (Kis 13:1-2), atau memberitakan lebih dulu apa yg akan terjadi (Kis 11:28). Dan karena diucapkan dalam bahasa yg dikenal umum, beritanya lebih berfaedah daripada hanya bahasa roh, glossolalia (1Kor 14:23-25). Tapi karunia ini diancam oleh bahaya tertipu, dan walaupun nubuat itu harus dikendalikan hanya oleh orang yg menerimanya (1 Kor 14:22), isinya harus cocok dengan ajaran dasar Injil (1Yoh 4:1-3). Jika tidak, nabi bersangkutan adalah nabi palsu dan harus ditolak. Tentang munculnya nabi palsu demikian, wanti-wanti sudah diberi tahu lebih dulu oleh Kristus (Mat 7:15).

          ‘Gembala-gembala dan pengajar-pengajar’ (Ef 4:11) harus dianggap sama dengan tua-tua setempat, yg ditetapkan oleh rasul-rasul (Kis 14:23) atau pembantunya (Tit 1:5) untuk memenuhi kebutuhan jemaat setempat, dan tanpa pembedaan menyebutnya sebagai tua-tua atau penilik. ‘Wali-wali’ (1 Pet 2:14) agaknya adalah orang-orang yg mengurus soal-soal jemaat setempat, dan ‘teman sekerja’ (Rom 16:3,9) terlibat dalam pekerjaan pengasihan, terutama dalam mengunjungi orang sakit dan orang miskin. Mujizat-mujizat penyembuhan dan berbahasa roh merupakan ciri-ciri khas zaman para rasul, tapi kelihatannya terhenti kemudian, walau pada berbagai masa hidup kembali sejak masa kebangunan rohani Montanus dan seterusnya.

          V. Permulaan Jabatan di Gereja
          Telah sering terjadi perdebatan mengenai hubungan setepatnya antara misi asli dan yg tak terbatas dari para rasul dan penginjil, di satu pihak, dengan pelayanan permanen dan setempat dari gembala, pengajar, wali dan teman sekerja, di pihak lain. Golongan terakhir agaknya selalu ditetapkan oleh yg pertama; tapi jika  Kis 6 diterima sebagai keterangan umum dari peneguhan, maka pemilihan umum memainkan peranan dalam menentukan calon. Rom 12 dan 1 Kor 12 bisa mengandung arti, bahwa gereja sebagai persekutuan yg dipenuhi oleh Roh Kudus, mencetak petugas-petugas pelayanannya sendiri; tapi  Ef 4:11 berkata bahwa pelayanan itu diberikan oleh Kristus kepada gereja. Hal itu bisa diartikan bahwa karena Kristus adalah sumber dari semua kekuasaan dan teladan dari segala jenis pelayanan, maka gereja seutuhnya ialah penerima tugas ilahi dari Kristus.
       KEPUSTAKAAN.
  • J. B Lightfoot, ‘Dissertation on the Christian Ministry’ dalam Philippians, 1868;
  • A von Harnack, The Constitution and Law of the Church in the First Two Centuries, ET, 1910;
  • H. B Swete, Early History of the Church and Ministry, 1918;
  • B. H Streeter, The Primitive Church, 1929;
  • K. E Kirk (ed), The Apostolic Ministry, 1946;
  • D. T Jenkins, The Gift of Ministry, 1947;
  • T. W Manson, The Church’s Ministry, 1948;
  • K. M Carey (ed), The Historic Episcopate, 1954;
  • J. K. S Reid, The Biblical Doctrine of the Ministry, 1955;
  • T. F Torrance, Royal Priesthood, 1955,
  • E Schweizer, Church Order in the NT, ET, 1961;
  • L Morris, Ministers of God, 1964;
  • M Green, Called to Serve, 1964;
  • J. R. W Stott, One People, 1969.

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...