Paulus membuka surat ini dengan sebuah perkataan “Akhirnya…” yang biasanya menunjukkan kepada suatu kesimpulan. Namun dalam bagian ini kata akhirnya, yang dalam bahasa Yunani digunakan kata To. loipo,n menurut John MacArthur Jr., “It is a word of transition, not conclusion, since half of Phillipians follows it.”[1]
Selanjutnya, Paulus berkata
“bersukacitalah.” Kata sukacita memiliki suatu pengertian yang penting dalam
pemikiran Paulus, namun yang menjadi penekanan penting di sini adalah sukacita
itu harus dilakukan di dalam Tuhan. Hal ini dimengerti karena hanya Tuhanlah
sumber dari segala sukacita. Fee mengatakan, “The Lord who saves is both the
basis and focus of rejoicing.”[2]
Lebih lanjut dikatakan oleh William
Hendriksen, bahwa hanya melalui kesatuan dengan Tuhan, dan hanya di dalam
pribadi dan karya Kristus, bukan dalam hal lainnya di mana ada kontribusi usaha
manusia, maka seseorang dapat bersukacita.[3]
Paulus melanjutkan isi suratnya dengan
mengatakan bahwa “…menuliskan hal ini lagi kepadamu…” Mengenai hal ini,
Swindoll mengatakan, “Perkataan ini merupakan suatu bentuk perhatian Paulus
kepada jemaat di Filipi, supaya mereka dapat terus menerus menikmati
kemerdekaan di dalam Kristus, maka Paulus pun tidak pernah bosan memperingati
mereka.”
Dalam ayat ke-2, Paulus menegaskan
hal-hal apa saja yang menjadi peringatannya kepada jemaat Filipi. Ada 3 hal
yang diperingatkan oleh rasul Paulus kepada jemaat Filipi, yaitu anjing-anjing,
pekerja-pekerja yang jahat, dan penyunat-penyunat palsu. Dan untuk ketiga hal
ini, Paulus menggunakan kata Ble,pete dalm bentuk imperative, present, aktif,
yang berarti suatu perintah untuk berhati-hati, waspada, yang harus
dikerjakan/dilakukan secara terus-menerus. Ralph Martin mengatakan, “Tense dari
kata blepete memberikan suatu penekanan khusus, bahwa peringatan yang
disanpaikan Paulus adalah sesuatu yang penting atau memiliki nilai urgensi yang
tinggi.”
Para ahli berpendapat bahwa yang menjadi
lawan dari Paulus adalah orang-orang Yahudi yang mencoba mempengaruhi jemaat
Filipi dengan segala kehebatan dan tradisi Taurat mereka. Untuk orang-orang
ini, Paulus menyebut mereka, pertama-tama sebagai anjing-anjing. Perkataan
Paulus ini memiliki suatu pemaknaan yang mendalam, karena biasanya orang-orang
Yahudi menyebut orang-orang kafir sebagai anjing. Hal ini dapat juga dilihat
dari pengakuan perempuan Kanaan yang memohon kesembuhan kepada Yesus dalam
Matius 15:21-28. Jadi, ketika Paulus menggunakan kata anjing-anjing kepada
orang Yahudi, Paulus secara tidak langsung mengatakan bahwa orang-orang Yahudi
itulah yang sebenarnya orang kafir. Moises Silva mengatakan, “Paul, therefore,
is making a startling point: the great reversal brought in by Christ means that
it is the Judaizers who must be regarded as Gentiles.”
Kedua, Paulus menggunakan kata
pekerja-pekerja jahat, dalam tujuan untuk menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi
merasa mereka sedang melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, tetapi sebenarnya
melakukan hal yang sebaliknya. Moises Silva mengatakan, “The phrase tou.j
kakou.j evrga,taj does not merely indicate “people who do bad things or
sinners”. The phrase is surely meant to refute the Judaizers’ claims that they
were doing the works of the law.” Gordon
Fee mengatakan, “In trying to make Gentiles submit to Torah observance,
Judaizers do not work “righteousness” at all but evil, just as those in the
Pslater work iniquity because they have rejected God’s righteousness.”
Ketiga, Paulus menggunakan kata-kata
penyunat palsu.Bagi orang Yahudi, sunat merupakan suatu kebanggaan, karena
sunat merupakan tanda perjanjian antara Abraham beserta keturunannya dengan
Tuhan (Kej. 17:10). Sunat jugalah yang menjadikan mereka bagian dari umat Allah
(Kel.12:48). Namun, Paulus mengatakan bahwa mereka adalah penyunat palsu.
Menurut Silva, “the use of katatome wanna shows to us, that these Judaizers do
not deserve to be called “the circumcision” but rather “the mutilation”.
John
MacArthur berpendapat bahwa melalui perkataan ini, Paulus ini menekankan
pentingnya sunat bukan hanya secara simbolis (fisik) tetapi juga harus
merefleksikan hati yang sudah dibaharui, karena tanpa adanya transformasi dalam
hati kita, maka sunat merupakan sesuatu yang sia-sia dan tidak memliki makna.
Berangkat dari tiga hal ini, maka dalam
ayat yang ke-3, Paulus mengeluarkan antitesis bagi para orang Yahudi. Pertama,
Paulus mengatakan, “…kitalah orang-orang bersunat…” Sunat di sini digunakan
kata peritomh, yang menunjukkan sunat yang benar. Dengan demikian, menurut John
Hargreaves, dalam bagian ini, Paulus ingin mengatakan bahwa orang-orang
Kristenlah, dan bukan orang Yahudi, yang melakukan praktek sunat dengan benar.
Hal ini sejalan dengan pengajaran dalam Perjanjian Lama, bahwa sunat yang benar
tidak berbicara fisik, tetapi sunat yang benar berbicara sunat hati (Ul. 30:6).
Kedua, Paulus juga mengatakan, “…yang
beribadah oleh Roh Allah…” Melalui perkataan ini, Paulus mengidentifikasikan
umat Allah sebagai orang-orang yang menyembah di dalam Roh Allah. Moises Silva
mengatakan, “Whatever the differences between Pauline and Johannine theology,
one can hardly deny that this phrase is conceptually equivalent to John 4:23-24
(true worshippers worship God “in the Spirit and in truth”). Lebih lanjut Silva
mengatakan, “The point being made that true worship is inner rather than
external.”
Oleh karena itu, umat Allah bermegah di
dalam Kristus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Dalam bagian
ini, Paulus mengkontraskan antara kata kaucw,menoi dan kata pepoiqo,tej.
Melalui hal ini, Paulus mau memberikan konsep bermegah yang benar, dimana
seseorang harus menempatkan kepercayaannya di dalam Kristus, karena hanya
Kristus satu-satunya dasar bagi manusia untuk bermegah dan hal ini membawa
implikasi bahwa Kristus satu-satunya sumber sukacita yang dimiliki oleh orang
percaya. Moises Silva mengatakan, “If Jesus Christ is our grounds for
confidence, He is therefore also our grounds for joyful pride and for exultant
boasting.”
Bahkan secara tegas, Charles Swindoll
mengatakan, “Mereka yang percaya akan hal-hal lahiriah, telah kehilangan arti
keselamatan yang sesungguhnya.”
Oleh karena itu, dalam ayat 4, Paulus
mulai menjelaskan kepada Jemaat Filipi mengapa dia tidak menaruh percayanya
pada hal-hal lahiriah. Paulus membuka argumentasinya mengenai hal ini dengan
mengatakan bahwa dia jauh melebihi para guru palsu dalam hal-hal lahiriah, yang
dijelaskannya mengenai kebanggaan lahiriah mulai dari ayat 5-6.
1. Disunat pada
hari kedelapan. Hal ini merupakan tradisi yang penting dalam Yudaisme. Disunat
pada hari yang kedelapan merupakan perintah Tuhan kepada Abraham, sebagai
bagian dari “meterai” perjanjian Tuhan kepada Abraham. Jadi dapat dikatakan,
secara tradisi keluarga Paulus sangat memegang teguh atau pelaksana yang baik
dari hukum Taurat. Menurut Ralph Martin, hal ini menunjukkan bahwa dia adalah
orang Yahudi yang sejati.
2. Dari bangsa
Israel. Hal ini menegaskan jati dirinya sebagai bagian dari umat Allah bukan
dari kaum kafir.
3. Dari suku
Benyamin. Dapat menjadi suku Benyamin merupakan suatu kebanggaan bagi orang
Yahudi. Hal ini dikarenakan raja pertama Israel berasal dari suku Benyamin.
Suku Benyamin juga adalah suku yang diberkati oleh Musa sebagai “…Kekasih
Tuhan…” Homer Kent mengatakan, “It is often averred that Paul mentions his
connection with Benjamin because that tribe was especially honored among the
tribes of Israel.”
4. Orang Ibrani
Asli. John MacArthur Jr. mengatakan, “The apostle’s claim to be a Hebrew of
Hebrews is best understood as a declaration that as he grew to manhood Paul
strictly mantained his family’s traditional Jewish heritage.”Gordon Fee
mengatakan, “Paul was in every way a “Hebrew, born of pure Hebrew stock.”
5. Orang Farisi.
Orang-orang Farisi merupakan orang-orang yang sangat taat kepada hukum Taurat,
termasuk di dalamnya Perjanjian Lama, dan semua tradisi yang dimasukkan ke
dalamnya. MacArthur mengatakan, “To become a Pharisee was to reach the highest
level in devout, legalistic Judaism.”
6. Penganiaya
Jemaat. MacArthur Jr. mengatakan, “The Jewish viewed zeal as the supreme
religious virtue…To be zealous is to love God and hate what offends Him.”
7. Dalam
mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat. Menurut Gordon Fee, kata tak bercacat
di sini menunjukkan, “Paul has no “blemishes” on his record as far as
lawkeeping and concerned, which means thathe scrupulously adhered to the
Pharisaic interpretation of the law, waith its finely honed regulations for
sabbath observance, food laws and ritual cleanliness.”Hal ini semakin
menegaskan bahwa kemegahan lahiriah yang dimiliki oleh Paulus jauh melampaui
yang dimiliki oleh guru-guru palsu.
Namun demikian, dalam ayat 7 dan 8,
Paulus mengatakan bahwa kemegahan lahiriah yang dimilikinya tidak apa-apanya
dibandingkan pengenalannya akan Kristus. Dalam menyatakan betapa mulianya
Kristus dibandingkan hal-hal lahiriah, Paulus menggunakan kata rugi sebanyak
dua kali yang diiringi peningkatan tekanan hal-hal lahiriah dari a[tina
(whatever things) kepada pa,nta (all things) yang dianggapnya rugi, demi besarnya
kemuliaan di dalam Kristus. Bahkan dalam ayat 8 juga bahwa semuanya itu adalah
sampah. Menurut MacArthur, “The word
skybala (rubbish) is a very strong word that could also be rendered “waste”,
“dung”, “manure”, or even “excrement.” Bagi Paulus, menurut Ralph Martin, “All
confidence in the flesh is contemptuously cast aside and abhorred as dirty
muck!”
Dalam ayat 9, baru dapat dilihat tujuan
Paulus, dengan menganggap segala sesuatu itu rugi adalah supaya dia berada
dalam Kristus. Hal ini merupakan kesadaran yang dimilikinya, bahwa hanya di
dalam Kristus ada kebenaran yang sejati. Kebenaran yang tidak berasal dari diri
dan usaha manusia, tetapi kebenaran yang berasal Allah melalui iman kepada
Kristus. Kebenaran yang membenarkan kita di hadapan Allah ketika Yesus datang
kedua kalinya untuk menghakimi dunia ini. Hal ini menjelaskan ayat 3, bahwa
orang Kristen harus bermegah dalam Kristus. Gordon Fee mangatakan bahwa bagian
ini memberikan suatu kesimpulan bahwa kita harus percaya dalam Kristus untuk
keselamatan kita. Swindoll mengatakan, “Sekali lagi kasih karunia Allah
menyelamatkan kita.”
Ayat 10 dan 11 menjelaskan, bahwa
sebagai orang-orang yang telah menerima kebenaran Allah, maka tidak ada
sukacita yang paling besar selain mengenal Dia yang melalui-Nya kita menerima
kebenaran Allah. Mengenal Allah, bagi Paulus, merupakan tujuan tertinggi dalam
hubungannya dengan Allah. Gordon Fee mengatakan, “In keeping with his Old
Testament roots, knowing Christ is the ultimate goal of being in right
relationship with God.” Pengenalan terhadap Kristus meliputi tiga hal:
1. Kuasa kebangkitan Kristus.
Kebangkitan-Nya merupakan penyataan kuasa Kristus. Kebangkitan-Nya juga
menyatakan kuasa-Nya yang mutlak mengatasi dunia fisik dan dunia rohani
(Kol.2:14-15; 1 Petrus 3:18-20). Menurut John MacArthur, Paulus mengalami kuasa
kebangkitan Kristus dalam dua cara, (1)sebagai kuasa yang menyelamatkan, dan
(2) sebagai kuasa yang menyucikannya. Dalam hal ini, Gordon Fee menyimpulkan :
“Christ’s
resurrection guaranteed his own, that he could throw himself into the present
with a holy abandon, full of rejoicing and thanksgiving; and that not because
he enjoyed suffering, but because of Christ’s Resurrestion had given him a
unique perspective on present suffering, as well as an empowering presence
wherebythe suffering transformed into intimate fellowship with Christ himself.”
2. Persekutuan dalam penderitaan-Nya.
Menurut John MacArthur, “The deepest
moments of spiritual fellowship with the living Christ are at times of intense
suffering; Suffering drives believers to Him.”Gordon Fee melanjutkan, “Hence
knowing Christ involves sharing in his sufferings-and is a cause for constant
joy, not because suffering is enjoyable but because it is certain evidence of
Paul’s intimate relationship with his Lord.” Lebih lanjut Fee mengatakan,
“The grounds for joy in the Lord lie with knowing him, as we participate n his
sufferings while awaiting our glorious future.”
3. Menjadi serupa dengan Dia dalam
kematian-Nya. Gordon Fee mengatakan, “Christian life is cruciform in character;
God’s people, even as they live presently through the power of Christ ‘s
resurrection , are as their Lord forever marked by the cross.”
Pengenalan Kristus dalam tiga hal dalam
ayat 10 memiliki tujuan agar dia akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang
mati (ayat 11). Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Paulus mengenai
eskatologis. Di mana setiap orang percaya akan mengalami kebangkitan dan akan
diberikan suatu tubuh yang baru (1 Kor. 15). Pengharapan ini bukan hanya milik
Paulus, tetapi setiap orang percaya memiliki pengharapan seperti ini yang akan
digenapi, ketika Kristus datang ke dunia untuk menghakimi dunia ini. Gordon Fee
mengatakan, “Nonetheless, such a
futureprize is the one certain reality of present existence and is thus worth
bending every effort to realize, which is what the end of the story is all
about.”
Kesimpulan
Setelah
pembahasan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan.
Pertama,
sukacita orang-orang percaya tidak terletak kepada hal-hal yang lahiriah,
tetapi sukacita itu terletak di dalam Kristus, yang melalui-Nya kita menerima
kebenaran Allah yang membenarkan kita di hadapan Allah.
Kedua adalah,
sebagai orang-orang yang telah menerima anugerah keselamatan, maka tidak ada
sukacita yang lebih besar selain mengenal Yesus yang adalah Juruselamat bagi
umat manusia yang berdosa yang membutuhkan keselamatan.
Ketiga,
sukacita itu akan menjadi sempurna, ketika kita menerima penggenapannya saat
Kristus datang yang kedua kalinya di dalam dunia, di mana kita akan mengalami
kebangkitan di dalam Kristus dan menerima tubuh yang baru.
Bagi
kita orang percaya, ketiga kesimpulan di atas menegaskan kepada kita, bahwa
hanya Allah satu-satunya sumber sukacita dalam kehidupan manusia. Hanya di
dalam Allah, manusia menerima dan memiliki sukacita sejati yang melampaui
segala penderitaan dan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap orang percaya.
Dan hanya di dalam Allah, bukan di dalam hal-hal lahiriah, sukacita yang kita
miliki akan disempurnakan.
DAFTAR PUSTAKA
Fee,
Gordon D. Philippians. Downers Grooves, IL: IVP. 1999.
Gaeblin,
Frank E. ed. Expolsitors Bible Commentary. Grand Rapids, MI: Zondervan. 1978.
Guthrie,
Donald. Exploring God’s Word: A Guide To Ephesians, Philippians, And
Colossians. Grand Rapids, MI: Eerdmans. 1984.
Hendriksen,
William. Philippians. Edinburgh: The Banner of Truth Trust. 1962.
Hargreaves,
John. A Guide To Philippians. London: SPCK. 1983.
MacArthur
Jr., John. Philippians. Chicago: Moody Press. 2001.
Martin,
Ralph P. The Epistle of Paul to The Philippians. London: Tyndale Press. 1969.
Silva,
Moises. Philippians. Chicago: Moody Press. 1988.
Swindoll,
Charles R. Tertawa Lagi. Batam: Gospel Press. 2001.
No comments:
Post a Comment