Pengertian-pengertian keadilan dan
kebenaran sangat dekat. Karena dalam TBI beberapa istilah Ibrani dan Yunani
diterjemahkan dengan kedua istilah bh Indonesia ini, maka uraian di bawah ini
disusun menurut kata-kata Ibrani dan Yunani.
1. Misypat. Arti dasar kata ini ialah,
bahwa ada cara yg benar bagi seseorang untuk membawakan diri, dan cara yg benar
untuk memperlakukan orang lain. Perangai atau tingkah laku ini dapat dipaksakan
secara hukum. Proses menyatakan hak perseorangan ialah keadilan, dan jika
seseorang melakukan kejahatan maka benarlah bahwa dia patut dihukum. Hak-hak
Allah terungkap dalam undang-undang yg diberikan-Nya kepada manusia. Misypat
berarti juga keputusan yg tepat yg diberikan mengenai masalah-masalah yg sukar,
khususnya oleh Urim dan Tumim.
- Ay-ay terkait:
- hak: Kel 23:6; Ul 10:18; Yes 49:4.
- keadilan: Kej 18:19; Ul 6:19; 2Sam 8:15; Ayub 8:3; Yes 1:17
- penghukuman: Mazm 105:5; Yer 51:9; Hos 5:1
- peraturan: Kel 21:1; Ul 4:1; Yeh 5:6
- hukum: Mazm 19:10; 103:6; 119:7 dll
keputusan: Kel 28:15; Bil
27:21; Ul 17:8-9; 1Raj 3:28. Tsedaqa (dan kata-kata seakar). Kata ini mempunyai
aneka pengertian. Arti pertama agaknya ialah kelurusan secara harfiah. Tapi
sudah sejak zaman Bapak leluhur tsedaqa mempunyai arti rohani, yaitu sesuai
dengan suatu ukuran yg diterima. Ump hidup Yakub yg memenuhi syarat-syarat
perjanjiannya untuk menggembalakan domba Laban, disebut tsedaqa (’ kejujuranku’,
Kej 30:33). Musa membicarakan neraca-neraca dan batu-batu timbangan yg betul
(lm Kej 19:36) atau utuh dan tepat (Ul 25:15) — terjemahan tsedeq: ia menuntut
supaya para hakim Israel menghakimi dengan pengadilan yg adil (juga tsedeq), Ul
16:18,20. Pembicara pertama dalam suatu pertikaian nampaknya benar (tsadiq)
sehingga orang lain menunjukkan kepalsuannya (Ams 18:17). Bahkan benda-benda
mati bisa menjadi tsedeq, ump Mazm 23:3, jalan yg benar, yg berarti jalan-jalan
yg bisa dijalani oleh seseorang.
Karena ukuran tertinggi dalam hidup
manusia diturunkan dari Tuhan, maka sesudah zaman Musa (bnd Ul 32:4) tsedaqa
berarti kehendak Allah dan tindakan-tindakan yg diakibatkannya. ‘Adil dan benar
segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa!’ (Wahy 15:3). Ayub bertanya, ‘Masakan
manusia benar di hadapan Allah?’ (Ayub 9:2). Tuhan ‘walaupun kaya akan
kebenaran Ia tidak menindasnya’ (Ayub 37:23), karena tindakan Allah yg
senantiasa bertindak sesuai dengan ukuran-Nya sendiri, senantiasa sempurna dan
adil (Zef 3:5; Mazm 89:13). Tsedeqa (keadilan-Mu) dapat menggambarkan
pemeliharaan Allah akan hidup manusia dan binatang (Mazm 36:6), dan Allah
‘selalu berkata benar, selalu memberitakan apa yg lurus’ (Yes 45:19).
Sesudah ini, melalui peralihan yg wajar,
tsedaqa menjabarkan ukuran susila yg dipakai Allah untuk mengukur tindak tanduk
manusia. Ia menetapkannya di hadapan mereka (Yes 26:7), mereka patut tsadiq,
kalau mereka hidup di hadapan Allah (Kej 6:9), dan dalam PB pelaku-pelaku dari
Tauratlah yg dibenarkan di hadapan Allah (Rom 2:13). Keinginan Allah supaya
hidup manusia sungguh-sungguh sesuai dengan susila yg dikehendaki-Nya, secara
khusus dibebankan kepada raja-raja (2Sam 8:15; Yer 22:15b), tapi setiap orang
percaya yg benar diharapkan untuk melakukan tsedaqa ( Mazm 119:121; Ams 1:3).
Tsedaqa ialah ciri khusus dari Mesias (Yes 9:7; Za 9:9). Dalam syair-syair PL
ada beberapa pernyataan akan kebenaran diri sendiri (ump Mazm 18:19-23; Ayub
12:4), tapi pernyataan-pernyataan ini lebih mengartikan bahwa si pembicara
bebas dari tuduhan-tuduhan tertentu (Mazm 7:4-5), atau bahwa maksud hatinya
sungguh-sungguh mumi dan penyerahan dirinya tulus ikhlas, daripada merupakan
tuntutan bahwa hidupnya tanpa cacat. Yeh 18:9 melukiskan tsedaqa yg bisa
dicapai oleh manusia dalam semangat hukum Taurat.
Berhubungan dengan pemerintahan ilahi,
keadilan dan kebenaran menunjuk khususnya pada hukuman. Firaun mengaku, ‘Tuhan
itu yg benar, aku dan rakyatkulah yg bersalah’ (Kel 9:27), dan penjahat yg
disalibkan berseru, ‘Kita memang selayaknya dihukum’ (Luk 23:41). Tuhan tidak
dapat menutup mata terhadap kejahatan (Hab 1:13), dan tak akan membengkokkan
kebenaran (Ayub 8:3). Orang-orang kafir di Malta juga percaya kepada hukuman
ilahi, apa yg mereka sebut Dewi Keadilan (Kis 28:4). Keadilan Allah yg
menghukum diibaratkan sebagai api yang menghanguskan (Ul 32:22; Ibr 12:29), dan
orang jahat selayaknya mendapat hukuman (Rom 3:8).
Sejak zaman para hakim dan seterusnya,
tsedaqa dipakai juga tentang tindakan-tindakan pembelaan Allah bagi orang-orang
yg dianggap layak menerimanya, dan dalam pengertian ini diterjemahkan dengan
‘adil’; Hak 5:11 ‘perbuatan Allah yg adil’. Tindakan-tindakan ini disebut dalam
2Sam 15:4; Ams 3:33; Yes 58:2-3. Walaupun campur tangan Allah mungkin ditunda,
namun Ia akan menjadi cemburu karena tanah-Nya, dan belas kasihan kepada
umat-Nya (Yoel 2:18). Tapi gagasan ini membawa kita pada suatu segi tsedaqa yg
lain lagi. Dalam Mazm 51:14 Daud berjanji bahwa lidahnya akan bersorak-sorai
memberitakan keadilan Tuhan; maksudnya bukan pembenaran (ia mengaku sudah
berbuat dosa) tapi pengampunan. Tsedaqa telah dihubungkan dengan penebusan;
Tuhan memenuhi janji-Nya sendiri akan penyelamatan, walaupun manusia tidak
layak menerimanya (Mazm 31:1; 103:17; 143:1). Yes 45:21 menyebut ‘Allah yg adil
dan Juruselamat’, artinya, Ia Juruselamat sebab adil. 1Yoh 1:9 menyebut Allah
adil sebab Ia mengampuni dosa-dosa kita. Namun dalam Rom 3:26, kita masih harus
mengerti ‘benar’ dalam artinya yg lama, yaitu adil dalam hal menghukum.
2. PL juga mengenal suatu tsedaqa yg merupakan pemberian Allah kepada mereka yg
percaya. #/TB Kej 15:6; Hab 2:4, menyebut kebenaran ini, yg diterima karena
ketergantungan manusia kepada rahmat Tuhan. Yes 54:17 berbicara tentang kebenaran yg
hamba-hamba Tuhan terima dari Dia. Dalam Tuhan ada suatu tsedaqa yg oleh kasih
karunia-Nya menjadi milik seorang percaya (Yes 45:24). Kebenaran diri kita sama
sekali tidak lengkap (Yes 64:6), tapi di dalam Tuhan ‘seluruh keturunan Israel
akan nyata benar’ (Yes 45:25). Satu abad kemudian, Yeremia menyebut Yehuda dan
Tuhan sebagai ‘tempat kediaman kebenaran’ ( Yer 31:23), yaitu sumber kebenaran
bagi orang yg percaya (lih Laetsch, Biblical Commentary, Jeremiah,
1952, hlm 254, 191-192). Tapi sebagaimana Tuhan mengaruniakan kasih
karuniaNya atas orang yg tidak layak, demikian pula umat-Nya harus ‘usahakanlah
keadilan’ (Yes 1:17) dan mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin
dengan adil (Yer 22:16). Tsedaqa telah menjadi berarti ‘kebaikan’.
Sesudah Zaman Pembuangan, Aram tsedqa
menjadi suatu istilah yg berarti sedekah, memberi uang kepada orang miskin (Dan
4:27; Mazm 112:9; bnd Mat 6:1).
Teladan tsedqa dalam segala artinya ialah Yesus Kristus. Ibr 4:5 menyebut
hidup-Nya yg benar, tanpa cela, yg lebih baik daripada kehidupan ahli Taurat dan
orang Farisi (Mat 5:20). Ia menyerahkan hidup-Nya bagi orang lain (Yoh 15:13).
Ia datang supaya Allah dapat mantap tetap benar walaupun Ia membenarkan orang
yang berbuat dosa bila mereka percaya kepada Yesus (Rom 3:26), supaya orang
Kristen bisa berada dalam Dia, yg membenarkan dan menguduskan mereka (1Kor 1:30).
3. Dikaiosune,
yg terdapat 94 kali dalam PB, adalah kata Yunani yg sepadan dengan kata Ibrani
tsedaqa. Biasanya kata itu diterjemahkan’kebenaran’, tapi dalam 2Kor 6:7; 1Tim
6:11; 2Tim 2:22; Ibr 1:9 2Pet 1:1 sebagai ‘keadilan’. Di tempat-tempat lain
terdapat terjemahan-terjemahan lain; ‘kehendak Allah’ dalam Mat 3:15, ‘hidup
keagamaan’ dalam Mat 5:20, ‘pembenaran’ dalam 2Kor 3:9, ‘perbuatan yg baik’
dalam Tit 3:5.
Pemakaian dikaiosune sudah
dipengaruhi oleh bh Ibrani tsedaqa, tapi khususnya bagi Paulus pikiran utama
ialah pengakuan, bahwa keadilbenaran manusia mustahil cukup untuk memenuhi
ukuran Allah. Paulus membedakan keadilan yg dicapai oleh usaha moral (apa, yg
disebutnya ‘kebenaran karena menaati hukum Taurat’) (Fili 3:9) dan kebenaran
yang merupakan pemberian dari Tuhan.
Kebenaran ini bersumber pada Tuhan (Fili
3:9) dan diterima sebagai anugerah berdasarkan karya Kristus (Rom 5:17).
Kebenaran ini ialah kebenaran yg dicapai Kristus sendiri dalam ketaatan-Nya yg
sempurna pada kehendak Bapak dalam hidup dan mati, dalam mana Ia memikul kutuk
Allah akibat pelanggaran-pelanggaran hukum ilahi. Keselamatan tercapai melalui
suatu pertukaran secara absah antara orang berdosa dan Juruselamat; orang
berdosa itu menerima kebenaran Kristus, Kristus dibuat menjadi dosa (2Kor 5:21;
bnd 1Kor 1:30; 2Pet 1:1). Pemberian ini diberikan Tuhan kepada semua orang yg
percaya (Rom 3:22) dan merupakan dasar pembenaran (Rom 5:18). Mereka yg di
bedung dalam kebenaran ini dibenarkan dan diterima sebagai benar di hadapan Pengadilan
Allah (Rom 3:26). Bahwa Allah telah menyediakan pembenaran ini bagi orang-orang
berdosa, merupakan kenyataan pusat dari Injil (Rom 1:17). Kebenaran ini tidak
tergantung pada tingkat kita menaati hukum Allah (Rom 3:21), karena itu adalah
berdasarkan ketaatan Kristus yg sempurna kepada hukum dan kehendak Allah.
Ajaran ini menurut Paulus bukan baru, tapi terdapat dalam PB (Rom 3:21). Ia
mengutip Hab dalam Rom 1:17, dan berbicara panjang tentang Abraham, yg
dibenarkan oleh iman (Rom 4:3).
Dikaiosune berarti penyesuaian dengan
hukum, khususnya Hukum ilahi; Kristus memenuhi kebenaran, baik dalam hal Ia
menaati Hukum Allah dalam kehidupan-Nya, maupun dalam hal Ia menerima hukuman
Allah yg adil atas dosa dalam kematian-Nya. Kebangkitan dan peninggian-Nya
merupakan pengukuhan dan pensahihan bagi kebenaran-Nya (Ibr 2:9; bnd Rom 2:7).
4. Emet di PL dipakai dalam dua
pengertian. Pertama, membicarakan kejadian-kejadian, apakah ‘benar’ atau
‘bohong’; ump Ul 17:4; 1Raj 10:6; ‘benar’. Tapi jauh lebih lazim kata itu
dikenakan kepada sifat terpercayanya seseorang, dan dalam hal ini emet
diterjemahkan ‘setia’. Sifat terpercaya ini adalah salah satu sifat Allah (Mazm
31:5; Yer 10:10; Mazm 108:3; Mazm 146:6) yg tetap setia untuk selama-lamanya.
‘Ia menghakimi bangsa-bangsa dengan kesetiaan-Nya’ dan mengirim kasih setia-Nya
dan kebenaran (Mazm 57:3b). Firman-Nya tetap untuk selama-lamanya (Mazm 119:89)
dan perintah-perintah-Nya benar (Mazm 119:151). Emet adalah jawaban manusia
kepada Allah dalam menaati hukum dan peraturan-Nya, dan merupakan dasar bagi
persekutuan manusia; dari situlah timbul larangan dalam Kel 20:16 dan Ul 5:20.
Aletheia beserta kata-kata yg berkaitan dalam bh Yunani menunjuk kepada
kebenaran secara budi. ‘Seperti dalam bahasa hukum aletheia adalah duduk
perkara yg nyata, yg masih harus dibuktikan terhadap berbagai pernyataan-pernyataan
yg dikemukakan oleh para pihak dalam pengadilan; begitu juga dalam bidang
sejarah, aletheia adalah duduk kejadian yg nyata secara ilmu sejarah
dikontraskan dengan dongeng, dan dalam ilmu filsafat hal yg sungguh-sungguh
nyata, dalam arti yg mutlak’ (Bultmann, TWNT). Tapi dalam PB
aletheia bersama kata-kata serumpunnya sudah dipengaruhi oleh kata Ibrani emet
dan kadang-kadang sukar untuk mengetahui, apakah arti setepatnya dari kata-kata
yg dimaksud.
Pengertian Ibrani dari sifat terpercaya
mendominasi ay-ay seperti Rom 3:7; 15:8 (ttg Allah) dan 2Kor 7:14; Ef 5:9 (ttg
manusia). Kesetiaan Allah adalah suatu gagasan yg terkandung di seluruh PB.
Ada juga pengertian Yunani akan sesuatu
yg sungguh nyata dan lengkap, sebagai lawan dari sesuatu yg palsu dan yg tidak
sempurna (mis Ef 4:25); iman Kristen adalah khas kebenaran (Gal 2:5; Ef 1:13).
Pemakaian ini secara khusus terdapat dalam Yohanes. Yesus menyatakan bahwa Dia
ialah kebenaran yg dipersonifikasikan (Yoh 14:6); di dalam Dia kebenaran itu
datang, Roh Kudus memimpin orang ke dalam kebenaran itu (Yoh 16:13; bnd Yoh
14:17; 1Yoh 4:6), sehingga para murid Yesus mengetahuinya (Yoh 8:32; 2Yoh 1),
melakukannya (Yoh 3:21), dan hidup di dalamnya (Yoh 8:44). Firman kebenaran itu
melahirkan kita kembali (Yak 1:18) dan kebenaran itu harus ditaati (Rom 2:8; Gal
5:7).
Kata sifat alethinos kadang-kadang mengandung pengertian ‘sejati’. Artinya,
sesuatu yg sungguh benar sebagai lawan dari hanya rupa saja atau tiruan.
- Dengan demikian Yesus ialah pelayan dari Kemah Sejati, sebagai lawan bayang-bayang dari upacara keimaman (Ibr 8:2 dab).
- Yesus ialah kenyataan yg abadi (’ yg benar’), yg dilambangkan oleh roti dan anggur (Yoh 6:32; 15:1). Begitu juga para penyembah yg benar (Yoh 4:23), maksudnya bukan terutama sungguh-sungguh tapi sejati; ibadah mereka adalah benar-benar mendekati Allah, yg Roh itu, secara sungguh-sungguh, sebagai lawan dari ibadah formal-formalan, yg mengikat Allah, hanya di Yerusalem atau Gerizim (Yoh 4:21); upacara-upacara demikian paling banter hanya dapat melambangkan Allah dan senantiasa ada kemungkinan menggambarkan Allah secara salah.
KASIH
KARUNIA (ANUGERAH)
I. Dalam PL
Kasih karunia dipakai sebagai
terjemahan bh Ibrani khen. Kata ini berarti perbuatan atasan (dapat juga Allah)
yg menunjukkan kepada bawahannya kasih karunia, padahal sebenarnya bawahan itu
tidak layak menerimanya: mis Kej 6:7; Kel 33:17; Bil 6:25. Memang, tiada
manusia yg dapat menunjukkan khen kepada Allah. PL menjelaskan, Allah memilih
Bapak-bapak leluhur Israel dan Israel juga, hanya atas dasar kasih karunia-Nya.
Sama sekali tidak ada jasa atau kebenaran dalam mereka, yg dapat dianggap
alasan bagi pemilihan itu, Ul 7:7-8, bnd Ul 8:18. Dalam membuat perjanjian
Sinai, seperti dulu dalam membuat perjanjian Abraham, prakarsa dari Allah
datangnya. Nabi-nabi juga, yg menekankan perlunya pertobatan, mengakui bahwa
hati yg baru harus diperoleh sebagai karunia dari Tuhan (Yeh 36:26; Yer
31:31-34), artinya, berdasarkan kasih karunia-Nya.
II. Dalam PB
Kata Yunani kharis adalah kata yg
biasa dipakai untuk menerjemahkan kata Ibrani khen. Kata kerja kharizesthai
dipakai untuk menunjukkan arti pengampunan, dari manusia dan juga dari Allah (Kol
2:13; 3:13; Ef 4:32).
a. Injil-injil Sinoptis
Terlepas dari perkataan kharis, yg
tidak pernah dikenakan pada ucapan Yesus, gagasan tentang kasih karunia sangat
jelas. Yesus berkata bahwa Ia datang untuk mencari dan menyelamatkan yg hilang.
Banyak dari perumpamaan-Nya mengajarkan kasih karunia. Perumpamaan para pekerja
kebun anggur (Mat 20:1-16) mengajarkan bahwa Allah tidak dapat didakwa oleh
siapa pun atas pemberian anugerahNya. Perumpamaan tentang perjamuan besar (B
Luk 14:16-24) menunjukkan bahwa hak istimewa rohaniah tidak menjamin
kebahagiaan akhir, dan bahwa undangan Injil ditujukan kepada semua orang. Anak
yg hilang diterima kembali oleh bapaknya dengan cara yg sebenarnya sang anak
tidak layak menerimanya (Luk 15:20-24). Pertobatan ditekankan sebagai syarat untuk
menerima keselamatan (Mr 1:15; 6:12; Luk 24:47). Iman juga mempunyai tempatnya
(mis Mr 1:15; Luk 7:50), kendati tidak ada pernyataan teologis pada tema-tema
Paulus.
b. Tulisan-tulisan Lukas
Baik Injil maupun Kis perlu
diperhatikan secara khusus. Lukas memperlihatkan keluwesan dalam hubungan
dengan pokok ini. Bahkan pengertian yg tidak religius dari kata kharis, yaitu
usaha baik yg dibuat oleh seseorang kepada orang lain, muncul dalam Kis 24:27;
25:3,9. Pengertian PL tentang ‘kemurahan hati’ terlihat dalam Luk 1:30; 2:52;
Kis 2:47; 7:10,46. Pengertian dinamis tentang kasih karunia yg menimbulkan
keberanian yg sungguh dan kesaksian yg efektif muncul dalam Kis 4:33; 11:23;
13:43 dan digunakan bila membicarakan seruan universal dari Injil. Lukas juga
mempertemukan istilah ‘injil’ (’ perkataan’) dan ‘kasih karunia’ (Luk 4:22; Kis
14:3; 20:24) dengan cara yg bahkan Paulus pun tidak melakukannya.
c. Surat-surat Paulus
Perkataan ‘kharis’ mempunyai
tempat utama dalam salam pembukaan dan ucapan syukur penutup dalam Surat-surat
Paulus, dan ditambahkan pada ucapan salam ‘damai’ yg biasa. Dasar dari ajaran
Paulus terdapat dalam Rom 1:16-3:20. Manusia dinyatakan berdosa, tapi oleh
kasih karunia dibenarkan (Rom 3:21-4:25), yaitu Allah dalam kasih karunia-Nya
memperlakukan dia, walaupun bersalah, seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa.
Iman adalah tanggapan manusia atas
kasih karunia Allah (Rom 5:2; 10:9; Ef 2:8). Iman ini adalah pemberian Allah (
Ef 2:8); kata-kata ‘bukan hasil usahamu’ mungkin dikaitkan dengan sesosmenoi (’
diselamatkan’), tapi Paulus mencoba untuk menunjukkan bahwa perkataan ‘iman’
tidak dimaksudkan untuk menyatakan suatu tindakan bebas pada pihak orang
percaya, lih juga 2Kor 4:13; Fili 1:29. Iman ini, meskipun menyatakan bahwa
tidak ada keselamatan melalui hukum, bukanlah tidak etis. Iman secara moral
dengan sendirinya adalah vital. Iman ‘bekerja oleh kasih’ (Gal 5:6). C. A Scott (Christianity according to St.
Paul, 1927, hlm 111) mengatakan bahwa mulai dari saat iman bekerja, suatu
transformasi pandangan etis secara ideal sudah ada di sana.
Kedudukan orang
percaya dalam anugerah dijelaskan, bukan oleh sesuatu dalam dirinya, tapi oleh
kehendak Allah. Ajaran tentang pemilihan mempunyai 2 fungsi: ia mengawasi
kebebasan manusia dan pembenaran dirinya, dan menunjukkan bahwa dalam
melimpahkan karunia-Nya, Allah adalah bebas sama sekali (Ef 1:1-6; 2Tim 1:9; Tit
3:5). Setiap langkah dalam proses kehidupan Kristen tergantung pada kasih karunia —Gal 1:15 (panggilan); 2Tim 2:25 (pertobatan); Ef 2:8,9 (iman). Dalam Rom 8:28-30 Paulus
memandang pekerjaan Allah sejak dari panggilan sampai kepada kemuliaan orang yg
dibenarkan-Nya. Tapi ia tidak mengabaikan tanggung jawab manusia. Ketaatan (Rom
1:5; 6:17) adalah sikap moral, dan tidak dapat dijadikan sesuatu yg lain.
Seorang manusia dari dirinya sendiri mustahil berbalik kepada Tuhan (2Kor 3:16).
Kedua sisi tersebut dipertemukan dalam Rom 9; 10. Ps 9 berisi
pernyataan yg paling kuat terhadap predestinasi ganda, sedangkan ps 10 menyatakan
bahwa penolakan oleh Allah disebabkan oleh ketidakpercayaan dan ketidaktaatan.
Tapi harus diingat bahwa pokok utama dari ps-ps ini bukanlah keselamatan
perseorangan, tapi adalah fungsi-fungsi kolektif dari orang-orang yg dipilih
Allah untuk melaksanakan maksud-Nya.
Rom 6 memakai gambaran baptisan
untuk mengajarkan penaklukan dosa oleh kasih karunia. Lih juga 1Kor 6:11; 12:13;
Ef 5:26; Kol 2:12; Tit 3:5. H
Wheeler Robinson (The Christian Doctrine of Man, 1926, hlm 124-125)
berpendapat bahwa baptisan orang percaya bukanlah semata-mata merupakan lambang
yg ilustratif, tapi adalah aspek obyektif dari apa yg secara subyektif adalah
iman. Orang mungkin memperdebatkan bahwa baptisan anak-anak adalah suatu cara
anugerah, karena anak adalah lambang ketidaksanggupan dan ketidakberdayaan
manusia. Pandangan-pandangan ini rupanya bertentangan dengan penekanan Paulus
yg tidak berubah tentang iman.
d. Tulisan-tulisan PB yg lain
(i) 1 Ptr. Rasul
Petrus menekankan kasih karunia dalam ps 1 dan 2 pada hubungan yg lazim dengan
pemilihan dan warisan dalam perjanjian: pada Tit 3:7 terdapat ungkapan yg luar
biasa ‘kasih karunia kehidupan’. Kasih karunia juga dipakai dalam 1Pet 5:10
berkaitan dengan kemuliaan yg akan datang bagi orang percaya.
(ii) Surat Ibr. Penulis menggunakan banyak perkataan yg artinya
adalah kasih karunia. Dalam 1Pet 2:9 kasih karunia Allah dihubungkan dengan
penderitaan Kristus. Perkataan kharis digunakan di Ibr 12:28 dalam hubungan
dengan ucapan syukur manusia kepada Allah. Kasih karunia dipandang panggilan
pengabdian diri dalam Ibr 12:14,15. Ungkapan yg mencolok ‘takhta kasih karunia’
dalam Ibr 4:16 mempersatukan keagungan Allah dan kasih karunia-Nya. Ungkapan
segar yg lain dalam Ibr 10:29, adalah ‘Roh kasih karunia’.
(iii) Surat-surat Yohanes. Hanya sedikit menyinggung secara
langsung tentang kasih karunia, tapi kasih Allah ditekankan di seluruh
bagiannya. Gagasan kasih karunia harus dihubungkan dengan ‘kehidupan kekal’.
Iman adalah utama, dan Yohanes menggunakan suatu ungkapan Yunani pisteuein eis
(percaya kepada) mengenai iman yg sungguh kepada pribadi Kristus (IMAM). ‘Kasih karunia dan kebenaran’ yg
mencirikan kemuliaan Firman yg telah menjadi manusia dalam Yoh 1:14 (bnd ay Yoh
1:17) menggemakan ‘kasih dan setia’ dari Kel 34:6.
Kita menarik kesimpulan bersama
Moffatt bahwa kepercayaan dalam Alkitab adalah ‘kepercayaan tentang kasih
karunia atau tidak ada apa-apa … kalau tidak ada kasih karunia, tidak ada
injil’ (Grace in the New Testament, hlm 15).
KEPUSTAKAAN.
- H Wheeler Robinson, The Christian Doctrine of Man, 1926;
- N. H Snaith, The Distinctive Ideas of the Old Testament, 1944;
- J Moffatt, Grace in the New Testament, 1931;
- N. P Williams, The Grace of God, 1930;
- C Ryder Smith, The Bible Doctrine of Grace, 1956;
- H. H Esser, NIDNTT 2, hlm 115-124;
- H Conzelmann, W Zimmerli, TDNT 9, hlm 372-402;
- H. D MacDonald. ZPEB 2, hlm 799-804.