Thursday, September 5, 2019

BERSUKACITA DALAM KEBENARAN YANG SEJATI


BERSUKACITA DALAM KEBENARAN YANG SEJATI
Paulus membuka surat ini dengan sebuah perkataan “Akhirnya…” yang biasanya menunjukkan kepada suatu kesimpulan. Namun dalam bagian ini kata akhirnya, yang dalam bahasa Yunani digunakan kata To. loipo,n menurut John MacArthur Jr., “It is a word of transition, not conclusion, since half of Phillipians follows it.”[1]
Selanjutnya, Paulus berkata “bersukacitalah.” Kata sukacita memiliki suatu pengertian yang penting dalam pemikiran Paulus, namun yang menjadi penekanan penting di sini adalah sukacita itu harus dilakukan di dalam Tuhan. Hal ini dimengerti karena hanya Tuhanlah sumber dari segala sukacita. Fee mengatakan, “The Lord who saves is both the basis and focus of rejoicing.”[2]
 Lebih lanjut dikatakan oleh William Hendriksen, bahwa hanya melalui kesatuan dengan Tuhan, dan hanya di dalam pribadi dan karya Kristus, bukan dalam hal lainnya di mana ada kontribusi usaha manusia, maka seseorang dapat bersukacita.[3]
Paulus melanjutkan isi suratnya dengan mengatakan bahwa “…menuliskan hal ini lagi kepadamu…” Mengenai hal ini, Swindoll mengatakan, “Perkataan ini merupakan suatu bentuk perhatian Paulus kepada jemaat di Filipi, supaya mereka dapat terus menerus menikmati kemerdekaan di dalam Kristus, maka Paulus pun tidak pernah bosan memperingati mereka.”
Dalam ayat ke-2, Paulus menegaskan hal-hal apa saja yang menjadi peringatannya kepada jemaat Filipi. Ada 3 hal yang diperingatkan oleh rasul Paulus kepada jemaat Filipi, yaitu anjing-anjing, pekerja-pekerja yang jahat, dan penyunat-penyunat palsu. Dan untuk ketiga hal ini, Paulus menggunakan kata Ble,pete dalm bentuk imperative, present, aktif, yang berarti suatu perintah untuk berhati-hati, waspada, yang harus dikerjakan/dilakukan secara terus-menerus. Ralph Martin mengatakan, “Tense dari kata blepete memberikan suatu penekanan khusus, bahwa peringatan yang disanpaikan Paulus adalah sesuatu yang penting atau memiliki nilai urgensi yang tinggi.”
Para ahli berpendapat bahwa yang menjadi lawan dari Paulus adalah orang-orang Yahudi yang mencoba mempengaruhi jemaat Filipi dengan segala kehebatan dan tradisi Taurat mereka. Untuk orang-orang ini, Paulus menyebut mereka, pertama-tama sebagai anjing-anjing. Perkataan Paulus ini memiliki suatu pemaknaan yang mendalam, karena biasanya orang-orang Yahudi menyebut orang-orang kafir sebagai anjing. Hal ini dapat juga dilihat dari pengakuan perempuan Kanaan yang memohon kesembuhan kepada Yesus dalam Matius 15:21-28. Jadi, ketika Paulus menggunakan kata anjing-anjing kepada orang Yahudi, Paulus secara tidak langsung mengatakan bahwa orang-orang Yahudi itulah yang sebenarnya orang kafir. Moises Silva mengatakan, “Paul, therefore, is making a startling point: the great reversal brought in by Christ means that it is the Judaizers who must be regarded as Gentiles.”
Kedua, Paulus menggunakan kata pekerja-pekerja jahat, dalam tujuan untuk menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi merasa mereka sedang melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, tetapi sebenarnya melakukan hal yang sebaliknya. Moises Silva mengatakan, “The phrase tou.j kakou.j evrga,taj does not merely indicate “people who do bad things or sinners”. The phrase is surely meant to refute the Judaizers’ claims that they were doing the works of the law.” Gordon Fee mengatakan, “In trying to make Gentiles submit to Torah observance, Judaizers do not work “righteousness” at all but evil, just as those in the Pslater work iniquity because they have rejected God’s righteousness.”
Ketiga, Paulus menggunakan kata-kata penyunat palsu.Bagi orang Yahudi, sunat merupakan suatu kebanggaan, karena sunat merupakan tanda perjanjian antara Abraham beserta keturunannya dengan Tuhan (Kej. 17:10). Sunat jugalah yang menjadikan mereka bagian dari umat Allah (Kel.12:48). Namun, Paulus mengatakan bahwa mereka adalah penyunat palsu. Menurut Silva, “the use of katatome wanna shows to us, that these Judaizers do not deserve to be called “the circumcision” but rather “the mutilation”.
John MacArthur berpendapat bahwa melalui perkataan ini, Paulus ini menekankan pentingnya sunat bukan hanya secara simbolis (fisik) tetapi juga harus merefleksikan hati yang sudah dibaharui, karena tanpa adanya transformasi dalam hati kita, maka sunat merupakan sesuatu yang sia-sia dan tidak memliki makna.


Berangkat dari tiga hal ini, maka dalam ayat yang ke-3, Paulus mengeluarkan antitesis bagi para orang Yahudi. Pertama, Paulus mengatakan, “…kitalah orang-orang bersunat…” Sunat di sini digunakan kata peritomh, yang menunjukkan sunat yang benar. Dengan demikian, menurut John Hargreaves, dalam bagian ini, Paulus ingin mengatakan bahwa orang-orang Kristenlah, dan bukan orang Yahudi, yang melakukan praktek sunat dengan benar. Hal ini sejalan dengan pengajaran dalam Perjanjian Lama, bahwa sunat yang benar tidak berbicara fisik, tetapi sunat yang benar berbicara sunat hati (Ul. 30:6).
Kedua, Paulus juga mengatakan, “…yang beribadah oleh Roh Allah…” Melalui perkataan ini, Paulus mengidentifikasikan umat Allah sebagai orang-orang yang menyembah di dalam Roh Allah. Moises Silva mengatakan, “Whatever the differences between Pauline and Johannine theology, one can hardly deny that this phrase is conceptually equivalent to John 4:23-24 (true worshippers worship God “in the Spirit and in truth”). Lebih lanjut Silva mengatakan, “The point being made that true worship is inner rather than external.”
Oleh karena itu, umat Allah bermegah di dalam Kristus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Dalam bagian ini, Paulus mengkontraskan antara kata kaucw,menoi dan kata pepoiqo,tej. Melalui hal ini, Paulus mau memberikan konsep bermegah yang benar, dimana seseorang harus menempatkan kepercayaannya di dalam Kristus, karena hanya Kristus satu-satunya dasar bagi manusia untuk bermegah dan hal ini membawa implikasi bahwa Kristus satu-satunya sumber sukacita yang dimiliki oleh orang percaya. Moises Silva mengatakan, “If Jesus Christ is our grounds for confidence, He is therefore also our grounds for joyful pride and for exultant boasting.”
 Bahkan secara tegas, Charles Swindoll mengatakan, “Mereka yang percaya akan hal-hal lahiriah, telah kehilangan arti keselamatan yang sesungguhnya.”
Oleh karena itu, dalam ayat 4, Paulus mulai menjelaskan kepada Jemaat Filipi mengapa dia tidak menaruh percayanya pada hal-hal lahiriah. Paulus membuka argumentasinya mengenai hal ini dengan mengatakan bahwa dia jauh melebihi para guru palsu dalam hal-hal lahiriah, yang dijelaskannya mengenai kebanggaan lahiriah mulai dari ayat 5-6.
1. Disunat pada hari kedelapan. Hal ini merupakan tradisi yang penting dalam Yudaisme. Disunat pada hari yang kedelapan merupakan perintah Tuhan kepada Abraham, sebagai bagian dari “meterai” perjanjian Tuhan kepada Abraham. Jadi dapat dikatakan, secara tradisi keluarga Paulus sangat memegang teguh atau pelaksana yang baik dari hukum Taurat. Menurut Ralph Martin, hal ini menunjukkan bahwa dia adalah orang Yahudi yang sejati.
2. Dari bangsa Israel. Hal ini menegaskan jati dirinya sebagai bagian dari umat Allah bukan dari kaum kafir.
3. Dari suku Benyamin. Dapat menjadi suku Benyamin merupakan suatu kebanggaan bagi orang Yahudi. Hal ini dikarenakan raja pertama Israel berasal dari suku Benyamin. Suku Benyamin juga adalah suku yang diberkati oleh Musa sebagai “…Kekasih Tuhan…” Homer Kent mengatakan, “It is often averred that Paul mentions his connection with Benjamin because that tribe was especially honored among the tribes of Israel.”
4. Orang Ibrani Asli. John MacArthur Jr. mengatakan, “The apostle’s claim to be a Hebrew of Hebrews is best understood as a declaration that as he grew to manhood Paul strictly mantained his family’s traditional Jewish heritage.”Gordon Fee mengatakan, “Paul was in every way a “Hebrew, born of pure Hebrew stock.”
5. Orang Farisi. Orang-orang Farisi merupakan orang-orang yang sangat taat kepada hukum Taurat, termasuk di dalamnya Perjanjian Lama, dan semua tradisi yang dimasukkan ke dalamnya. MacArthur mengatakan, “To become a Pharisee was to reach the highest level in devout, legalistic Judaism.”
6. Penganiaya Jemaat. MacArthur Jr. mengatakan, “The Jewish viewed zeal as the supreme religious virtue…To be zealous is to love God and hate what offends Him.”
7. Dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat. Menurut Gordon Fee, kata tak bercacat di sini menunjukkan, “Paul has no “blemishes” on his record as far as lawkeeping and concerned, which means thathe scrupulously adhered to the Pharisaic interpretation of the law, waith its finely honed regulations for sabbath observance, food laws and ritual cleanliness.”Hal ini semakin menegaskan bahwa kemegahan lahiriah yang dimiliki oleh Paulus jauh melampaui yang dimiliki oleh guru-guru palsu.

Namun demikian, dalam ayat 7 dan 8, Paulus mengatakan bahwa kemegahan lahiriah yang dimilikinya tidak apa-apanya dibandingkan pengenalannya akan Kristus. Dalam menyatakan betapa mulianya Kristus dibandingkan hal-hal lahiriah, Paulus menggunakan kata rugi sebanyak dua kali yang diiringi peningkatan tekanan hal-hal lahiriah dari a[tina (whatever things) kepada pa,nta (all things) yang dianggapnya rugi, demi besarnya kemuliaan di dalam Kristus. Bahkan dalam ayat 8 juga bahwa semuanya itu adalah sampah. Menurut MacArthur, “The word skybala (rubbish) is a very strong word that could also be rendered “waste”, “dung”, “manure”, or even “excrement.” Bagi Paulus, menurut Ralph Martin, “All confidence in the flesh is contemptuously cast aside and abhorred as dirty muck!”
Dalam ayat 9, baru dapat dilihat tujuan Paulus, dengan menganggap segala sesuatu itu rugi adalah supaya dia berada dalam Kristus. Hal ini merupakan kesadaran yang dimilikinya, bahwa hanya di dalam Kristus ada kebenaran yang sejati. Kebenaran yang tidak berasal dari diri dan usaha manusia, tetapi kebenaran yang berasal Allah melalui iman kepada Kristus. Kebenaran yang membenarkan kita di hadapan Allah ketika Yesus datang kedua kalinya untuk menghakimi dunia ini. Hal ini menjelaskan ayat 3, bahwa orang Kristen harus bermegah dalam Kristus. Gordon Fee mangatakan bahwa bagian ini memberikan suatu kesimpulan bahwa kita harus percaya dalam Kristus untuk keselamatan kita. Swindoll mengatakan, “Sekali lagi kasih karunia Allah menyelamatkan kita.”
Ayat 10 dan 11 menjelaskan, bahwa sebagai orang-orang yang telah menerima kebenaran Allah, maka tidak ada sukacita yang paling besar selain mengenal Dia yang melalui-Nya kita menerima kebenaran Allah. Mengenal Allah, bagi Paulus, merupakan tujuan tertinggi dalam hubungannya dengan Allah. Gordon Fee mengatakan, “In keeping with his Old Testament roots, knowing Christ is the ultimate goal of being in right relationship with God.” Pengenalan terhadap Kristus meliputi tiga hal:
1. Kuasa kebangkitan Kristus. Kebangkitan-Nya merupakan penyataan kuasa Kristus. Kebangkitan-Nya juga menyatakan kuasa-Nya yang mutlak mengatasi dunia fisik dan dunia rohani (Kol.2:14-15; 1 Petrus 3:18-20). Menurut John MacArthur, Paulus mengalami kuasa kebangkitan Kristus dalam dua cara, (1)sebagai kuasa yang menyelamatkan, dan (2) sebagai kuasa yang menyucikannya. Dalam hal ini, Gordon Fee menyimpulkan :
“Christ’s resurrection guaranteed his own, that he could throw himself into the present with a holy abandon, full of rejoicing and thanksgiving; and that not because he enjoyed suffering, but because of Christ’s Resurrestion had given him a unique perspective on present suffering, as well as an empowering presence wherebythe suffering transformed into intimate fellowship with Christ himself.”
2. Persekutuan dalam penderitaan-Nya. Menurut John MacArthur, “The deepest moments of spiritual fellowship with the living Christ are at times of intense suffering; Suffering drives believers to Him.”Gordon Fee melanjutkan, “Hence knowing Christ involves sharing in his sufferings-and is a cause for constant joy, not because suffering is enjoyable but because it is certain evidence of Paul’s intimate relationship with his Lord.” Lebih lanjut Fee mengatakan, “The grounds for joy in the Lord lie with knowing him, as we participate n his sufferings while awaiting our glorious future.”
3. Menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. Gordon Fee mengatakan, “Christian life is cruciform in character; God’s people, even as they live presently through the power of Christ ‘s resurrection , are as their Lord forever marked by the cross.”
Pengenalan Kristus dalam tiga hal dalam ayat 10 memiliki tujuan agar dia akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati (ayat 11). Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Paulus mengenai eskatologis. Di mana setiap orang percaya akan mengalami kebangkitan dan akan diberikan suatu tubuh yang baru (1 Kor. 15). Pengharapan ini bukan hanya milik Paulus, tetapi setiap orang percaya memiliki pengharapan seperti ini yang akan digenapi, ketika Kristus datang ke dunia untuk menghakimi dunia ini. Gordon Fee mengatakan, “Nonetheless, such a futureprize is the one certain reality of present existence and is thus worth bending every effort to realize, which is what the end of the story is all about.”

Kesimpulan
Setelah pembahasan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan.
Pertama, sukacita orang-orang percaya tidak terletak kepada hal-hal yang lahiriah, tetapi sukacita itu terletak di dalam Kristus, yang melalui-Nya kita menerima kebenaran Allah yang membenarkan kita di hadapan Allah.
Kedua adalah, sebagai orang-orang yang telah menerima anugerah keselamatan, maka tidak ada sukacita yang lebih besar selain mengenal Yesus yang adalah Juruselamat bagi umat manusia yang berdosa yang membutuhkan keselamatan.
Ketiga, sukacita itu akan menjadi sempurna, ketika kita menerima penggenapannya saat Kristus datang yang kedua kalinya di dalam dunia, di mana kita akan mengalami kebangkitan di dalam Kristus dan menerima tubuh yang baru.
Bagi kita orang percaya, ketiga kesimpulan di atas menegaskan kepada kita, bahwa hanya Allah satu-satunya sumber sukacita dalam kehidupan manusia. Hanya di dalam Allah, manusia menerima dan memiliki sukacita sejati yang melampaui segala penderitaan dan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap orang percaya. Dan hanya di dalam Allah, bukan di dalam hal-hal lahiriah, sukacita yang kita miliki akan disempurnakan.

DAFTAR PUSTAKA
Fee, Gordon D. Philippians. Downers Grooves, IL: IVP. 1999.
Gaeblin, Frank E. ed. Expolsitors Bible Commentary. Grand Rapids, MI: Zondervan. 1978.
Guthrie, Donald. Exploring God’s Word: A Guide To Ephesians, Philippians, And Colossians. Grand Rapids, MI: Eerdmans. 1984.
Hendriksen, William. Philippians. Edinburgh: The Banner of Truth Trust. 1962.
Hargreaves, John. A Guide To Philippians. London: SPCK. 1983.
MacArthur Jr., John. Philippians. Chicago: Moody Press. 2001.
Martin, Ralph P. The Epistle of Paul to The Philippians. London: Tyndale Press. 1969.
Silva, Moises. Philippians. Chicago: Moody Press. 1988.
Swindoll, Charles R. Tertawa Lagi. Batam: Gospel Press. 2001.


[1]John MacArthur Jr., Phillipians (Chicago: Moody Press, 2001), 215.

[2]Fee, Gordon D. Philippians. Downers Grooves, IL: IVP. 1999, 131.
[3]William Hendriksen, Phillipians (Edinburgh: The Banner of Truth Trust, 1962), 147.

Friday, August 23, 2019

KEADILAN (KEBENARAN) & KASIH KARUNIA (ANUGERAH)

KEADILAN DAN (KEBENARAN); KASIH KARUNIA (ANUGERAH)
       Pengertian-pengertian keadilan dan kebenaran sangat dekat. Karena dalam TBI beberapa istilah Ibrani dan Yunani diterjemahkan dengan kedua istilah bh Indonesia ini, maka uraian di bawah ini disusun menurut kata-kata Ibrani dan Yunani.

       1. Misypat. Arti dasar kata ini ialah, bahwa ada cara yg benar bagi seseorang untuk membawakan diri, dan cara yg benar untuk memperlakukan orang lain. Perangai atau tingkah laku ini dapat dipaksakan secara hukum. Proses menyatakan hak perseorangan ialah keadilan, dan jika seseorang melakukan kejahatan maka benarlah bahwa dia patut dihukum. Hak-hak Allah terungkap dalam undang-undang yg diberikan-Nya kepada manusia. Misypat berarti juga keputusan yg tepat yg diberikan mengenai masalah-masalah yg sukar, khususnya oleh Urim dan Tumim.

  • Ay-ay terkait:
  • hak: Kel 23:6; Ul 10:18; Yes 49:4.
  • keadilan: Kej 18:19;  Ul 6:19; 2Sam 8:15; Ayub 8:3; Yes 1:17
  • penghukuman:  Mazm 105:5; Yer 51:9; Hos 5:1
  • peraturan: Kel 21:1; Ul 4:1; Yeh 5:6
  • hukum: Mazm 19:10; 103:6; 119:7 dll

       keputusan: Kel 28:15; Bil 27:21; Ul 17:8-9; 1Raj 3:28. Tsedaqa (dan kata-kata seakar). Kata ini mempunyai aneka pengertian. Arti pertama agaknya ialah kelurusan secara harfiah. Tapi sudah sejak zaman Bapak leluhur tsedaqa mempunyai arti rohani, yaitu sesuai dengan suatu ukuran yg diterima. Ump hidup Yakub yg memenuhi syarat-syarat perjanjiannya untuk menggembalakan domba Laban, disebut tsedaqa (’ kejujuranku’, Kej 30:33). Musa membicarakan neraca-neraca dan batu-batu timbangan yg betul (lm Kej 19:36) atau utuh dan tepat (Ul 25:15) — terjemahan tsedeq: ia menuntut supaya para hakim Israel menghakimi dengan pengadilan yg adil (juga tsedeq), Ul 16:18,20. Pembicara pertama dalam suatu pertikaian nampaknya benar (tsadiq) sehingga orang lain menunjukkan kepalsuannya (Ams 18:17). Bahkan benda-benda mati bisa menjadi tsedeq, ump Mazm 23:3, jalan yg benar, yg berarti jalan-jalan yg bisa dijalani oleh seseorang.



       Karena ukuran tertinggi dalam hidup manusia diturunkan dari Tuhan, maka sesudah zaman Musa (bnd Ul 32:4) tsedaqa berarti kehendak Allah dan tindakan-tindakan yg diakibatkannya. ‘Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa!’ (Wahy 15:3). Ayub bertanya, ‘Masakan manusia benar di hadapan Allah?’ (Ayub 9:2). Tuhan ‘walaupun kaya akan kebenaran Ia tidak menindasnya’ (Ayub 37:23), karena tindakan Allah yg senantiasa bertindak sesuai dengan ukuran-Nya sendiri, senantiasa sempurna dan adil (Zef 3:5; Mazm 89:13). Tsedeqa (keadilan-Mu) dapat menggambarkan pemeliharaan Allah akan hidup manusia dan binatang (Mazm 36:6), dan Allah ‘selalu berkata benar, selalu memberitakan apa yg lurus’ (Yes 45:19).

       Sesudah ini, melalui peralihan yg wajar, tsedaqa menjabarkan ukuran susila yg dipakai Allah untuk mengukur tindak tanduk manusia. Ia menetapkannya di hadapan mereka (Yes 26:7), mereka patut tsadiq, kalau mereka hidup di hadapan Allah (Kej 6:9), dan dalam PB pelaku-pelaku dari Tauratlah yg dibenarkan di hadapan Allah (Rom 2:13). Keinginan Allah supaya hidup manusia sungguh-sungguh sesuai dengan susila yg dikehendaki-Nya, secara khusus dibebankan kepada raja-raja (2Sam 8:15; Yer 22:15b), tapi setiap orang percaya yg benar diharapkan untuk melakukan tsedaqa ( Mazm 119:121; Ams 1:3). Tsedaqa ialah ciri khusus dari Mesias (Yes 9:7; Za 9:9). Dalam syair-syair PL ada beberapa pernyataan akan kebenaran diri sendiri (ump Mazm 18:19-23; Ayub 12:4), tapi pernyataan-pernyataan ini lebih mengartikan bahwa si pembicara bebas dari tuduhan-tuduhan tertentu (Mazm 7:4-5), atau bahwa maksud hatinya sungguh-sungguh mumi dan penyerahan dirinya tulus ikhlas, daripada merupakan tuntutan bahwa hidupnya tanpa cacat. Yeh 18:9 melukiskan tsedaqa yg bisa dicapai oleh manusia dalam semangat hukum Taurat.

       Berhubungan dengan pemerintahan ilahi, keadilan dan kebenaran menunjuk khususnya pada hukuman. Firaun mengaku, ‘Tuhan itu yg benar, aku dan rakyatkulah yg bersalah’ (Kel 9:27), dan penjahat yg disalibkan berseru, ‘Kita memang selayaknya dihukum’ (Luk 23:41). Tuhan tidak dapat menutup mata terhadap kejahatan (Hab 1:13), dan tak akan membengkokkan kebenaran (Ayub 8:3). Orang-orang kafir di Malta juga percaya kepada hukuman ilahi, apa yg mereka sebut Dewi Keadilan (Kis 28:4). Keadilan Allah yg menghukum diibaratkan sebagai api yang menghanguskan (Ul 32:22; Ibr 12:29), dan orang jahat selayaknya mendapat hukuman (Rom 3:8).

       Sejak zaman para hakim dan seterusnya, tsedaqa dipakai juga tentang tindakan-tindakan pembelaan Allah bagi orang-orang yg dianggap layak menerimanya, dan dalam pengertian ini diterjemahkan dengan ‘adil’; Hak 5:11 ‘perbuatan Allah yg adil’. Tindakan-tindakan ini disebut dalam 2Sam 15:4; Ams 3:33; Yes 58:2-3. Walaupun campur tangan Allah mungkin ditunda, namun Ia akan menjadi cemburu karena tanah-Nya, dan belas kasihan kepada umat-Nya (Yoel 2:18). Tapi gagasan ini membawa kita pada suatu segi tsedaqa yg lain lagi. Dalam Mazm 51:14 Daud berjanji bahwa lidahnya akan bersorak-sorai memberitakan keadilan Tuhan; maksudnya bukan pembenaran (ia mengaku sudah berbuat dosa) tapi pengampunan. Tsedaqa telah dihubungkan dengan penebusan; Tuhan memenuhi janji-Nya sendiri akan penyelamatan, walaupun manusia tidak layak menerimanya (Mazm 31:1; 103:17; 143:1). Yes 45:21 menyebut ‘Allah yg adil dan Juruselamat’, artinya, Ia Juruselamat sebab adil. 1Yoh 1:9 menyebut Allah adil sebab Ia mengampuni dosa-dosa kita. Namun dalam Rom 3:26, kita masih harus mengerti ‘benar’ dalam artinya yg lama, yaitu adil dalam hal menghukum.

 2. PL juga mengenal suatu tsedaqa yg merupakan pemberian Allah kepada mereka yg percaya. #/TB Kej 15:6; Hab 2:4, menyebut kebenaran ini, yg diterima karena ketergantungan manusia kepada rahmat Tuhan.  Yes 54:17 berbicara tentang kebenaran yg hamba-hamba Tuhan terima dari Dia. Dalam Tuhan ada suatu tsedaqa yg oleh kasih karunia-Nya menjadi milik seorang percaya (Yes 45:24). Kebenaran diri kita sama sekali tidak lengkap (Yes 64:6), tapi di dalam Tuhan ‘seluruh keturunan Israel akan nyata benar’ (Yes 45:25). Satu abad kemudian, Yeremia menyebut Yehuda dan Tuhan sebagai ‘tempat kediaman kebenaran’ ( Yer 31:23), yaitu sumber kebenaran bagi orang yg percaya (lih Laetsch, Biblical Commentary, Jeremiah, 1952, hlm 254, 191-192). Tapi sebagaimana Tuhan mengaruniakan kasih karuniaNya atas orang yg tidak layak, demikian pula umat-Nya harus ‘usahakanlah keadilan’ (Yes 1:17) dan mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil (Yer 22:16). Tsedaqa telah menjadi berarti ‘kebaikan’.

       Sesudah Zaman Pembuangan, Aram tsedqa menjadi suatu istilah yg berarti sedekah, memberi uang kepada orang miskin (Dan 4:27; Mazm 112:9; bnd Mat 6:1).

       Teladan tsedqa dalam segala artinya ialah Yesus Kristus. Ibr 4:5 menyebut hidup-Nya yg benar, tanpa cela, yg lebih baik daripada kehidupan ahli Taurat dan orang Farisi (Mat 5:20). Ia menyerahkan hidup-Nya bagi orang lain (Yoh 15:13). Ia datang supaya Allah dapat mantap tetap benar walaupun Ia membenarkan orang yang berbuat dosa bila mereka percaya kepada Yesus (Rom 3:26), supaya orang Kristen bisa berada dalam Dia, yg membenarkan dan menguduskan mereka (1Kor 1:30).

       3. Dikaiosune, yg terdapat 94 kali dalam PB, adalah kata Yunani yg sepadan dengan kata Ibrani tsedaqa. Biasanya kata itu diterjemahkan’kebenaran’, tapi dalam 2Kor 6:7; 1Tim 6:11; 2Tim 2:22; Ibr 1:9 2Pet 1:1 sebagai ‘keadilan’. Di tempat-tempat lain terdapat terjemahan-terjemahan lain; ‘kehendak Allah’ dalam Mat 3:15, ‘hidup keagamaan’ dalam Mat 5:20, ‘pembenaran’ dalam 2Kor 3:9, ‘perbuatan yg baik’ dalam Tit 3:5.

       Pemakaian dikaiosune sudah dipengaruhi oleh bh Ibrani tsedaqa, tapi khususnya bagi Paulus pikiran utama ialah pengakuan, bahwa keadilbenaran manusia mustahil cukup untuk memenuhi ukuran Allah. Paulus membedakan keadilan yg dicapai oleh usaha moral (apa, yg disebutnya ‘kebenaran karena menaati hukum Taurat’) (Fili 3:9) dan kebenaran yang merupakan pemberian dari Tuhan.

       Kebenaran ini bersumber pada Tuhan (Fili 3:9) dan diterima sebagai anugerah berdasarkan karya Kristus (Rom 5:17). Kebenaran ini ialah kebenaran yg dicapai Kristus sendiri dalam ketaatan-Nya yg sempurna pada kehendak Bapak dalam hidup dan mati, dalam mana Ia memikul kutuk Allah akibat pelanggaran-pelanggaran hukum ilahi. Keselamatan tercapai melalui suatu pertukaran secara absah antara orang berdosa dan Juruselamat; orang berdosa itu menerima kebenaran Kristus, Kristus dibuat menjadi dosa (2Kor 5:21; bnd 1Kor 1:30; 2Pet 1:1). Pemberian ini diberikan Tuhan kepada semua orang yg percaya (Rom 3:22) dan merupakan dasar pembenaran (Rom 5:18). Mereka yg di bedung dalam kebenaran ini dibenarkan dan diterima sebagai benar di hadapan Pengadilan Allah (Rom 3:26). Bahwa Allah telah menyediakan pembenaran ini bagi orang-orang berdosa, merupakan kenyataan pusat dari Injil (Rom 1:17). Kebenaran ini tidak tergantung pada tingkat kita menaati hukum Allah (Rom 3:21), karena itu adalah berdasarkan ketaatan Kristus yg sempurna kepada hukum dan kehendak Allah. Ajaran ini menurut Paulus bukan baru, tapi terdapat dalam PB (Rom 3:21). Ia mengutip Hab dalam Rom 1:17, dan berbicara panjang tentang Abraham, yg dibenarkan oleh iman (Rom 4:3).

       Dikaiosune berarti penyesuaian dengan hukum, khususnya Hukum ilahi; Kristus memenuhi kebenaran, baik dalam hal Ia menaati Hukum Allah dalam kehidupan-Nya, maupun dalam hal Ia menerima hukuman Allah yg adil atas dosa dalam kematian-Nya. Kebangkitan dan peninggian-Nya merupakan pengukuhan dan pensahihan bagi kebenaran-Nya (Ibr 2:9; bnd Rom 2:7).

       4. Emet di PL dipakai dalam dua pengertian. Pertama, membicarakan kejadian-kejadian, apakah ‘benar’ atau ‘bohong’; ump Ul 17:4; 1Raj 10:6; ‘benar’. Tapi jauh lebih lazim kata itu dikenakan kepada sifat terpercayanya seseorang, dan dalam hal ini emet diterjemahkan ‘setia’. Sifat terpercaya ini adalah salah satu sifat Allah (Mazm 31:5; Yer 10:10; Mazm 108:3; Mazm 146:6) yg tetap setia untuk selama-lamanya. ‘Ia menghakimi bangsa-bangsa dengan kesetiaan-Nya’ dan mengirim kasih setia-Nya dan kebenaran (Mazm 57:3b). Firman-Nya tetap untuk selama-lamanya (Mazm 119:89) dan perintah-perintah-Nya benar (Mazm 119:151). Emet adalah jawaban manusia kepada Allah dalam menaati hukum dan peraturan-Nya, dan merupakan dasar bagi persekutuan manusia; dari situlah timbul larangan dalam Kel 20:16 dan Ul 5:20. Aletheia beserta kata-kata yg berkaitan dalam bh Yunani menunjuk kepada kebenaran secara budi. ‘Seperti dalam bahasa hukum aletheia adalah duduk perkara yg nyata, yg masih harus dibuktikan terhadap berbagai pernyataan-pernyataan yg dikemukakan oleh para pihak dalam pengadilan; begitu juga dalam bidang sejarah, aletheia adalah duduk kejadian yg nyata secara ilmu sejarah dikontraskan dengan dongeng, dan dalam ilmu filsafat hal yg sungguh-sungguh nyata, dalam arti yg mutlak’ (Bultmann, TWNT). Tapi dalam PB aletheia bersama kata-kata serumpunnya sudah dipengaruhi oleh kata Ibrani emet dan kadang-kadang sukar untuk mengetahui, apakah arti setepatnya dari kata-kata yg dimaksud.

       Pengertian Ibrani dari sifat terpercaya mendominasi ay-ay seperti Rom 3:7; 15:8 (ttg Allah) dan 2Kor 7:14; Ef 5:9 (ttg manusia). Kesetiaan Allah adalah suatu gagasan yg terkandung di seluruh PB.


       Ada juga pengertian Yunani akan sesuatu yg sungguh nyata dan lengkap, sebagai lawan dari sesuatu yg palsu dan yg tidak sempurna (mis Ef 4:25); iman Kristen adalah khas kebenaran (Gal 2:5; Ef 1:13). Pemakaian ini secara khusus terdapat dalam Yohanes. Yesus menyatakan bahwa Dia ialah kebenaran yg dipersonifikasikan (Yoh 14:6); di dalam Dia kebenaran itu datang, Roh Kudus memimpin orang ke dalam kebenaran itu (Yoh 16:13; bnd Yoh 14:17; 1Yoh 4:6), sehingga para murid Yesus mengetahuinya (Yoh 8:32; 2Yoh 1), melakukannya (Yoh 3:21), dan hidup di dalamnya (Yoh 8:44). Firman kebenaran itu melahirkan kita kembali (Yak 1:18) dan kebenaran itu harus ditaati (Rom 2:8; Gal 5:7).

       Kata sifat alethinos kadang-kadang mengandung pengertian ‘sejati’. Artinya, sesuatu yg sungguh benar sebagai lawan dari hanya rupa saja atau tiruan.

  • Dengan demikian Yesus ialah pelayan dari Kemah Sejati, sebagai lawan bayang-bayang dari upacara keimaman (Ibr 8:2 dab).
  • Yesus ialah kenyataan yg abadi (’ yg benar’), yg dilambangkan oleh roti dan anggur (Yoh 6:32; 15:1). Begitu juga para penyembah yg benar (Yoh 4:23), maksudnya bukan terutama sungguh-sungguh tapi sejati; ibadah mereka adalah benar-benar mendekati Allah, yg Roh itu, secara sungguh-sungguh, sebagai lawan dari ibadah formal-formalan, yg mengikat Allah, hanya di Yerusalem atau Gerizim (Yoh 4:21); upacara-upacara demikian paling banter hanya dapat melambangkan Allah dan senantiasa ada kemungkinan menggambarkan Allah secara salah.



 KASIH KARUNIA (ANUGERAH)

          I. Dalam PL

          Kasih karunia dipakai sebagai terjemahan bh Ibrani khen. Kata ini berarti perbuatan atasan (dapat juga Allah) yg menunjukkan kepada bawahannya kasih karunia, padahal sebenarnya bawahan itu tidak layak menerimanya: mis Kej 6:7; Kel 33:17; Bil 6:25. Memang, tiada manusia yg dapat menunjukkan khen kepada Allah. PL menjelaskan, Allah memilih Bapak-bapak leluhur Israel dan Israel juga, hanya atas dasar kasih karunia-Nya. Sama sekali tidak ada jasa atau kebenaran dalam mereka, yg dapat dianggap alasan bagi pemilihan itu, Ul 7:7-8, bnd Ul 8:18. Dalam membuat perjanjian Sinai, seperti dulu dalam membuat perjanjian Abraham, prakarsa dari Allah datangnya. Nabi-nabi juga, yg menekankan perlunya pertobatan, mengakui bahwa hati yg baru harus diperoleh sebagai karunia dari Tuhan (Yeh 36:26; Yer 31:31-34), artinya, berdasarkan kasih karunia-Nya.

          II. Dalam PB

          Kata Yunani kharis adalah kata yg biasa dipakai untuk menerjemahkan kata Ibrani khen. Kata kerja kharizesthai dipakai untuk menunjukkan arti pengampunan, dari manusia dan juga dari Allah (Kol 2:13; 3:13; Ef 4:32).

             a. Injil-injil Sinoptis

             Terlepas dari perkataan kharis, yg tidak pernah dikenakan pada ucapan Yesus, gagasan tentang kasih karunia sangat jelas. Yesus berkata bahwa Ia datang untuk mencari dan menyelamatkan yg hilang. Banyak dari perumpamaan-Nya mengajarkan kasih karunia. Perumpamaan para pekerja kebun anggur (Mat 20:1-16) mengajarkan bahwa Allah tidak dapat didakwa oleh siapa pun atas pemberian anugerahNya. Perumpamaan tentang perjamuan besar (B Luk 14:16-24) menunjukkan bahwa hak istimewa rohaniah tidak menjamin kebahagiaan akhir, dan bahwa undangan Injil ditujukan kepada semua orang. Anak yg hilang diterima kembali oleh bapaknya dengan cara yg sebenarnya sang anak tidak layak menerimanya (Luk 15:20-24). Pertobatan ditekankan sebagai syarat untuk menerima keselamatan (Mr 1:15; 6:12; Luk 24:47). Iman juga mempunyai tempatnya (mis Mr 1:15; Luk 7:50), kendati tidak ada pernyataan teologis pada tema-tema Paulus.

             b. Tulisan-tulisan Lukas

             Baik Injil maupun Kis perlu diperhatikan secara khusus. Lukas memperlihatkan keluwesan dalam hubungan dengan pokok ini. Bahkan pengertian yg tidak religius dari kata kharis, yaitu usaha baik yg dibuat oleh seseorang kepada orang lain, muncul dalam Kis 24:27; 25:3,9. Pengertian PL tentang ‘kemurahan hati’ terlihat dalam Luk 1:30; 2:52; Kis 2:47; 7:10,46. Pengertian dinamis tentang kasih karunia yg menimbulkan keberanian yg sungguh dan kesaksian yg efektif muncul dalam Kis 4:33; 11:23; 13:43 dan digunakan bila membicarakan seruan universal dari Injil. Lukas juga mempertemukan istilah ‘injil’ (’ perkataan’) dan ‘kasih karunia’ (Luk 4:22; Kis 14:3; 20:24) dengan cara yg bahkan Paulus pun tidak melakukannya.

             c. Surat-surat Paulus

             Perkataan ‘kharis’ mempunyai tempat utama dalam salam pembukaan dan ucapan syukur penutup dalam Surat-surat Paulus, dan ditambahkan pada ucapan salam ‘damai’ yg biasa. Dasar dari ajaran Paulus terdapat dalam Rom 1:16-3:20. Manusia dinyatakan berdosa, tapi oleh kasih karunia dibenarkan (Rom 3:21-4:25), yaitu Allah dalam kasih karunia-Nya memperlakukan dia, walaupun bersalah, seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa.



             Iman adalah tanggapan manusia atas kasih karunia Allah (Rom 5:2; 10:9; Ef 2:8). Iman ini adalah pemberian Allah ( Ef 2:8); kata-kata ‘bukan hasil usahamu’ mungkin dikaitkan dengan sesosmenoi (’ diselamatkan’), tapi Paulus mencoba untuk menunjukkan bahwa perkataan ‘iman’ tidak dimaksudkan untuk menyatakan suatu tindakan bebas pada pihak orang percaya, lih juga 2Kor 4:13; Fili 1:29. Iman ini, meskipun menyatakan bahwa tidak ada keselamatan melalui hukum, bukanlah tidak etis. Iman secara moral dengan sendirinya adalah vital. Iman ‘bekerja oleh kasih’ (Gal 5:6). C. A Scott (Christianity according to St. Paul, 1927, hlm 111) mengatakan bahwa mulai dari saat iman bekerja, suatu transformasi pandangan etis secara ideal sudah ada di sana.

             Kedudukan orang percaya dalam anugerah dijelaskan, bukan oleh sesuatu dalam dirinya, tapi oleh kehendak Allah. Ajaran tentang pemilihan mempunyai 2 fungsi: ia mengawasi kebebasan manusia dan pembenaran dirinya, dan menunjukkan bahwa dalam melimpahkan karunia-Nya, Allah adalah bebas sama sekali (Ef 1:1-6; 2Tim 1:9; Tit 3:5). Setiap langkah dalam proses kehidupan Kristen tergantung pada kasih karunia —Gal 1:15 (panggilan); 2Tim 2:25 (pertobatan); Ef 2:8,9 (iman). Dalam Rom 8:28-30 Paulus memandang pekerjaan Allah sejak dari panggilan sampai kepada kemuliaan orang yg dibenarkan-Nya. Tapi ia tidak mengabaikan tanggung jawab manusia. Ketaatan (Rom 1:5; 6:17) adalah sikap moral, dan tidak dapat dijadikan sesuatu yg lain. Seorang manusia dari dirinya sendiri mustahil berbalik kepada Tuhan (2Kor 3:16).

Kedua sisi tersebut dipertemukan dalam Rom 9; 10. Ps 9 berisi pernyataan yg paling kuat terhadap predestinasi ganda, sedangkan ps 10 menyatakan bahwa penolakan oleh Allah disebabkan oleh ketidakpercayaan dan ketidaktaatan. Tapi harus diingat bahwa pokok utama dari ps-ps ini bukanlah keselamatan perseorangan, tapi adalah fungsi-fungsi kolektif dari orang-orang yg dipilih Allah untuk melaksanakan maksud-Nya.

           Rom 6 memakai gambaran baptisan untuk mengajarkan penaklukan dosa oleh kasih karunia. Lih juga 1Kor 6:11; 12:13;  Ef 5:26; Kol 2:12; Tit 3:5. H Wheeler Robinson (The Christian Doctrine of Man, 1926, hlm 124-125) berpendapat bahwa baptisan orang percaya bukanlah semata-mata merupakan lambang yg ilustratif, tapi adalah aspek obyektif dari apa yg secara subyektif adalah iman. Orang mungkin memperdebatkan bahwa baptisan anak-anak adalah suatu cara anugerah, karena anak adalah lambang ketidaksanggupan dan ketidakberdayaan manusia. Pandangan-pandangan ini rupanya bertentangan dengan penekanan Paulus yg tidak berubah tentang iman.

             d. Tulisan-tulisan PB yg lain

             (i) 1 Ptr. Rasul Petrus menekankan kasih karunia dalam ps 1 dan 2 pada hubungan yg lazim dengan pemilihan dan warisan dalam perjanjian: pada Tit 3:7 terdapat ungkapan yg luar biasa ‘kasih karunia kehidupan’. Kasih karunia juga dipakai dalam 1Pet 5:10 berkaitan dengan kemuliaan yg akan datang bagi orang percaya.

             (ii) Surat Ibr. Penulis menggunakan banyak perkataan yg artinya adalah kasih karunia. Dalam 1Pet 2:9 kasih karunia Allah dihubungkan dengan penderitaan Kristus. Perkataan kharis digunakan di Ibr 12:28 dalam hubungan dengan ucapan syukur manusia kepada Allah. Kasih karunia dipandang panggilan pengabdian diri dalam Ibr 12:14,15. Ungkapan yg mencolok ‘takhta kasih karunia’ dalam Ibr 4:16 mempersatukan keagungan Allah dan kasih karunia-Nya. Ungkapan segar yg lain dalam Ibr 10:29, adalah ‘Roh kasih karunia’.

             (iii) Surat-surat Yohanes. Hanya sedikit menyinggung secara langsung tentang kasih karunia, tapi kasih Allah ditekankan di seluruh bagiannya. Gagasan kasih karunia harus dihubungkan dengan ‘kehidupan kekal’. Iman adalah utama, dan Yohanes menggunakan suatu ungkapan Yunani pisteuein eis (percaya kepada) mengenai iman yg sungguh kepada pribadi Kristus (IMAM). ‘Kasih karunia dan kebenaran’ yg mencirikan kemuliaan Firman yg telah menjadi manusia dalam Yoh 1:14 (bnd ay Yoh 1:17) menggemakan ‘kasih dan setia’ dari Kel 34:6.

             Kita menarik kesimpulan bersama Moffatt bahwa kepercayaan dalam Alkitab adalah ‘kepercayaan tentang kasih karunia atau tidak ada apa-apa … kalau tidak ada kasih karunia, tidak ada injil’ (Grace in the New Testament, hlm 15).



       KEPUSTAKAAN.

  • H Wheeler Robinson, The Christian Doctrine of Man, 1926;
  • N. H Snaith, The Distinctive Ideas of the Old Testament, 1944;
  • J Moffatt, Grace in the New Testament, 1931;
  • N. P Williams, The Grace of God, 1930;
  • C Ryder Smith, The Bible Doctrine of Grace, 1956;
  • H. H Esser, NIDNTT 2, hlm 115-124;
  • H Conzelmann, W Zimmerli, TDNT 9, hlm 372-402;
  • H. D MacDonald. ZPEB 2, hlm 799-804.




Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...