Thursday, May 25, 2023

𝙃𝙖𝙩𝙞-𝙝𝙖𝙩𝙞 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝘽𝙚𝙧𝙠𝙖𝙩𝙖-𝙠𝙖𝙩𝙖


𝙃𝙖𝙩𝙞-𝙝𝙖𝙩𝙞 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝘽𝙚𝙧𝙠𝙖𝙩𝙖-𝙠𝙖𝙩𝙖 (𝘼𝙮𝙪𝙗 4:1-5:27) 

Sahabat yang baik adalah yang setia menemani kita dalam suka dan duka. Maka betapa menyakitkan bila seorang sahabat tidak memberikan dukungan justru ketika kita sedang berbeban berat.

Elifas adalah salah seorang sahabat yang mengunjungi Ayub (4:1). Mulanya ia merespons keluh kesah Ayub dengan pujian. Ia memuji kebaikan dan kearifan Ayub dalam kaitan dengan orang-orang yang membutuhkan bantuannya (4:3-4). Namun pujian Elifas kemudian berubah menjadi kritik. Bukannya memberikan penguatan dan dorongan, Elifas malah menegur Ayub atas keluh kesahnya. Ia juga mengemukakan pandangannya tentang penyebab penderitaan manusia (4:7). Berdasarkan pengalamannya, Elifas telah melihat bahwa orang baik pasti berhasil dan orang jahat pasti menderita. Elifas meyakini bahwa penderitaan Ayub merupakan teguran dan didikan Tuhan atas dosa-dosa yang telah Ayub perbuat (5:17). Oleh karena itu Ayub harus berbahagia mengalami semua itu dan memberi respons yang tepat, yaitu bertobat. Dengan demikian Allah kemudian akan memberkati dia (5:18-27).

Coba tempatkan diri Anda pada posisi Ayub, yang sedang duduk di tengah abu karena penyakit dan bersedih karena penderitaan. Lalu mendengar komentar sahabat yang bukan menguatkan, tetapi malah cenderung menghakimi. Pengalaman Ayub memang bisa membuat dia bertumbuh dalam pemahamannya akan Allah, tetapi bukan itu tujuan utama Allah membiarkan Iblis mengganggu dia (Ayb. 1:6-2:10). Maka nasihat Elifas adalah nasihat yang tidak efektif. Perkataan yang mungkin ia anggap baik, sesungguhnya malah bisa menyakiti hati Ayub.

Renungkan: Dari Elifas, kita harus belajar untuk tidak menghakimi orang lain dalam hubungannya dengan Tuhan, terutama dalam masalah yang sedang mereka hadapi. Kita juga perlu berhati-hati dalam menasihati dan menghibur orang yang sedang bermasalah atau berduka, jangan sampai kata-kata kita malah menjadi sembilu tajam yang menambah perih di hati. Mintalah hikmat Tuhan sehingga kata-kata yang kita ucapkan jadi berkat yang membangun.(sh)

Thursday, May 18, 2023

𝙆𝙚𝙧𝙚𝙡𝙖𝙖𝙣 𝘿𝙚𝙢𝙞 𝙄𝙣𝙟𝙞𝙡

 

𝙆𝙚𝙧𝙚𝙡𝙖𝙖𝙣 𝘿𝙚𝙢𝙞 𝙄𝙣𝙟𝙞𝙡 (1 𝙆𝙤𝙧𝙞𝙣𝙩𝙪𝙨 9:19-27) 

Prinsip Paulus dalam pelayanan ini bukan suatu hal yang mudah untuk dilaksanakan. Memang lebih mudah dan aman untuk bersikap kaku sambil bersembunyi di balik alasan bahwa kita berbuat demikian demi mempertahankan prinsip. Atau kebalikannya, mudah sekali menjadikan pelayanan yang komunikatif sebagai alasan untuk menutupi keinginan kompromi. Yang Paulus maksudkan jelas bukan yang terakhir ini. Paulus juga tidak menerima sikap yang pertama. Paulus bukan sedang belajar menjadi bunglon, tetapi menjadi hamba Kristus. Ia menaklukkan semua kepentingan dirinya, kebebasan dan haknya dalam upaya mempersempit jurang pemisah antara dirinya dan orang-orang yang dilayaninya demi memenangkan mereka bagi Kristus.

Berjuang dan menguasai diri. Sikap dan prinsip pelayanan Paulus ini membutuhkan perjuangan yang berat dan penguasaan diri yang kokoh. Untuk itu ia mendisiplin dirinya. Ia menggambarkan dirinya seperti seorang pelari. Dalam perlombaan semua berlomba, bertanding, tetapi hanya seorang yang akan keluar sebagai pemenang. Itu sebabnya bukan saja perlombaan itu saja harus ditempuhnya sebaik mungkin, tetapi persiapan sebelumnya pun harus sangat matang. Paulus menguasai dirinya supaya tidak diperbudak oleh keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Paulus tidak ingin hidupnya menjadi sia-sia, karunia dan panggilan pelayanan yang Allah percayakan kepadanya tidak sampai sasaran. Tujuan Paulus ialah memperoleh mahkota abadi yang akan Tuhan karuniakan hanya bagi yang setia dan menang.

Renungkan: Tugas menyaksikan Injil bukan saja tugas para hamba Tuhan, tetapi tugas atau panggilan untuk setiap orang beriman. Sudahkah Anda menujukan seluruh potensi Anda untuk mencapai sasaran ilahi itu dalam hidup ini? (𝚂𝚑)

Tuesday, May 16, 2023

Tidak Menyelesaikan Dosa

Tidak Menyelesaikan Dosa (Hosea 10:9-15) 

Dosa melahirkan dosa adalah ungkapan tepat untuk menggambarkan bahwa dosa yang tidak segera diselesaikan hanya akan mengakibatkan hal yang lebih buruk lagi. Dosa harus diselesaikan dengan bertobat, dan bertekad tidak melakukannya lagi. Hal ini tentu memerlukan belas kasih dan pengampunan Allah.

Dosa Israel di Gibea diungkit Hosea untuk menuding dosa masa kini. Apa yang terjadi di Gibea? Lihat Hakim 19-21. Terjadi kekejian moralitas yang dilakukan penduduk Gibea terhadap seorang wanita. Ketika tuntutan datang untuk menghukum pelaku kejahatan, suku Benyamin menolak menyerahkannya. Terjadi perang suku, banjir darah yang hampir memusnahkan kesatuan suku-suku Israel. Apa yang terjadi di Gibea berpotensi terulang kembali pada masa kininya Hosea. Oleh karena itu, ia sungguh berharap mereka kembali sadar dan bertobat dari dosa-dosa mereka dan mulai menegakkan keadilan dan kasih setia (12).

Sayangnya, walaupun mereka bagaikan anak lembu yang terlatih untuk membajak sawah, mereka keras kepala, menolak kuk dan tidak mau membajak sawah sesuai arahan pemilik mereka. Mereka berkeras kepala untuk mengikuti keinginan sendiri (13). Mereka bersikeras untuk tetap tinggal di dalam dosa, maka akibat dosa yang keras harus mereka alami. Mereka menolak menabur keadilan (12) malahan kefasikan (13), maka mereka pun akan menuai kehancuran (14-15).

Renungkan: Mengapa ada orang yang sulit mengakui dosanya dan meminta pengampunan Tuhan? Itulah belenggu dosa. Perbudakan dosa membuat orang berkecenderungan menjauh dari Tuhan dan semakin tenggelam dalam dosa. Mungkin membaca kitab nabi Hosea sampai di sini membuat hati kita resah. Begitu kacaunya hidup umat Tuhan yang dibelenggu dosa sehingga mereka pasti akan binasa menerima hukuman Tuhan. Syukur kepada Tuhan Yesus. Dia telah datang ke dunia untuk membebaskan semua orang yang percaya kepadanya. Masih ada pengharapan untuk manusia mendapatkan pengampunan dan kelepasan dari belenggu dosa!(𝚂𝚑)

Semakin Giat dalam Melayani

Semakin Giat dalam Melayani (1 Petrus 4:7-11) 

Hidup melayani Tuhan tanpa pengharapan dalam iman adalah hidup yang kurang bergairah. Dengan adanya pengharapan dalam iman ini, kita hidup dengan tujuan yang jelas yaitu pengharapan menantikan kedatangan Kristus yang kedua kalinya. 

Seruan Petrus ini mengadopsi tradisi orang Yahudi. Orang Yahudi memiliki pemahaman bahwa kesudahan dari segala sesuatu diawali dengan periode penderitaan yang hebat, dan kesengsaraan yang tiada akhir. Oleh karena itu, Petrus menasihati jemaat untuk senantiasa tenang dan berdoa (ayat 7). Petrus mendorong supaya jemaat tetap siap sedia menantikan kedatangan Tuhan. Kedatangan Tuhan kedua kali yang digambarkan "dekat" bukan berarti kita hanya tinggal menanti dan tidak melakukan kegiatan apa pun baik pelayanan maupun pekerjaan sehari-hari. Sebaliknya, justru Petrus mendorong jemaat untuk: Pertama, tetap memiliki kasih yang "bertumbuh" baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia (ayat 8). Kedua, memberikan tumpangan kepada orang lain dengan tidak bersungut-sungut (ayat 9). Kedua hal ini sulit dilakukan karena memberikan tumpangan kepada orang lain bukanlah suatu hal yang lazim pada saat itu. Tumpangan hanya berlaku untuk sanak saudara saja. Demikian juga kasih secara manusiawi terbatas hanya pada orang dan dalam hubungan khusus. Namun, kasih Tuhan membuat jemaat menjadi satu keluarga sehingga bisa memberikan tumpangan kepada orang lain yang bukan saudara. Ketiga, agar jemaat saling melayani satu sama lain sesuai dengan karunia yang mereka miliki sehingga Tuhan dimuliakan (ayat 10-11). 

Kesadaran atau pengharapan tentang kedatangan Tuhan Yesus kedua kali memang akan berdampak konkret pada kehidupan dan pelayanan kita. Kerinduan berjumpa Dia dalam keadaan layak mendorong kita mengusahakan yang terbaik dalam segala hal. 

Renungkan: Menantikan kedatangan Tuhan yang kedua kali seharusnya membuat kita semakin giat melayani bukannya memudar. sh

𝙈𝙚𝙣𝙜𝙖𝙨𝙞𝙝𝙞 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙏𝙖𝙣𝙙𝙖 𝘼𝙣𝙖𝙠-𝙖𝙣𝙖𝙠 𝘼𝙡𝙡𝙖𝙝

 

𝙈𝙚𝙣𝙜𝙖𝙨𝙞𝙝𝙞 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙏𝙖𝙣𝙙𝙖 𝘼𝙣𝙖𝙠-𝙖𝙣𝙖𝙠 𝘼𝙡𝙡𝙖𝙝 

(1 𝙔𝙤𝙝𝙖𝙣𝙚𝙨 3:11-18) 

Hari ini kita belajar tentang suatu kenyataan yaitu tanda yang memperlihatkan bahwa seseorang hidup dalam Yesus adalah kasih. 

Bagi Yohanes, kasih bukanlah sekadar kata benda atau kata sifat. Dalam teks bacaan ini Yohanes memakai kata kerja ‘mengasihi’ (ayat 11,14,18). Sebagai kata kerja “kasih” tidak dapat dilepaskan dari relasi personal dan sosial dengan manusia lainnya. Seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia penuh kasih ilahi, tetapi hidup tanpa relasi dengan manusia lainnya. Kasih memerlukan objek untuk dikasihi, yaitu sesama manusia. Secara khusus hakikat kasih dikontraskan dengan dua model yakni Kain dan Kristus. 

Hidup Kain. Dalam kitab Kejadian dilaporkan bahwa persembahan Kain tidak diterima, sedang persembahan Habel, adiknya, diterima Allah (ayat 4:3-8). Akibatnya timbul kecemburuan dan kebencian dalam diri Kain. Kegagalan Kain untuk mengasihi adiknya melahirkan kebencian mendalam dan akhirnya pembunuhan. Kain membenci Habel yang berbuat benar di hadapan Allah. Perbuatan benar inilah yang dibenci oleh dunia. Oleh sebab itu, Yohanes memperingatkan kita bahwa jika kita membenci perbuatan benar maka tidak ada kasih, dan itu berarti kita sedang membenci. Membenci berarti membunuh. Inilah hidup model Kain. 

Hidup Kristus. Kedatangan Yesus ke dalam dunia menunjukkan wujud kasih Allah kepada kita. Karya Yesus selama Dia hidup, baik perkataan maupun perbuatan, mendemonstrasikan kasih Allah. Bukti kasih yang lebih jelas adalah ketika Kristus menyerahkan nyawa-Nya, berkurban untuk kita (ayat 16). Yesus rela menyerahkan nyawa-Nya sendiri agar kita hidup. Oleh karena itu, orang yang percaya pada Yesus patut meneladani kasih Kristus. Kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara seiman (ayat 16). 

Renungkan: Menerima Yesus berarti menerima kasih Allah. Izinkan Dia aktif, mengungkapkan kasih itu dalam perbuatan kita! (𝘴𝘩)

Sikap yang Mendatangkan Hukuman Allah

Sikap yang Mendatangkan Hukuman Allah (Pengkhotbah 5:1-7) 

Orang mudah mengucapkan sumpah dalam percakapan, pengadilan, janji setia, bahkan ada orang Kristen yang berani bersumpah demi nama Tuhan untuk menutupi kebohongannya atau memperoleh keinginannya. 

Sebenarnya, sumpah yang mudah diucapkan berasal dari perkataan berlebihan seperti: ujaran "kotor", sombong, sembrono, fitnah, dll. Kata serupa ini tidak layak diucapkan oleh anak Tuhan sebab mendatangkan hukuman Tuhan (Mat. 12:36-37). Sumpah yang diucapkan dengan menyalahgunakan nama Tuhan demi kepentingan diri menyatakan sikap tidak menghormati Tuhan (Pkh. 5:1-3). Sikap ini dimulai dari hati yang tidak tertuju kepada-Nya (ayat 4:17). Pernahkah Anda membaca tanda peringatan "Awas! Ada anjing galak!" Tanda ini diberikan agar tamu yang berkunjung hati-hati saat masuk rumah itu sebab penghuni rumah memelihara seekor anjing. Cara aman untuk memasuki rumah itu adalah dengan berjalan di samping tuan rumah. Kita pun memerlukan peringatan serupa agar tidak menimbulkan dosa (ayat 5:5). Apabila kita sadar bahwa kita berjalan bersama dengan Tuhan maka kita akan menjadi lebih berhati-hati dengan sumpah, perkataan berlebihan dan semua tindakan (ayat 5:6). 

Cara untuk menjaga perkataan dan tindakan kita memperkenan Tuhan adalah berjalan bersama Tuhan. Hiduplah dengan kesadaran penuh bahwa Tuhan melihat dan mengawasi perkataan dan perbuatan kita meskipun Ia tidak hadir secara fisik. 

Ingat: Alasi tiap perkataan dan tindakan atas pertimbangan yang cermat. (s𝚑)

Hidup sebagai anak terang (Efesus 5:1-22)

Hidup sebagai anak terang (Efesus 5:1-22) Sebagai anak-anak terang, umat Allah hidup dengan meneladani Allah (ayat 1). Sama seperti Yesus ya...