Wednesday, November 10, 2021

SEJARAH GKII DI BALI



SEJARAH GKII DI BALI

(11 November 1931 – 11 November 2021)


Tulisan ini mencoba menyajikan sebuah catatan sejarah bagaimana Tuhan membuka dan memelihara gereja-Nya, dan memakai Gereja Kemah Injil Indonesia memenangkan Bali bagi Tuhan. 


MELETAKAN DASAR

Dr. R. A. Jaffray

Tahun1929 Dr. R. A. Jaffray sekembalinya dari Bali, Tuhan menyatakn visi membawa Bali menjadi bagian dari Kerajaan Sorga. Tetapi penginjilan di Bali tidak semudah yang diharapkan karena pemerintah Hindia Belada tidak mengijinkan. Berbagai usaha telah dilakukan namun izin untuk penginjilan tetap tidak diperoleh. 

Tuhan memberi hikmat Dr. Jeffray untuk menyampaikan berita Injil kepada warga Tionghoa. Sementara izin belum diperolehnya, ia menantang mahasiswa teologia Alliance Bible Seminary di Tiongkok untuk mengambil bagian dalam penginjilan di Bali. Tantangan itu diresponi oleh Tsang To Hang. 

MASA PERSIAPAN

Tsang To Hang

Tsang To Hang yang terlahir dengan nama Tsang Kam Foek, dari sebuah keluarga miskin dari daratan China. Ia merupakan salah seorang perintis C.F.M.U. (The Chinese Foreign Missionarry Union / Misi Penginjilan Tionghoa Untuk Seberang Lautan)  yaitu sebuah badan misi penginjilan yang pertama di Tiongkok. Badan ini terbentuk dari gagasan beberapa hamba Tuhan yang berkebangsaan Tionghoa pada tahun 1928 yang diketuai oleh Dr. Leland Wang. Dalam pelaksanaannya, C.F.M.U berada di bawah pimpinan Dr. R. A. Jaffray, yang juga pada waktu itu sebagai ketua dari C.M.A. (Christian and Missionary Alliance) yaitu badan misi yang menaungi Gereja Kemah Injil. 

Pada tahun 1929 Tsang To Hang dan keluarga meninggalkan negaranya dengan berlayar menuju Indonesia. Pada bulan Februari 1930 mereka tiba di Makassar. Konfrensi C.F.M.U. dan C.M.A. memutuskan untuk mengirim Tsang To Hang ke Lombok sambil menunggu izin dari pemerintah Hindia Belanda. Dari apa yang diputuskan tersebut Tsang To Hang dan keluarga berlayar ke pulau Lombok. Di pulau ini ia tinggal sambil belajar bahasa Melayu (red. Indonesia). 

Januari 1931 merupakan titik awal dari pekerjaan Tuhan di Bali melalui pelayanan C.F.M.U. dan C.M.A. karena telah diperoleh izin penginjilan di Bali dari Pemerintah Hindia Belanda. Kesempatan ini langsung disambut dengan semangat yang tinggi oleh Tsang To Hang. Satu bulan semenjak izin di terima Dr. R. A. Jaffray, Tsang To Hang dan keluarganya pindah dari Lombok ke Bali dan menetap di Wangaya, Denpasar. 

MASA MENABUR

Sekitar tiga bulan setelah Tsang To Hang tiba di Bali, ia memulai pekerjaan penginjilannya. Bulan Mei 1931 pekerjaannya membuahkan hasil, empat orang Tionghoa dibaptis. Baptisan pertama ini dilakukan oleh Dr. R. A. Jaffray. Tiga dari empat orang yang dibaptis ini adalah orang Tionghoa-Bali. Salah satu dari ketiga orang ini bernama Ang Wei Chik. 

Pintu berita keselamatan bagi Bali mulai menyala. Ang Wei Chik berhasil membawa I Gusti Made Rinda percaya dan menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Dari I Gusti Made Rinda berita Injil mulai bergema kepada sahabat-sahabatnya yang ada di Untal Untal seperti I Made Risin, dan juga kepada desa-desa yang ada di sekitarnya. 

Tukad Yeh Poh merupakan saksi alam yang menyaksikan terbukanya pintu keselamatan bagi orang Bali karena di sungai ini pada tanggal 11 November 1931 Dr. R. A. Jaffray membaptis Pan Loting, I Gusti Putu Sanur, Pekak Timotius, Pan Bungkalan, Pan Lipeng, Made Gelendung dan Pan Made Paul. Kesaksian Pan Loting yang disampaikan kepada murid-muridnya menunjukkan adanya semangat hidup baru, “Sekarang kita telah menjadi orang baru, yaitu orang-orang masehi”. Kata-kata yang sederhana tersebut membangun semangat dan kerinduan bagi murid-muridnya sehingga mereka menyambut dengan gembira berita yang disampaikan oleh Pan Loting. 

Kesaksian yang penuh dengan keberanian tidak hanya dilakukan kepada sesama orang Bali. Setelah Pemerintah Belanda mengetahui bahwa kekristenan sudah berkembang di antara orang Bali, mereka melakukan penyelidikan ke desa-desa di mana kekristenan mulai bertumbuh. Ketika penyelidikan dilakukan di desa Abian Base, mereka memerintahkan kepada kepala desa untuk mengumpulkan penduduk yang sudah beragama Kristen. Setelah mereka berkumpul, pemerintah Belanda mulai bertanya kepada mereka, “Apakah kalian sudah tahu dan memeluk agama Kristen?”. Seorang dari antara penduduk berdiri dan menjawab, “Apa yang Tuan maksudkan kami tidak mengerti, tetapi yang kami ketahui bahwa bila kami percaya kepada Yesus, dosa kami diampuni dan kami memperoleh keselamatan dan ada harapan untuk memperoleh hidup yang kekal“. Pemerintah Belanda kembali bertanya, ”Yesus yang kalian percaya itu siapa?”. Dengan serentak mereka menjawab, ”Yesus adalah Kristus, Anak Allah yang kekal”. Jawaban tersebut membuat pemerintah Belanda kagum dan tidak menduga jauh dari apa yang telah menjadi kenyataan. Peristiwa di desa Abian Base akhirnya meluluhkan hati pemerintah Belanda, dengan turut ambil bagian pelayanan penginjilan di Bali meskipun harus menerima kecaman yang keras dari tokoh-tokoh agama Hindu.

MASA KESESAKAN 

Tantangan dari masyarakat  

Keyakinan akan kuasa Kristus yang menang atas kuasa-kuasa lain, mendorong suatu demonstrasi untuk meruntuhkan Pura-Pura keluarga orang-orang yang sudah menerima Kristus. Keputusan tersebut berdampak kepada kemarahan masyarakat di sekitar mereka. Akibatnya orang Kristen mengalami tekanan-tekanan dari para tokoh masyarakat Hindu.

Bentuk-bentuk tekanan yang mereka hadapi bermacam-macam. Mereka yang mengaku percaya kepada Kristus tidak diberi air untuk mengairi sawah-sawah mereka, dengan alasan air tersebut merupakan pemberian Dewa mereka. Orang Kristen tidak pernah mengadakan upacara sebagai tanda bersyukur kepada Dewa mereka, hal itu dilihat sebagai bentuk kedurhakaan orang-orang Kristen. 

Tekanan lain, adalah apabila ada di antara orang Kristen yang meninggal dunia tidak diizinkan dikuburkan di pemakaman (setra), dengan alasan adalah tempat tinggal Betara Durga. Mereka juga tidak diizinkan untuk menguburkan jenasah di tempat lain, seperti tanah pribadi dengan alasan mencemarkan desa. Satu-satunya jalan adalah dengan membawa jenasah ke luar dari desa menuju Denpasar untuk dikuburkan di pemakaman milik orang asing. Dalam perjalanan ke pemakaman tersebut hinaan dan cercaan terus menerpa. Rombongan kematian dihina dengan perkataan-perkataan yang kotor. Mereka dikatakan kelompok orang yang hendak memakamkan bangkai anjing yang sudah membusuk. Kadang-kadang rombongan jenasah tersebut dilepari batu. 

Hal yang tak kalah beratnya dihadapi oleh orang yang baru percaya adalah mereka kehilangan hak atas kekayaan keluarga karena mereka tidak lagi mau ambil bagian dalam upacara-upacara di Pura-Pura desa. Mereka diusir dan harus meninggalkan kampung tanpa membawa apa yang menjadi milik mereka.

Hambatan dari Pemerintah Belanda

Dalam kurun waktu sekitar dua tahun, tercatat ada 266 orang telah percaya Kristus melalui pelayanan Tsang To Hang. Perkembangan yang demikian pesat ini memunculkan kesulitan-kesulitan dalam pelayanan penginjilan. Tantangan dan hambatan mulai menekan orang-orang yang telah menerima Tuhan Yesus. Kecaman yang disampaikan oleh tokoh-tokoh masyarakat Hindu kepada pemerintah Hindia Belanda yang disertai dengan aksi-aksi yang tidak manusiawi membuat pemerintah Belanda mengambil sikap. Mereka menyadari bahwa apa yang telah terjadi adalah akibat ulah dari Tsang To Hang. Tahun 1934 pemerintah Hindia Belanda mencabut izin penginjilan di Bali dan mengusir Tsang To Hang dari Bali.

Dengan hati sedih, Tsang To Hang meninggalkan Bali. Kata perpisahan yang diucapkannya, “Sekarang saya akan pergi meninggalkan saudara dan meninggalkan pulau Bali, tetapi ingatlah bahwa Ia masih bersama-sama dengan saudara-saudara. Ia begitu mencintai saudara-saudara. Dia berkata Aku tidak akan meninggalkan kamu yatim piatu, Aku akan datang kembali kepadamu ( Yoh 14:18 )“.

Dengan dicabutnya izin pelayanan Tsang To Hang oleh Pemerintah Hindia Belanda, Dr. R. A. Jaffray dan C.M.A. memanggil pulang beberapa siswanya ke Makassar. Pelayanan di Bali oleh Pemerintah Hindia Belanda diserahkan kepada Gereja Presbytarian Belanda dan Misi Katolik, yang kemudian mempercayakan pelayanan mereka kepada Zending dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Sekalipun demikian beberapa orang percaya di Bali masih menjalin hubungan dengan C.M.A. di Makassar. Pada tahun 1934 jumlah orang yang percaya di Bali sekitar 600 orang. Puncak kesulitan yang dihadapi oleh C.M.A. adalah pada tahun 1936, di mana Gereja Presbytarian Belanda bekerjasama dengan GKJW memanggil beberapa siswa dari Bali yang sedang belajar Alkitab di Makassar.

Jalan maut yang mengubahkan

Melihat masalah-masalah yang terjadi setelah Injil diberitakan di Bali maka pihak pemerintahan waktu itu berinisiatif untuk melenyapkan orang Kristen secara tidak langsung. Alternatif yang terbaik adalah memindahkan orang Kristen tersebut ke sebuah daerah di bagian barat pulau Bali. Sebuah daerah hutan yang diyakini sebagai pusat kekuatan roh kegelapan. Daerah tersebut juga merupakan sarang dari nyamuk malaria yang mematikan. 

Inisiatif dari pemerintah untuk menyingkirkan orang Kristen dari Bali baru terwujud pada tahun 1939. Mereka diberi lahan di sebuah hutan di sekitar desa Melaya. Daerah tersebut akhirnya dikenal dengan nama desa Blimbingsari. Perjalanan dari Denpasar ke daerah tersebut membutuhkan waktu hampir sehari semalam dengan berjalan kaki. Perjalanan pertama diawali hanya oleh para suami, sedangkan istri dan anak ditinggalkan di Denpasar. Setelah daerah tujuan siap untuk dihuni dan dikerjakan barulah para istri dan anak-anak dijemput untuk berjuang dan tumbuh bersama-sama. 

Tempat baru di mana mereka tinggal adalah daerah yang menakutkan dan terisolir dari desa sekitar membuat mereka kesulitan menjual hasil pertanian. Kadang-kadang mereka melihat seekor ‘anjing’ hampir sebesar sapi dewasa. Tetapi dengan semangat iman yang masih membara mereka mengusir segala bentuk intimidasi Iblis dan meyakini bahwa mereka sekarang sedang merebut tanah Kanaan yang dijanjikan Allah. 

Kebaktian rumah tangga diadakan secara rutin setiap petang yang ditandai dengan bunyi kentongan yang dipukul oleh pengurus gereja. Sesuai dengan iman mereka, akhirnya daerah tersebut menjadi sebuah desa yang subur dan termasyur bagi  daerah-daerah yang ada disekitarnya. Apa yang diyakini dan diharapkan oleh pemerintah tidak terjadi sama sekali. Kuasa Allah telah mematahkan segala macam penyakit dan intimidasi Iblis.

Dipecah untuk semakin berbuah

Penyerahan pelayanan dan pembinaan  orang Kristen di Bali kepada Gereja Presbyterian Belanda yang bekerja sama dengan GKJW dirasakan kurang memuaskan. Penginjilan bukan lagi sebagai prioritas pelayanan, yang menjadi prioritas adalah pelayanan menuju kedewasaan. Hal lain yang juga menjadi pertanyaan adalah mengapa baptisan selam sesuai dengan yang diajarkan Alkitab digantikan dengan baptisan percik dan dilakukan ketika masih kanak-kanak?

Pertentangan ini akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 1949 yang ditandai dengan pengunduran diri Pdt. I Wayan Pendak sebagai sekretaris Pesamuan Kristen. Pada tanggal 17 Juli 1949  Pdt. I Wayan Pendak, meletakkan jabatan sebagai Guru Injil dan menyatakan kembali meneruskan  pelayanan Gereja Sinar Injil (red. GKII). Langkah yang sama juga diambil oleh Pdt. I Ketut Geredeg. Mereka memiliki keputusan untuk kembali kepada pengajaran yang telah disampaikan oleh misi C.M.A. 

Sikap yang diambil oleh kedua tokoh tersebut diikuti oleh beberapa keluarga Kristen di Ambyarsari, Pakuseba, dan Untal Untal. Pengunduran diri tidak hanya dilakukan secara lisan, melainkan juga melalui surat penyataan yang ditulis oleh Pdt. I Wayan Pendak. Surat tersebut berbunyi sebagai berikut, ”Kami kepala rumah tangga yang bertanda tangan di bawah ini  (bertarti turut seisi rumah tangga), anggota GKPB dari kampung Untal Untal dan dari Ambyarsari menyatakan diri 1 Juli 1949 untuk Untal Untal dan 10 Maret 1952 untuk Ambyarsari, membebaskan diri dari Peraturan GKPB terhitung mulai 17 Februari  1952 kami menggabungkan diri dengan Kemah Injil”. Keputusan beberapa keluarga Kristen untuk kembali kepada pengajaran yang diajarkan C.M.A. menyatakan bahwa mereka tidak akan ambil bagian dalam segala bentuk kegiatan di GKPB. 

Apa yang menjadi komitmen dan pernyataan tersebut membawa dampak yang sangat besar yaitu kemarahan dari antara orang-orang GKPB di Ambyarsari. Mereka tetap menuntut agar yang memisahkan diri tetap ambil bagian dalam kegiatan di GKPB. Pertentangan terus memuncak sampai akhirnya terjadi aksi perampasan alat-alat dapur yang diprakarsai oleh Pan Cebur, sebagai reaksi atas mereka yang keluar dari GKPB. 

MASA PENUAIAN

Tanggal 10 maret 1952 merupakan hari bersejarah dimulainya kembali pelayanan Gereja Sinar Injil di Bali. Keluarga Pan Yunias, keluarga Pan Rastiti, keluarga Pan Seriah, keluarga Pan Majus, keluarga Pan Radeg, memutuskan untuk mengadakan kebaktian pertama dengan pola dari satu rumah ke rumah yang lain. Sampai akhirnya mereka mampu membangun sebuah gedung gereja. Lokasi yang dipergunakan adalah di atas tanah milik Pan Yunias sedangkan pastori dibangun di atas tanah milik Pan Radeg

Pelayanan kerohanian juga dilakukan secara swadaya, artinya apabila Pdt. I Wayan Pendak tidak hadir, maka dari antara mereka dipilih sebagai pengkhotbah. Kesadaran akan kuasa doa membuat jemaat dengan penuh semangat datang berdoa pagi dan belajar Firman Tuhan pada malam harinya. Demonstrasi kuasa darah Kristus terjadi dari tengah-tengah jemaat, di mana banyak saudara yang mengalami kelemahan menerima kekuatan dan tidak sedikit yang mengalami kesembuhan. Namun, perkembangan jemaat dan berbagai perbuatan ajaib yang Tuhan lakukan di tengah-tengah jemaat tidak jarang mendapat hinaan dari saudara di GKPB. Ada yang menyampaikan hinaan tersebut ketika mengusir burung di sawah dengan mengatakan, “Dalam Nama Yesus hai kamu setan emprit, saya usir kamu keluar dari tempat ini”. 

Kekuatan jemaat di Ambyarsari telah nyata dengan diutusnya hamba-hamba Tuhan ke berbagai pelosok Indonesia. Di samping itu beberapa gereja Kemah Injil yang ada di Kabupaten Jembrana adalah hasil pelayanan jemaat ini seperti, Jemaat Mendoyo dan Warnasari. Pos-pos Peginjilan juga dibuka seperti Tukad Daya, Banyu Biru. Wujud nyata dari pelayanan sebagai gereja yang missioner adalah dengan diputuskannya untuk memilih lokasi gereja keluar dari desa Blimbingsari ke desa Melaya. 

Demikianlah juga  lahir dan berdiri jemaat-jemaat dewasa di luar Ambyarsari, seperti: Untal Untal (1949), Pakuseba (1950), Singaraja (1954), Klungkung (1957), Tuban (1960), Denpasar (1962), Mendoyo (1963), Gianyar (1968).

Beberapa misionaris C.M.A. yang telah berjasa dan ikut terjun dalam melayani di lingkup GKII di Bali, seperti: John Wesley Brill, sejak tahun 1933 melayani di Bali secara partikelir; Mauriche dan Biola Bliss (1952); Rev. Rodger Lewis (1953-1992).

Kepemimpinan GKII di Bali masuk dalam lingkup pelayanan Badan Pengurus Wilayah Indonesia Timur II. Dari tahun 1960-1991 pelayanan di Bali di gabung dalam Badan Pengurus Daerah Bali dan NTB, dengan Ketua BPD, Pdt. J. P. Kantohe (1960-1963), Pdt. I Made Gelebug (1963-1966), Pdt. I Wayan Radeg (1966-1978), Pdt. DR. Luther Tubulau (1978-1982), Pdt. Dewa Gede Rena (3 periode, 1982-1991), Pdt. I Nyoman Enos, M.A. (1991-1996). (MA) 


Pada tahun 1996 GKII di Bali dipisah dari NTB menjadi daerah tersendiri, dengan Ketua BPD pertama Pdt. I Gusti Nyoman David Aryana, M.Th. (1996-2006), dilanjutkan oleh Pdt. Alfretz Tololiu, S.Th. (2006 sd 2016), sekarang Pdt. Margo Adi, S.Th. (2016 sd 2026).  


**ditulis dari berbagai sumber.

Allah memperhatikan penderitaan umat

  Allah memperhatikan penderitaan umat (Keluaran 2:23-3:10) Ketika menderita, kadang kita menganggap bahwa Allah tidak peduli pada penderita...